1965 — TAHUN MAAHARI TENGGELAM: SEBUAH REFLEKSI

1965 – Tahun Matahari Tenggelam: Sebuah Refleksi

16 September 2015

 SEKITAR Lebaran 25 Desember 1965. Saya sudah lupa tanggalnya, tapi apa yang saya saksikan pada hari-hari itu kemudian melekat di benak hingga sekarang. Kembali dari Malang menuju Bandung, selepas Yogya, tiba-tiba semua kendaraan berhenti. Di jalanan orang hilir mudik. Semua diam atau berbisik-bisik. Tak ada tentara. Ada yang muram, setengah lari kembali ke rumah. Ada yang hanya saling pandang. Aneh, tak ada riang selepas Lebaran itu. Yang ada kegalauan yang membuat kami – kala itu saya masih di bangku terakhir SMA – masygul, terheran-heran ada apa gerangan. Maka kami pun menuju tepi jembatan tempat banyak orang berkumpul dan memandang ke bawah, ke sungai. Sejumlah jasad terkapar di pinggir dan tengah sungai yang dangkal. Terkejut dan terhenyak sesaat, saya tak menghitung jumlahnya. Yang pasti ada puluhan.

Mikrokosmos 

Mereka menonton, diam, lalu pergi. Pertama kali saya menyaksikan puluhan mayat manusia menjadi tontonan publik dan membiarkannya. Kami pun melanjutkan perjalanan pulang.

Tak ada yang istimewa dari kesaksian itu – kecuali bahwa hanya mimik dan raut wajah mereka menjadi bahasa yang bercerita. Sebelumnya, sejak Oktober, sudah ada kabar media tentang aksi-aksi “Basmi PKI” (Partai Komunis Indonesia). Kebanyakan orang mungkin tak segera menyadari skala dan betapa mendalam apa yang terjadi bagi masyarakat. Bandung memang bukan tempat yang tepat untuk merasakan getaran drama dan tragedi yang tengah berlangsung. Tetapi, bahasa wajah di Jawa Tengah tadi menunjukkan bahwa orang menyadari benar yang terjadi, bahwa mayat-mayat terkapar di sungai itu hanyalah sebuah mikrokosmos dari malapetaka yang lebih besar. Sebuah porsi lokal dari gambar besar yang menjelma menjadi warna zaman. Meski diam, takut, atau berbisik-bisik, khalayak desa menyadari sebuah tragedi sedang melanda bangsa ini – dan sebuah aparat negara berada dibaliknya.

Inilah pembantaian manusia terbesar di Nusantara sejak, sebutlah, anak buah Jan Pieterzoons Coen membantai penduduk Pulau Banda, sejak aksi Kapten Westerling di Sulawesi Selatan, sejak Jepang memaksakan Romusha, sejak aksi pemuda terhadap tawanan Belanda di masa yang disebut ‘Bersiap’ 1945-46. Kini, dua dasawarsa setelah merdeka, bangsa ini menjadi korban ketika setengah juta nila tumpah, merusak sebelanga susu republik – yaitu republik hasil perjuangan bangsa itu sendiri.

Dua Zeitgeist

Tiga tahun kemudian, 1968, semasa mahasiswa di Leiden, Belanda, setiap hari saya bersepeda melewati sebuah jembatan-gantung yang ditandai graffiti Soeharto Moordenaar (Soeharto Pembunuh). Di Amsterdam beredar poster bertajuk ‘The Archipelago of Prisons’ (Kepulauan Penjara) terbitan Amnesty International sekitar 1974. Tahun 1968 hingga 1980an pergolakan di Dunia Ketiga mewarnai Eropa. Di Belanda, guru besar sejarah dan sosiologi Asia Prof. Dr. W. F. Wertheim yang memimpin Komittee Indonesie dan majalah Feiten en Meningen, memelopori kajian kritis dan penyadaran masyarakat akan isu kediktaturan dan kekejaman di Indonesia, tepat di saat Belanda memulihkan hubungan dengan Indonesia.‘Terug van weggeweest’ (‘Belanda Kembali lagi ke Indonesia’), begitu istilah sinisnya. Di Paris, semacam Mekkah gerakan mahasiswa tahun 1970an, filsuf Jean-Paul Sartre menyulut kebangkitan cendekia dan perhatian dunia pada Dunia Ketiga. Di Stockholm, filsuf Bertrand Russel menggugah nurani dunia melalui Vietnam War Crime Tribunal (1971) dan mengingatkan bahwa di Indonesia dalam enam bulan jatuh korban sebesar Perang Vietnam dalam beberapa dekade (1954-1975). Sementara pemboman-permadani atas Kamboja melahirkan rezim Khmer Rouge yang tak kalah kejam dengan rezim Orde Baru di Indonesia.

Betapa kontras zaman telah memuncak. Di Dunia Ketiga, rezim-rezim di Asia dan Amerika Latin menemukan ‘solusi’ Perang Dingin dengan jalan pintas berupa kediktaturan militer dan pembantaian massa, di satu pihak, justru ketika di Eropa tuntutan Zeitgeist (warna zaman) menyoal ‘solusi’ semacam itu dan di Amerika masyarakat bangkit menentang Perang Vietnam, di lain pihak. Pada titik itulah orang menohok hipokrisi dunia: percaturan negara (geo-politik) yang mencurahkan perhatian besar terhadap kekejaman rezim komunis ala Khmer Merah di Kamboja, tetapi pada saat bersamaan bungkam tentang pembantaian manusia 1965-1966, yang memukul sayap kiri di Indonesia.[1]

Kejahatan beranak-pinak

Tahun 1990-2000an, konsep ‘Dunia Ketiga’ tadi lenyap dari khasanah publik, narasinya hilang dari wacana dunia, dan tokoh-tokoh tadi telah tiada. Tetapi ‘1965’ masih melekat, merasuki naluri masyarakat, menjadi trauma bangsa, dan kini perlahan tampil di permukaan publik dengan upaya-upaya lokal menggali kuburan-kuburan massal, fakta dan khasanah baru seputar tragedi itu. Pasca-1998, tahun ‘1965’ itu terbit kembali. Ada yang menyebutnya ‘Prahara’, ada yang memilih istilah ‘Holocaust’ dari khasanah Nazi di Jerman 1940an yang lebih mengena bagi Tragedi Besar ‘1965’.[2]

Di pertengahan 1990an itulah seorang pemilik hotel di Kuta berkisah kalem tentang perburuan dan pembunuhan di desanya bagaikan hal keseharian yang wajar saja – tanpa sesal dan pahit. Sehari sebelumnya, seorang supir bus yang membawa saya ke kota Denpasar bercerita serupa dengan semangat kebanggaan seorang jago – juga tanpa sesal dan pahit. Menyesal saya tak merekam cerita mereka. (Bali saat itu tempat transit dalam perjalanan tugas saya ke Timor Timur).

Betapa pun, setidaknya orang mulai bicara – bahkan kepada orang dari luar desa mereka. Gejala-gejala seperti itu menandai suasana zaman saat bintang Sang Jenderal Besar merosot, legitimasi rezimnya mulai goyah, tapi juga saat tragedi-tragedi berdarah yang membuka jalan bagi Orde Baru makin terungkap – bahkan berkepanjangan seperti di Timor Timur dan Aceh.

Di provinsi ke 27 itu, dunia memantau lebih intensif sehingga di akhir pendudukan militer di sana, ketika gelombang kekerasan melandanya selepas jajak-pendapat Agustus 1999, badan PBB UNAMET dapat menyimpulkan bahwa amuk ABRI dan milisi sepanjang paro kedua September menjadi-jadi justru karena mereka kaget dan marah. Bukan saja karena kalah dalam referendum, tapi karena kalah dan menjumpai situasi kebalikan di tahun 1965-66, ketika mereka bisa menghabisi musuh-musuhnya dengan leluasa.[3] Kehadiran ratusan pejabat asing, pengamat asing, LSM dan media dunia menghalangi perburuan massal. Tapi, pada gilirannya, itu mendorong aparat memacu operasi mendeportasi sekitar 200 ribuan warga Tim-Tim ke NTT dalam tempo kurang dari seminggu, dengan mengerahkan truk-truk, kapal dan Hercules. Saya menyaksikannya di kota Dili dan di bandara Comoro.

Di tahun yang sama, akhir 1999, warisan ‘1965’ itu juga membayangi operasi tentara di Aceh. Rumah Geudong, sebuah gedung mewah disewa oleh RPKAD untuk menjadi lokasi pemeriksaan dan penyiksaan.[4] Sementara di desa Jim-Jim, juga di Kabupaten Pidie, seorang ibu bercerita bagaimana tentara merendahkan martabat musuhnya dengan menelanjangi seorang perempuan dan menyuruhnya lari memutari lapangan volley. Tersangka separatis itu menjadi ‘hiburan’ bagi satuan serdadu yang menyaksikannya. Seminggu kemudian, kembali ke Amsterdam, dalam wawancara saya, mantan tokoh Gerwani Ibu Sulami bercerita bagaimana tahanan perempuan ‘dihukum’ lari telanjang mengelilingi sebuah kampung di Solo. Lapangan volley di Aceh 1990an dan kampung di Solo 1970an itu cuma saksi bisu dari penistaan yang sama. Bandingkan dengan ‘pameran’ kepala manusia di Kediri 1965[5] dan foto kepala gerilyawan Fretilin dalam adegan pamer ‘kejayaan perang’ di Tim-Tim 1980an. Sepercik kebuasan yang terwariskan.

Jadi, ‘1965’ adalah tahun yang berkepanjangan. Dia berekor panjang berkat hegemoni politik-ideologis yang memungkinkan impunitas berjalan laju, tapi juga karena mewariskan metode dan juklak-juklak sanksi dan represi. Cara-cara itu bukan monopoli tentara. Manakala perlu, intimidasi pun dilakukan terhadap pers oleh sementara diplomat (saya mengalaminya di Paris dan di Den Haag awal 1990an) dan oleh polisi (Jayapura, Papua, 2000).

Ilustrasi gambar karya Dadang Christanto

Genosida

Walhasil, Tragedi Besar 1965 itu sesungguhnya tak pernah berdiri sendiri. Dia semacam diskursus dan model perilaku yang diprojeksikan ke depan, menjadi pola yang ditularkan ke masa kini. Sebuah induk yang beranak-pinak berkat hegemoni kuasa, arus ideologis, modus siksa, macho dan jagoisme – di Tim-Tim, di Aceh dan di berbagai tempat pelanggaran HAM yang lain.

Sementara ‘1965’ itu sendiri berskala luas, meliputi konsekuensi fisik, psikologis dan material dari genosida, serial pembantaian massal, perburuan, penahanan, pemusnahan, aniaya, kekerasan seksual, penghilangan-paksa, kerja-paksa, perbudakan, pengasingan dirantau (eksil), stigmatisasi dan diskriminasi sosial-politik dan rasial.[6]

Tragedi Besar 1965 itu ibarat matahari tenggelam yang perlahan terbit kembali. Bayang-bayangnya mau tak mau akan tampil – lagi dan lagi – di permukaan, karena ‘1965’ bukan sekadar peristiwa, melainkan rangkaian kejahatan yang bertujuan spesifik namun berdampak luas dan mendalam. Dengan kata lain, Genosida: sebuah proyek dengan muatan niat dan tekad untuk menghabisi suatu kelompok spesifik – kelompok tertuduh-politik – dengan dalih “terlibat” G30S,[7] dan berdampak perubahan sosial dan politik yang luar biasa bagi masyarakat dan negara.

Agak mirip Spanyol pasca-Franco di paro awal 2000, Indonesia pada dasawarsa yang sama menyaksikan upaya-upaya awal untuk memproduksi memori masa silamnya yang kelam – untuk setidaknya mencari kebenaran sejarah – melalui publikasi, film, media, penggalian kuburan massal dan perdebatan tentang isu dan kisah-kisah seputar 1965.[8] Kemudian ada upaya Komnas-HAM dan terobosan Joshua Oppenheimer dengan kedua filmnya – ‘The Act of Killing’ (2012) dan ‘The Look of Silence’ (2014) – yang menggugah kesadaran khalayak di Indonesia dan menjadi momentum baru menjelang setengah abad ‘1965’.[9]

Syahdan, generasi baru datang yang, mau tak mau, akan tampil dengan pertanyaan “apa yang terjadi”, “mengapa, dan bagaimana, bangsa ini melakukan pembunuhan massal dan sejumlah kejahatan terhadap sesama mereka sendiri”, dan “bagaimana mungkin kita selama ini begitu lama mendiamkannya”.

Sebaliknya, kekuatan-kekuatan yang berkepentingan tentu tak tinggal diam. Mereka akan, dan telah, mengancam dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan “mengapa harus minta maaf kepada musuh?” ketika pokok masalah sebenarnya adalah azas keadilan dan reparasi bagi korban.[10] Atau menyerukan stereotip “kalau mereka menang, kami-lah yang akan dibunuh” – persis senada seruan tokoh Nazi Himmler tentang nasib bangsa Jerman yang bakal terpuruk jika kaum korbannya – Yahudi – berkuasa. Di situ sejarah cuma diandaikan belaka, tapi toh ‘if history’ itu menjadi mitos sekaligus perisai yang ampuh.

Semua itu seperti mengatakan bahwa alasan-alasan politik layak menjadi dalih untuk menghabisi nyawa manusia, yang juga sesama warga bangsa, dan sekaligus untuk mengingkari hak-hak sosial-politik mereka yang tertuduh maupun organisasi-organisasi tertuduh yang – padahal – berstatus legal pada saat menjadi korban pembantaian itu.

Dengan begitu, sebuah diskursus yang ditanamkan dengan kuat oleh Orde Baru sejak Oktober 1965, telah beralih menjadi pelindung kepentingan mapan. Mereka menjadi kekuatan-kekuatan yang merintangi upaya keadilan sekaligus tampil melindungi para pelaku yang resah akan kemungkinan terancam sanksi-sanksi politik dan hukum. Dan akan selalu menjauhkan kebenaran sejarah dari kesadaran khalayak luas. Atau, seperti sebagian kalangan di Jerman pasca-PD-II, akan terus menyangkal: “Wir haben es nicht gewusst” (Kami tidak tahu apa-apa).***

Penulis adalah wartawan. Pernah bertugas untuk Radio Nederland Seksi Indonesia (1982-2007), sebagai koresponden di Jakarta (2008-2012) dan menulis di berbagai media.

——————

[1] Di awal 1970an soal pembantaian 1965 mulai hangat dibicarakan di kalangan cendekia di Leiden. Disini Jusfiq Hadjar yang sering mengangkat isu tersebut dalam perdebatan di KITLV dengan Onghokham, Lance Castle, Peter Carey, dll.

[2] Aboeprijadi Santoso, Indonesia’s 1965 Holocaust
remembered, http://www.thejakartapost.com/news/2005/11/14/indonesia039s-1965-holocaust-remembered.html

[3] Geoffrey Robinson di: Aboeprijadi Santoso, What of truth commission for East Timor? http://www.thejakartapost.com/news/2005/01/10/what-truth-commission-east-timor.html

[4] Aboeprijadi Santoso, Of Pain and Humiliation: The Velvet Protests in Aceh, The Jakarta Post 13 Dec. 1999, http://www.library.ohiou.edu/indopubs/1999/12/18/0007.html

[5] Pipit Rochijat, Am I PKI or Non-PKI?, Indonesia, Vol. 40, Okt. 1985, hal. 37-56.

[6] Aboeprijadi Santoso, The 1965 controversy and
need for people’s tribunal, http://www.thejakartapost.com/news/2015/04/16/the-1965-controversy-and-need-people-s-tribunal.html

[7] John Roosa, Pretext for Mass Murder, The September 30th Movement and Suharto’s Coup d’État in Indonesia, 2006.

[8] Aboeprijadi Santoso, A Spanish lesson for Indonesia’s 1965, http://asiapacific.anu.edu.au/newmandala/2014/12/08/a-spanish-lesson-for-indonesias-1965/

[9] Aboeprijadi Santoso, The ‘1965’ killers – What’s    gone ‘wrong’ with Indonesia, https://www.academia.edu/3262094/The_1965_killers_What_s_gone_wrong_with_Indonesia_2013_

[10] Sri Lestari Wahyuningrum,‘Apology for PKI’: Sorry is not the point, http://www.thejakartapost.com/news/2015/08/28/apology-pki-sorry-not-point.html

PERISTIWA 65: KITA ADALAH KORBAN

Peristiwa 65: Kita Adalah Korban

21 January 2013

SAAT menelusuri memori traumatik terbesar dalam kehidupan kolektivitas kita berbangsa, yaitu peristiwa kekerasan massal yang berlangsung pasca 1965, narasi penafsiran kita terhadap peristiwa tersebut seringkali melupakan pertanyaan penting untuk melengkapi historiografi sejarah Indonesia dan  membantu kita menerangi jalan rekonsiliasi antar setiap elemen kebangsaan yang pada masa lalu menjadi aktor sejarah di dalamnya. Pertanyaan penting tersebut adalah apa tujuan politik utama dari kekerasan massal yang mengorbankan 300 ribu-2,5 juta jiwa manusia Indonesia itu?

Memang penelusuran historiografi kekerasan massal pasca 1965 menjadi sesuatu yang masih sumir. Hal ini juga dipengaruhi oleh proses konsolidasi kekuasaan rezim Orde Baru yang membutuhkan pemusatan narasi hegemonik yang menempatkan PKI sebagai pihak yang disalahkan, aktor utama yang merongrong baik kehidupan berbangsa, sendi-sendi dasar Pancasila dan melakukan kejahatan terhadap negara. Seiring dengan runtuhnya kekuasaan Orde Baru dan narasi hegemonik yang melekat dengannya, muncullah narasi-narasi alternatif dalam pembacaan terhadap peristiwa kekerasan massal pasca 1965.

Historiografi Indonesia pasca-reformasi telah menempatkan PKI tidak lagi sebagai aktor antagonis dalam peristiwa tersebut. Bahkan fakta-fakta sejarah mulai dikuak, karya-karya sejarah mulai diterjemahkan dan diperbincangkan, yang banyak di antaranya menempatkan para anggota PKI bukan sebagai pelaku kejahatan, namun sebagai korban dalam peristiwa berdarah tersebut. Salah satu buku yang secara detail melukiskan genosida terbesar dalam sejarah bangsa ini, yang menempatkan PKI sebagai korban, adalah karya yang dieditori Robert Cribb (1990), The Indonesian Killings 1965-1966: Studies from Java and Bali. Sebagai sebuah pencarian atas kebenaran sejarah, pencarian fragmen-fragmen kekerasan dalam peristiwa tersebut adalah penting, meskipun pahit.

Menjatuhkan Soekarno

Memahami peristiwa 65 tanpa melihat latar historis makro-politik terkait tantangan kekuatan internasional yang dihadapi Soekarno, serta rezim politik seperti apa yang terbangun di atas pembunuhan massal pasca 1965, tidak akan membantu kita memahami mengapa peristiwa pembunuhan massal ini harus terjadi atas nama tujuan politik tertentu. Di tengah relatif absennya pertautan antara analisis ekonomi-politik makro seputar era tahun 1960-an dan kekerasan berskala massif yang berlangsung pada era-era tersebut, buku yang dieditori Douglas Kammen dan Katherine McGregor (2012), The Contours of Mass Violence Indonesia: 1965-1968, memberi sumbangan penting bagi perambahan atas jalan baru ini.

Buku ini tidak saja mengulas secara tajam ormas dan elemen politik apa yang terlibat dalam kekerasan tersebut serta bentuk-bentuk kekerasan yang dilakukan terhadap korban, namun menukik lebih dalam pada penjelasan tentang mengapa pembunuhan tersebut harus dilakukan sebagai bagian dari sebuah agenda politik yang lebih besar. Tidaklah cukup memahami prima causa dari pembantaian 1965 semata-mata dari pertarungan ideologi dan gesekan politik ideologi aliran di level domestik pra 1965, misalnya ,antara kekuatan politik santri-Islam dengan PKI. Melampaui pertarungan di level domestik, peristiwa kekerasan 65 menjadi sebuah keharusan politik untuk memulai langkah awal menghancurkan kekuasaan Soekarno beserta basis-basis kekuatan sosial pendukungnya. Di atas puing-puing kehancuran inilah langkah strategis selanjutnya, yaitu merangkul dan mengintegrasikan Indonesia ke dalam ekonomi kapitalisme dunia dengan menempatkan aktor-aktor kekuasaan yang akan memfasilitasinya.

Dari temuan yang muncul dalam karya ini, kita dapat menelusuri pertanyaan selanjutnya: mengapa penjatuhan Soekarno dan penghancuran terhadap basis politiknya menjadi prasyarat bagi Indonesia yang terintegrasi dalam kapitalisme internasional? Seperti diuraikan Bradley R Simpson (2008) dalam Economists with Guns: Authoritarian Development and US Indonesian Relations: 1960-1968, setidaknya ada tigal hal yang menempatkan Soekarno sebagai penghalang kepentingan ekonomi-politik internasional, yaitu pertama, kepemimpinan Soekarno dalam gerakan Non-Blok yang akan membangun kekuatan internasional baru berbasis pada negara-negara Asia-Afrika. Melalui penggalangan kekuatan alternatif dunia ketiga yang kemudian dikenal dengan istilah New Emerging Forces (NEFOs), manuver internasional Soekarno ini dianggap sebagai ancaman utama bagi kekuasaan AS (terutama pada era kepemimpinan Lyndon B Johnson) dan blok kapitalismenya. Apalagi, kritisisme rezim Soekarno yang semakin lama semakin kuat terhadap kekuatan global Amerika Serikat, semakin kencang gemanya melalui identifikasi Soekarno dengan poros Jakarta-Phnom Penh-Hanoi-Peking-Pyongyang.

Kedua, agenda ekonomi terpimpin dan kebijakan subordinasi modal asing dari Soekarno, terutama sejak era demokrasi terpimpin, membuat sulitnya kepentingan ekonomi AS seperti perusahaan minyak AS, misalnya, Stanvac dan Caltex untuk masuk dan mendapatkan laba besar di Indonesia karena syarat-syarat ketat dari rezim Soekarno. Ketiga, wacana persatuan yang dibangun oleh Soekarno dengan menyatukan kaum nasionalis, agama dan komunis bukan semata-mata sebagai gagasan persatuan, namun lebih dari itu juga memisahkan persatuan nasional dengan anasir-anasir anti-revolusioner. Melalui persatuan tersebut, jalan politik Bung Karno secara perlahan mengarah pada politik menuju demokratisasi ekonomi-politik dengan menyatukan kekuatan-kekuatan sosial pendukungnya dalam sebuah blok sejarah. Kesemua alasan tersebut menjadikan semakin solidnya Amerika Serikat pada keputusan penggulingan Soekarno dan basis-basis sosial penopang kekuasaannya sebagai syarat mutlak merangkul Indonesia masuk menjadi bagian dari blok negara-negara pendukung Amerika Serikat. Hal ini dapat dijelaskan melalui rekomendasi Duta Besar AS untuk Indonesia, Marshall Green, yang menyatakan Indonesia mengarah pada komunis dan meminta pemerintah untuk memperkuat hubungan dengan unsur-unsur tentara demi menahan kecenderungan tersebut. Rekomendasi ini kemudian berujung pada tragedi genosida pasca 1965, dan dukungan Amerika Serikat terhadapnya menjadi salah satu upaya destabilisasi politik terhadap pemerintahan Soekarno.

Dukungan Amerika Serikat untuk menjatuhkan Soekarno dan menghancurkan basis sosialnya melalui kesepakatan dengan faksi-faksi politik dan tentara anti-Soekarno, pada awalnya bukan perkara mudah. Temuan jurnal Indonesia terbitan Cornell University edisi 4 tahun 1986 berjudul ‘Reports from East Java’ yang berdasarkan laporan intelijen di daerah, memperlihatkan salah satu problem ketika itu. Pada saat itu, kepemimpinan pusat Nahdlatul Ulama dibawah Rais Aam KH Wahab Hasbullah beserta tokoh mudanya KH Idham Chalid yang pro-Soekarno, menolak tindakan kekerasan massal yang akan dilakukan terhadap kekuatan PKI maupun unsur-unsur Soekarnois.

Hambatan terhadap penghancuran kekuatan sosial pendukung Soekarno dari pucuk pimpinan tertinggi NU ini membuat kekuatan tentara yang sudah mendapat dukungan kebijakan dan material dari Amerika Serikat harus bergerak sendiri ke bawah melakukan komunikasi dengan pemimpin maupun ulama di tingkat lokal. Melalui eskploitasi atas letupan ketegangan lokal antara NU dan kekuatan kiri, mendorong ketegangan di internal NU, serta manipulasi informasi yang dilakukan dengan cara menunjukkan lubang-lubang yang akan disiapkan untuk pembantaian kaum santri, operasi kekerasan dilakukan dengan mem-bypass institusi struktural kepemimpinan NU. Sehingga pada saat itu, dapat dimaklumi apabila proses pembantaian yang berlangsung digerakkan oleh emosi psikologis membinasakan atau dibinasakan.

Dari ilustrasi singkat terhadap konteks pertarungan politik internasional dan domestik serta fenomena pengabaian struktur kepemimpinan dan manipulasi informasi yang disebutkan di atas, maka kita tidak dapat melihat peristiwa tragedi 1965 ini secara sederhana. Problemnya tidak dapat disederhanakan semata-mata pada konflik antara kekuatan santri dan anti-komunis versus PKI dan pendukung Soekarno, di mana salah satu adalah korban dan yang lain adalah pelaku kekerasan. Pemahaman atas narasi sejarah yang memperlihatkan konteks makro pertarungan ekonomi-politik dan konteks mikro momen kekerasan 1965, menunjukkan kepada kita bahwa kita adalah korban. Hanya dengan memahami secara empatik bahwa sebagian besar aktor-aktor domestik yang terlibat dalam konflik adalah korban, di mana sebagian besar ormas menjadi korban dari manipulasi informasi sehingga dimanfaatkan untuk menjadi alat kekerasan oleh negara dan yang lain menjadi korban langsung dari kekerasan tersebut, maka jalan terjal berliku rekonsiliasi nasional dapat kita tempuh dengan alat-alat perjalanan yang kita butuhkan untuk merambahnya.***

Airlangga Pribadi Kusman, Pengajar Departemen Politik FISIP Universitas Airlangga, Kandidat Doktor Asia Research Center Murdoch University

KALTENG DIMASAKRE

by An SJK 005

KALTENG DIMASAKRE
Oleh Kusni Sulang

Perusakan besar-besaran lingkungan Kalimantan Tengah (Kalteng) dimulai pada tahun 1970-an, ketika pemegang HPH masuk dan melakukan pembabatan hutan membabibuta. Masa jaya HPH berlalu, perusakan massif, pada tahun 2000-an dilanjutkan oleh perusahaan-perusahaan besar swasta (PBS) perkebunan kepala sawit melakukan invasi besar-besaran. Invasi perkebunan kelapa sawit (yang masuk diiringi oleh penyerbuan perusahaan-perusahaan tambang batubara, emas, bauksit dll.) membuka lahan perkebunan dengan cara mudah dan murah yaitu dengan membakar lahan dan hutan. Sejak itu bencana kabut asap mulai mendera Kalteng saban kemarau sehingga di samping musim penghujan dan musim kemarau, Kalteng mengenal musim ketiga yaitu musim kabut asap. Oleh kabut asap ini, saban tahun ribuan penduduk menderita penyakit pernafasan ISPA dan disentri. Penyakit lain yang mungkin timbul oleh bencana asap periodik begini, menurut Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes), Kementerian Kesehatan RI, Prof dr Tjandra Yoga Aditama SpP(K) adalah munculnya penyakit kanker yang tak terobati hingga sekarang.
Apabila penduduk Kalteng mendapatkan penyakit kanker oleh bencana kabut asap periodik begini, maka terjadilah kematian massal yang berlangsung pelan-pelan. Karena kabut asap berasal dari ulah pembakar hutan dan lahan, lalu adakah nama lagi bagi para pembakar hutan, terutama PBS-PBS yang membakar lahan dan hutan dalam skala besar-besaran, jika bukan pembunuh. Pembunuhan besar-besaran dalam kata lain dinamakan masakre. Dalam memprotes terjadinya bencana kabut asap Borneo Institut (BiT) Palangka Raya menulis di patung Soekarno yang terletak di depan Gedung DPRD Provinsi: “Your Haze Kill Us” (Asapmu Membunuh Kami). Sedangkan di Sampit yang sering dilakukan rupa-rupa Festival, para pemrotes dengan sinis menyebut bencana asap sebagai “Sampit ISPA Fest15. Mari ISPA Sama-sama . ‘’ Seperti diketahui Kabupaten Kotawaringin adalah salah satu pusat asap di Kalteng, contoh dari keberhasilan dalam menyelenggara Negara di kabupaten tersebut.
Masakre sadis memang sedang terjadi terhadap penduduk Kalteng. Selain dilakukan kabut asap periodik. Di samping terjadi sebagai akibat kabut asap, pembunuhan besar-besaran juga berlangsung sebagai akibat kerusakan lingkungan, terutama sungai-sungai. Sungai-sungai adalah nama baru bagi tong sampah raksasa bagi pembuangan limbah perusahaan sawit dan tambang. Sebelas sungai besar di Kalteng, tidak satu pun yang airnya bisa dikonsumsi penduduk karena bermuatan air raksa melebihi batas ambang kelayakan. Sekali pun demikian, penduduk yang turun-temurun tinggal di tepi sungai, tidak mempunyai pilihan lain kecuali mengkonsumsi air sungai yang sudah terpolusi oleh air raksa (merkuri). Dengan mengkonsumsi airsungai yang mengandung merkuri itu rupa-rupa penyakit akan diidap dan kematian perlahan secara massal sedang berlangsung. Di Kalteng hari ini, tanah, sungai, udara, hutan dan gunung muncul sebagai alat pembunuh dan pembawa petaka di tangan para penganut filosofi hedonisme, seperti politisien pedagang primer.
Bagaimana dan mengapa hal demikian bisa terjadi? PBS baik perkebunan atau pun tambang, tidak mungkin hadir dan beroperasi di Kalteng tanpa sepengetahuan dan seizin penyelenggara Negara berbagai tingkat. Izin tumpang-tindih (salah satu sumber konflik) seperti yang terjadi di Kabupaten Kotawaringin yang disebut berhasil membangun (tugu-tugu!), diberikan oleh penyelenggara Negara. Artinya keadaan seperti di atas terjadi sebagai hasil dari politik investasi, kolusi dan gratifikasi. Oleh sebab itu hutan, perkebunan dan tambang adalah tempat korupsi bersarang. Guru Besar Kebijakan Kehutanan Institut Pertanian Bogor Hariadi Kartodihardjo mengatakan, perubahan kewenangan perizinan hutan dari kabupaten ke provinsi tidak akan menjawab persoalan utama pengelolaan hutan. Buruknya politik perizinan di tingkat kabupaten tidak akan hilang walau kewenangan itu dicabut.“Bukan masalah struktur, melainkan soal jaringan kekuasaan,” kata Hariadi dalam diskusi pakar bertema “Implikasi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah terhadap Pengelolaan Sumberdaya Hutan di Tingkat Daerah” di Hotel Ambhara, Rabu 11 Maret 2015 (Tempo.Co, 13 Maret 2015).
Karena itu masakre perlahan terhadap penduduk Kalteng sekarang penanggungjawab utamanya, akar dari bencana dan masakre ini, bukanlah PBS-PBS tapi penyelenggara Negara dengan pilihan politiknya dan korumpu. Dalam hubungan ini menjadi tanda tanya besar mengapa pihak kepolisian mengalami kesulitan dalam nengaitkan antara pembakar lahan dengan pemilik korporasi’’, (Radar Sampit, 15 September 2015), sementara pihak kepolisian sendiri telah membuat police line di daerah yang dibakar. Pernyataan ini memperlihatkan keengganan menyentuh PBS. Yang disasar adalah wong cilik yang tak berdaya dan lemah daya tawarnya. Sementara yang disebut “Wakil Rakyat” alias DPR hanya berkaok-kaok dan berhenti pada kaok-kaok tanpa nampak upaya lebih jauh menindaklanjuti apa yang diteriakannya. Teriakan tanpa tindak lanjut begini mengesankan bahwa ia atau mereka tidak turut bertanggungjawab.
Tanggungjawab penyelenggara dalam hal kerusakan dan masakre ini pun disebut oleh Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB, Prof Dr Hadi S Alikodra disebabkan ‘’oleh perilaku dan kebijakan pembangunan yang bertumpu pada kepentingan ekonomi sesaat dan mengabaikan fungsi-fungsi ekologi jangka panjang.” (http://www.antaranews.com/berita/495645/kerusakan-hutan-indonesia-nomor-dua-di-dunia). Artinya, bencana kabut asap dan terjadinya masakre perlahan di Kalteng merupakan bagian dan hasil dari pilihan politik pembangunan. Karena itu saya katakan bahwa kemampuan menangani dan menghentikan tidak berulangnya bencana kabut asap merupakan salah satu tolok ukur keberpihakan dan keberhasilan seorang kepala daerah. Dalam kampanye pilkada sekarang, tidak terdengar seorang pun kandidat kepala daerah dan wakilnya yang bicara tentang bencana kabut-asap. Bencana asap yang menyerang secara periodik luput dari mata program dan perhatian.
Perilaku dan pilihan politik atau kebijakan pembangunan para penyelenggara yang umumnya adalah politisien pedagang primer ini ’’ berpangkal dari paradigma scientific forestry yang berkembang pada abad ke-19. Scientific forestry mereduksi hutan sebatas sumber daya. Teritorialisasi hutan dilakukan guna memudahkan pengelolaan. Hutan menjadi lanskap yang dikonstruksi secara politis dan administratif. Negara hadir untuk membuat demarkasi antara hutan dan masyarakat. Negara juga hadir melindungi eksploitasi hutan. Di bawah bayang-bayang scientific forestry hutan terpisah dari masyarakat dan terdistorsi dari pembangunan pedesaan. Alih-alih percaya, negara justru mencurigai rakyatnya. Rakyat mendapat stigma sebagai perusak hutan. Akibatnya adalah konflik, kriminalisasi, kemiskinan, dan pelanggaran hak asasi manusia. Program perhutanan sosial untuk menebus dosa tidak efektif. Salah satunya karena pengakuan hak tidak dituntaskan. Padahal, tanpa pengakuan hak yang kokoh, tidak akan ada insentif rakyat melestarikan hutan.’’ (Myrna Safitri, Direktur Eksekutif Epistema Institut, Jakarta, in: http://print.kompas. com/baca/2015/03/10/Mencari-Perusak-Hutan).
Apabila kita tidak ingin masakre begini berlanjut, penyelenggara Negara patut mengubah pilihan politik investasinya, mengubah perilaku dan paradigma mereka dari pedagang primer menjadi Negarawan merakyat, melaksanakan politik keterbukaan dan memiliki tekad melaksanakannya. Kalau mau dan bertekad, tentu bisa. Ujar Jokowi. Soalnya terletak pada kemauan politik. Di pihak lain, masyarakat sadar terorganisasi patut melakukan perlawanan dan pengawasan. Sebab seperti dikatakan oleh petani Samuda “bahinip kita mati!”. Kalau bahinip, masakre akan berlanjut dengan leluasa. Janji Penjabat Gubernur Kalteng Hadi Prabowo yang ‘’siap mencabut izin perkebunanang membakar lahan hutan di wilayah Kalteng ‘’ (Kalteng Pos, 17 September 2015), patut diawasi karena janji petinggi seperti halnya janji pilkada, sering tidak lebih dari kata-kata kosong. Jangan bahinip! []

Di Sampit, ibukota kabupaten Kotawaringin Timur, salah satu pusat kabut asap, bencana kabut-asap periodik ini dinamakan oleh para mpemrotes sebagai "Sampit ISPA Fest15." Secara sarkastik mereka berkata :"Mari ISPA Sama-Sama".
Di Sampit, ibukota kabupaten Kotawaringin Timur, salah satu pusat kabut asap, bencana kabut-asap periodik ini dinamakan oleh para mpemrotes sebagai “Sampit ISPA Fest15.” Secara sarkastik mereka berkata :”Mari ISPA Sama-Sama”.

 (Foto.Dok. Radar Sampit, 2015).

Bisakah Asap Kebakaran Hutan Menyebabkan Kanker?
JAKARTA- Kebakaran hutan di Sumatera dan Kalimantan sangat mengganggu kesehatan masyarakat setempat. Selain menyebabkan infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), asap kebakaran hutan juga dikuatirkan bisa menyebabkan kanker paru-paru. Hal ini disebabkan setiap tahun terjadi kebakaran hutan yang parah terdampak langsung pada kesehatan masyarakat setempat dalam waktu yang cukup lama.
“Kanker akan terjadi bila terjadi paparan selama bertahun-tahun, paparan yang lama dan terus menerus. Kebakaran hutan biasanya hanya akan terjadi beberapa bulan saja, dan berhenti kalau musim sudah berganti,” demikian Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes), Kementerian Kesehatan RI, Prof dr Tjandra Yoga Aditama SpP(K), MARS, DTM&H, DTCE dari Dili, Timor Leste kepada Bergelora.com di Jakarta, Sabtu (12/9).Menurutnya, karena kebakaran hutan terjadi setiap tahun di daerah Sumatera dan Kalimantan, maka masyarakat terkana ISPA dan menguatirkan kemungkinan dampak kanker pada tubuh masyarakat yang terpapar asap terus menerus.
“Memang, di tahun berikutnya akan terjadi kebakaran hutan lagi di daerah yang sama. Hal ini lah yang menimbulkan pemikiran tentang kemungkinan terjadinya kanker,” ujarnya. Ia menjelaskan bahwa tidak ada hubungan antara kejadian kanker pada manusia dengan asap kebakaran hutan. Sampai sekarang belum ada bukti ilmiah yang nyata yang menghubungkan kanker dengan asap kebakaran hutan.
“Paparan asap kebakaran hutan tidak terus menerus ber tahun-tahun. Ini berbeda dengan paparan asap rokok yang dihisap setiap hari selama 10-20 tahun atau lebih, yang secara ilmiah jelas berhubungan antara kebiasaan merokok dan kanker,” jelasnya.
Ia menjelaskan bahwa berbagai aspek dapat menyebabkan kanker pada seseorang. Misalnya, kalau mereka yang terpapar asap kebakaran hutan itu ternyata juga perokok berat.
“Maka harus dinilai secara mendalam tentang faktor apa yang berperan dalam terjadinya kanker pada orang itu,” ujarnya. [Bergelora.Com, Sabtu, 12 September 2015]

Belajar di Kelas, Belasan Siswa di Pontianak Pingsan Akibat Asap Pekat
PONTIANAK – Kabut asap yang menyelimuti kota Pontianak yang disebabkan kebakaran hutan dan lahan mengakibatkan belasan siswa SMA pingsan saat mengikuti kegiatan belajar mengajar di dalam kelas, Rabu (16/9/2015).
Belasan siswa yang pingsan tersebut merupakan siswa SMK Negeri 5 dan MAN 2 Pontianak.
Salah seorang korban, Lady Planeta, siswa kelas 11 SMKN 5 Pontianak mengungkapkan, saat masuk sekolah pukul 08.00 WIB asap sudah terlihat tebal.
Namun sekitar 20 menit kemudian asap semakin pekat hingga masuk ke ruang kelas. Saat itulah teman-teman Lady satu persatu jatuh pingsan.
“Sebelum pingsan mereka juga keluhkan sakit tenggorokan, kemudian batuk dan sesak nafas. Pada jam 08.30 udara sudah mulai panas, asap masuk ke kelas terus (teman-teman) pada pingsan,” ungkap Lady, Rabu (16/9/2015).
Lady menambahkan, dirinya bersama belasan siswa lainnya langsung dilarikan ke RS Bhayangkara Anton Soedjarwo untuk mendapat perawatan.
Padahal, kata Lady, dia beserta teman lainnya telah menggunakan masker, namun asap pekat memang sangat mengganggu proses belajar mengajar.
“Yang pingsan dari beberapa kelas, ada kelas X dan kelas XI, kita sudah gunakan masker, tapi asap memang tebal,” kata Lady.
Sementara itu, Salasiah, seorang guru MAN 2 Pontianak mengatakan, di sekolahnya terdapat empat siswa yang merasakan sesak nafas hingga pingsan.
Dua siswa ditangani UKS, sedangkan dua lainnya dilarikan ke RS Bhayangkara Anton Soedjarwo lantaran mengalami sesak napas akut.
“Siswa MAN 2 ada empat orang, dibawa ke rumah sakit 2 siswa, dua lainnya di tangani UKS, mereka alami sesak nafas padahal tidak punya riwayat penyakit itu,” ujar Salasiah.
Kepala Dinas Kesehatan Kota Pontianak Handanu mengatakan, belasan siswa yang dibawa ke RS Bhayangkara tersebut telah diperiksa dan hasilnya mereka terkena Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA).
“Ini ada 12 siswa berdasarkan data yang kita terima, anak-anak ini terkena ISPA, dengan keluhan, batuk, sesak dan sakit tenggorokan,” jelas Handanu.
Handanu menambahkan, ada beberapa faktor yang menyebabkan belasan siswa tersebut pingsan.
“Yang pingsan dari beberapa kelas, ada kelas X dan kelas XI, kita sudah gunakan masker, tapi asap memang tebal,” kata Lady.
Sementara itu, Salasiah, seorang guru MAN 2 Pontianak mengatakan, di sekolahnya terdapat empat siswa yang merasakan sesak nafas hingga pingsan.
Dua siswa ditangani UKS, sedangkan dua lainnya dilarikan ke RS Bhayangkara Anton Soedjarwo lantaran mengalami sesak napas akut.
“Siswa MAN 2 ada empat orang, dibawa ke rumah sakit 2 siswa, dua lainnya di tangani UKS, mereka alami sesak nafas padahal tidak punya riwayat penyakit itu,” ujar Salasiah.
Kepala Dinas Kesehatan Kota Pontianak Handanu mengatakan, belasan siswa yang dibawa ke RS Bhayangkara tersebut telah diperiksa dan hasilnya mereka terkena Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA).
“Ini ada 12 siswa berdasarkan data yang kita terima, anak-anak ini terkena ISPA, dengan keluhan, batuk, sesak dan sakit tenggorokan,” jelas Handanu.
Handanu menambahkan, ada beberapa faktor yang menyebabkan belasan siswa tersebut pingsan.
Beberapa siswa yang pingsan tersebut, jelas Handanu, bukan disebabkan karena kurangnya oksigen, namun faktor psikologis dan sugesti setelah melihat kondisi akibat kabut asap.
“Mereka pingsan bukan karena kekurangan oksigen, tapi faktor psikologis. Jadi pingsannya seolah massal, melihat yang lain sesak (napas) ikut sesak. Tapi untuk yang mengalami batuk, sakit tenggorokan, sesak nafas itu benar-benar karena ISPA,” papar Handanu. (TribuneNews.Com, Rabu, 16 September 2015 22:47 WIB)

GAJI ANGGOTA DPR TERBESAR KEEMPAT DI DUNIA, MASIH MINTA NAIK?

Tempo.Co

Gaji Anggota DPR Terbesar Keempat di Dunia, Masih Minta Naik?

Kamis, 17 September 2015 | 08:48 WIB

Gaji Anggota DPR Terbesar Keempat di Dunia, Masih Minta Naik?

Seorang anggota DPR terlihat tertidur saat mengikuti sidang paripurna dengan agenda Pidato Pembukaan Masa Persidangan III Tahun Sidang 2013-2014 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta (15/1). Tempo/Tony Hartawan

TEMPO.CO, Jakarta – Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran menentang kenaikan tunjangan anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Kenaikan tunjangan dirasa tidak pantas di tengah kondisi perekonomian Indonesia yang memburuk.

“Gaji anggota parlemen kita itu terbesar keempat di dunia jika dibanding parlemen negara lain. Masih minta naik?” ujar Sekretaris Jenderal Fitra Yenny Soetjipto saat dihubungi, Kamis, 17 September 2015.

Yenny membeberkan, gaji anggota DPR Indonesia per tahun sebesar Rp 800 juta atau sekitar US$ 65 ribu. Angka ini 18 kali lipat dari pendapatan per kapita penduduk Indonesia per tahun sebesar US$ 3.582.

“Amerika Serikat saja gaji anggota parlemennya hanya 3,5 kali dari pendapatan per kapita penduduk,” ucap Yenny. “Sedangkan Malaysia sekitar US$ 25 ribu.”

Selain itu, tutur Yenny, kenaikan tunjangan anggota Dewan pantas ditolak karena tak sebanding dengan kinerja yang dicapai. Dari 34 rancangan undang-undang yang diharapkan selesai pada 2015, tak satu pun diketok atau disahkan.

“Dalam berbicara tunjangan atau gaji, harusnya anggota Dewan mengutamakan asas keadilan,” kata Yenny. “Bandingkan gaji mereka dengan rakyat yang mereka wakili, jangan dengan menteri atau pejabat negara lain.”

Berikut ini kenaikan tunjangan yang diusulkan DPR dan tunjangan yang disetujui Kementerian Keuangan:

1. Tunjangan kehormatan
a. Ketua badan/komisi: DPR mengusulkan Rp 11,15 juta, disetujui Rp 6,69 juta.
b. Wakil ketua: DPR mengusulkan Rp 10,75 juta, disetujui Rp 6,46 juta.
c. Anggota: DPR mengusulkan Rp 9,3 juta, disetujui Rp 5,58 juta.

2. Tunjangan komunikasi intensif
a. Ketua badan/komisi: DPR mengusulkan Rp 18,71 juta, disetujui Rp 16,468 juta.
b. Wakil ketua: DPR mengusulkan Rp 18,192 juta, disetujui Rp 16,009 juta.
c. Anggota: DPR mengusulkan Rp 17,675 juta, disetujui Rp 15,554 juta.

3. Tunjangan peningkatan fungsi pengawasan
a. Ketua komisi/badan: DPR mengusulkan Rp 7 juta, disetujui Rp 5,25 juta.
b. Wakil ketua komisi/badan: DPR mengusulkan Rp 6 juta, disetujui Rp 4,5 juta.
c. Anggota: DPR mengusulkan Rp 5 juta, disetujui Rp 3,75 juta.

4. Bantuan langganan listrik dan telepon
a. Listrik: DPR mengusulkan Rp 5 juta, disetujui Rp 3,5 juta.
b. Telepon: DPR mengusulkan Rp 6 juta, disetujui Rp 4,2 juta.

INDRI MAULIDAR

KETIDAKPEKAAN ELITE DPR

Tempo.Co

Ketidakpekaan Elite DPR

Jum’at, 18 September 2015 | 00:58 WIB

Fransisca Ayu Kumalasari, Alumnus Fakultas Hukum UGM

Dalam Konferensi Ketua Parlemen Dunia IV yang digelar di New York pada 31 Agustus-2 September 2015, yang kebetulan dihadiri Ketua DPR RI Setya Novanto sebagai panelis, pemimpin parlemen Kenya, J. Muturi, mengatakan banyaknya penyelewengan yang dilakukan sejumlah legislator, seperti korupsi, telah membuat masyarakat makin antipati terhadap parlemen.

Kritik Muturi tampaknya hanya hiasan kata-kata yang membentur dinding. Buktinya, di tengah agenda kenegaraan tersebut, Novanto dan Wakil Ketua DPR Fadli Zon tiba-tiba ikut menghadiri kampanye kandidat Presiden AS dari Partai Republik, Donald Trump. Kehadiran Novanto dan Fadli itu oleh banyak kalangan dianggap melanggar etika. Sejumlah anggota DPR membawa kasus itu ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) karena keduanya dianggap telah melanggar ketentuan yang diatur dalam Pasal 292 Tata Tertib DPR tentang Kode Etik, yang menyebutkan setiap anggota DPR harus menjaga martabat, kehormatan, citra, dan kredibilitas DPR. Bukan hanya itu, kedua pemimpin DPR itu diduga telah melanggar Pasal 1 sampai 6 tentang Kode Etik yang memerintahkan anggota DPR mengutamakan kepentingan bangsa dan negara daripada kepentingan pribadi.

Kenapa melanggar etika? Selain karena pertemuan tersebut bagi publik di luar agenda lawatan DPR, Novanto dan Fadli bertemu dengan calon Presiden Amerika Serikat yang tengah menggalang simpati dan dukungan publik. Dalam video yang bisa kita saksikan di YouTube, pada waktu itu Trump sebenarnya sudah menyelesaikan sesi jumpa persnya yang antara lain membahas bagaimana daya tahan ekonomi AS menghadapi pengaruh ekonomi dari Cina dan bagaimana Amerika Serikat tidak akan terpengaruh.

Setelah turun dari podium, Trump berjalan ke arah kiri, menemui sekumpulan pendukungnya sambil melambaikan tangan. Lalu ia mendekat ke beberapa orang dan disodori selembar kertas. Ia pun kembali lagi ke podium, dan kali ini bersama Novanto. Novanto tampak tersenyum kecil. Dalam momentum itulah Trump memperkenalkan Novanto sembari menepuk pundak Ketua DPR itu: “Hey ladies and gentlemen, this is a very amazing man. He is as you know…the speaker of the House of Indonesia. He’s here to see me, Setya Novanto.” Trump memuji Novanto sebagai “one of the most powerful men and a great man… and his whole group is here to see me today”. Trump lalu menoleh ke Novanto. “And we will do great things for the United States, is that correct?” Kepala Trump mengangguk seolah-olah meminta persetujuan. Novanto tersenyum dan menatap Trump sambil menjawab, “Yes.” Persis di belakang mereka, ada Fadli Zon yang ikut tersenyum.

Dalam pertemuan yang disiarkan langsung oleh televisi Amerika Serikat itu, Trump mengucapkan: “Novanto one of the most powerful men and a great man… and his whole group is here to see me today. And we will do great things for the United States.” Ada dua poin yang patut digarisbawahi. Pertama, Novanto dianggap sebagai orang berpengaruh dan masyarakat Indonesia, menurut Novanto, mencintai Trump.

Ini secara tak langsung menunjukkan bahwa Novanto memakai kehadiran dan posisinya sebagai Ketua DPR untuk mendukung sikap dan kebijakan Trump. Padahal opini Trump kerap kontroversial dan bertentangan dengan prinsip dan nilai-nilai kebangsaan kita. Ia pernah menyebut kaum imigran di Meksio sebagai kaum pemberontak dan pemerkosa. Trump juga adalah raja kasino dan pencetus penyelenggaraan kontes Miss Universe-acara yang diprotes kaum agamawan di Indonesia.

Kedua, kalimat “we will do great things for the United States”, yang terjemahannya “kami akan melakukan banyak hal hebat untuk Amerika Serikat”, membikin kita bertanya. Masak, seorang Novanto disuruh berkomitmen bagi kejayaan AS, atau bahkan untuk seorang Trump? Kepentingan Indonesia di mana posisinya? Meski sebatas kampanye, artikulasi tersebut bisa saja memantik kecurigaan: jangan-jangan ada agenda lain di balik pertemuan tersebut. Apalagi Trump dalam waktu dekat akan berinvestasi di Bali dan Bogor. Ditambah pula bahwa, konon, pertemuan Novanto dan Trump difasilitasi oleh pengusaha Hary Tanoesoedibjo, yang tentu mempunyai kepentingan bisnis. Jika ini benar, tuntutan agar MKD segera memeriksa Novanto dan Fadli menjadi relevan untuk mencari tahu apa motif pertemuan tersebut. Juga meminta pertanggungjawaban Rp 4,6 miliar dana kunjungan yang sangat tidak masuk akal dan penuh pemborosan itu.

Selama ini, DPR selalu disebut-sebut sebagai lembaga yang dipersepsikan terkorup oleh masyarakat-bersama partai politik, lembaga peradilan, dan kepolisian. Ini bukan tanpa alasan. Bayangkan saja, belum satu tahun DPR 2014-2019 bekerja, sudah ada satu anggotanya yang ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi.

Selain itu, DPR tetap mempertontonkan ketidakpekaan nuraninya dengan mengajukan anggaran pembangunan Kompleks Parlemen yang menelan biaya sekitar Rp 1,6 triliun. Pada saat yang sama, Dewan Perwakilan Daerah ingin melanjutkan rencana membangun kantor perwakilan di daerah yang tentu saja makan dana tak sedikit.

Padahal masyakat saat ini sedang bersedu-sedan, terutama karena efek perlambatan ekonomi. Gelombang pemutusan hubungan kerja serta kenaikan harga bahan pokok pun mulai merebak di mana-mana. DPR mestinya lebih menyuarakan pergumulan rakyat ketimbang menghitung-hitung kepentingannya sendiri. Inilah gejala demokrasi yang ke-PD-an, saat para politikusnya berlomba-lomba berbuat sesuatu karena merasa memiliki kebebasan untuk melakukan apa saja, termasuk mengajukan anggaran irasional, studi banding ke mana dan tentang apa saja, bebas bertemu dan “berdiplomasi” dengan siapa dan tentang apa saja, tanpa peduli muruah bangsa.

Padahal, menurut Nurcholis Madjid, salah satu tatanan yang berguna untuk memperkuat bangunan demokrasi ialah kebebasan nurani, juga persamaan hak dan kewajiban bagi semua orang (egalitarianisme). Nurani harus menjadi patokan mutlak dalam bersikap agar nilai egalitarianisme dapat diwujudkan.[]

ASAPMU MEMBUNUH KAMI

Protes Masyarakat Kalteng Terhadap Kabut Asap Periodik

Patung Soekarno yang terletak di kawasan Tugu Soekarno Palangka Raya diberi masker mengurangi dampak bencana asap (Foto.Dok. Lembaga Kebudayaan Dayak Kalimantan Tengah/Andriani.S. Kusni)
Patung Soekarno yang terletak di kawasan Tugu Soekarno Palangka Raya diberi masker mengurangi dampak bencana asap (Foto.Dok. Lembaga Kebudayaan Dayak Kalimantan Tengah/Andriani.S. Kusni)
Di landasan patung Soekarno, ditempelkan kata-kata protes: "Your Haze Kill Us" (Asapmu Mrmbunuh Kami). [Foto.Dok. Lembaga Kebudayaan Dayak Kalimantan Tengah/Andriani S.Kusni, 2015)
Di landasan patung Soekarno, ditempelkan kata-kata protes: “Your Haze Kills Us” (Asapmu Mrmbunuh Kami). [Foto.Dok. Lembaga Kebudayaan Dayak Kalimantan Tengah/Andriani S.Kusni, 2015)
Di Sampit, ibukota kabupaten Kotawaringin Timur, salah satu pusat kabut asap, bencana kabut-asap periodik ini dinamakan oleh para mpemrotes sebagai "Sampit ISPA Fest15." Secara sarkastik mereka berkata :"Mari ISPA Sama-Sama".
Di Sampit, ibukota kabupaten Kotawaringin Timur, salah satu pusat kabut asap, bencana kabut-asap periodik ini dinamakan oleh para mpemrotes sebagai “Sampit ISPA Fest15.” Secara sarkastik mereka berkata :”Mari ISPA Sama-Sama”.

by An SJK 005

Patung Soekarno dipasangkan masker.(Foto.Dok.Lembaga Kebudayaan Dayak Kalimantan Tengah/Andriani ,

KEDUDUKAN TANPA KEHORMATAN

Kedudukan Tanpa Kehormatan
Oleh: Yudi Latif

Banyak orang mencari kehormatan dalam gelar dan jabatan tanpa memenuhi nilai-nilai prinsipil dan tanggung jawab dari kedudukannya. ”Aib terbesar,” kata Juvenalis, ”ketika kamu lebih mementingkan kehidupan ketimbang harga diri, sementara demi kehidupan itu sendiri engkau telah kehilangan prinsip-prinsip kehidupan.”

Sutan Sjahrir, salah seorang negarawan- pemikir terbaik bangsa ini, sejak lama meri- saukan fenomena seperti itu. Dalam catatan harian dari balik penjara, dengan nama sa- maran Sjahrazad, yang dibukukan dalam Renungan Indonesia, Bung Sjahrir menulis, ”Bagi kebanyakan orang-orang kita ’yang bertitel’—saya pakai perkataan ini akan pengganti ’intelektuil’, sebab di Indonesia ini ukuran orang bukan terutama tingkat penghidupan intelek, akan tetapi pendidikan sekolah—bagi ’orang-orang yang bertitel’ itu pengertian ilmu tetap hanya pakaian bagus belaka, bukan keuntungan batin. Bagi mereka ilmu itu tetap hanya suatu barang yang mati, bukan hakekat yang hidup, berubah-ubah dan senantiasa harus diberi makan dan dipelihara.”

Masalah kegilaan pada titel (gelar) tanpa kedalaman ilmu, yang dicatat Bung Sjahrir pada 20 April 1934 itu, situasinya tidak tam- bah membaik, bahkan memburuk. Upaya peningkatan mutu sumber daya manusia hanya dilandaskan pada tingkat pendidikan formal, bukan pada penyediaan ekosistem yang baik bagi pengembangan olah budi, olah cipta, dan olah karsa (kreativitas). Perolehan ijazah lebih dikedepankan daripada penguasaan ilmu. Guru-guru dipersyaratkan setidaknya menamatkan S-2, tanpa dihiraukan peningkatan kapasitas pedagogisnya.

Seiring dengan itu, gelar-gelar akademis dikejar banyak orang sebagai pelengkap jabatan. Makin banyak politisi mengambil studi pascasarjana, tetapi makin sedikit yang menjalani sungguh-sungguh dengan motif pendalaman ilmu. Lebih parah lagi, kecenderungan itu melanda dunia akademisi juga. Banyak dosen/peneliti memburu gelar profesor tanpa merasa perlu mempertanggungjawabkan mutu keilmuannya sebagai guru besar. Betapa banyak profesor tidak dikenal apa karyanya.

Kegilaan banyak orang juga berlangsung dalam perlombaan mengejar jabatan kenegaraan. Ketika kekaguman pada ”nama-nama besar” mulai pudar akibat kemerosotan wibawa pusat-pusat teladan, banyak orang mengalihkan kekagumannya pada diri sendiri (self-glorification). Hanya berbekal penampilan, gemar blusukan, atau berkantong tebal, seseorang sudah merasa pantas menjadi pejabat teras di negeri ini.

Berbagai cara dilakukan orang untuk meraih kedudukan. Namun, tatkala kedudukan itu diraih, mereka tak sungguh-sungguh menyadari bahwa dirinya pejabat yang harus melindungi kehormatannya. Menjadi pejabat negara semestinya mensyaratkan kondisi kejiwaan berbeda dengan menjadi pengusaha. Di bisnis, keberhasilan dilihat dari kesanggupan dalam mendatangkan keuntungan bersifat pribadi. Dalam politik, keberhasilan diukur dari keberhasilan seseorang dalam memberikan pelayanan publik.

Oleh karena itu, pencapaian jabatan poli- tik lebih dari sekadar pencapaian karier pribadi, tetapi juga mengemban pencapaian kepentingan kolektif di pundaknya. Maka, dalam tindak tanduknya, pejabat negara harus mempertimbangkan marwah dan harga diri bangsa. Perilaku dan pilihan-pilihan pejabat negara dibatasi oleh tugas pokok dan fungsinya. Berkunjung ke luar negeri untuk me- ngunjungi pusat-pusat perbelanjaan, ber-selfie ria, bertemu pengusaha terkenal, bahkan menghadiri kampanye politik, bukan sesuatu yang tidak terpuji dalam konteks perseorangan. Akan tetapi, bisa bermasalah jika hal itu dilakukan pejabat negara. Setiap pejabat negara pada dasarnya bertindak mewakili rakyatnya dan harus menyadari dalam bidang apa dia mengemban mandat rakyatnya itu. Pimpinan DPR tentu mewakili rakyat dalam legislatif, bukan dalam urusan menarik investasi dari luar negeri.

Perpaduan antara kegilaan atas gelar dan jabatan tanpa kedalaman ilmu, rasa malu, dan kehormatan membuat negara ini mengalami defisit kemuliaan dan surplus kehinaan. Perhatian negarawan mulia adalah apa yang dapat diberikan untuk negara. Kebesaran jiwa mereka membuatnya tak mencari jabatan dan tak takut kehilangan jabatan. Adapun perhatian politisi terhina adalah apa yang dapat diambil dari negara. Kekerdilan jiwa membuat mereka berlomba mengejar jabatan dan dengan segala cara manipulatif berusaha mempertahankannya.

Benar juga kata George Bernard Shaw, ”Titel/jabatan memberi kehormatan kepada orang-orang medioker, memberi rasa malu bagi orang-orang superior, dan diperhinakan oleh orang-orang inferior.” Gemuruh para petaruh di bursa pencari jabatan pertanda pos-pos kenegaraan diisi orang-orang medioker. Derasnya umpatan, sinisme, dan ketidakpercayaan publik kepada lembaga-lembaga kenegaraan menyiratkan bahwa pos-pos kenegaraan dipimpin orang-orang inferior.

Para pemimpin inferior yang menggan- tungkan pengaruhnya pada jabatan dan gelar semata, bukan berlandaskan kewibawaan yang berjejak pada kapasitas, integritas, dan pemenuhan amanah publik, tidaklah bisa berumah di hati rakyat. Pemimpin ada kalau mereka hadir dalam alam kesadaran dan penderitaan rakyat. Bung Karno mengatakan, ”Mereka seharusnya belajar bahwa seorang tidak dapat memimpin massa rakyat jika tidak masuk ke dalam lingkungan mereka…. Demi tercapainya cita-cita kita, para pemimpin politik tidak boleh lupa bahwa mereka berasal dari rakyat, bukan berada di atas rakyat.” Secara retoris, Bung Karno juga mempertanyakan, ”Berapa orangkah dari alam pemimpin Indonesia sekarang ini yang masih benar-benar ’rakyati’ seperti dulu, masih benar-benar ’volks’ seperti dulu?” []

KOMPAS, 15 September 2015
Yudi Latif | Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia; Pendapat Pribadi

KALAU “TRAWL” DILEGALKAN, MENTERI SUSI MEMILIH MUNDUR

 

Kalau “Trawl” Dilegalkan, Menteri Susi Memilih Mundur

Senin, 7 September 2015 | 17:13 WIB
Indra Akuntono/KOMPAS.com Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti

JAKARTA, KOMPAS.com — Menteri Kelautan dan Perikanan (MKP) Susi Pudjiastuti memilih mengundurkan diri dari jabatannya saat ini daripada membiarkan penggunaan alat penangkap ikan (API) pukat hela (trawl) dilegalkan. Pernyataan itu dia sampaikan di depan anggota Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI). “Tapi, kalau arad (alat tangkap ikan jenis trawl) ditarik sama kapal 100-200 GT, dibawa pakai pemberat begitu, ditarik dua perahu, apalagi sepanjang 50 kilometer, serem Pak. Kalau saya diharuskan gitu, saya resign Pak dari pekerjaan saya,” ujar Susi di Kantor Kementerian Kelautan dan Perikanan, Senin (7/9/2015).

Lebih lanjut, Susi menjelaskan, pengunaan trawl oleh kapal-kapal besar selama ini memiliki efek yang dahsyat terhadap ekosistem bawah laut. Kerusakan parah akan jelas terlihat setelah alat tangkap itu digunakan. “Karena lihat kerusakannya itu luar biasa. Makin efektif alat tangkap itu makin kejam sama ekosistem,” kata dia.

Bahkan, lanjut Susi, apabila trawl ditarik dengan menggunakan kapal 800 GT dengan luas 100 kilometer, dipastikan kerusakan ekosistem bawah laut akan lebih parah.

Sebelumnya, Susi memastikan penggunaan alat penangkapan ikan jenis trawl atau pukat atau cantrang tak lagi diperbolehkan. Aturan tersebut diatur dalam Permen KP No 2/PERMEN-KP/2015 tentang Larangan Penggunaan API Pukat Hela (Trawls) dan Pukat Tarik (Seine Nets) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia. Andai pemerintah daerah ingin memberikan izin kepada kapal nelayan di atas 30 GT, kapal tersebut hanya bisa beroperasi di bawah 12 mil, wilayah yang menjadi otoritas provinsi. Pasalnya, Susi mengatakan, nelayan di daerah lain tidak ingin wilayah perairannya dirusak karena pengunaan alat tangkap ikan yang tidak ramah lingkungan itu.[]

DEMOCRACY, CORRUPTION AND TJHE POLITICS OF SPIRIT IN CONTEMPORARY INDONESIA

Inside Indonesia

Review: Democracy, corruption and the politics of spirits in contemporary Indonesia

Elections in Indonesia. Credit: Josh Estey. Australian Department of Foreign Affairs and Trade.

Nicholas Long

Nils Bubandt has hit upon an ingenious idea. Indonesian politics is profoundly intertwined with what he calls ‘the spirit world’. He defines this broadly, to include unseen energies and forces ranging from jin and ancestral spirits, to prophetic visions, sorcery and perhaps even the human zest for democratic reform. The brilliance of this book stems from Bubandt’s realisation that studying these interconnections can transform our understandings of both politics and spirits.

Bubandt does two things in his book. He develops a compelling analysis of the contemporary Indonesian fascination with spirits, which he argues should be seen as a ‘political effect’. More innovatively still, he suggests that spirits provide a powerful lens through which to better understand the paradoxical character not just of Indonesian democracy, but of democracy itself.

Leading characters

The book is structured around the ‘political biographies’ of four characters that Bubandt encountered during his fieldwork in North Maluku and East Java. Each have an interesting and engaging story. The book opens by introducing us to Kyai Muzakkin, the owner of an Islamic boarding school for spirits. Muzakkin sent a thousand spirits to protect an anti-corruption demonstration from the actions of ‘free-riders’ that he feared might be using it to destabilise the government. Bubandt discusses Muzakkin’s motives and the variety of online reactions to his intervention.

Bubandt then shifts focus to North Maluku, where we meet a range of characters beginning with Pak Muhammad, a parliamentary candidate slain by suspected sorcery. Readers also meet the (recently deceased) Sultan of Ternate, said to be simultaneously a human and a spiritual being, as he plans to stand for election as governor. But his ambitions are thwarted, and the narrative begins to resemble a political thriller as we follow the twists and turns of the legal battles surrounding the election.

However, it is the final account of Hajjah Nur, a prophet with the ability to ‘see directly into the spirit world’, which readers may find most satisfying. Her story pulls together many of the arguments developed earlier in the book, combining them with absorbing insights into North Malukan society. At its heart is a prophecy about the Sultan of Jailolo. This is a mythical figure said to have magically vanished from the earth in the sixteenth century but long predicted to return and rule as a Just King. In 2001 a controversial local politician, Abdullah Sjah, was appointed Sultan of Jailolo. However, Hajjah Nur claims the spirits have revealed that another man is the real Sultan. The prophecy follows: if he is recognised as such, untold riches will spring forth from the ground. If he is not, then North Maluku will be destroyed.

Part of what makes the chapter so fascinating is the vibrancy of Hajjah Nur’s political imagination. She describes how Sukarno was himself a spiritual being who made an agreement with the Sultan of Jailolo that Indonesia should become independent and that Sukarno should take the Presidency. As such, Indonesia’s very independence – not to mention its transition to democracy under the rule of Sukarno’s daughter, Megawati – are seen as being profoundly intertwined with the North Malukan spirit world and infused with the promise of Just Rule.

Bubandt guides us through the complex material with remarkable deftness, concluding that Hajjah Nur’s prophecy should be seen as an attempt to bring about Just Rule in an age of democracy where ‘good governance’ is conspicuously absent. He suggests that her turn to the ‘spirit world’ is an attempt to make up for democracy’s shortcomings; to sustain faith in its promise despite its failure to meet expectations. Given the murky picture that he paints of North Maluku’s provincial politics, the argument seems compelling. It serves as powerful evidence for his more general claim that spirits should be understood as ‘political effects’. However, what marks his analysis out as a particularly original – and doubtless controversial – contribution to the literature on Indonesian democracy is his claim that these shortcomings are inherent to democracy itself.

Dysfunctional democracy

Much of the book is devoted to exploring this ‘paradoxical’ quality of democracy, an analysis in which the spirit world serves as a potent metaphor. Politics in North Maluku, for example, is shown to be safeguarded by ancestral spirits, who impose punishing curses called katula on those who commit transgressions. Bubandt suggests that the mysterious and unaccountable spirit world finds an earthly parallel in the legal regulation provided by a non-transparent and corruptible Constitutional Court: an institution that epitomises the rule of law.

An even closer parallel is drawn in Bubandt’s comparison between corruption and sorcery. Both, he argues, are seen by his informants as dangerous forces that are inimical to a properly functioning democracy. And yet because they are such widespread dangers, aspiring politicians must take measures to protect themselves from their ravages. For potential sorcery victims, this means seeking out protective magic – but this is a questionable practice because magical defences can themselves give rise to sorcerous injury. Similarly, politicians might seek out alliances of mutual help so as to protect themselves in a corrupt field of political alliances, but in doing so they inadvertently perpetuate corruption and collusion.

The provocative conclusion – that the prevalence of corruption, sorcery, and other murky practices are in fact integral to democracy’s successful reproduction – is one of the book’s most challenging but exciting contributions. This flies in the face of normative assumptions that corruption is inimical to democracy, raising difficult questions about what we actually mean by democracy’s ‘consolidation’. No wonder, then, that the shame corruption engenders in Indonesians is said to be similar to that provoked by Kyai Muzakkin’s spirits. Neither is supposed to have any place in the modern world and yet they are felt to be intractable, and ‘somehow essential’ to contemporary Indonesia.

Bubandt’s achievements are twofold. Not only has he managed to capture in a nuanced and engaging fashion the complex structures of feeling that surround Indonesian democracy, he also provides an exciting new way in which to study Indonesian politics. Rather than lamenting democracy’s dysfunctionality, he encourages us to look at the ways in which dysfunction is productive, sustaining political systems and animating contemporary political imaginations.

While this is exciting stuff, some of its implications need more extensive analysis than has been possible within this relatively slender volume. Bubandt suggests, for example, that his analysis might prove illuminating for the study of democracies beyond the Indonesian case. Yet while it is true that most, if not all, contemporary democracies fall short of their promise and could thus be seen as ‘paradoxical’ or ‘dysfunctional’, without a more detailed comparative discussion it is impossible to adjudicate whether the structure of democratic dysfunction is always the same. Certainly democracy’s reception by citizens appears to vary widely between settings. Indeed this is a dimension of the Indonesian case that could have been explored in more detail.

While Bubandt provides a subtle and penetrating analysis of the ambivalent attitudes Indonesians hold towards the spirit world, their attitude to political corruption is presented in relatively broad brush-strokes. In my own experience, Indonesians can have quite complex moral theories regarding corruption, accepting some instances as necessary evils, whilst decrying others as excessive and shameful abuses of power. Exploring when and why dysfunction proves unacceptable to citizens and when and why it can be tolerated thus seem to be at least as important as understanding the dysfunction itself.

Yet the book’s more limited focus makes sense given what Bubandt is seeking to achieve. In the final pages of its conclusion he explains his frustration with the tendency in Indonesian studies to present corruption, elitism and patrimonialism as ‘legacies’ of the New Order, rather than appreciating the ways in which they are generated and sustained by democracy’s own internal contradictions. He recommends we begin developing ‘post-post-Suharto’ modes of analysis. While such phrasing risks underplaying the role that memories of Suharto may play in the highly charged political affect surrounding ‘democracy’ and ‘corruption’ in Indonesia, Bubandt is quite right that the mechanisms sustaining such affect emerge from the present and need to be understood in their own terms. As such, he has set an important agenda for future studies of Indonesian politics.

Bubandt, N. (2014) Democracy, Corruption and the Politics of Spirits in Contemporary Indonesia. Abingdon & New York: Routledge.

Nicholas Long (n.j.long@lse.ac.uk) is an Assistant Professor of Anthropology at the London School of Economics and Political Science. 

Inside Indonesia 121: Jul-Sep 2015