“THE ACT O F KILLING” – “JAGAL”

“THE ACT O F KILLING” – “JAGAL”

nasionalist@On Saturday, 18 January 2014, 19:28, Chan CT <SADAR@netvigator.com> wrote:
Kolom IBRAHIM ISA
Sabtu, 18 Januari 2014
—————
Sekitar “NOMINASI OSCAR” Film
“THE ACT O F KILLING” – “JAGAL”

Tadi malam aku “share” artikel yang ditulis sahabat karibku Max Lane di “Facebook”, sekitar nominasi Oscar Award untuk film karya Joshua Oppenheimer:”The Act of Killing”. Pada bulan Mei tahun lalu telah kutulis lagi kolom sekitar film “The Act Of Killing”, bagaimana tanggapan a.l media Belanda (De Volkskrant). Tulisan tsb dikutip kembali di bawah ini.

Respons Sutradara/Produser film, Joshua Oppenheimer, terhadap nominasi a.l. Sbb:
“Diplihnya film Jagal dalam nominasi piala Oscar adalah sebuah kehormatan besar bagi kami, para awak film Indonesia karena hal ini adalah sebuah pengingat atas segala yang terlupakan dan disembunyikan sepanjang sejarah gelap kemanusiaan.

“Di Indonesia, kami berharap bahwa nominasi ini menjadi pengingat bagi khalayak luas bahwa kebenaran belum lagi diungkapkan, keadilan belum lagi ditegakkan, permintaan maaf belum lagi dikatakan, korban belum direhabilitasi–apalagi mendapatkan kompensasi. Diskriminasi terhadap para penyintas dan keluarga korban masih berjalan, sementara sejarah yang diajarkan di sekolah masih bungkam mengenai kekejaman–bahkan menggambarkan pembantaian yang kejam terhadap mereka yang dituduh komunis itu sebagai perjuangan heroik. Semoga nominasi ini mengingatkan kita semua bahwa salah satu arsitek pembantaian massal masih mungkin akan diangkat sebagai pahlawan nasional tahun ini.

Semoga film ini dan nominasinya mengingatkan kita semua bahwa semua hal tersebut dibuat agar rakyat menjadi lumpuh dalam ketakutannya, sehingga rakyat banyak tak berani dan tak bisa berbuat banyak untuk menggugat korupsi yang menjalar ke seluruh penjuru di segala bidang.

Kami berharap nominasi ini akan mengingatkan kita, umat manusia di dunia, untuk selalu melawan lupa.
* * *

|Max Lane menutup artikelnya dengan analisis dan anjuran penting bagi pembca sbb:
“Menjawab pertanyaan ini ( . . bagaimana mungkin sebuah elit lumpen bisa menguasai negeri seperti Indonesia?) mungkin pekerjaan yang akan digarap di film-film berikutnya atau, kalau tidak, akan digarap oleh semua kita yang ingin terjadi perubahan progresif di Indonesia.

“Kalau anda belum menonton film JAGAL (THE ACT OF KILLING), menontonlah! Ajak orang lain juga untuk menonton. Kalau marah dan kecewa tentang dimana kemanusiaan Indonesia – jangan lupa, kalau begitu, membaca (atau membaca kembali) Kartini, Raden Mas Tirto Adhisuryo, Sukarno dan novel-novel sejarah Pramoedya Ananta Toer. Namun, tentu saja, membaca saja tidak cukup..
* * *
Di bawah ini, adalah artikel Max Lane selengkapnya:
Film JAGAL (THE ACT OF KILLING)
Oleh Max Lane, 17 Jan 2014

Film JAGAL (THE ACT OF KILLING) yang disutradarai oleh Joshua Oppenheimer bersama Anonymous sudah masuk daftar nominasi untuk Academy Award. Saya tidak percaya kepada penghargaan-penghargaan seperti itu, tetapi saya berharap fim ini akan menang. Kalau menang profil film ini dan pesan-pesannya akan lebih membesar dan akan menjangkau penonton lebih luas.

Film ini memperlihatkan dengan sangat tajam dan hidup, serta tepat dan benar, sifat lumpen dari elit yang berkuasa di Indonesia sejak kontra-revolusi 1965. Secara meyakinkan film ini membuktikan kebenaran berbagai kesaksian dari korban kekerasan 1965-68 tentang pembunuhan, banjir darah dan kekejaman yang mereka alami. Film ini membuktikannya dengan cara menyajikan pengakuan dari para pembunuh itu sendiri. Orang-orang yang bersolidaritas dan bersimpatipun dengan para korban mungkin terkadang berpikiran bahwa para korban melebih-lebihkan ceritanya – ternyata tidak.

Tetapi mungkin yang lebih penting ialah bahwa film ini dengan tajam menggambarkan betapa majoritas elit yang berkuasa sejak 1965 sampai hari ini bersifat lumpen. Gambaran realitas ini adalah sangat penting karena membuat semakin jelas bagi kita bahwa perubahan progresif di Indonesia harus datang dari luar elit ini, dan justeru akan bertentangan dengan mereka. Perubahan harus dimotori oleh kekuatan baru dan segar dari bawah. Dahsyatnya sifat lumpen – kebrutalan dangkal dan ketiadaan-kemanusiaan – kadang-kadang tampil seolah-olah “surreal” (seolah-olah dari sebuah dunia ghaib) tetapi yang digambarkan bukan adegan dari dunia ghaib melainkan dari atas bumi ini. Ini adalah kehebatan dari film ini: sutradaranya bisa menemui dan kemudian menggambarkan keghaiban yang nyata ini dengan menyakinkan. Kehebatan kedua dari film dan sutradaranya ialah bahwa mereka bisa menemukan dan kemudian bisa merebut sebuah kedekatan dengan para penjagal-penjagal di film ini – ini sebuah kesanggupan antropologis yang harus sangat dihargai.

Kelemahan atau keterbatasan dari filmnya ialah bahwa tidak ada penjelasan ataupun petunjuk simbolispun tentang bagaimana mungkin sebuah elit lumpen bisa menguasai negeri seperti Indonesia? Asal-usul, sebab atau ‘bagaimana’nya juga merupakan bagian tak terpisahkan dari realitas dalam menggambarkannya. Tetapi keterbatasan ini mungkin juga adalah hasil tak terhindarkan dari proyek film yang memang fokus secara mendalam dalam menggambarkan satu aspek dari semua proses, yaitu mentalitasnya manusia yang menjadi alat dari elit lumpen yang sedang dan sudah merebut kekuasaan.

Tak apa. Menjawab pertanyaan ini mungkin pekerjaan yang akan digarap di film-film berikutnya atau, kalau tidak, akan digarap oleh semua kita yang ingin terjadi perubahan progresif di Indonesia.

Kalau anda belum menonton film JAGAL (THE ACT OF KILLING), menontonlah! Ajak orang lain juga untuk menonton. Kalau marah dan kecewa tentang dimana kemanusiaan Indonesia – jangan lupa, kalau begitu, membaca (atau membaca kembali) Kartini, Raden Mas Tirto Adhisuryo, Sukarno dan novel-novel sejarah Pramoedya Ananta Toer. Namun, tentu saja, membaca saja tidak cukup..
* * *

Di bawah ini a.l di Kolom Ibrahim Isa yang ditulis pada 23 Mei 2013, sbb:
Film Dokumenter “THE ACT OF KILLING”

Tiap hari Kemis, salah satu s.k nasional Belanda yang terbesar, “de Volkskrant”, memuat resensi film-film baru.
* * *

Terdapat enam halaman penuh rubrik resensi film tsb. Antara lain megomentari film thrilleryang dibintangi a.l oleh Robert Redford, “The Company You Keep”. Film itu diberi nilai 3 bintang. Tapi, film cerita-dokumentar produksi Joshua Oppenheimer, “The Act of Killing”, diberi nilai lima bintang. Dan jumlah ruangan bioskop yang mentayangkannya ada – 75. Film dengan Robert Redford sebagai peran utama itu diputar hanya di 5 ruangan zaal (ruangan cinema).

Penulis resensi “The Act of Killing”: Bor Beekman, memberitakan bahwa film “The Act of Killing” sudah dipertunjukkan awal tahun ini di sebuah festival film international “Movies That Matter”” , “Film yang berbobot”. Resensi yang ditulisnya singkat saja. “Not bad”, kata orang Inggris.
* * *

Film “The Act of Killing” telah menggondol banyak Award international . Antara lain: “Panorama Audience Award” dan “Prize of the Ecumenical Jury” di Festival Film International Berlin.

Di Festival Dokumenter Madrid baru-baru ini “The Act of Killing” merebut kemenangan ganda, memperoleh “Jury Award” dan “Audience Award” sebagai film cerita-dokumenter terbaik.

Menarik untuk mengetahui bahwa film “The Act of Killing” diputar sedikitnya di 13 kota Belanda, seperti Amsterdam, Breda, Den Bosch, Den Haag, Deventer, Groningen, Haarlem, Hoorn, Maastricht, Nijmegen, Rotterdam, Tilburg dan Utrecht. Dan itu semua di bioksop umum.

Coba bandingkan dengan negeri kita, Indonesia. “The Act of Killing”, yang telah menjadi buah bibir (pujian) publik internasional . . . . di Indonesia masih belum bisa diputar terbuka untuk umum. Menurut infornasi yang bisa diandalkan, untuk mempertunjukkannya terbuka dimuka umum, harus melewati PANITIA SENSOR. Bisa dipastikan bila diajukan kepada Panitia Sensor, permintaan izin merilis film “The Act of Killing”, itu bisa nyangkut di situ. Dan entah berapa lama harus menanti sampai izinnya keluar.
* * *

Kiranya banyak yang sudah mendengar, meliha sendiri atau membaca bagaimana isi ceritera film dokumenter “The Act of Killing”.

Baik kita baca ringkasan yang dimuat oleh salah sebuah media mancanegara. Dokumenter ini adalah wawancara dari sejumlah pelaku pembunuhan orang-orang PKI, diduga atau sipatisan PKI. Kejadian itu berlangsung di tahun 1965-1966 di Sumatera Utara.
* * *

“Begitu PKI dibubarkan oleh TNI tahun 1965, Anwar Congo dan kawan-kawan “naik pangkat” dari preman kelas teri pencatut karcis bioskop menjadi pemimpin pasukan pembunuh. Mereka membantu tentara membunuh lebih dari satu juta orang yang dituduh komunis, etnis Tionghoa, dan intelektual, dalam waktu kurang dari satu tahun. Sebagai seorang algojo dalam pasukan pembunuh yang paling terkenal kekejamannya di Medan, Anwar telah membunuh ratusan orang dengan tangannya sendiri.
“Hari ini, Anwar Congo dihormati sebagai pendiri organisasi paramiliter sayap kanan Pemuda Pancasila (PP) yang berawal dari pasukan pembunuh itu. Organisasi ini begitu kuat pengaruhnya sehingga pemimpinnya bisa menjadi menteri, dan dengan santai menyombongkan segala macam hal, dari korupsi dan mengakali pemilu sampai melaksanakan genosida.

“Dalam “Jagal”, para pembunuh bercerita tentang pembunuhan yang mereka lakukan, dan cara yang mereka gunakan untuk membunuh.

“Tidak seperti para pelaku genosida Nazi atau Rwanda yang menua, Anwar dan kawan-kawannya tidak pernah sekalipun dipaksa oleh sejarah untuk mengakui bahwa mereka ikut serta dalam kejahatan terhadap kemanusiaan. Mereka justru menuliskan sendiri sejarahnya yang penuh kemenangan dan menjadi panutan bagi jutaan anggota PP.

“Jagal” adalah sebuah perjalanan menembus ingatan dan imajinasi para pelaku pembunuhan dan menyampaikan pengamatan mendalam dari dalam pikiran para pembunuh massal. Jagal adalah sebuah mimpi buruk kebudayaan banal yang tumbuh di sekitar impunitas ketika seorang pembunuh dapat berkelakar tentang kejahatan terhadap kemanusiaan di acara bincang-bincang televisi, dan merayakan bencana moral dengan kesantaian dan keanggunan tap-dance.

“Pada masa mudanya, Anwar Congo dan kawan-kawan menghabiskan hari-harinya di bioskop karena mereka adalah preman bioskop: mereka menguasai pasar gelap karcis, dan pada saat yang sama menggunakan bioskop sebagai markas operasi untuk kejahatan yang lebih serius.

“Di tahun 1965, tentara merekrut mereka untuk membentuk pasukan pembunuh dengan pertimbangan bahwa mereka telah terbukti memiliki kemampuan melakukan kekerasan, dan mereka membenci komunis yang berusaha memboikot pemutaran film Amerika—film-film yang paling populer (dan menguntungkan). Anwar Congo dan kawan-kawan adalah pengagum berat James Dean, John Wayne, dan Victor Mature. Mereka secara terang-terangan mengikuti gaya berpakaian dan cara membunuh dari idola mereka dalam film-film Holywood. Keluar dari pertunjukan midnight, mereka merasa “seperti gangster yang keluar dari layar.”
“Masih terpengaruh suasana, mereka menyeberang jalan ke kantor dan membunuh tahanan yang menjadi jatah harian setiap malam. Meminjam teknik dari film mafia, Anwar Congo lebih menyukai menjerat korban-korbannya dengan kawat.

“Dalam Jagal, Anwar Congo dan kawan-kawan bersepakat untuk menyampaikan cerita pembunuhan tersebut kepada sutradara. Tetapi idenya bukanlah direkam dalam film dan menyampaikan testimoni untuk sebuah film dokumenter: mereka ingin menjadi bintang dalam ragam film yang sangat mereka gemari di masa mereka masih menjadi pencatut karcis bioskop.

“Sutradara menangkap kesempatan ini untuk mengungkap bagaimana sebuah rezim yang didirikan di atas kejahatan terhadap kemanusiaan, yang belum pernah dinyatakan bertanggung jawab, memproyeksikan dirinya dalam sejarah.

“Kemudian sutradara film menantang Anwar Congo dan kawan-kawannya untuk mengembangkan adegan-adegan fiksi mengenai pengalaman mereka membunuh dengan mengadaptasi genre film favorit mereka—gangster, koboi, musikal. Mereka menulis naskahnya. Mereka memerankan diri sendiri. Juga memerankan korban mereka sendiri.

“Proses pembuatan film fiksi menyediakan sebuah alur dramatis, dan set film menjadi ruang aman untuk menggugat mereka mengenai apa yang mereka lakukan di masa lalu. Beberapa teman Anwar Congo menyadari bahwa pembunuhan itu salah. Yang lain khawatir akan konsekuensi kisah yang mereka sampaikan terhadap citra mereka di mata publik. Generasi muda PP berpendapat bahwa mereka selayaknya membualkan horor pembantaian tersebut karena kengerian dan daya ancamnya adalah basis bagi kekuasaan PP hari ini. Saat pendapat berselisih, suasana di set berkembang menjadi tegang. Bangunan genosida sebagai “perjuangan patriotik”, dengan Anwar dan kawan-kawan sebagai pahlawannya, mulai berguncang dan retak.

“Yang paling dramatis, proses pembuatan film fiksi ini menjadi katalis bagi perjalanan emosi Anwar Congo, dari jumawa menjadi sesal ketika ia menghadapi, untuk pertama kali dalam hidupnya, segenap konsekuensi dari semua yang pernah dilakukannya. Saat nurani Anwar Congo yang rapuh mulai terdesak oleh hasrat untuk tetap menjadi pahlawan, Jagal menyajikan sebuah konflik yang mencekam antara bayangan tentang moral dengan bencana moral.
* * *

The Act of Killing’: Oscar nomination
http://www.independent.co.uk/arts-entertainment/films/features/the-act-of-killing-oscar-nomination-for-what-must-be-the-bravest-film-crew-of-the-year–but-no-one-knows-their-names-9073035.html

The Act of Killing’: Oscar nomination for what must be the bravest film crew of the year – but no one knows their names

‘The Act of Killing’ received rave reviews – and now an Oscar nomination. But fear of reprisals from the documentary’s subjects means its co-director and local crew remain anonymous
Rob O’Brien
Monday 20 January 2014

It’s not often that an invitation to the Oscars gets turned down. Most of those who were nominated last week will enjoy the additional attention, interviews and the customary red-carpet wardrobe decisions. But for the anonymous co-director of The Act of Killing, which was nominated for Best Documentary Feature, publicity is not an option.
For the Indonesian crew of more than 60 people, public accolades went out the window when they decided to remove their names from the film’s credits due to fear of reprisals from anti-communist militias.
“It is not possible for me to go to the Oscars, it is too much publicity and it is not really safe for me to be openly seen as the co-director of the film,” the Jakarta-based director told The Independent. “I’m not the kind of person that likes to brag about my achievement… anonymity suits my personality.”
The documentary, directed by Joshua Oppenheimer and executive produced by Errol Morris and Werner Herzog, has been widely praised for its portrayal of the men responsible for the mass killings that followed a failed coup attempt by a group calling itself the September 30 Movement in Indonesia in 1965.
That rebellion was quelled by General Suharto, who seized power from President Sukarno, and, in what became known as the Communist Purges, set about a bloody retribution on the alleged communists, ethnic Chinese and left-wing intellectuals he blamed for the coup attempt. Between the security forces, local militias and vigilantes they killed more than one million people within a year.
The film enlists the ageing, real-life mass killers – a group of small-time gangsters at the time who were hired by the military – to re-enact their killing sprees in a sequence of surreal movie parodies, revealing the untold horrors airbrushed out of Indonesian history.
The Act of the Killing reveals not just the impunity enjoyed by the killers today, but the celebrity status they have in parts of Indonesian society. Gang leader Anwar Congo, personally responsible for more than a thousand deaths, is hailed on national television for his efficient killing methods; in another scene he casually talks about which clothes are best suited for a massacre.
“Often films or books investigating mass murderers focused on those who lost and subsequently were told by society that they were wrong, and the killers tended to express remorse,” says Andreas Harsono, Indonesia researcher for Human Rights Watch. “The Act of Killing, in contrast, shows the emotions that the killers had at the act of killing – they really enjoyed it – and for that reason it is very disturbing.”
The Communist Purges have never been publicly discussed in Indonesia. In schools children learn that the killings were the necessary work of patriots, resulting in less than 80,000 deaths. Academics say that Indonesians still view the Communist Party of Indonesia (PKI) as “fundamentally evil” and describe the killings as a matter of “them or us”.

The American director Joshua Oppenheimer spent eight years working on the film (Getty)

“Although it is sometimes said that the killings were used as a time to settle old scores, and although survivors sometimes claim that they were targeted for non-political reasons, we have very little evidence of people who were not on the left being targeted,” says Professor Robert Cribb, an expert on the Communist Purges from Australian National University. “Those who took part in the killings were widely seen as having done Indonesia a service.”
Oppenheimer chose to bypass government censors to avoid having his film banned in Indonesia, depending instead on a virtual campaign – helped by Indonesians on social media – and word of mouth via private screenings.
Paramilitary organisations still have strong influence in parts of Indonesia, meaning anyone associated with The Act of Killing faced unknown risks. Two screening organisers received death threats and last year the manager of a local newspaper was beaten for writing an article promoting the film.
Screenings have been held in 120 cities across the country, while 11,000 people have downloaded the film since it was made free to Indonesians in November. One request for a private screening involved taking a DVD to eight different villages in Central Java, all with mass graves near by.
“It changed the way villagers see the victims and their family members,” says the co-director. “They learned that it was not because of a mistake, not because their family did something wrong, but because the whole system is rotten.
“People have called and written to us to tell us how they have been touched by the film, people have started reunions and gatherings, people who are in the same boat together – families of victims gathering with the families of the perpetrators – they want to learn about the mistakes of their parents and their grandparents.”
With a presidential election rapidly approaching in Indonesia the government has refused to engage with the film’s revelations, despite some of the back-slapping cameos they play in the film. No public statements have been made, although one embassy worker in the US divulged to the entertainment website TMZ that they were hoping it stopped winning awards as it was trashing Indonesia’s image, painting it as backward and lawless.
Unfortunately, the bombshell it drops on Indonesia has prevented it from reaching a much bigger audience in neighbouring countries as Asean (Association of Southeast Asian Nations) members tend to give politically sensitive issues a wide berth.
“Distributors in South-east Asia did not think the film would pass censors… Asean countries with close ties to Indonesia do not want to anger their counterpart or encourage their own citizens to dig deeper into their own histories,” says Lorna Tee, a Hong Kong-based film producer.
The co-director spent eight years working on The Act of Killing, knowing from the beginning that it was possible he wouldn’t be credited for the work he did.
“We thought about what should be written – our real names? A pseudonym? – and we decided it best to remain anonymous because actually we didn’t know what would happen,” he says.
Oppenheimer says he left his team, some of whom endured insomnia and nightmares during the filming, to decide how and with whom they discussed their participation, but most have kept it a carefully guarded secret – a few family members at most.

 

 

”The Act of Killing” Picu Kegaduhan di China
Kamis, 23 Januari 2014 | 07:53 WIBACT OF KILLINGPoster film the Act of Killing yang bercerita tentang pembunuhan massal di Indonesia tahun 1960-an.
HONGKONG, KOMPAS.com — Film dokumenter The Act of Killing (Jagal), yang menggambarkan peristiwa berdarah di Indonesia pada periode 1965-1966, dilaporkan memicu kegaduhan di China, Selasa (21/1). Warga China menyatakan keterkejutan dan kemarahan mereka di media sosial di internet setelah menonton film yang masuk nominasi Oscar untuk kategori Film Dokumenter Terbaik tersebut.
Menurut laman surat kabar Hongkong, South China Morning Post (SCMP), edisi Selasa, kemarahan dan sentimen nasionalisme warga China muncul setelah mengetahui bahwa banyak warga etnik China yang menjadi korban dalam peristiwa berdarah tersebut.
Sejumlah penulis blog China bahkan membandingkan peristiwa yang mengawali Orde Baru di Indonesia itu dengan tragedi Pembantaian Nanking tahun 1937, saat tentara imperial Jepang membantai sekitar 300.000 warga China semasa pendudukan Jepang atas China.
Menurut perkiraan sejumlah organisasi hak asasi manusia, 500.000-1 juta orang tewas dalam peristiwa 1965 di Indonesia itu. Hubungan diplomatik Indonesia-China juga sempat dibekukan selama 23 tahun setelah peristiwa tersebut, tepatnya sejak 30 Oktober 1967 hingga 8 Agustus 1990.
Buku sejarah
Para bloger dan aktivis media sosial di China kemudian menuntut Pemerintah China bersikap lebih keras terhadap Indonesia. Mereka juga menuntut peristiwa yang tidak terlalu diketahui oleh khalayak luas di China itu dimasukkan ke dalam buku sejarah.
SCMP menyebut, banyak warga China baru tahu mengenai film buatan sutradara Amerika-Inggris, Joshua Oppenheimer, itu setelah banyak media di daratan China mengulasnya. Bahkan, surat kabar People’s Daily, koran resmi Partai Komunis China (PKC), turut menulis soal film yang banyak memperoleh penghargaan itu.

Menurut SCMP, di laman mikroblog Sina Weibo, diskusi mengenai peristiwa 1965 tersebut berkembang hingga peristiwa kerusuhan 1998, saat banyak warga etnis China juga menjadi korban.
”Sebrutal apakah kau, Indonesia?” tulis seorang pengguna Weibo. Pengguna lain mengusulkan agar Pemerintah China menghentikan bantuan luar negerinya ke Indonesia. Sejumlah pengguna bahkan menyerukan agar warga China melakukan ”boikot pariwisata” terhadap Bali.
SCMP mengutip Chen Zonghe, seorang konsultan asal Shanghai, yang menulis, ”Baik Indonesia maupun China harus bertindak dan memberikan penjelasan atas sejarah ini.” (DHF)

 

The Act of Killing wins top prize at first Guardian Film Awards
http://www.theguardian.com/film/2014/mar/06/the-act-of-killing-prize-guardian-film-awards
Joshua Oppenheimer’s study of 1960s Indonesian death squads wins best film, beating Oscar winner 12 Years a Slave
• Catherine Shoard

• The Guardian, Thursday 6 March 2014 20.00 GMT

A scene from The Act of Killing, praised by judge Claudia Winkleman as ‘one of the best films I’ve ever seen’
The Act of Killing has taken the top prize at the inaugural Guardian Film Awards.
Joshua Oppenheimer’s surreal study of the Indonesian death squads of the 1960s was nominated in three fields – best director, biggest game-changer and best film.
It triumphed in best film over the Oscar winners 12 Years a Slave and Gravity, as well as two other foreign language films, The Great Beauty and Blue is the Warmest Colour.
Oppenheimer said of the recognition: “Artistically, it’s a far more meaningful award to me than an Oscar.”
The film – voted best film of 2013 by Guardian critics, and seventh best of the year by Guardian readers – was also strongly championed by the two external judges, Claudia Winkleman and Adam Curtis; the former calling it “one of the best films I’ve ever seen”.
The Guardian Film Awards were conceived as an antidote to the already crowded awards calendar, aiming to reflect Guardian values in the inclusivity of the categories and reader involvement. More than 5,000 votes were cast online, which whittled the longlists down to shortlists and counted for a casting vote during the judging.
The public voted for 12 Years a Slave in almost every eligible category, but in the end the film converted just one shortlist place into a win: best director for Steve McQueen.
The Guardian editor-in-chief, Alan Rusbridger, who served on the jury, praised McQueen’s “stunning assurance of eye, of direction and of storytelling”, as well as his bravery in tackling such charged subject matter.
Best actor went to Cate Blanchett for her role in Blue Jasmine, while 84-year-old June Squibb beat off stiff competition from Slave’s Michael Fassbender to take best supporting actor for her part in Nebraska. Biggest game-changer was given to Gravity, while Philomena’s marketing campaign – which saw the real-life Philomena Lee travelling with Steve Coogan to meet the Pope – secured it victory in that category.
Liberace’s quip: “What a story – you got everything but a fire in the orphanage” took best line of dialogue for Behind the Candelabra, while best scene went to the opening party in The Great Beauty. The judges also awarded two special awards – lifetime achievement to the Philomena star Judi Dench and outstanding contribution to the veteran producer Jeremy Thomas.
Two categories were solely down to reader vote: best cinema, which was given to the popcorn-free Rex in Berkhamsted, Hertfordshire, and best so-bad-it’s-good film. This went to Nicolas Winding Refn’s operatic revenge drama Only God Forgives starring Ryan Gosling. The film split the critics, but the Guardian’s Peter Bradshaw gave it five stars at its Cannes premiere last May.
Cannes took the top prize in the best film festival category. It was also the readers’ pick – despite Cannes being the only one of the 10 longlisted not open to the public.
Full list of winners
Best film: The Act of Killing (director: Joshua Oppenheimer)
Best director: Steve McQueen (12 Years a Slave)
Best actor: Cate Blanchett, Blue Jasmine
Best supporting actor: June Squibb, Nebraska
Best scene: the opening party, The Great Beauty
Best line of dialogue: “What a story – you got everything but a fire in the orphanage.” (Liberace, Behind the Candelabra – screenplay by Richard LaGravenese)
Biggest game-changer: Gravity (director: Alfonso Cuarón)
Best marketing campaign: Philomena (Pathé, The Weinstein Company, Premier PR)
Best film festival: Cannes
Best so-bad-it’s-good film: Only God Forgives (director: Nicolas Winding Refn)
Outstanding contribution: Jeremy Thomas
Lifetime achievement: Judi Dench

 

The Act of Killing” Mendapat Dua Nominasi BAFTA

http://www.pikiran-rakyat.com/node/266292

Jumat, 17/01/2014 – 00:36

DRAFTHOUSE/”PRLM”

FILM “The Act of Killing” pembantaian komunis di Indonesia pada 1965.*

LONDON, (PRLM).- Film dokumenter “The Act of Killing” tentang pembantaian komunis di Indonesia pada 1965 mendapat dua nominasi Penghargaan Film dan Televisi Inggris, BAFTA.
Film yang disutradarai oleh Joshua Oppenheimer itu dinominasikan untuk kategori film bukan bahasa Inggris dan kategori dokumenter.
Di kategori terakhir -seperti diumumkan situs BAFTA, The Act of Killing bersaing dengan The Armstrong Lie, Blackfish, dan We Steal Secrets: The Story of Wikileaks.
The Act of Killing yang diproduksi tahun 2012 menggunakan gaya bercerita film di dalam film.
Tokoh Anwar Congo -yang memerankan diri sendiri yang pernah menjadi preman di Medan- diminta oleh sutradara Oppenheimer untuk merekonstruksi pembunuhan yang dia lakukan setelah 30 September 1965.
Rekaman rekonstruksi dilengkapi dengan wawancara para pemain maupun adegan yang mengikuti kehidupan sehari-hari mereka, antara lain ketika Anwar memberi makan bebek bersama kedua cucunya.
The Act of Killing atau sering disingkat TAOK sebelumnya sudah meraih penghargaan di beberapa festival film internasional.
Di Hollywood sendiri, film ini menjadi bahan diskusi dan situs pemeringkat film bergengsi, MCN, meletakkan The Act of Killing di peringkat kelima film terbaik sepanjang 2013. (bbc/A-89)**

Leave a comment