Butuh TOEFL 600 Atau Revolusi Mental?

Butuh TOEFL 600 Atau Revolusi Mental?

Jumat, 6 Januari 2012 | Editorial Berdikari Online

Gita Wirjawan, yang baru saja menjadi Menteri Perdagangan Oktober 2011 lalu, punya wacana baru: PNS di kementerian perdagangan wajib menguasai bahasa Inggris dengan skor TOEFL minimal 600.

Banyak orang yang mengeluh. Maklum, jumlah PNS yang bisa bahasa Inggris masih sedikit. Jika aturan ala Gita Wirjawan yang diberlakukan, maka PNS di kementerian perdagangan akan berkurang drastis. Terhadap ide Gita Wirjawan ini, seorang teman di facebook berseloroh, “kenapa pusing-pusing cari karyawan Toefl 600, langsung saja rekrut karyawan dari negara-negara yang berbahasa Inggris. Mumpung di sana lagi krisis dan pengangguran lagi meningkat.”

Tetapi, bagi kami, masalah bukan di situ. Bukan pula soal teknis pemberian kursus bahasa Inggris terhadap setiap PNS dan calon PNS. Soal penguasaan bahasa asing memang sangat penting, apalagi dijaman yang disebut “globalisasi”. Toh, Marx, filsuf besar kaum proletar itu, menganjurkan agar proletar bisa menguasai banyak bahasa asing. “Bahasa asing”, kata Marx,” adalah senjata dalam perjuangan hidup.”

Cuma, ada pertanyaan besar yang mengganjal bagi kami: apa korelasi penguasaan bahasa Inggris dengan pembangunan ekonomi rakyat saat ini? Apa iya, persoalan hambatan perdagangan adalah soal bahasa?

Gita Wirjawan, yang merujuk pengalamannya saat memimpin BKPM, menganggap penguasaan bahasa Inggris sangat penting untuk kementeriannya. Maklum, kata alumnus Harvard University ini, Kemendag banyak berhubungan dengan dunia luar, khususnya dengan investor dan pedagang.

Nah, di situlah pangkal masalahnya: paradigma perdagangan di kemendag masih berorientasi kolonialistik. Yah, buktiknya: masih menghamba kepada modal asing dan perdagangan luar negeri. Padahal, berbagai kritik publik selama ini justru menyalahkan kebijakan perdagangan kita yang pro-liberalisasi.

Di kementerian perdagangan, khsususnya di pucuk pimpinannya, masih berlaku penyakit—meminjam istilah Bung Hatta–”economische minderwaardigheid”, suatu penyakit rendah diri dalam perekonomian. Penyakit ini, misalnya, tercermin dari ketergantungan yang sangat berlebihan terhadap modal asing. Seolah-olah, ketika modal asing itu meninggalkan kita, maka hancurlah seluruh perekonomian kita.

Penyakit ini juga nampak jelas terhadap penerimaan pemerintah terhadap agenda perdagangan bebas. Padahal, ditinjau dengan rumus apapun, agenda perdagangan bebas tidak akan menguntungkan ekonomi nasional Indonesia. Yang terjadi justru kebalikannya: sebagian besar produk industri dalam negeri, juga produk pertanian kita, hancur lebur karena tidak kompetitif dan kehilangan pasarnya.

Yang perlu dikejar dari Kementerian Perdagangan adalah keberpihakannya kepada kepentingan nasional. Sebab, sejak jaman orde baru hingga sekarang, keberpihakan terhadap kepentingan nasional itu sudah menghilang dalam kebijakan perdagangan nasional kita.

Sementara itu, kalau soal kinerja PNS di Kemendag (juga di departemen-departemen lainnya), yang diperlukan adalah etos kerja, kreatifitas, dan patriotisme. Tidak ada gunanya mereka menguasai bahasa Inggris, jikalau etos kerja rendah, kedisiplinannya amburadul, kreatifitasnya tumpul, dan patriotismenya luntur.

Karena itu, dalam fikiran kami, yang diperlukan Gita Wirjawan dan jajarannya adalah revolusi mental: perubahan dalam hal cara berfikir, cara kerja/berjuang, cara hidup (percaya pada diri sendiri, optimisme, kegembiraan dalam kerja, jiwa baru dan semangat baru). Hal-hal itulah yang mesti digembleng dan digelorakan di seluruh kementerian serta aparatus negara.

Kita harus menggempur perasaan inlander di kalangan bangsa kita, khususnya di kalangan pemimpin bangsa. Kita harus memeluk semangat yang dulu dikobarkan oleh pejuang kemerdekaan: sikap “self-reliance” (jiwa yang percaya kepada kekuatan sendiri) dan “self help” (jiwa berdikari) di kalangan rakyat Indonesia.

http://berdikarionline.com/editorial/20120106/butuh-toefl-600-atau-revolusi-mental.html

SEPENGGAL SEJARAH

Sinopsis dan Konsep Program

SEPENGGAL SEJARAH

  Satrio Arismunandar <satrioarismunandar@yahoo.com>,in:news2 <news-transtv@yahoogroups.com>, Friday, 6 January 2012, 20:45

Sepenggal Sejarah adalah sebuah program magazine dokumenter berdurasi 30 menit, yang dibuat oleh Divisi News Trans TV. Program ini mengangkat berbagai peristiwa dalam sejarah, baik yang terjadi di Indonesia maupun di negara-negara lain, berdasarkan tanggal kejadiannya. Selalu ada peristiwa yang patut diangkat untuk setiap tanggal di kalender, meskipun dengan tahun kejadian yang berbeda-beda.

 

Diupayakan, penyajian kisah-kisah itu bersifat utuh, bukan sekadar kaleidoskop. Hal ini karena sebuah peristiwa sejarah pada dasarnya tidaklah terjadi dalam ruang vakum, tetapi terjadi dalam konteks situasi tertentu. Peristiwa itu pastilah juga tidak berdiri sendiri, tetapi terkait dengan peristiwa-peristiwa lain.

 

Yang diangkat di program Sepenggal Sejarah bukan cuma peristiwa yang “berat” dan “serius,” seperti peristiwa sosial-politik dan ekonomi. Tetapi bisa juga peristiwa yang menyangkut perkembangan di bidang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, kebudayaan, sastra, dan film. Selain itu, bisa juga peristiwa yang mengandung drama kemanusiaan, seperti bencana alam tsunami, gempa bumi, kecelakaan pesawat terbang, tenggelamnya kapal penumpang, dan sebagainya.

 

Sepenggal Sejarah dijadwalkan tayang perdana pada Senin, 9 Januari 2012. Seterusnya, program ini akan tayang setiap Senin sampai Jumat, pukul 16.30 WIB.

 

Perbedaan Sepenggal Sejarah dengan program dokumenter Riwayat, yang tayang tiap Sabtu pagi pukul 7.00 WIB, adalah Riwayat mengangkat person atau individu yang muncul dalam sejarah. Seperti: Soekarno, Hatta, Soeharto, Nelson Mandela, Che Guevara, Bunda Teresa, Imelda Marcos, Barack Obama, David Beckham, Rudy Hartono, dan sebagainya.

 

Sedangkan Sepenggal Sejarah lebih berfokus pada peristiwanya. Seperti: Proklamasi kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945, jatuhnya bom atom di Hiroshima, awal pecahnya perang di Bosnia-Herzegovina, invasi militer Amerika ke Irak, bencana tsunami di Aceh, jatuhnya pesawat Garuda di Yogyakarta, tenggelamnya kapal Tampomas, dan sebagainya. ***

 

 

Jakarta, 5 Januari 2012.

 

 

Satrio Arismunandar
Executive Producer, News Division Trans TV, Lantai 3
Jl. Kapten P. Tendean Kav. 12 – 14 A, Jakarta 12790
Telp: 7917-7000 ext: 3542;   Fax: 021-79184558

HP: 0819 0819 9163
http://satrioarismunandar6.blogspot.com
http://facebook.com/satrio.arismunandar

LE BANIAN, MAJALAH LEMBAGA PERSAHABATAN INDONESIA-PERANCIS

MAJALAH  LEMBAGA PERSAHABATAN INDONESIA-PERANCIS

Est disponible Le Banian n° 12, décembre 2011, 9 euros

Afi Pasar Malam <afi.pasar-malam@wanadoo.fr>, Saturday, 7 January 2012, 1:49
Attention le prix de la revue Le Banian a augmenté : 9 euros (au lieu de 8 euros). Disponible à la librairie Sudestasie, 17 rue du Cardinal Lemoine, 75005 Paris, ou par courriel afi.pasar-malam@wanadoo.fr (payable par chèque 12 euros (frais d’envoi compris), à l’ordre de Pasar Malam, 14 rue du Cardinal Lemoine, 75005).

Sommaire  Le Banian n°12 > Décembre 2011, ISSN : 1779-8485, ISBN : 978-2-9525727-8-1  
Revue publiée avec le concours du Centre National du Livre 

2 Johanna Lederer > Edito
L’Homme : de Koesno Sosrodihardjo à Soekarno

5 Sita Satoeti Phulpin > Qui est Bung Karno ?

9 Dominique Maison > Entre ombre et lumière : une courte biographie de Soekarno

23 Étienne Naveau > Soekarno pluriel

61 Dwi Noverini Djenar > Soekarno sur Soekarno

75 Kunang Helmi > Ma première coupe de cheveux à Yogyakarta

77 Enrico Soekarno > Encres

82 Putu Oka Sukanta > poème

L’œuvre : de l’empire à l’héritage

84 Stéphane Dovert > Soekarno et l’Indonésie :

un « grand homme « pour un « grand empire » ?

99 Anda Djoehana Wiradikarta > Soekarno et Aceh

106 John Roosa > Le dernier combat de Soekarno

119 Bakri Arbie > La politique énergétique du président Soekarno

130 Arnaud Leroux > Un héritage de béton et d’asphalte

140 Sungkono > Poème

143 Ridzki Noviansyah > Portfolio

149 Sita Satoeti Phulpin > Mots croisés

Rubriques

150 L’indonésien, langue exotique ? > Ana Larderet

154 Compte-rendu de lecture > Gerry Van Klinken > Pieter Drooglever

166 Pages retrouvées > Georges Voisset > 1955-56 : échos de Bandung à Paris

173 Les bonnes feuilles > A. Umar Said > Histoire de ma vie
.......................................................................................................................................................

Illustration 1ère de couverture : Enrico Soekarno, Shadowplay.
Conception graphique : Thomas Frisch 

  

De Sabang à Merauke ! 1

L’éditorial de Johanna Lederer

 

Émile Durkheim disait que : « susciter des hommes de génie, c’est créer dans la nation de dangereuses inégalités ; c’est se préparer des maîtres».

Dans le cas de Soekarno, que je tiens pour un génie, il ne fut pas un maître. Il a été d’abord un combattant pour l’indépendance, donnant fierté au peuple indonésien et inquiétude aux puissants du monde, un pacificateur ensuite et, enfin, un unificateur d’une vaste nation qu’il a contribué à bâtir.

 

Mais en lisant Le Banian n° 12, on se pose la question de savoir si Bung Karno, ce grand frère, si jovial, si charmant, avait involontairement préparé le terrain au maître sanguinaire Soeharto ? « Peu de dirigeants politiques des temps modernes ont suscité autant de sentiments contradictoires que Soekarno. « J’ai été maudit comme un brigand et adoré comme un dieu » reconnaît-il dans son autobiographie.» Ainsi s’ouvre Soekarno Pluriel, l’article d’Étienne Naveau, qui trace des pistes captivantes nous conduisant, fascinés, vers un portrait contrasté du premier président d’Indonésie. Le ton est donné.

L’homme, né Koesno Sosrodihardjo le 6 juin 1901, ne laisse pas indifférent et ne lasse pas nos efforts pour imaginer des cours différents de l’Histoire : que serait l’Indonésie aujourd’hui si Soekarno avait… ou n’avait pas…

 

Au travers des différents écrits et rubriques (dont une nouvelle proposant des mots croisés !), nous voyons se dégager deux couleurs franches qui dominent le tableau du fondateur de la nation : d’une part la curiosité des jeunes, éduqués dans l’ignorance de ce « grand frère » à l’époque de Soeharto, et d’autre part, l’admiration – qui malgré tout prévaut – pour Bung Karno que la bravoure avait accompagné jusqu’à la fin. Si chaque article de ce numéro, spécial Soekarno, est bien un trait dessinant d’une main sûre un portait détaillé de celui qui aurait eu 110 ans cette année, nous ne connaîtrons cependant qu’une petite fraction de l’homme et de ses actions … (2)

 

Umar Said, décédé en octobre dernier, compte lui aussi au nombre des héros. En même temps qu’à Soekarno, ce Banian de décembre entend rendre hommage à un homme dont le destin avait épousé l’Histoire. Vers la fin du numéro on peut lire un extrait de son autobiographie, à paraître en septembre 2012 dans la Collection du Banian (Association Pasar Malam).

 

Comme pour chaque Banian, je dépends entièrement de l’équipe qui me fait l’honneur de m’assister, tout au long des six mois que dure la gestation d’un numéro. Et puisque nous sommes dans l’hommage, je salue les membres du comité de rédaction ainsi que les traducteurs, avec grand respect pour tout le travail qu’ils effectuent bénévolement mais scrupuleusement.

 

Enfin, ne dérogeons pas aux us et coutumes de fin d’année :

bonne année 2012 !
 

 

1 Sabang est une ville qui se trouve dans la petite île de Weh, au nord de Sumatra, c’est l’île la plus occidentale de l’archipel. Merauke est située en Papouasie occidentale, près de la frontière de la Papouasie Nouvelle Guinée, c’est la ville la plus orientale de l’Indonésie.

 

2 Pour en savoir plus :

Cayrac-Blanchard, Françoise, Indonésie, l’armée et le pouvoir, L’Harmattan, 1991

Vittachi, Tarzie, La Chute de Sukarno, Gallimard (238 pages), 1967

Sukarno, An Autobiography as told to Cindy Adams, 1966

Rudolf Mrázek, Sjahrir: politics and exile in Indonesia , SEAP 1994


Collection du Banian/Association Pasar Malam
Johanna Lederer 14 rue du Cardinal Lemoine – 75005 Paris
Téléphone : 01 56 24 94 53
afi.pasar-malam@wanadoo.fr
http://pasarmalam.free.fr

KH Said Aqil: Rakyat Pasti Marah

http://nasional.kompas.com/read/2012/01/06/23413569/KH.Said.Aqil.Rakyat.Pasti.Marah

KH Said Aqil: Rakyat Pasti Marah
Khaerudin | Nasru Alam Aziz | Jumat, 6 Januari 2012 | 23:41 WIB
tribunnews.com KH Said Aqil Siradj

JAKARTA, KOMPAS.com — Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama KH Said Aqil Siradj mengingatkan, pemerintah harus siap dengan konsekuensi menghadapi kemarahan rakyat yang terus-menerus melihat ketidakadilan yang terjadi terhadap mereka.

Pemerintah harus mau mengoreksi diri, termasuk aparatur negara penegak hukum yang berada di bawah langsung kendali eksekutif, seperti kejaksaan dan kepolisian, agar memperbaiki diri dan bertindak adil terhadap rakyat. “Bila tidak, rakyat pasti marah dan berani menghadapi pemerintah,” kata Said, Jumat (6/1/2012) di Jakarta.

Said mengatakan, hari-hari ini rakyat terus dipertontonkan tindakan yang jauh dari rasa keadilan oleh aparatur negara. Mulai dari kasus pencurian sandal jepit dengan terdakwa anak berusia 15 tahun, konflik petani dengan polisi di Mesuji, baik Lampung maupun Sumatera Selatan, hingga penembakan terhadap rakyat oleh polisi saat mereka berunjuk rasa menentang kehadiran perusahaan tambang di Bima, Nusa Tenggara Barat.

“Rakyat pasti marah ketika pemerintah terus membiarkan ketidakadilan yang dilakukan aparatur negara. Jadi, demi nama baik pemerintah dan aparat negara, khususnya polisi, sebaiknya mereka mulai berbenah memperbaiki diri,” tutur Said.

Menurut Said, rakyat tidak bisa merasakan keadilan jika setiap hari dipertontonkan ketidakadilan di hadapannya. Pencuri sandal jepit butut seperti AAL, remaja berusia 15 tahun, divonis bersalah sementara koruptor yang merugikan uang negara dan mencuri dari rakyat miliaran hingga triliunan rupiah kadang melenggang bebas. Malah, kalaupun dihukum, vonisnya sangat ringan.

“Pada kenyataannya yang korupsi miliaran sampai triliunan rupiah hanya dihukum satu atau dua tahun. Rasa kemanusian kita terusik. Bukan berarti mencuri sandal tidak salah, tetapi hukum juga harus mempertimbangkan rasa kemanusiaan dan keadilan masyarakat,” ungkap Said.

Penembakan di Aceh Tak Terkendali

06.01.2012 13:50

Penembakan di Aceh Tak Terkendali

Penulis : Junaidi Hanafiah/M Bachtiar Nur

(foto:dok/SH)

BANDA ACEH – Penembak misterius (petrus) kembali beraksi di Aceh. Setelah menembak tiga pekerja galian kabel optik Telkomsel asal Pulau Jawa di Kabupaten Bireun, kemudian terhadap warga Transmigran di Langkahan, Aceh Utara, kini penembakan terjadi lagi terhadap tiga buruh bangunan yang juga berasal dari Pulau Jawa pada Kamis (5/1).

Penembakan yang melukai tiga pekerja bangunan menjelang magrib kemarin terjadi di Simpang Aneuk Galong, Kecamatan Suka Makmur, Aceh Besar, yang hanya berjarak sekitar 18 kilometer dari Kota Banda Aceh.

Kabag Humas Polda Aceh Gustav Leo menyebutkan, tiga korban tersebut merupakan warga Semarang, Jawa Tengah, bernama Gunoko (30), Agus Setyo (35), dan Sotiku (25). “Gunoko tertembak di kepala dan hingga saat ini masih kritis, sementara Agus dan Sotiku tertembak di bahu dan dada,” sebut Gustav.

Hingga saat ini ketiga korban masih ditangani oleh dokter khusus Rumah Sakit Umum Zainail Abidin (RSUZA) Banda Aceh, sekaligus akan dipastikan apakah ada proyektil yang masih tertinggal di dalam tubuh mereka.

Gustav menyebutkan pelaku diperkirakan menggunakan senjata laras panjang dan bersepeda motor.  Pola penembakan di Aneuk Galong persis dengan yang terjadi di Desa Blang Cot Tunong, Bireuen, dan Dusun Blok B Desa Seureukey Langkahan, Aceh Utara.

Hal ini terlihat dari sasaran penembakan pekerja yang berasal dari luar Aceh. “Sedang kita lakukan pengembangan untuk mempelajari keterkaitan peristiwa-peristiwa itu. Namun jika dilihat dari pola dan sasaran korban, kemungkinan pelaku adalah orang atau kelompok yang sama, korban semua berasal dari luar Aceh,” ujarnya.

Ia menjelaskan saat beraksi korban memakai jaket hitam dan menutup kepalanya dengan helm.

Ketiga korban merupakan pekerja bangunan di Simpang Aneuk Galong, dan saat ini sedang membangun sebuah toko di kawasan tersebut. Saat penembakan terjadi, korban bersama rekan-rekannya sedang istirahat di barak yang terletak di dekat toko, beberapa laginya duduk di pintu.

Seorang teman korban, Mudassir, mengaku mendengar sejumlah suara tembakan sebelum mendapati rekannya tersungkur bersimbah darah. “Kami sedang istirahat dan memasak makan malam, tiba-tiba seorang laki-laki dengan mengenakan jaket dan helm turun dari sepeda motornya lalu menghampiri barak.

Dia langsung melepaskan tembakan ke arah korban, setelah beraksi pelaku langsung kabur dengan menggunakan motor,” kata Mudassir. Para pekerja itu sudah berada di Aneuk Galong sejak 21 hari lalu, semua berasal dari Jawa Tengah.

Gubernur Aceh Irwandi Yusuf yang menjenguk tiga korban tersebut pada Kamis malam belum bersedia berkomentar banyak terkait peristiwa itu. Ia hanya menyebutkan aparat kepolisian harus memberi pengamanan terhadap para pekerja dari luar Aceh, apalagi terkait meningkatnya penembakan terhadap pekerja asal dari luar Aceh.

Setelah penembakan tersebut, semua pekerja yang selamat langsung diamankan di Polsek Suka Makmur, Aceh Besar, untuk menghindari penyerangan susulan.

Masyarakat Khawatir

Berbagai kasus penembakan yang terjadi di Aceh telah begitu mengkhawatirkan masyarakat luas. Tingginya suhu politik menjelang Pilkada 2012 membuat beberapa kalangan merasa risau, seperti yang disampaikan Pusat Paguyuban Masyarakat Jawa-Aceh (PPMJ) yang meminta aparat kepolisian segera membongkar kasus tersebut.

Ketua PPMJ Aceh Pusat M Samin ZZ, Kamis, menyatakan ikut belasungkawa atas meninggalnya warga Jawa di Aceh. Dia juga mempertanyakan kepada pihak-pihak yang bertanggung jawab, apakah hal ini terjadi demi kepentingan pribadi atau kelompok sendiri.

Menurut Samin, keadaan Aceh saat ini tak terlepas dari politik, karena kejadiannya seperti direncanakan dan bersamaan. Menjelang pilkada saat ini pasti banyak pihak “bermain” pascaperdamaian Aceh. “Kami mengharapkan perdamaian abadi tetap berlangsung di bawah Undang-Undang Pemerintahan Aceh dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia,” sambung Samin.

Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) Bireuen Ridwan Muhammad juga mendesak kepolisian Bireuen segera mengusut tuntas kasus penembakan itu.

“Polisi harus segera mengungkap kasus tersebut, untuk menjawab siapa pelaku, motif, dan tujuan, serta untuk meluruskan opini masyarakat yang sudah simpang siur terhadap serentetan kasus penembakan di Aceh, dan khususnya di Bireuen,” kata Ridwan.

Kepada masyarakat Bireuen, termasuk saksi mata kejadian, Ridwan berharap agar mau membantu polisi dalam mengungkap kasus tersebut. Segala informasi sangat dibutuhkan aparat demi terwujudnya Aceh yang damai.

Mantan anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM) ini juga mengatakan penembakan tersebut tidak mungkin dilakukan mantan GAM atau senjata GAM, karena semua senjata eks GAM sudah diserahkan saat pemusnahan senjata setelah ditandatangani perjanjian damai di Helsinki Finlandia antara GAM dan Republik Indonesia.

“Bilapun masih ada senjata yang beredar, itu bukan senjata milik GAM atau KPA. Itu murni milik oknum kriminal. Kalau mau merujuk pada kasus-kasus kekerasan dengan menggunakan senjata api, hal tersebut tidak saja terjadi di Aceh, namun juga terjadi di luar Aceh,” tegasnya.

Kecemburuan Sosial

Menteri Koordinator Politik bidang Hukum dan Keamanan Djoko Suyanto menuturkan peristiwa penembakan itu tak mempengaruhi waktu pelaksanaan pilkada di Aceh yang akan digelar pertengahan Februari mendatang karena lebih berlatar belakang permasalahan sosial.

Ia mengungkapkan, berdasarkan rapat yang telah digelar kemarin, Kapolri dan Muspida meyakinkan penembakan tidak terkait pilkada.

“Hasil laporan sementara dari gubernur dan kapolda, tidak ada kaitan dengan pilkada. Penembakan lebih terkait dengan masalah bagaimana penduduk lokal diberdayakan dalam pekerjaan-pekerjaan dan program membangun daerah. Ada kecemburuan di situ dari hasil laporan gubernur dan Kapolda. Pasti akan dicari akar permasalahannya,” tegasnya.

Ia menambahkan, dari pertemuan dengan sejumlah elemen pemerintah hingga lembaga pemantau pemilu, Aceh dinyatakan masih dalam tahapan kondusif. “Sampai dengan kemarin yang hadir juga mereprentasikan eksekutif dan legislatif. Ada KIP, Panwasda, Panwaslu, bahkan KPU juga diundang, Bawaslu juga,” terang Menko usai peringatan HUT ke-5 Bakorkamla di Jakarta.

Djoko berharap sisa waktu 1,5 bulan mendatang digunakan semua elemen dengan sebaik-baiknya untuk menjaga situasi tetap kondusif.

“Sementara (Pilkada Aceh) masih tetap 16 Februari. Tahapan juga sudah disusun dan saya kira sudah ada calon-calonnya. Imbauan saya, bagaimana masyarakat Aceh mengelola, memanfaatkan wahana demokrasi untuk menyampaikan aspirasi pikirannya dan memilih pemimpin yang tepat di daerah masing-masing,” pesan Djoko.

Saat ini, lanjut Menko, Polri telah menangkap dua orang dan akan terus dikembangkan, karena pelakunya disinyalir cukup banyak.

Negara Gagal dalam Berbagai Hal

http://www.gatra.com/nasional-cp/1-nasional/6858-negara-gagal-dalam-berbagai-hal

Thursday, 05 January 2012 15:36
E-mail Print PDF

Jakarta – Kongres Perubahan Hentikan Rezim Korupsi, Kekerasan, dan Pendusta, menilai, negara Republik Indonesia belakangan ini mengalami kerusakan di segala bidang kehidupan.

Pernyataan itu merupakan isi Seruan Nasional Kongres Perubahan yang dibacakan Koordinator Aktivis Gerakan Perubahan, Kasino, di Gedung YTKI Jakarta, Kamis (5/1).

Dijelaskannya, kondisi sosial, politik, ekonomi, dan hukum mengalami kekacauan tanpa moralitas. Masyarakat kehilangan rasa aman dan terganggu dalam perikehidupannya.

Hal tersebut terjadi lantaran pemerintah gagal menjalankan amanat UUD 1945 dan menghianati cita-cita Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Kemudian, pemerintah membiarkan dan bahkan menjadi pelaku dalam berbagai peristiwa kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM), baik yang dilakukan aparat maupun sesama warga bangsa.

Pemerintah juga gagal mencerdaskan dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Tandanya, diterbitkannya berbagai undang-undang dan peraturan yang lebih berpihak kepada pemilik modal besar dan asing. Bukan berpihak kepada rakyat.

Selain itu, pemerintah membiarkan korupsi meluas dan yang melibatkan para pejabat. Membiarkan rezim pendusta, korup, dan kekerasan hanya akan mengakibatkan kerusakan yang semakin besar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Atas dasar itu, kongres ini menyeru seluruh rakyat Indonesia untuk berjuang bersama-sama secara damai untuk mempercepat proses perubahan menuju Indonesia lebih baik.

Kemudian, mengakhiri rezim pendusta, korup, dan kekerasan dengan menyelenggarakan pemilu yang lebih cepat. Membatalkan UU dan peraturan yang berpihak kepada kepentingan rakyat dengan cara menegakan ekonomi konstitusi. Tetap menjaga dan menghormati persatuan dan kebhinekaan bangsa Indonesia.

Kongres ini dihadiri tokoh, seniman, ekonom, politisi, aktivis, tokoh agama, antara lain; Soeharto, Hariadi, Sujiwo Tedjo, Indro Tjahyono, Yudi Latif, Tyasno, Said Iqbal, Sudir, Ichsan Noorsy, Revrison, Hendri Saparini, Hendarsi, Hatta Taliwang, Indra M, Hadi Rachman, Freddy Soesanto, Kerong, dan Adhi Massardi. [IS]

 

Twitter Facebook

Komentar  

0 #2 begundal2012-01-06 17:54

Makanya terima kasihlah kepada orba yang mengijinkan segalanya asal tidak melebihi pejabat teratas. Contohnya, gotong royong sudah makin menghilang, semua sekarang sudah mengarah ke individu. Rasa iba melihat rakyat menderita boro2 pejabat mau ikut mikirin, yang penting image bersaing antar pejabat semakin menjadi trend. Kasihan pejabat2 kita semua sudah sakit dan nggak ada obatnya. Berantas korupsi juga jaksa dan hakimnya banci.

Quote

+1 #1 bisanya mbacot doank2012-01-06 05:40

Dari jaman dulu kala ko begini, yg ganti pemimpinnya aja rakyat sih sama susah melulu, kalo ada yang kaya dikit biasanya rakus dan sombong. baru punya uang sedikit difoya foyakan. dan suka berantem tapi sesama sodara sendiri kaya tawuran gitu. kalo lawan bangsa laen sih so pasti takut. Segala upaya untuk mencerdaskan bangsa biasanya digagalkan karena semua pejabat kita paling suka melihat rakyatnya menderita, sangkain dulu pas ganti presiden suharto keadaaan akan lebih baik tapi yang ada korupsi oleh satu orang diganti menjadi korupsi oleh beberapa orang. ehehhehe

Marzuki Alie: Masyarakat Bodoh dan Tidak Rasional

Komentar awind <j.gedearka@upcmail.nl>:Ucapan bapak ketua DPR Marzuki Alie menunjukkan watak dia sesungguhnya yang rakus. Kita kutip ucapannya yang terakhir .
Kutipan:
“Jumlahnya lihat saja nanti. Satu WC itu butuhnya berapa. Penggunaan uang itu pasti ada pertangungjawabannya. Kalau uang gak habis tentu akan dikembalikan,” tukas Marzuki.
Kutipan selesai.
Dari ucapannya tersebut kalau dikejar/ditanya bagaimana kalau jumlah uang yang disediakan tidak mencukupi?  Jawaban tentu dia sudah siapkan yang dia akan kemukakan bila diperlukan.
Dari sini kita bisa menyimpulkan watak rakusnya yang tidak memilih sasaran apa saja yang mungkin dia bisa capai.Ucapannya tersebut bagai kiasan yang berbunyi : Umpama anjing memakan muntahnya.
Salam,
Awind

 

Default Marzuki Alie: Masyarakat Bodoh dan Tidak Rasional

KLATEN–Ketua DPR, Marzuki Alie menganggap masyarakat bodoh jika kerusakan toilet di Gedung DPR tidak diperbaiki. Politisi ini juga mengganggap masyarakat tidak rasional jika membahas persoalan renovasi toilet di Gedung DPR yang menelan anggaran senilai Rp 2 miliar.

Hal itu dikemukakan Marzuki saat ditemui wartawan seusai menghadiri Seminar Nasional Pendidikan di Gedung Radio Siaran Pemerintah Daerah (RSPD) Klaten, Kamis (5/1/2012). Dalam kesempatan itu, Marzuki menganggap masyarakat Indonesia kurang kerjaan jika masih mendiskusikan renovasi toilet Gedung DPR. Menurutnya, tidak ada gunanya membahas persoalan yang tidak produktif semacam toilet. “Jangan habiskan waktu kita untuk membahas hal-hal yang tidak produktif. Bangsa ini tidak rasional dan bodoh jika ada WC rusak tetapi tidak boleh diperbaiki. Yang namanya perbaikan itu wajib hukumnya,” tegas Marzuki.

Lebih lanjut, Marzuki meminta masyarakat tidak khawatir adanya bentuk penyelewengan dari proyek renovasi toilet Gedung DPR yang menelan biaya Rp 2 miliar itu. Menurutnya, proyek itu sudah melibatkan konsultan teknik dari Kementerian Pekerjaan Umum dan di bawah pengawasan Badan Pemeriksa Keungan (BPK). Terkait jumlah dana yang digunakan, kata Marzuki, bisa dikembalikan ke kas negara jika masih tersisa.

“Jumlahnya lihat saja nanti. Satu WC itu butuhnya berapa. Penggunaan uang itu pasti ada pertangungjawabannya. Kalau uang gak habis tentu akan dikembalikan,” tukas Marzuki.

(JIBI/SOLOPOS/Moh Khodiq Duhri)

Marzuki Alie: Masyarakat Bodoh dan Tidak Rasional

Konflik dan Anarkisme Merusak Akar Budaya Bangsa

07 Januari 2012 | BP
Konflik dan Anarkisme Merusak Akar Budaya Bangsa
Konflik pertambangan yang berujung tewasnya beberapa warga Bima, Nusa Tenggara Barat baru-baru ini menjadi pelajaran berharga bagi kita bangsa Indonesia. Kasus ini sekaligus membuka mata kita bahwa masalah lahan dan pertambangan masih sensitif memicu konflik. Tak hanya konflik horisontal antarkelompok masyarakat, tetapi juga vertikal antara warga dengan pemerintah daerah. Tak jarang konflik itu dihadapi dengan cara-cara kekerasan melibatkan aparat keamanan dengan warga. Akhirnya, bentrok pecah membawa korban harta dan jiwa.

Masalah sepele yang tersumbat solusinya kerap kali menyulut emosi tak terkendali. Bahkan daerah yang berpuluh-puluh tahun damai bisa berubah mencekam. Apalagi jika melihat masyarakat yang multikultur. Untuk itu kita mesti pandai-pandai mengemas perbedaan itu menjadi rahmat bagi seluruh kalangan. Bukan sebaliknya mengundang kecemburuan sosial yang berujung pada saling curiga dan akhirnya memunculkan konflik di sana-sini.

Selain soal lahan pertambangan, ekspansi perkebunan sawit sering kali menuai protes dari sebagian masyarakat. Syukur jika protes itu tidak berakhir dengan bentrok berdarah-darah. Namun, emosi warga jangan dianggap remeh. Gerakan massa tidak serta merta terjadi karena spontanitas. Di dalamnya sangat rentan dengan pemicu. Ibarat sumbu peledak bila disulut api bisa meledak. Sekelompok orang yang berkumpul akan lebih rawan terjadi gerakan, apakah itu positif atau negatif. Jika gerakan itu bersifat destruktif atau merusak, ini yang harus dicegah dan dicari jalan keluarnya.

Konflik dan anarkisme ibarat dua sisi mata uang, setiap saat bisa membahayakan keutuhan bermasyarakat, bangsa dan negara. Kalau forum kemasyarakatan yang ada tidak efektif, formula-formula baru harus segera ditemukan agar konflik dan anarkisme tidak terulang. Kita tidak boleh ‘minimalis’, apalagi lepas tangan, dalam menyikapi konflik berdarah yang terjadi di sejumlah daerah akhir-akhir ini. Terlebih intensitasnya cenderung meningkat. Cara-cara represif dalam beragam bentuk kekerasan dalam menghadapi konflik mesti dibuang jauh agar tidak menimbulkan jatuhnya korban dan melahirkan dendam tak berkesudahan.

Wawan Budyawan

Jakarta

Duh, Sebuah Keluarga Tinggal di Gubuk Kertas

Komentar awind <j.gedearka@upcmail.nl>:Membaca liputan dibawah ini pemerintah tentu akan menyalahkan daerah karena urusannya pemerintah daerah. Bebeda dengan Toilet DPR, yang merupakan tugas pemerintah pusat. Bagaimana kalau pemerintah pusat/daerah membangun toilet untuk umum disetiap sudut pojok sehingga kebersihan bisa agak dijamin dan  warga seperti yang tinggal dirumah gubuk kertas bisa juga buang air besar/kecil dengan baik. Jangan hanya toilet DPR saja yang dibangun.
Salam,
Awind

http://berita.liputan6.com/read/370918/duh-sebuah-keluarga-tinggal-di-gubuk-kertas

Duh, Sebuah Keluarga Tinggal di Gubuk Kertas

Edy Junaedi

06/01/2012 11:47

Liputan6.com, Polewali: Memprihatinkan sekali kondisi negeri ini. Di saat anggota DPR menganggarkan pembangunan toilet dengan dana yang katanya tidak kecil yakni “Hanya” Rp 2 miliar, sebuah keluarga di Polewali Mandar, Sulawesi Barat, hanya bisa membangun rumah dari uang sebesar Rp 2 juta. Rumah tersebut adalah gubuk berdinding kertas.

Mereka adalah keluarga nelayan, Martina. Menurut Martina, sudah lebih dua tahun, ia tinggal bersama suami dan seorang anaknya di gubuk berukuran 2 x 3 meter di bibir Pantai Mangaramba, Polewali Mandar.

Berdasarkan pantauan SCTV di kediaman Martina, rumah berdinding kertas dan sebagian anyaman bambu ini jauh dari kesan mewah. Lantai pasir yang diberi alas tikar ini hanya terdapat dua kursi plastik. Kamar dan dinding pembatas ruangan hanya menggunakan kertas bekas dari pembungkus semen yang dipungut dari tetangganya.

Tidak ada sarana air bersih dan MCK yang memadai. Alhasil, Martina dan sang suami terpaksa buang air di lapangan terbuka atau bibir pantai lantaran di wilayah mereka tidak ada sarana kamar mandi. Miris sekali bukan jika dibandingkan anggota Dewan yang hendak membangun toilet mewah dengan anggaran Rp 2 miliar.

Kabar rencana pembangunan toilet mewah itu benar-benar menyayat perasaan keluarga Martina dan warga setempat. Menurut dia, anggota Dewan kini kian tidak peka dengan rakyatnya. Padahal, jutaan warga miskin di Tanah Air lebih membutuhkan bantuan demi bertahan hidup, namun justru wakil rakyat mempertontonkan kemewahan yang tak semestinya.

Seyogianya, ketimbang membangun toilet Rp 2 miliar, lebih baik membangun fasilitas umum di permukiman miskin dan membangun rumah sederhana.

Tak hanya Martina, warga miskin lainnya di Dusun Mangaramba, Rahman, juga menilai pembangunan toilet mewah berlebihan. Padahal, dana tersebut bisa lebih bermanfaat untuk pengadaan sarana air bersih, kamar mandi, dan listrik di wilayahnya yang serba kekurangan.(BJK/ANS)

10.000 Warga Menduduki Kawasan Register 45 Mesuji

10.000 Warga Menduduki Kawasan Register 45 Mesuji
| Benny N Joewono | Jumat, 6 Januari 2012 | 21:32 WIB
:

 

KOMPAS/ADHITYA RAMADHAN
Warga Moro-Moro, Way Serdang, penghuni register 45, Kabupaten Mesuji, Lampung, menanti kedatangan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang dipimpin Wakil Menteri Politik, Hukum, dan HAM Deny Indrayana, Kamis (22/12). Selama hampir 14 tahun menghuni register 45, warga Moro-Moro tidak memiliki kartu identitas penduduk dan tidak mendapatkan pelayanan pendidikan dan kesehatan.

 

TERKAIT:

BANDARLAMPUNG, KOMPAS.com – Sekitar 10.000 warga menduduki sekitar kawasan register 45 Mesuji Lampung sejak adanya kasus sengketa lahan, yang berujung bentrokan antara petani dengan aparat keamanan November 2011 lalu.

“Sejak konflik agraria itu mencuat dengan adanya laporan ke Komisi III DPR RI lalu, warga terus berdatangan ke kawasan register tersebut,” kata salah seorang aktivis dari Yayasan Bimbingan Mandiri Lampung Sugianto, di Bandarlampung, Jumat (6/1/2012).

Sugianto yang telah melakukan pendampingan terhadap korban konflik lahan di Lampung sejak 1991 lalu mengatakan, dari informasi yang dihimpun ada beberapa titik di kawasan register itu yang diduduki warga.

Kawasan itu yakni Moromoro, Tugu Roda, Sri Tanjung, Pelita Jaya, Talang Batu, Talang Gunung, Brabasan serta beberapa titik lainnya.

Sebelum kasus itu mencuat lanjutnya, warga yang mendiami beberapa titik di kawasan itu hanya sekitar 115 kepala keluaga (KK).

Ia mengatakan, sejak laporan warga ke Komisi III DPR RI terkait kasus Mesuji jumlah pendatang bertambah dari 115 KK menjadi 140 KK kemudian naik menjadi 834 KK dan hingga sekarang jumlahnya diperkiaran mencapai 10.000 orang.

Menurutnya, darai 10 ribu jiwa itu, khusus di Desa Pekat Tiga Roda Mesuji jumlah penduduk yang menduduki areal register 45 saat ini sebanyak 1.250 KK.

Menurutnya, sebagian besar penduduk yang menduduki kawasan itu bukan berasal dari penduduk asli, tetapi pendatang dari beberapa daerah lainnya di Lampung seperti Lampung Utara, Lampung Timur dan Lampung Selatan.

Bahkan kata dia, ada beberapa penduduk yang mendatangi kawasan register itu berasal dari daerah yang memiliki persoalan yang sama yakni konflik agraria. “Mereka itu sebenarnya bukan pengungsi tetapi penjarah lahan,” kata dia menambahkan.

Sementara itu, Pemprov Lampung berupaya melaukan penertiban perambah di kawasan Register 45 Sungai Buaya Kabupaten Mesuji, guna penegakkan hukum atas tindakan penjarahan dan pendudukkan hutan secara sepihak.

Asisten Bidang Pemerintahan Sekda Provinsi Lampung Tarmizi Nawawi mengatakan, kompleksitas permasalahan pendudukkan, penjarahan dan perambahan hutan register 45 di tengarai konflik sosial antara PT Barat Selatan Makmur Isnvestindo (BSMI) dengan masyarakat setempat.

Ia menduga konflik tersebut merupakan akumulasi saratnya kepentingan politik sehingga terjadi potensi konflik sosial, sebagai komoditas untuk penggalangan dukungan jelang Pemilukada di daerah otonomi baru (DOB) tersebut.

Tarmizi meminta masyarakat perambah yang merasa dirugikan karena telah dipungut sejumlah uang oleh oknum yang “menjual” lahan di register 45, yang mengatasnamakan lembaga Adat Megow Pak, agar melaporkan ke polisi dari kawasan Register 45.

Sebelumnya, enam orang dari perwakilan Lembaga Adat Megow Pak didampingi oleh Sekda Provinsi Lampung Berlian Tihang dan Polda Lampung menghadap Menko Polhukam untuk mengklarifikasi bahwa lembaga adat itu tidak memiliki tanah ulayat di kawasan Register 45 Kabupaten mesuji.

Sumber :
ANT