Penulis: Dana Pratiwi | Penyunting: Andriani SJ Kusni
Perdebatan mengenai warga negara “asli” dan “tidak asli” telah menjadi persoalan pelik jauh sejak sebelum kemerdekaan negeri ini. Bahkan sampai saat ini pun, polemik pribumi dan nonpribumi menjadi isu sensitif.
Pidato politik Gubernur DKI Jakarta terpilih tahun 2017-2022 Anies Baswedan adalah salah satu buktinya. Saat itu, Anies dalam pidatonya mengatakan, berakhirnya masa penjajahan menjadi momentum bagi pribumi untuk menjadi tuan rumah di negerinya sendiri. “Dulu kita semua pribumi ditindas dan dikalahkan. Kini telah merdeka, saatnya kita menjadi tuan rumah di negeri sendiri,” kata Anies, dalam pidato pelantikannya, 16 Oktober 2017 lalu.
Dalam konteks kolonial Belanda, istilah nonpribumi memang lebih disematkan pada orang-orang keturunan bangsa China yang tinggal di Indonesia. Di Indonesia, mereka sendiri terbagi dalam dua kelompok.
Sinolog Leo Suryadinata dalam jurnal berjudul “Negara dan Minoritas Tionghoa di Indonesia” (1999) menjelaskan, peranakan China adalah orang keturunan China yang lahir dari perkawinan campur antara lelaki etnis China yang telah menetap di Indonesia dengan masyarakat pribumi, baik muslim dan nonmuslim. Peranakan China memiliki kebudayaan yang mengandung unsur budaya lokal. Hal itu berbeda dengan China totok, yang tetap mempertahankan budaya China asli. Kendati demikian, keduanya tetap dipandang sebagai orang asing di Indonesia. Leo mencatat setidaknya ada beberapa alasan yang membuat kondisi demikian terjadi.
Meski orang Ambon dan Batak tergolong asing bagi orang Jawa, tetapi orang peranakan China tetaplah berbeda. Argumennya, selain sebagai imigran, mereka tidak memiliki daerah asal di Indonesia. Padahal, peranakan China tersebar ke kota-kota Indonesia.
Selain itu, Leo menjelaskan, kelompok nasionalis sebelum kemerdekaan Indonesia, tidak menganggap mereka sebagai bagian dari bangsa Indonesia. Hanya kelompok kiri yang mengakui keberadaan mereka. Pemerintah China pun pada suatu masa pernah menganggap bahwa semua orang China, baik yang berada di luar negeri China tetap merupakan warga negaranya.
Sejatinya, bila ditelisik secara historis, peranakan China sebenarnya turut menjadi bagian dari perjuangan kemerdekaan negeri ini. Ada sejumlah tokoh peranakan China yang memainkan peranan penting dalam proses nation building Indonesia.
Adalah Siauw Giok Tjhan, salah satu tokoh peranakan China yang hidup dan matinya rela dipertaruhkan demi persatuan bangsa Indonesia. Pria kelahiran Surabaya tahun 1914 ini boleh dikatakan hampir menghabiskan separuh hidupnya untuk menyatukan peranakan China di Indonesia.
Giok Tjhan adalah tokoh peranakan China yang menentang adanya revisi Undang-Undang Kewarganegaraan Tahun 1946 pada tahun 1953. Tak hanya itu, ia turut gigih memperjuangkan Perjanjian Penyelesaian Dwi-Kewarganegaraan. Perjanjian itu menjamin bahwa sebagian besar penduduk Tionghoa kelahiran Indonesia menjadi warga negara Indonesia (WNI).
Siauw Tiong Djin dalam tulisannya pada buku Sumbangsih Siauw Giok Tjhan dan BAPERKI dalam Sejarah Indonesia (2000) menyebutkan, usaha Giok Tjhan tersebut berhasil menjadikan sebagian besar orang China kelahiran Indonesia, pada tahun 1965, menjadi WNI.
Giok Tjhan yang menyarankan agar sebaiknya sebagian besar orang China yang hidup di Indonesia itu menjadi WNI, diakui oleh banyak orang pada tahun 60-70 an. Saat itu, kenyataannya lebih dari 70% penduduk China di Indonesia adalah WNI.
Beragamnya suku, ras, dan agama serta pembelahan sosial di masyarakat sebagai dampak politik pecah-belah yang dijalankan Belanda pasca Indonesia merdeka menuai perdebatan dalam mendefinisikan warga negara Indonesia. Perjalanan hidup Giok Tjhan dan jejak perjuangannya dalam merumuskan undang-undang kewarganegaraan menjadi bukti bahwa sebagai kelompok minoritas, tak mudah untuk menjadi bagian dari bangsa Indonesia.
Betul jika Giok Tjhan memang sangat berupaya mempertahankan Undang-Undang Kewarganegaraan tahun 1946. UU tersebut menggunakan prinsip “Jus Soli”, yang berarti status kewarganegaraan tergantung pada tempat kelahiran. UU tersebut juga menerapkan Stelsel Pasif, yang berarti semua orang dan suku yang menjadi warga negara pada saat yang sama.
Giok Tjhan yakin Stelsel Pasif tak akan menimbulkan istilah “warga negara Indonesia baru” sebab semua orang yang dilahirkan di Indonesia dinyatakan sebagai warga negara Indonesia. UU tersebut pun dinilainya demokratis karena memberikan hak untuk setiap orang untuk menentukan apakah menerima atau menolak menjadi WNI.
Integrasi versus Asimilasi
Bukan orang China biasa. Itulah julukan yang disematkan Tiong Djin untuk ayahnya, Giok Tjhan. Sementara, Soe Tjen Marching dalam tulisannya mengatakan, pemikiran Giok Tjhan berangkat dari pengalamannya semasa muda. Semasa sekolah, Giok Tjhan kerap diejek “Cina Loleng”.
Masa muda Giok Tjhan terbilang amat sulit. Sejak usia remaja, Giok Tjhan sudah yatim piatu. Orang tuanya meninggal manakala ia baru menginjak usia 18 tahun. Guna menyambung hidup serta menghidupi adiknya, Siauw Giok Bie yang baru berusia 14 tahun, Giok Tjhan mulai bekerja.
Giok Tjhan menggeluti berbagai bisnis, sebelum ia pada akhirnya berkecimpung dalam dunia jurnalistik. Puncak karier jurnalistik Giok Tjhan yakni ketika ia terpilih menjadi pemimpin redaksi harian Mata Hari tahun 1939-1942. Semasa menjadi jurnalis, ia tak segan mengkritik pemerintahan kolonial.
Tiong Djin dalam bukunya menceritakan, pembawaan ayahnya memang berlawanan dengan stereotip orang China pada umumnya. Apalagi sejak usia 18 tahun, Giok Tjhan telah bergabung dengan gerakan perjuangan Indonesia. Bahkan pascakemerdekaan pun, Giok Tjhan tetap aktif dalam gerakan politik yang sebenarnya dianggap sebagai sebuah profesi yang berbahaya oleh orang China.
Berkat aktivitas politiknya sedari belia itu, Giok Tjhan kemudian terlibat langsung politik praktis. Diawali pada tahun 1934, Giok Tjhan bergabung dengan Partai Tionghoa Indonesia (PTI). Dia memutuskan bergabung dengan Partai Sosialis Indonesia pada tahun 1946.
Pada tahun 1946-1966, Giok Tjhan kemudian dipilih menjadi anggota legislatif untuk Komite Nasional Indonesia Pusat dan Badan Pekerjanya. Pada saat yang sama, dia bersama Tan Ling Djie, Oey Gee Hwat dan Go Gien Tjwan, turut memimpin dan mempengaruhi berbagai kebijakan di partai tersebut.
Karir politiknya kian moncer mana kala ia dipilih menjadi menteri di kabinet Amir Sjarifuddin tahun 1947-1948. Tak hanya itu, di Zaman Demokrasi Terpimpin, ia juga diangkat oleh presiden Soekarno sebagai anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA).
Namun dari semua karier politiknya itu, pendirian Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki) pada tahun 1954, menurut Tiong Djin, menjadi karir politik terpenting Giok Tjhan. Baperki adalah organisasi massa yang secara efektif melawan diskriminasi rasial melalui gerakan politik dan pendidikan politik. Orientasinya didasari pada UUD yang berlaku saat itu.
Baperki menjadi organisasi yang memperjuangkan pembangunan “Nasion” Indonesia. Menurut Giok Tjhan, gagasan Nation Building yang kerap digunakan Sukarno adalah kewarganegaraan Indonesia yang sejalan dengan nilai Bhinneka Tunggal Ika.
Giok Tjhan tak senang dengan penggunaan kata “bangsa” untuk menerjemahkan kata “race” dan “nation”. Dua hal ini menimbulkan kerancuan dalam perwujudan nasion yang sejalan dengan semangat kemerdekaan.
“Nasion” yang dikehendaki oleh para pejuang kemerdekaan ialah bangsa yang terdiri dari berbagai suku bangsa dan memiliki kesamaan tekad untuk bersatu dan menjadi bagian dalam Indonesia. Lalu ras, merupakan kelompok manusia yang bersatu karena adanya kesamaan ciri biologis sedangkan Nation, merupakan istilah politik yang merujuk pada kelompok manusia yang bersatu karena kesamaan ciri politik.
Berangkat dari konsepsi tersebut, Giok Tjhan menilai tak ada Ras Indonesia, yang ada hanya “Nasion” Indonesia yang terdiri dari banyak suku bangsa. Baginya, sejak tahun 1950an, peranakan China di Indonesia telah beregenerasi menjadi Indonesia sehingga harus memperoleh status suku.
Menurut Siauw, setiap suku harus mengintegrasikan diri ke dalam “Nasion” Indonesia melalui kegiatan politik, sosial dan ekonomi. Tujuannya supaya aspirasi “Nasion” Indonesia itu menjadi aspirasi setiap suku, termasuk suku China.
Dari pemikiran itu pula, kata Tiong Djin, muncul gagasan konsep integrasi Giok Tjhan. Integrasi menjadi metode yang efektif dalam rangka mewujudkan “nasion” Indonesia, yang sejalan dengan prinsip nilai Bhinneka Tunggal Ika. Melalui organisasi Baperki lah, Giok Tjhan berupaya memperjuangkan hak-hak kewarganegaraan peranakan China di Indonesia.
Secara garis besar, Giok Tjhan menginginkan integrasi peranakan China menjadi warga negara Indonesia. Integrasi yang dimaksud adalah menjadikan peranakan China di Indonesia sebagai WNI sebanyak mungkin, tanpa menghilangkan identitas ke-China-annya.
Konsepsi Giok Tjhan tersebut diamini oleh Presiden Sukarno pada tahun 1963. Secara tegas, Sukarno mengatakan suku China dan orang China tak perlu mengganti nama, agama, dan kawin campuran demi berbakti kepada Indonesia. Akan tetapi, pada saat yang sama, muncul pula penolakan terhadap gagasan Giok Tjhan tersebut. Penolakan itu pun datang dari kelompok peranakan China pula.
Pada awal 1960-an, muncul Lembaga Pembinaan Kesatuan Bangsa (LPKB) dengan gagasan asimilasi sebagai solusi mengatasi persoalan kewarganegaraan peranakan China di Indonesia. Diceritakan Tiong Djin, konsepsi asimilasi tersebut menginginkan agar peranakan China di Indonesia menanggalkan semua kebudayaan China-nya, mulai dari mengganti nama dan melakukan perkawinan campuran. Hanya dengan begitu, menurut kelompok pendukung asimilasi, dapat membuat golongan China di Indonesia tak lagi terpisah dari golongan mayoritas.
Sebenarnya, Giok Tjhan tak menentang proses asimilasi selama hal itu dilakukan secara sukarela. Tapi bila proses tersebut dilakukan secara paksa, menurutnya justru mengarah ke praktik genosida.
Konsepsi integrasi yang digagas Giok Tjhan kemudian digolongkan dengan solusi “kiri”, sedangkan konsepsi asimilasi yang dicanangkan LPBK disebut sebagai solusi “kanan”. Keterkaitan ini menguat lantaran Giok Tjhan memiliki keterikatan dengan rezim Demokrasi Terpimipin di bawah kekuasaan Sukarno dan dipandang pro dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Alhasil, Giok Tjhan bersama Baperki pun menjelma jadi tokoh peranakan China yang berpengaruh saat itu.
Tuduhan PKI
Giok Tjhan dan Baperki tak hanya mengurus perkara perumusan Undang-undang Kewarganegaraan saja. Baperki di bawah kepemimpinannya turut berkembang sebagai institusi pendidikan swasta yang ditujukan untuk menanamkan kecintaan terhadap bangsa Indonesia kepada pelajar peranakan China yang tak tertampung di sekolah-sekolah umum.
Tak hanya itu, Giok Tjhan turut berkontribusi dalam perumusan program ekonomi nasional. Dia menganjurkan agar dilakukan pengembangan terhadap pemilik modal domestik, tanpa melihat latar belakang ras pemiliknya. Menurut Giok Tjhan, pemilik modal domestik lebih memedulikan kesejahteraan rakyat dibandingkan dengan pemilik modal luar negeri.
Sayang, meski pemikiran Giok Tjhan sejalan dengan tujuan persatuan dan keutuhan bangsa Indonesia, perjuangannya untuk mengawal pembangunan negeri ini harus berakhir. Kedekatan Siauw dengan rezim Sukarno dan PKI membuatnya dituduh sebagai komunis.
Padahal, Soe Tjen Marching menyebutkan, Siauw sering terlibat konflik dengan Aidit. Saat ulang tahun PKI misalnya, ia mengkritik Aidit yang berpenampilan layaknya menteri. Ia menilai Aidit terlalu elitis dan mementingkan posisi dalam pemerintahan.
Selain itu, meski gagasan ekonomi Giok Tjhan seperti Marxist, namun Giok Tjhan dinilai mencoba memadukan gagasan sosialis dan kapitalis. Perekonomian, dirasa Giok Tjhan, tak akan berkembang bila tak ada perpaduan dari kedua gagasan itu.
Stigma Giok Tjhan sebagai komunis itu menurut Tiong Djin masih melekat sampai sekarang. Namun menurutnya, sejarah akan membuktikan bahwa tuduhan yang datang dari LPKB dan didukung oleh rezim Orde Baru tidaklah benar. Giok Tjhan pun tak pernah menjadi anggota PKI. Ironinya, Giok Tjhan justru tertuduh sebagai komunis. Peristiwa 30 September 1965 menjadi akhir karir Giok Tjhan dalam perpolitikan Indonesia.
Naiknya rezim Suharto menggantikan Sukarno tahun 1966 sukses memporakporandakan segala perjuangan Giok Tjhan untuk membangun Nasion Indonesia yang sejalan dengan konsepsi integrasinya.
Di bawah kekuasaan rezim Orde Baru Suharto, Baperki dibubarkan. Giok Tjhan dipenjarakan tanpa proses pengadilan dan baru bebas pada Mei 1978. Mendekam di penjara membuat kesehatan Giok Tjhan memburuk. Ia pun setelahnya pergi ke Belanda untuk menjalani pengobatan penyakit komplikasi yang dideritanya, sekaligus menghindari rezim otoriter Suharto.
Tanggal 20 November 1981, Giok Tjhan meninggal. Satu yang menjadi pembeda pemikirannya, adalah golongan China perlu bergerak secara akar rumput untuk melakukan pembaharuan.***
Catatan Pengasuh:
Terima kasih kepada Chan CT di Hong Kong yang telah mengirimkan tulisan ini. Tulisan-tulisan ini disiarkan dengan harapan bisa jadi acuan dalam menjawab pertanyaan: Siapakah Orang Indonesia itu dan bagaimana menjadi Indonesia itu? Jika pertanyaannya dipersempit akan menjadi: Siapakah Uluh (Orang) Kalteng itu dan bagaimana menjadi Uluh Kalteng. Mengapa diperlukan?
YANG CHIL SUNG
Pemuda Korea dalam Perang Kemerdekaan Indonesia
Oleh: M. Rikaz Prabowo | Penyunting: Andriani SJ Kusni
Perjuangan Indonesia mempertahankan kemerdekaan atau sering disebut masa Revolusi Fisik 1946-1949, selalu menjadi suatu hal yang menarik untuk dibahas.
Bagi penulis, keterlibatan tentara-tentara asing atau tentara dari bangsa asing yang memihak dan berjuang di tubuh tentara Republik sangat menarik perhatian. Hal ini membuka suatu fakta bahwasanya perjuangan kemerdekaan Indonesia tidak hanya sumbangsih dari orang Indonesia sendiri di medan tempur, namun ada dari bangsa India, Jerman, Jepang, bahkan dari Belanda sendiri yang turut andil. Selain itu, masih ada satu orang lagi pejuang dari bangsa asing di tubuh tentara republik yakni orang Korea.
Tidak ada yang tahu pasti berapa jumlah tentara berkebangsaan Korea dalam kubu Republik, yang jelas keberadaan mereka tidak bisa dilepaskan dari berkuasanya tentara Kekaisaran Jepang pada Maret 1942.
Semenanjung Korea, sejak sebelum meletusnya Perang Dunia II, sudah lebih dahulu diokupasi oleh Jepang. Jepang menjadikan Korea sebagai negara jajahannya sehingga mau tidak mau Kekaisaran Korea saat itu harus tunduk di bawah Tenno Haika (Kaisar Jepang).
Tidak ada suatu hal yang menjadikan sebuah penjajahan menjadi hal yang dibanggakan termasuk saat orang-orang Korea direkrut paksa menjadi tentara Kekaisaran Jepang untuk memenangkan Perang Asia Timur Raya yang mengingatkan hal serupa saat Jepang merekrut pemuda Indonesia masuk dalam bagian ketentaraan Jepang melalui PETA dan Heiho. Tentara-tentara Jepang berkebangsaan Korea ini kemudian banyak dilibatkan Jepang dalam berbagai medan pertempuran di sekitar Asia-Pasifik termasuk saat Jepang mengambil alih Indonesia dari Hindia Belanda. Tentara Korea biasa ditempatkan dalam suatu batalyon baik di Rikugun (Angkatan Darat) maupun Kaigun (Angkatan Laut) yang dipimpin oleh komandan yang tentu saja tetap orang Jepang.
Shigeru Ono atau kemudian kerap dikenal dengan Rahmat Ono, tentara Jepang yang menyeberang ke dalam tentara Republik pasca kekalahan Jepang menyebutkan, saat di Bandung, ia memimpin sebuah grup dalam batalyonnya yang berisi orang-orang Korea. Ketika Jepang diketahui sudah kalah dalam perang, tentara kebangsaan Korea yang ia pimpin berubah menjadi enggan mematuhi perintah orang-orang Jepang.
Komarudin alias Yang Chil Sung: Berani dan Nekat!
Sekitar tahun 1945-1946, rakyat Garut terutama yang pernah ikut bergerilya akan sulit melupakan sosok Komarudin atau yang bernama asli Yang Chil Sung. Ya, ia seorang Korea dan berjuang bersama kaum Republik. Yang Chil Sung diketahui lahir pada 29 Mei 1919 di Wanjo, Provinsi Jeolla Utara yang saat ini masuk dalam wilayah Korea Selatan. Ia dibawa oleh tentara Jepang ke Indonesia dan diberi tugas menjaga sebuah camp tawanan perang sekutu di Bandung pada 1942.
Sama seperti ratusan tentara Jepang yang tidak kembali ke negeri asalnya, Yang tetap memilih tinggal di Indonesia. Tidak diketahui apa motivasinya awalnya, apakah sekedar ikut-ikutan tentara Jepang atau benar-benar ingin membantu perjuangan Indonesia. Yang jelas, Yang kemudian menjadi tentara yang tangguh dan menjadi “momok” bagi tentara Belanda selepas itu.
Wilayah tempur Yang di sekitar Garut Jawa Barat. Di bawah Kesatuan Pangeran Papak pimpinan Mayor E. Kosasih, Yang Chil Sung bersama 2 rekannya dari Jepang, Hasegawa (Abu Bakar) dan Mashashiro Aoki (Oesman), menjadi trio pembawa maut bagi Belanda. Ketrampilan gerilya mereka kerap menyulitkan Belanda dan menginspirasi pejuang yang lain. Bahkan keberanian mereka, khususnya Yang Chil Sung benar-benar gila. Pernah suatu waktu, Yang Chil Sung seorang diri menghancurkan jembatan Cimanuk yang akan dilewati oleh konvoi tentara Belanda untuk menaklukkan Wanaredja. Akibatnya, pasukan Belanda yang datang dari arah Bandung terpaksa memutar balik dan gagal menaklukkan Wanaredja.
Gerah dengan kelakuan mereka, Belanda mulai menyebarkan telik sandi (mata-mata) untuk meringkus Yang Chil Sung, Hasegawa, dan Mashashiro Aoki, hidup atau mati. Lewat informasi telik sandi, mereka berhasil ditangkap disebuah gubuk di Desa Parentas, Kaki Gunung Dora, Garut. Setelah melewati pengadilan singkat di Garut, mereka bertiga diputuskan dihukum mati. Eksekusi ketiganya terjadi tanggal 10 Agustus 1949.
Yang Chil Sung dan dua rekan Jepangnya kemudian dimakamkan di TPU Pasir Pogor Garut. Pada 1975, Pemerintah Indonesia kemudian memindahkan makam Yang Chil Sung (dan dua rekan Jepangnya) ke TMP Tenjolaya Garut sebagai Pahlawan Kemerdekaan Indonesia. (Sumber: http://www.riwajat.id/2016/01/pahlawan-kemerdekaan-dari-negeri.htm)