MASALAH AIR DI INDONESIA

IRONI YANG JAUH DARI AKHIR

Kompas,  3 Maret 2015

Ayat ketiga Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi ”Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat” rupanya belum sepenuhnya dilaksanakan pemerintah sebagai pemegang kekuasaan.
Aktivitas bongkar muat  di gudang perusahaan air minum dalam kemasan di  Kalibata, Jakarta Selatan, Sabtu (28/2). Pemerintah tengah mengevaluasi perizinan usaha penyediaan air minum dengan swasta. Ini sebagai tindak lanjut atas pembatalan UU No 7/2004 tentang Sumber Daya Air oleh Mahkamah Konstitusi.KOMPAS/TOTOK WIJAYANTOAktivitas bongkar muat di gudang perusahaan air minum dalam kemasan di Kalibata, Jakarta Selatan, Sabtu (28/2). Pemerintah tengah mengevaluasi perizinan usaha penyediaan air minum dengan swasta. Ini sebagai tindak lanjut atas pembatalan UU No 7/2004 tentang Sumber Daya Air oleh Mahkamah Konstitusi.
Sebuah ironi tentang ketersediaan air sejak lama menimpa negeri ini. Sumber daya air yang berlimpah seharusnya membuat bangsa Indonesia tak perlu mengeluh kekurangan air, tetapi faktanya kita tak bisa mengelola anugerah yang luar biasa itu.
Lihat saja pada musim hujan banyak tempat kebanjiran. Sebaliknya, pada musim kemarau banyak daerah mengalami kekeringan. Bahkan, untuk keperluan mendapat air layak minum, kita harus membeli air dalam botol dengan harga tidak murah, sekitar Rp 4.000 untuk setengah liter air.
Apalagi masyarakat di desa-desa yang dulu dengan mudah mencari sumber air bersih, sejak kira-kira 10 tahun lalu tak bisa lagi dengan mudah mendapatkannya. Sebab, sumber air yang dulu bisa digunakan siapa pun kini banyak yang sudah menjadi milik orang atau perusahaan tertentu.
Ya, pemerintah menempuh cara menjual wilayah yang memiliki cadangan air besar atau privatisasi air kepada pihak swasta. Otomatis pengelolaan banyak sumber air tak lagi ada di bawah pemerintah. Sekian lama keadaan itu berlalu, tetapi tak banyak orang peduli.
Beruntung belakangan, sebagian masyarakat peduli pada bahaya besar yang mengancam jika tak ada perbaikan dalam pengelolaan air. Mereka mengajukan gugatan terhadap aturan pemerintah tentang privatisasi air yang tertuang di dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air ke Mahkamah Konstitusi. Lembaga tersebut mengabulkan gugatan itu. Angin segar terasa bertiup, tetapi langkah masyarakat dan pemerintah tak cukup sampai di situ.
Tata ulang
Ahli hukum lingkungan Dr Deni Bram menyatakan, keputusan MK itu memberi kesempatan bagi pemerintah untuk mengembalikan tata kelola sumber daya air sebagaimana amanat UUD 1945. Namun, di sisi lain, jika momentum itu dibiarkan berlalu, pihak yang saat ini menguasai sumber air bisa bertindak semaunya.
”Kekosongan hukum ini berbahaya karena itu pemerintah harus secepatnya mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti UU atau perpu, lalu segera menata ulang, bagaimana seharusnya mengelola sumber air yang ada,” katanya mengingatkan.
Tak hanya Deni yang risau oleh ketidakmampuan pemerintah mengelola sumber daya air. Aga Aswanta Putra, mahasiswa Jurusan Matematika Program Studi Statistika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, pun merasa heran mengapa pemerintah menyerahkan pengelolaan sumber air kepada swasta.
Pedagang air keliling  mengisi jeriken  di  kawasan Penjaringan, Jakarta Utara, beberapa waktu lalu. Pedagang air  ini melayani kebutuhan air bersih warga sekitar dan menjualnya Rp 1.000 per jeriken.
KOMPAS/PRIYOMBODOPedagang air keliling mengisi jeriken di kawasan Penjaringan, Jakarta Utara, beberapa waktu lalu. Pedagang air ini melayani kebutuhan air bersih warga sekitar dan menjualnya Rp 1.000 per jeriken.
”Di daerahku, konflik tentang sumber air sering terjadi gara-gara pihak swasta mengambil alih sumber air di tanah yang mereka beli,” ujar Aga yang berasal dari Malang, Jawa Timur.
Perlawanan warga
Tahun lalu warga Desa Gemulo, Kecamatan Batuaji, Kota Batu, Jawa Timur, konflik dengan pihak yang akan membangun hotel di daerah wisata Batu. Kebetulan tempat yang akan dibangun hotel terdapat sumber air yang kelak akan diambil oleh pemilik hotel. Masalah itu sampai ke pengadilan karena pihak pemilik hotel menuntut warga. Beruntung pengadilan memenangkan hak warga Batu.
Belajar dari kasus itu, Aga berharap pemerintah segera membuat lembaga baru yang khusus mengurusi sumber daya air, mulai dari menjaga kelangsungan hingga mendistribusikan ke masyarakat secara adil. Selain itu, lembaga tersebut juga bertugas ikut menggerakkan masyarakat untuk terus memelihara kelangsungan sumber air, menjaga lingkungan sekitar mereka dari pencemaran, dan lain-lain.
Kepedulian masyarakat akan pentingnya negara menguasai sumber air menggembirakan Deni Bram yang mengajar hukum lingkungan di Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara, Jakarta. Ia menyatakan, air adalah benda sangat penting karena itu wajar jika masyarakat yang terganggu kepentingannya kemudian meminta keadilan.
Ia juga berpendapat, pasca pembatalan UU tentang Sumber Daya Air, semestinya kementerian dan lembaga yang terkait dengan soal ini proaktif. ”Selain menghentikan privatisasi yang aturannya berasal dari UU tersebut, kementerian dan lembaga secepatnya harus mengundang pihak yang berkaitan dengan soal penataan penggunaan air ini untuk memikirkan langkah apa lagi yang perlu dilakukan,” kata Deni lagi.
Kesempatan mengembalikan kekuasaan sumber daya air kepada negara sudah terbuka. Semestinya ironi itu bisa segera diakhiri setelah negara berdaulat penuh atas sumber kekayaan untuk menyejahterakan warganya.
(TRI)

Negara Belum Siap Kelola Air

Pengusaha Minta Kepastian Hukum dari Pemerintah

Kompas,  3 Maret 2015

JAKARTA, KOMPAS — Negara dan pemerintah hingga saat ini belum siap memenuhi kebutuhan air layak minum bagi seluruh rakyat. Peran swasta dalam pengelolaan sumber daya air pada beberapa tahun ke depan diperkirakan masih akan cukup besar.
Karyawan perusahaan air minum dalam kemasan sedang bersiap mendistribusikan ratusan galon air ke dalam truk pengangkut.KOMPAS/TOTOK WIJAYANTOKaryawan perusahaan air minum dalam kemasan sedang bersiap mendistribusikan ratusan galon air ke dalam truk pengangkut.
Saat ini, semua perusahaan air minum di Indonesia yang berjumlah 425 perusahaan, di bawah pengelolaan pemerintah daerah, melayani sekitar 10 juta sambungan rumah atau setara dengan 60 juta orang atau 25 persen dari total penduduk. Dari sisi volume, itu setara dengan 3,2 miliar liter pada 2013.
Bandingkan dengan volume penjualan air minum dalam kemasan milik swasta yang mencapai 20,3 miliar liter (2013). Tahun 2014, volumenya naik menjadi 23,9 miliar liter.
Data itulah yang antara lain memunculkan keraguan atas kesiapan pemerintah menyediakan air layak minum. ”Siap tidak siap, kalau sudah menjadi program pemerintah, kami harus siap,” kata Direktur Eksekutif Persatuan Perusahaan Air Minum Seluruh Indonesia Subekti, di Jakarta, Senin (2/3).
Sebagai informasi, Mahkamah Konstitusi membatalkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (UU SDA) beserta enam peraturan turunannya, mengabulkan gugatan sejumlah pemohon organisasi dan perorangan. Kehadiran negara dalam mengelola sumber daya air, termasuk air layak minum, didesak untuk ditingkatkan lagi.
Di Jakarta, Ketua Mahkamah Konstitusi Arief Hidayat mengatakan, pihak swasta tetap dapat berperan dalam penyediaan air minum. Namun, pemerintah harus tetap mengontrol penyediaan air minum bagi warga negara.
”Swasta dimungkinkan selama (penyediaan dan pengelolaan air) dikuasai negara. Dapat dikuasai melalui BUMN dan BUMD, jika ada sisa (kewenangan), dapat dikerjakan swasta,” ujarnya seusai diskusi di Gedung MPR/DPR.
content
,

Pendiri Indonesia Water Institute yang juga dosen Teknik Lingkungan Fakultas Teknik Universitas Indonesia, Firdaus Ali, mengatakan, peran pemerintah harus diwujudkan dengan menekan harga air agar tidak mahal. Caranya, negara hadir melakukan investasi pada fasilitas pengolahan, transmisi, distribusi, dan sambungan rumah.

Jika akses air bersih layak minum saat ini tak terpenuhi, lanjut Firdaus, itu karena pengelolaannya buruk. ”Karena pemerintah tak menginvestasikan cukup, swasta memproyeksikan harga sesuai target keuntungan,” katanya.

 

Banyak kendala
Di sejumlah daerah, ketidakpuasan pelanggan masih mendominasi penanganan air bersih oleh PDAM. Di Kota Balikpapan, Kalimantan Timur, sekitar 17.500 pelanggan atau seperlima dari total pelanggan PDAM Balikpapan, kesulitan air bersih sejak lima hari lalu.
Pipa transmisi patah akibat longsor di lokasi pengembangan perumahan Grand City. Dampaknya, produksi air di Instalasi Pengolahan Air Minum Kampung Damai anjlok separuh, menjadi 200 liter per detik. ”Kami secepatnya memperbaiki,” ujar Gazali Rachman, Direktur Umum PDAM Balikpapan.
Di Nagari Kepala Hilalang, Kecamatan 2×11 Kayu Tanam, Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat, sebagai bentuk protes, warga merusak pipa PDAM Padang Pariaman di Korong Pincuran Tujuh. Lubang besar sedalam 30 sentimeter digali sebelum melubangi pipa.
Sekitar 6.000 dari total 13.000 pelanggan PDAM di Padang Pariaman dan Kota Pariaman akhirnya tak mendapat aliran air bersih. ”Ini akar masalahnya bertahun-tahun,” kata Wali Nagari Kepala Hilalang Taufik Syafei.
Di Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah, yang dilintasi Sungai Kahayan, air PDAM mengalir, tetapi sering keruh karena terpengaruh tanah gambut. Warga harus lebih dulu menampung air agar kotoran mengendap.
”Kendati demikian, air itu layak. Hasil uji laboratorium, tidak ada ikutan bahan berbahaya,” kata Direktur PDAM Kota Palangkaraya Tridoyo Kertanegara.
Di luar masalah-masalah itu, sejumlah PDAM menyatakan kesiapan merespons tanggung jawab lebih membuka akses warga, di antaranya PDAM Tirta Dharma Makassar dan PDAM Surya Sembada Surabaya.
Layanan PDAM Tirta Dharma Makassar, Sulawesi Selatan, mencakup 72 persen atau 163.000 sambungan. Daftar tunggunya 70.000 sambungan pelanggan. PDAM itu punya lima instalasi pengolahan air dengan total debit air 2.850 liter per detik.
”Kami siap menambah jangkauan layanan bagi seluruh warga,” ujar Pejabat Sementara Direktur Utama PDAM Tirta Dharma Ibrahim Saleh.
Adapun layanan PDAM Surya Sembada Surabaya saat ini mencakup 92,6 persen dari total area, atau yang terbaik se-Indonesia. Area yang belum terlayani terkendala sengketa lahan atau terlalu jauh dari rumah pompa sehingga tekanan air tidak cukup.
”Kami berusaha sehingga sebelum tahun 2020 cakupan pelayanan kami 100 persen,” kata Manajer Sekretariat dan Humas PDAM Surya Sembada Ari Bimo Sakti. Total ada 527.000 pelanggan.
Untuk daerah yang belum terlayani, tahun 2015 akan dibangun rumah pompa. Total 16 tempat penampungan air akan dibangun mulai tahun ini. Kapasitas layanan air yang ada 10.000 liter per detik.
Tanggapan industri
Menanggapi kemungkinan pengurangan peran swasta dalam pengelolaan air, dunia usaha menyerahkannya kepada pemerintah. ”Berapa persen kami boleh mengakses, silakan pemerintah mengatur. Kami hanya mengikuti. Yang penting ada kepastian hukum,” kata Sekjen Asosiasi Industri Minuman Ringan (Asrim) Suroso Natakusuma.
Kemarin, sejumlah asosiasi pengusahaan air bertemu dengan Kementerian Perindustrian. Mereka meminta pemerintah memperjelas dasar hukum di tengah kekosongan aturan teknis setelah pembatalan UU SDA.
Industri-industri pengguna air itu kemarin membentuk Forum Komunikasi Lintas Asosiasi Pengguna Air. Sementara ini terdapat 10 asosiasi yang bergabung, antara lain Aspadin, Asrim, Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia, serta Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (Gapmmi).
Ketua Umum Gapmmi Adhi S Lukman mengatakan, pertemuan itu membahas UU SDA. Pelaku usaha memohon pemerintah memberikan kepastian berusaha setelah UU SDA dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK).
Secara khusus, Menteri Perindustrian Saleh Husin berharap segera ada peraturan pemerintah yang baru. ”Harus dikeluarkan secepatnya untuk memberikan kepastian hukum bagi industri. Di sisi lain, hak rakyat atas air juga harus terpenuhi,” ujarnya.
Sementara itu, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menunggu sikap pemerintah.
”BKPM dan Kementerian Perindustrian sepakat, setiap investasi yang legal sebelum ada keputusan pembatalan UU SDA dari MK harus dilindungi. Namun, mekanisme apa setelah pencabutan, kami tidak bisa  grusa-grusu (terburu-buru) mengeluarkan peraturan. Kami akan mengkaji,” kata Kepala BKPM Franky Sibarani.
Susun undang-undang
Secara terpisah, ahli hidrologi dari Universitas Diponegoro Semarang, Robert Kondiatie, menyatakan, pemerintah diminta segera menyusun undang-undang baru terkait pengelolaan air yang sejalan dengan tafsir MK, yaitu mengedepankan pengakuan hak setiap warga atas air.
”Prinsip dari undang-undang baru ke depan adalah mengembalikan air sebagai hak setiap warga sebagaimana diatur Undang-Undang Dasar 1945. Ini artinya, air tidak boleh dikomersialkan,” katanya.
Sejauh ini, rencana yang disiapkan pemerintah adalah menyusun rancangan peraturan pemerintah, bukan undang-undang.
(JOG/CAS/RYO/MED/ENG/ZAK/DEN/DKA/PRA/ESA/ETA/AIK/B07/GSA)

Mengakhiri Liberalisasi Pengelolaan Air

Kompas,  4 Maret 2015

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-XI/2013  tertanggal 17 September 2014 telah membatalkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air.
Menurut pertimbangan hukum MK dalam putusan ini, pelaksanaan UU SDA telah melanggar syarat konstitusionalitas ( conditionally constitutional ) pemberlakuan UU sebagaimana pernah ditentukan dalam putusan MK No 058-059-060-063 /PUU-II/2004. Dalam putusan itu ditegaskan, meskipun permohonan uji materi atas UU SDA sebelumnya pernah ditolak MK tahun 2004, putusan MK tahun 2004 memutuskan bahwa manakala pada kemudian hari pelaksanaan UU SDA ditafsirkan berbeda dari syarat konstitusional penerapannya sebagaimana ditentukan dalam putusan MK tahun 2004, MK dapat menguji kembali UU tersebut.
Dalam putusan MK tahun 2004, MK menegaskan, syarat pengelolaan SDA oleh pemerintah harus diletakkan di atas fondasi hak menguasai negara. Beberapa ketentuan dalam UU SDA memang mengundang kontroversi yang membuka katup liberalisasi pengelolaan air, misalnya dengan diadopsinya konsep hak guna usaha air. MK sendiri pernah membuat penafsiran baru atas konsep hak menguasai negara, termasuk dalam hal pengelolaan air.
Dalam putusan MK No 36/PUU-X/2012 ditegaskan bahwa terkait dengan hak menguasai negara, peringkat pertama harus diletakkan pada pengelolaan sendiri atas sumber daya alam yang bertujuan meningkatkan APBN dan dipergunakan untuk meningkatkan ke arah sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Demokrasi ekonomi Indonesia yang berwatak kolektif tak boleh mengarah pada konsep demokrasi ekonomi yang individualistik.
Hak guna usaha air dalam UU SDA ternyata telah dilaksanakan dengan menyubordinasikan hak pakai air dengan memperlihatkan tata kelola SDA yang mengarah pada sistem ekonomi kapitalis yang individualistik. Bahkan, di sejumlah tempat, akibat regulasi pelaksanaan atas UU SDA yang dikeluarkan pemerintah, misalnya dalam PP No 42/2008 tentang Pengelolaan SDA dan PP No 69/2014 tentang Hak Guna Air, terlihat kasatmata pengelolaan SDA kian diserahkan pada sistem ekonomi liberal yang memungkinkan privatisasi pengelolaan air.
Hal inilah yang kemudian menjadi salah satu konsiderasi bagi MK untuk membatalkan UU SDA guna mengembalikan roh hak menguasai negara atas air sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 33 UUD Negara RI 1945.
Kian meningkatnya kebutuhan masyarakat atas air menyebabkan semakin meningkatnya nilai ekonomi air dibandingkan dengan nilai dan fungsi sosialnya. Kondisi ini memicu terjadinya konflik kepentingan antarsektor, antarwilayah, dan antarindividu terkait dengan penggunaan SDA. Pengelolaan SDA yang terlalu bersandar pada nilai ekonomi air dinilai cenderung merayakan kepentingan pemilik modal dan melalaikan fungsi sosial SDA. Akibatnya, UU SDA dinilai gagal dalam memberikan proteksi terhadap masyarakat ekonomi lemah dengan menerapkan prinsip-prinsip pengelolaan SDA yang selaras dengan fungsi sosial, pelestarian lingkungan hidup, dan ekonomi yang berpihak kepada rakyat kecil.
Menyimpang
Dalam perspektif internasional, pengelolaan SDA setelah putusan MK tahun 2004 juga dinilai terlalu banyak menyimpang dengan mandat Pasal 12 Ayat (1) International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights   (ICESCR) yang mewajibkan setiap negara peserta ICESCR menjamin setiap warga negaranya untuk menikmati parameter tertinggi dalam pemenuhan hak-hak atas kesehatan secara fisik dan mental. Air merupakan kebutuhan paling mendasar bagi manusia. Pengelolaan SDA yang mengabaikan pemenuhan hak- hak warga negara karena terlalu berpihak kepada pemilik modal akan menyebabkan negara gagal dalam memenuhi kebutuhan dasar bagi warga negaranya.
Dalam pandangan kovenan internasional tersebut, hak akses atas air diletakkan sebagai faktor yang menentukan kesehatan yang baik dan merupakan bagian dari HAM. Sebagai bagian dari hak asasi warga negara, negara wajib menghormati ( to respect ) dan melindungi ( to protect ) hak warga negara atas air. Hak penguasaan negara atas air dikatakan masih eksis bilamana negara yang oleh konstitusi diberikan mandat untuk membuat kebijakan ( beleid ) masih memegang kendali untuk melaksanakan tindakan pengurusan ( bestuursdaad ), tindakan pengaturan ( regelendaad ), tindakan pengelolaan ( beheersdaad ), dan tindakan pengawasan ( toezichtshoudendaad ).
MK menilai bahwa pasal-pasal yang dimohon uji materi dalam UU SDA itu merupakan jantungnya UU SDA sehingga MK melalui putusan No 85/PUU-XI/2013  membatalkan berlakunya UU SDA. Guna mencegah terjadinya kekosongan norma hukum, MK melalui putusan itu juga memberlakukan kembali UU No 11 Tahun 1974 tentang Pengairan, yang sebelumnya sudah dicabut berlakunya oleh UU SDA tahun 2004.
Putusan MK ini merupakan putusan yang progresif karena dapat menghentikan praktik-praktik liberalisasi air secara terencana yang dilegalisasi oleh berbagai peraturan perundang-undangan pelaksanaan dari UU SDA. Namun, dengan putusan yang serta-merta memberlakukan kembali UU No 11/1974, bisa timbul penilaian bahwa MK justru menguji materi Pasal 20 UUD 1945 yang pada intinya mengatur kewenangan legislasi DPR dan presiden. Pemberlakuan (kembali) suatu UU menurut UUD merupakan domain kewenangan legislasi DPR dan presiden.
Meskipun putusan MK tersebut bermaksud menghentikan liberalisasi air, di sisi lain, pemberlakuan kembali suatu UU yang sudah dicabut berlakunya oleh UU yang dibatalkan oleh MK bisa menimbulkan kontroversi ketatanegaraan. MK bisa dinilai melanggar kaidah ketatanegaraan dalam prinsip relasi konstitusional antara MK, DPR, dan presiden dengan menempatkan diri sebagai  positive legislator  tersebut.
W RIAWAN TJANDRA
Pengajar Hukum Kenegaraan Fakultas Hukum dan Pascasarjana Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Leave a comment