Sekali Lagi Debat Tentang Sejarah Indonesia

Tanggapan Sudarwinah Soeratman atas tulisan Suar Suroso.

awind <j.gedearka@upcmail.nl>
in: GELORA45@yahoogroups.com , Sunday, 29 April 2012, 0:18


Maaf sedikit koreksi karena ada yang kelupaan.  Ditulis : Setahu saya pak Soerachman masih meneruskan perlawanannya. Seharusnya : Setahu saya pak Soerachman masih meneruskan perlawanannya sampai dia terbunuh di Blitar.
Terimakasih.
Salam,
Awind
—– Original Message —–
From: awind
Sent: Sunday, April 29, 2012 12:12 AM
Subject: Re: [GELORA45] Fw: Tanggapan Sudarwinah Soeratman atas tulisan Suar Suroso.

 

Sepanjang yang saya ingat apa yang bung k.djie kemukan itulah yang terjadi. Setahu saya pak Soerachman masih meneruskan perlawanannya. Setelah partai-partai di kelompok-kelompokan oleh ORBA yang namanya PNI Osa-Usep dijadikan satu dengan partai lainnya yang dianggap berhaluan nasionalis(bukan berazaskan agama Islam) menjadi PDI, yang berazaskan Islam menjadi PPP sedangkan partai berkuasa meskipun disebut bukan partai yaitu Golkar.
Salam,
Awind
—– Original Message —–
From: k.djie
Sent: Saturday, April 28, 2012 9:40 AM
Subject: RE: [GELORA45] Fw: Tanggapan Sudarwinah Soeratman atas tulisan Suar Suroso.

 

 

Kalimat di bawah :

Sekali lagi saya tertawa dan teringat akan kejadian jatuhnya Bung Karno dari tampuk kekuasaan. Ketika PNI Ali-Soerachman dihancurkan oleh Suharto, para pengikut PNI garis kanan mengelompokkan diri dalam barisan PNI Asu dengan “Piagam Judya  Pratidina Marhaenis”-nya menggantikan “Deklarasi Marhenis” yang lebih Marxis. PNI Asu mengaku Marhaenis tetapi menolak Marxisme

Seingat saya :

PNI Asu adalah PNI Ali Sastroamijoyo dan Ir. Surachman. Ini kan PNI yang kiri. PNI kanan adalah PNI Osa Maliki dan Mr. Usep…., atau disebut PNI Osa-Usep ?

Kalau ingatan saya betul, kalimat di atas menjadi : Ketika PNI Ali-Surachman dihancurkan oleh Suharto, para pengikut PNI garis kanan mengelompokkan diri dalam barisan PNI Osa-Usep dengan “Piagam Judya Pratidina Marhaenis”-nya menggantikan “Deklarasi Marhaenis”yang lebih Marxis. PNI Osa-Usep mengaku Marhawenis tetapi menolak Marxisme.

KH

 

From: Sudarwinah Soeratman <sudarwinahsoeratman@yahoo.com>

To: Su Dian <sudian301@yahoo.com>
Sent: Friday, April 27, 2012 3:41 PM
Subject: Tanggapan atas tulisan Bung Suar

 

Tanggapan atas tulisan Bung Suar

Kini Sejarah Itu Berbicara Kembali!

Oleh : Sudarwinah Soeratman

Sebagai anak Indonesia yang dilahirkan tahun 80-an tentu saja ketika mendengar kata tentang “Komunisme” pada masa itu seperti mendengar kata “Iblis”. Komunisme menjadi momok yang sangat menakutkan bagi tunas-tunas muda yang tidak pernah tahu apa itu “Komunisme”. Mereka hanya tahu bahwa “Komunisme” itu yang dilambangkan dengan “Palu dan Arit” adalah alat untuk membunuh Rakyat Indonesia . Setiap tahun menjelang malam 30 September, semua anak-anak Indonesia akan merasa ketakutan ketika menonton film propaganda Orde Baru yang disutradarai oleh Arifin C. Noer tentang Komunis di Indonesia. Anak-anak Indonesia ketika itu akan sama takutnya menonton film tentang PKI dengan film-film horor Suzzana. Dalam pikiran kami ketika itu sudah terpatri bahwa PKI adalah Iblis. PKI itu jahat, bengis, tidak punya moral, dan tidak berperikemanusiaan maka tidak heran ketika kami menuduh orang lain itu jahat, bengis, tidak punya moral, penjahat dan tidak berperikemanusiaan adalah sama seperti PKI. Begitu jahatnya kah PKI itu!

Tahun delapanpuluhan hanya ada satu siaran televisi yaitu TVRI. Setiap menjelang malam kami disuguhkan berita-berita nasional dan internasional yang mengagung-agungkan sistem pasar. Tidak ada yang baik selain sistem pasar. Pasar adalah jalan menuju kemakmuran, walaupun ketika kami sekolah, semua buku-buku pelajaran ekonomi kami selalu mengatakan bahwa sistem ekonomi Indonesia itu adalah sistem ekonomi Pancasila, yah agak-agak mirip dengan sistem ekonomi campuran bukan mengadopsi sistem pasar apalagi sistem ekonomi komando tetapi tetap saja hakekat sistem ekonomi Orde Baru adalah sistem pasar.

Saya masih ingat ketika masa itu, setiap kali ada pemberitaan internasional yang disiarkan oleh TVRI tentang negeri-negeri Sosialis selalu digambarkan tentang Rakyat yang hidup dalam kemiskinan, papa, sengsara, perumahan yang buruk, alkoholisme, penyalahgunaan obat-obatan, polusi, pabrik-pabrik yang sudah ketinggalan zaman, korupsi kecil-kecilan hingga yang besar-besaran, gulag, pembersihan besar-besaran, kecelakaan Chernobyl. Siapa yang melawan Negara imbalannya adalah kematian atau penjara. Pokoknya tidak ada kebahagiaan didalam negeri-negeri sosialis atau komunis. Berbeda jauh dengan gambaran yang disiarkan tentang Negara-negara Eropa atau Amerika Serikat, disana digambarkan tentang manusia-manusia yang hidup bahagia, makmur, adil, demokratis dan humanis. Selaras dengan gambaran surga yang digambarkan oleh para pemuka agama. Sehingga dalam otak kami sudah terpatri pula, kalau mau hidup sejahtera, adil, makmur, bahagia, kami harus mengikuti jalannya Negara-negara rejim pasar tersebut.

Masih ingat dalam ingatan saya ketika tembok berlin diruntuhkan yang dimulai pada 9 November 1989, grup rock legendaris asal Jerman, Scorpion membuat lagu yang berjudul “Wind Of Change”. Lagu tersebut menjadi hits dan menjadi siulan atas tumbangnya Negara Jerman Timur.  Terinspirasi dari runtuhnya Tembok Berlin , Scorpions seolah mencoba menyampaikan dalam lagu ini bahwa bila angin perubahan (wind of change) telah berhembus, tak ada tembok yang tak dapat dirubuhkannya. Drama keruntuhan Negara-negara sosialis tidak berhenti di Jerman Timur tetapi mulai menyebar ke Cekoslovakia dengan Revolusi Velvetnya, gerakan solidaritas di Polandia hingga tumbangnya Negara sosialis di Hongaria menjadi runtutan sejarah menuju pecahnya Uni Soviet.

Dahsyat kami menyaksikannya ketika itu, apalagi pada tahun 1991, Boris Yeltsin dengan menaiki tank mendatangi gedung parlemen yang dikepung oleh tentara pemberontak yang akan melakukan kup terhadap Gorbachev. Di atas tank, Yeltsin digambarkan sedang berpidato berapi-api memberikan semangat Rakyat untuk melawan tentara pemberontak tersebut. Tak kuasa melawan ribuan orang yang datang, tentara pemberontak akhirnya mundur. Penggambaran tentang Uni Soviet tidak berhenti sampai disitu, 25 Desember 1991 akhirnya Gorbachev mengundurkan diri sebagai Presiden Uni Soviet. Kini si kepala botak berpeta itu menamatkan sudah negeri yang dibangun oleh klas buruh yang bersekutu dengan kaum tani dibawah pimpinan kaum Bolsheviks.

Disaat yang sama juga menjelang tahun 90-an, kami sudah bisa menonton TV berwarna dan sudah ada siaran televisi swasta. Kontras yang terjadi di Negara-negara sosialis yang satu persatu berguguran, film dan sinetron yang disiarkan dalam menggambarkan masyarakat barat tidak berbeda jauh dengan berita internasional yang disiarkan TVRI dalam menggambarkan masyarakat pasar, yaitu masyarakat surga. Tengok saja sinetron opera sabun yang berjudul Santa Barbara . Hidup mereka bergelimang harta, bahagia, tidak pernah berpikir setiap malamnya besok apa makan tetapi makan apa besok.

Bertambah sudah keyakinan bagi orang-orang yang anti-komunis bahwa komunisme sudah berakhir alias sudah mati. Bisa saya bayangkan ketika itu juga banyak yang dulu mengagung-agungkan komunis mulai goyah ideologi mereka. Mereka berduyun-duyun menyerahkan dirinya pada pasar, pada kapitalisme dan sujud menyembah kepada tuannya yaitu, imperialis dan klas tuan tanah. Banyak dari mereka yang malu menyatakan dirinya lagi sebagai komunis dan menyamarkan keragu-raguan mereka dengan tetap menamakan diri mereka sebagai sosialis bukan komunis.

Dulu mereka berharap pada perubahan yang radikal dengan mengakhiri segala bentuk kapitalisme dan bermimpi serta berharap terwujudnya suatu tatanan baru yang setara. Kini mereka hanya berharap pada perubahan sosial kecil-kecilan di dalam format kapitalisme itu sendiri. Mereka percaya akan format demokrasi elektoral ala borjuasi, perjuangan moral melawan korupsi, perlindungan hak-hak konsumen dan lain sebagainya. Jika dulu mereka ingin menghancurkan rumah yang lama dan diatas pondasi rumah yang lama akan dibangun konstruksi baru sedangkan ketika pada masa itu ketika komunisme dianggap sudah mati mereka kini hanya sebagai penata ruangan yang merapikan detail yang buruk dari suatu bangunan dan membuatnya tampak indah tanpa mengubah strukturnya sama sekali. Para pejuang perebut kemerdekaan menyebutnya sebagai politik tambal sulam.

Sekali lagi saya tertawa dan teringat akan kejadian jatuhnya Bung Karno dari tampuk kekuasaan. Ketika PNI Ali-Soerachman dihancurkan oleh Suharto, para pengikut PNI garis kanan mengelompokkan diri dalam barisan PNI Asu dengan “Piagam Judya  Pratidina Marhaenis”-nya menggantikan “Deklarasi Marhenis” yang lebih Marxis. PNI Asu mengaku Marhaenis tetapi menolak Marxisme. Yah, kaum komunis yang goyah akan ideologinya dan ketika itu berjubah sosialis-demokrasi sama kedudukan mereka dengan PNI Asu. Biar diakui keberadaan mereka di dunia politik mereka memakai jubah baru yang sudah usang. Mereka berpikir, inilah taktik tetapi pada akhirnya mereka malah bergerak ke kanan menjadi revisionis sejadi-jadinya. Kamerad Stalin mengatakan, “Orang-orang bermuka dua dalam politik adalah klik karieris politik yang tak berprinsip yang bersedia bersandar pada siapa saja, sekalipun pada elemen-elemen penjahat, sekalipun pada sampah masyarakat, sekalipun pada musuh-musuh bebuyutan Rakyat, supaya pada saat yang menguntungkan dapat naik panggung politik lagi dan menunggangi Rakyat sebagai penguasa Rakyat”.

Keraguan kaum intelektual kiri pun sama seperti halnya mereka diatas yang terus ragu-ragu dengan kata “Komunisme”, terus menimbang-nimbang apakah ada kata lain yang citranya lebih bersih dan tidak traumatis. Seorang Filsuf Maois Perancis yang bernama Alain Badiou menulis dalam bukunya, The Meaning of Sarkozy tanpa basa-basi-busuk (3B) dia mengatakan sebagai berikut, “Komunisme adalah satu-satunya hipotesis yang yang benar. Tak ada yang lain, atau setidaknya saya tidak mengetahuinya. Mereka yang meninggalkan hipotesis ini pastilah menyerahkan dirinya pada ekonomi pasar, pada demokrasi perwakilan—bentuk Negara yang sesuai dengan kapitalisme—dan pada ketakterhindaran serta watak ‘alamiah’ dari ketaksetaraan yang paling mengerikan”.

Menurut Badiou yang mengacu pada Manifesto Komunis yang ditulis Marx dan Engels, kata “Komunisme” menunjukkan makna umum dari kata itu, yakni pelampauan atas penindasan klas. Hipotesis komunis adalah pengertian bahwa distribusi kekayaan yang tak setara dan pembagian kerja dapat dihancurkan. Karena hipotesis komunis adalah penolakan atas keniscayaan ketaksetaraan, maka hipotesis ini juga dapat dimengerti sebagai “Ide murni tentang kesetaraan”. Artinya, kapanpun dan dimanapun ada perjuangan yang mengemban aksioma kesetaraan, di sana dan pada saat itu jugalah hipotesis komunis mengemuka. Apa yang mau disampaikan Badiou di sini adalah bahwa hipotesis komunis itu, sebagai Ide, bersifat abadi, tak lekang oleh waktu dan tak terbatasi oleh ruang. Maka itu, hipotesis itu sudah ada sebelum Marx dan akan terus ada sesudah Marx.

Berlawanan dengan pendapat dari borjuasi yang disuarakan oleh filsuf Amerika-Jepang di Universitas St. James, Maryland, yang juga seorang agen CIA, Francis Fukuyama dalam tesisnya yang berjudul “The End of History and the Last Man” yang mengatakan bahwa Marxisme sudah mati bertahun-tahun yang lalu dimana dengan runtuhnya Uni Soviet maka Komunisme ikut luluh-lantak bersamanya, justru Badiou atas rekonstruksi terhadap hipotesis komunis mengatakan bahwa apa yang jatuh bersama Uni Soviet hanyalah salah satu bentuk eksperimentasi atas Ide Komunisme. Sementara Komunisme itu sendiri, sebagai Ide atau Hipotesis, tetap tak bergeming.

Dalam prolog buku Hipotesis Komunis yang berjudul Apakah yang Dimaksud dengan Kegagalan?, Badiou membedakan dua model kegagalan: pertama, kegagalan dalam hipotesis itu sendiri dan, kedua, kegagalan dalam uji coba atas hipotesis itu. Apabila kegagalan itu internal dalam hipotesis, dengan kata lain hipotesis itu sendiri keliru, maka pastilah hipotesis tersebut mesti ditinggalkan. Namun jika kegagalan itu eksternal terhadap hipotesis, jika yang gagal adalah salah satu percobaan atau implementasi dari hipotesis itu, maka apa yang mesti ditolak bukan hipotesisnya melainkan bentuk implementasi tersebut. Lantas apa artinya kalau kita mengatakan bahwa hipotesis komunis telah gagal secara internal? Artinya, kita tak bisa sama sekali memikirkan kemungkinan emansipasi sebab tak ada emansipasi sejati yang muncul tanpa Ide tentang kesetaraan, sementara Ide tentang kesetaraan itu sendiri jadi satu dengan hipotesis komunis. Konsekuensinya, agar dapat memikirkan emansipasi, maka hipotesis komunis itu sendiri hanya mungkin gagal secara eksternal, yakni dalam uji-cobanya.

Krisis dan Selalu Krisis

Penghujung 2007, masyarakat dunia sekali lagi dikejutkan dengan tumbangnya satu persatu perusahaan yang beregerak di sektor investasi, asuransi, dan perbankan yang terkait dengan subprime mortgage atau krisis surat utang yang berbasis pada sektor perumahan kelas dua.. Citigroup, Merryl Lynch, Morgan Stanley, hingga Bear Stearn satu persatu mengumumkan kerugiannya yang sangat besar akibat krisis surat utang tersebut.

Bagi kami yang pernah merasakan krisis hebat yang meluluhlantahkan tatanan perekonomian kawasan Asia khususnya Asia Tenggara yang sebelumnya oleh Bank Dunia dinilai sebagai kinerja yang ajaib bukanlah sesuatu yang baru kami dengar dan kami rasakan. Kami ingat ketika itu, yaitu pada 1997-1998 kebetulan saya masih SMA, dimana-mana terjadi kerusuhan, penjarahan, demonstrasi dimana-mana. Puncak dari kemarahan Rakyat atas kebijakan rezim despotis Orde Baru. Tentara dan polisi hilir mudik di sepanjang jalan protokol dengan dalih mengamankan suasana berusaha menghalau demonstran.

Siaran televisi internasional langsung mengejek bangsa kami sebagai bangsa yang barbar. Bangsa yang tidak beradab karena menjarah dan menghancurkan semua toko atau tempat perbelanjaan. Amok sekali lagi amok dimana-mana. Ada rasa marah di hati kami atas ejekan bangsa-bangsa lain terhadap bangsa kami walaupun itu benar adanya tetapi mereka tidak mengetahui sebab bagi Rakyat kami melakukan semua itu. Apalagi ketika saya berkunjung ke Singapura saya sempat bertengkar dengan supir taksi ketika saya menyatakan diri saya bangsa Indonesia , supir taksi tersebut meludahkan ke saya.

Kejengkelan, dan kemarahan bagi Rakyat miskin yang sebelumnya dipendam atas penglihatan dan perasaan mereka atas perlakuan kaum yang berpunya. Rasa ingin memiliki dan rasa tertindaslah maka bagi Rakyat miskin melakukan penjarahan dimana-mana. Mereka diibaratkan tidak makan berhari-hari dan ketika ada kesempatan untuk makan terlihatlah kerakusan Rakyat kami. Tetapi tingkah laku Rakyat kami ternyata juga sama ketika krisis ekonomi terjadi di benua Eropa dan Amerika. Sekarang kami melihat bahwa merekapun melakukan hal yang sama, yaitu menjarah, kerusuhan dan demonstrasi dimana-mana. Ternyata itu sesutau yang alami adanya.

Sikap congkak dari Neokolonialis – imperialis yang mau menang sendiri akhirnya terpatahkan juga dengan krisis finansial yang terjadi di benua Eropa dan Amerika Serikat. Negara-negara di Eropa mulai menyatakan dirinya bangkrut dan krisis, sebut saja Italia, Spanyol, Portugis, Belanda dan Yunani. Rakyat di negeri-negeri tersebut mulai menyatakan ketidakpuasan atas kebijakan pemerintah mereka. Buku-buku Marx mulai kembali dibaca sebagai bukti bahwa Karl Marx benar dalam menganalisis kapitalisme. Lain halnya dengan imperialis Amerika Serikat teroris nomor satu di dunia, untuk menyelamatkan negaranya mereka terus menggempur, menjarah dan merampok negeri-negeri lainnya seraya mengatakan kepada Rakyat di negeri-negeri yang mereka rampok, “sekarang kami telah menghancurkan negeri kalian. Kalian harus bayar kami untuk membangun negeri kalian kembali. Kami terima pembayaran tidak cash kok, misalnya sumber daya alam kalian, seperti minyak bumi, gas, emas, dsb! Piye? Gimana? Mau tidak kalian? Kalau tidak kami bedil kalian!”. Inilah yang membukakan mata kami bahwa imperialis itu jahat dan sangat jahat. Tidak heran seorang ilmuwan sekaliber Albert Einstein mengatakan bahwa, “Anarki ekonomi dari masyarakat kapitalis sebagaimana yang terjadi saat ini, menurut pendapat saya adalah sumber utama dari kejahatan”.

Dalam buku yang berjudul “Out of Control Global Turmoil on the Eve of the Twenty-First yang ditulis oleh Zbigniew Brzezinski, penasehat keamanan Presiden AS Carter dan bekerja pada“Center for Strategic and International Studies” mengatakan bahwa imperialis AS menemukan dirinya sebagai “lapisan atas dunia yang makin menyerupai gunung berapi yang menekan aspirasi dalam hal mengintensifkan kesadaran akan ketidakadilan” (hal. 146, 1993). Dia menyesalkan “keruntuhan besar-besaran, khususnya dinegara-negara paling maju, hampir semua nilai dibangun” (kata pengantar dalam bukunya tersebut) dan berpendapat untuk mendukung kebangkitan agama terutama Islam dan Kristen.

Pada Agustus 2005, George W. Bush mendeklarasikan di depan para jurnalis tentang doktrin“design  intelegensia”  harus  diajarkan  di  sekolah-sekolah  Amerika  Serikat  didalam menghadapi  teori  evolusi  Darwin.  Dalam  perjuangan  melawan  “terorisme”  Bush memanfaatkan  Islam  dan  mempropagandakan  kampanye  global  anti  terhadap  teror fundamentalis Islam jaringan Al Qaeda. Bush lebih jauh membagi dunia menjadi dua, yaitu Negara  Baik  dan  Negara  Jahat.  Semua  Negara  yang  tidak  mau  tunduk  terhadap kepentingan imperialis Amerika Serikat disebut sebagai “poros kejahatan/iblis”, diantaranya yaitu, Republik Demokratik Rakyat Korea, Kuba, Irak dan Iran. Setiap tindakan terhadap Negara-negara tersebut bisa dibenarkan, termasuk agresi bersenjata yang melanggar hukum internasional, seperti yang dilakukan Amerika Serikat dalam kasus Yugoslavia , Irak dan Afghanistan . Semuanya dilakukan atas nama Tuhan dan berhak memimpin kampanye melawan “kejahatan atau iblis”. Jalan fanatisme keagamaan menjadi justifikasi atas klaim imperialis Amerika Serikat mendominasi dunia.

Jalan bagi idealisme agama ini adalah ekspresi dekadensi (kemunduran) dari ideologi borjuis, karakter reaksioner dan kurangnya visi untuk masa depan dan mencerminkan kebusukan imperialisme. Pembusukan tidak hanya dari kekuatan ekonomi dan politik, tetapi juga dalam pandangan kekuatan dunia.

Sekali lagi kebenaran teori Marxisme mulai terkuak kembali dan menggugurkan teori akhir sejarahnya Francis Fukuyama. Dalam kapitalisme terdapat penyakit yang inheren kalau kata Bung Karno. Siklus ekonomi kapitalisme yang selalu akan menciptakan krisis bagi dirinya sendiri yang akan merembet menjadi krisis politik dan akhirnya bisa memecahkan kebekuan menjadi krisis revolusioner. Jalan bagi imperialis untuk menyelamatkan dirinya adalah dengan cara teror terhadap Rakyat lewat rejim fasisnya atau diktatur militernya. Sekali lagi sayang bahwa ketika peristiwa krisis ekonomi dan politik waktu itu tidak ada partai revolusioner yang membimbing dan memimpin Rakyat dengan teori dan aksi revolusionernya dalam menumbangkan rejim anti Rakyat, anti nasional dan anti demokrasi. Malah yang ada adalah sabotase dari borjuasi nasional yang bagi saya sebenarnya hakekatnya sama dengan rejim kapitalis birokrat ala Orde Baru. Sama-sama antek, sama-sama penipunya. Setelah itu dan sampai sekarang, perampokan dan penjarahan imperialis dan klas tuan tanah terhadap negeri kami semakin ganas dan rakus.

Rentetan-rentetan peristiwa politik selanjutnya yaitu kontradiksi diantara kalangan Rakyat sendiri yang dipicu dan disutradarai oleh kaum imperialis melalui tangan-tangannya di Indonesia yaitu kaum komprador yang menjadi anjing penjaga modal mereka. Perang antar suku di Kalimantan, dan konflik agama di Ambon, Kalimantan, Sulawesi dan Jawa. Teror terhadap Rakyat dimana-mana membuat semakin hina bangsa kami dihadapan bangsa-bangsa lain. Bangsa Amok mereka menyebutnya sekali lagi dan ketika krisis ekonomi terjadi di Negara mereka ternyata sama saja. Sudah menjadi hukum alam, jikalau manusia sedang lapar, kematian dan kehinaan adalah bukan yang mereka takuti tetapi rasa laparlah yang mereka takuti. Bagi kami yang sudah sedikit mengenyam teori-teori Marxisme itu bukanlah hal yang baru dan aneh. Imperialisme bagaikan dua sisi mata uang, yaitu demokrasi borjuasi dan fasisme dan dua-duanya adalah menipu dan meneror Rakyat.

Sisi positif dari tumbangnya rejim despotis Orde Baru adalah kami bisa sedikit leluasa membaca karya-karya Marx, Lenin, Mao Tsetung dan yang paling penting adalah mulai terkuaknya keterlibatan imperialis lewat CIA dan antek-anteknya di Indonesia akan peristiwa Gestok. Dulu sebagian Rakyat yang sudah ditipu oleh rejim Orde Baru percaya bahwa PKI adalah dalang dari peristiwa tersebut. Mulai dari BUKU PUTIH Kopkamtib, disusul tulisan-tulisan para pakar sejarah seperti Prof. Noegroho Notosoesanto, Victor Miroslav Fic, Jung Chang,.Dake, semuanya “menghitamkan” PKI dan Bung Karno, menyatakan PKI atau Bung Karno adalah dalang G30S, yang menjadi awal malapetaka bangsa Indonesia. Selanjutnya Rakyat mulai tahu bahwa itu adalah fitnah palsu sejarah.

Tiongkok dan Jalan Yang Ditempuhnya

Belakangan hari-hari yang lalu perdebatan tentang jalan yang ditempuh oleh PKT dalam membangun sosialisme di Tiongkok. Ada yang mengatakan bahwa RRT sudah menempuh jalan kapitalis alias terjadi restorasi kapitalisme dan sudah meninggalkan pikiran-pikiran Mao Tsetung. PKT telah menjadi Revisionis Modern sama kedudukannya seperti PKUS dulu. Ada yang mengatakan bahwa PKT berbeda dengan PKUS dan PKT bukanlah Remo. Begitu banyak data untuk membenarkan argumen masing-masing. Satu pihak menuduh yang lain sebagai revisionis, satu pihak menuduh yang lain dogmatis.

Sebagai anak muda yang sedang belajar tentang Marxisme, Leninisme dan pikiran-pikran Mao Tsetung tentu saja pendapat masing-masing pihak belum bisa saya ambil jadi satu kesimpulan yang benar. Bukan berarti saya seperti Trotsky yang selalu berdiri ditengah-tengah alias bingung menentukan mana yang benar mana yang salah. Belajar dari pikiran-pikiran Kamerad Mao dalam tulisannya yang berjudul “Tentang Praktek” bahwa:

“Dalam menimbang kebenaran pengetahuan atau teori orang, orang tak dapat bergantung pada perasaan-perasaan subyektifnya mengenai itu, tetapi pada hasil objektifnya di dalam praktek sosial. Hanyalah praktek sosial yang dapat menjadi ukuran kebenaran. Pendirian praktek adalah pendirian yang pertama dan pokok di dalam teori materialisme dialektis tentang pengetahuan”.

Ketika saya mengunjungi Republik Rakyat Tiongkok dan ditemani oleh mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di RRT, saya sempat berdiskusi dengan beberapa mahasiswa Tiongkok. Saya bertanya tentang kebenaran informasi bahwa petani di Tiongkok mendapatkan uang pensiun sedangkan kaum buruh dan klas borjuis kecil yang lain tidak mendapatkannya. Mahasiswa Tiongkok itu mengatakan bahwa itu tidak benar bahwa memang sebelumnya hanya kaum tani Tiongkok saja yang telah mendapatkan pensiun tetapi sekarang kaum buruh bahkan klas borjuis kecil seperti pedagang kecil sudah mulai mendapatkan uang pensiun tetapi memang tidak semua daerah di RRT yang sudah menerapkan kebijakan tersebut.

Lalu saya mempertanyakan kembali tentang ada beberapa Rakyat Tiongkok yang menjadi pengemis di kota-kota RRT yang pernah saya kunjungi. Mahasiswa Tiongkok itu menjawab bahwa mereka sebenarnya sudah dibantu oleh pemerintah RRT tetapi tidak digunakan dengan baik, apalagi Rakyat Tiongkok masih memegang tradisi Marga bahwa sesama marga saling bantu tetapi apabila tidak dijalankan dengan baik maka Marga tersebut tidak akan membantu kembali orang tersebut akhirnya jadilah mereka kaum miskin kota alias lumpen proletariat. Kebetulan disaat yang sama saya melihat seorang nenek yang sedang mengambil sampah plastik yang sedang dikumpulkannya. Langsung saja saya bertanya tentang nenek tersebut. Mahasiswa tersebut mengatakan bahwa nenek tersebut adalah relawan yang ditunjuk oleh warga masyarakat untuk membantu masalah kebersihan dan kebanyakan orangtua yang sudah pensiun menjadi relawan misalkan yang lainnya adalah membantu Rakyat di halte-halte bis. Saya tidak percaya dan meminta kepada mahasiswa Tiongkok tersebut untuk menanyakan kebenaran dari jawaban mahasiswa tersebut. Ternyata benar bahwa nenek tersebut adalah relawan dan ketika saya ingin naik bis, banyak dari orangtua yang sudah pensiun menjadi relawan seperti yang dikatakan mahasiswa Tiongkok tersebut.

Tetap saja dalam proses praktek tersebut, saya masih belum meyakini kebenaran dari kenyataan tersebut. Karena menurut saya ini baru gejala-gejala dari berbagai hal-ikhwal, segi-seginya yang terpisah-pisah, hubungan-hubungan luarnya alias belum akhul yaqin. Saya baru mengadakan perjalanan peninjauan, baru melihat topografi, jalan-jalan dan rumah, menemui sejumlah orang-orang, mengunjungi perjamuan-perjamuan, pertemuan-pertemuan, mendengar berbagai macam pembicaraan dan membaca berbagai dokumen. Kesemuanya ini adalah gejala-gejala hal-ikwal, segi-segi yang terpisah-pisah dari hal-hal ikhwal, hubungan-hubungan luar di antara hal-hal ikhwal sedemikian itu. Ini menurut Kamerad Mao dinamakan tingkat pengetahuan persepsi, yaitu tingkatan-tingkatan persepsi (penginderaan) dan impresi (kesan). Yaitu berbagai hal-ikhwal di Tiongkok yang menimbulkan persepsi-persepsi pada saya dan meninggalkan dalam pikiran saya banyak impresi, bersama-sama dengan suatu ide tentang hubungan-hubungan luar yang umum diantara impresi-impresi tersebut. Ini adalah tingkatan pengetahuan yang pertama. Pada tingkatan ini, saya belum bisa membentuk konsep-konsep yang mendalam atau menarik kesimpulan-kesimpulan sesuai dengan logika.

Keinginan saya yang belum tercapai adalah mendatangi desa nomor satu di dunia yaitu desa Huaxi. Dikatakan dalam pemberitaan surat kabar nasional dan internasional bahwa desa Huaxi, di tahun 1961 merupakan satu desa kecil, hanya 380 keluarga, 1520 orang, dan sangat terbelakang, di bawah pimpinan sekretaris Partai, Kamerad Wu Renbao akhirnya sekarang menjadi satu desa termaju di seluruh Tiongkok, dengan penduduk lebih dari 30 ribu dan areal lebih dari 30 Km. Berhasil menggabungkan 16 desa disekitarnya, setiap keluarga tidak hanya mempunyai rumah berbentuk vila 400-600 meter persegi, tetapi juga mempunyai mobil sedan bahkan ada yang sampai tiga. Bahkan warga desa Huaxi mempunyai tabungan US$ 250 ribu atau Rp. 2 Milyar.

Disaat politik “Membubarkan Komune Rakyat” mulai dijalankan dengan memperkenankan setiap Desa berinisiatif melancarkan usaha sendiri sesuai dengan kondisi masing-masing dan kebutuhan pasar. Ternyata Kamerad Wu Renbao diawal tahun 80 tidak membubarkan komune Rakyat begitu saja, jadi tidak membagikan kembali seluruh tanah milik Komune pada tani penggarap tanah. Tapi tetap mempertahankan 3 bentuk hak-milik, Komune Rakyat, Barisan Besar Produksi dan barisan Produksi sebagai kesatuan terkecil. Petani penduduk desa Huaxi tetap bekerja sebagaimana semula, berdasarkan pembagian kerja didalam barisan produksi.

Kamerad Wu Renbao mempertahankan kesatuan Komune Rakyat untuk mengangkat petani menjadi kaya bersama. Karena ada pengalaman beberapa desa, Xiao Gang di Propinsi An Hui, misalnya, setelah Komune Rakyat dibubarkan dan berhasil muncul beberapa Petani kaya baru, bahkan sempat dipuji PM Li Peng dan kemudian juga Jiang Zhimin mengangkat sebagai contoh model keberhasilan sistem borongan. Ternyata setelah muncul sekelompok petani kaya di Xiao Gang, tidak juga berhasil menarik seluruh petani didesa itu menjadi kaya. Siapa yang mengangkat mereka menjadi kaya dengan ketidak keberhasilan mereka bertanam di tanah garapannya? Setelah lewat 10 tahun, perkembangan macet taidak berlanjut membuat seluruh desa makmur, memasuki tahun 2000 juga tidak terjadi perubahan besar. Mengapa?

Begitu tanah garapan Komune Rakyat dilepas kembali pada setiap keluarga tani, tanah menjadi terpetak-petak kecil yang hanya cocok dikerjakan beberapa orang dengan kerbau saja. Sulit untuk ditingkatkan dengan mekanisasi, menggunakan traktor dan mesin-mesin semai dan potong padi/gandum, tidak mungkin ditingkatkan menjadi industrialisasi-Pertanian. Akhirnya setelah pimpinan Desa Xiao Gang belajar dari pengalaman Desa Hua Xi, dengan kembali menggabungkan hak guna atas tanah menjadi bersama, baru Nampak kemajuan produksi dan berhasil meningkatkan kesejahteraan petani secara menyeluruh didesa Xiao Gang.

Lebih lanjut, desa Hua Xi setelah berhasil meningkatkan produksi pertanian dengan mekanisasi, mereka benar-benar mengembangkan usaha industri di-desanya, membangun pabrik baja dan pipa-baja. Usaha menjadi lebih besar setelah Wu Renbao menggabungkan beberapa desa disekitarnya, menambah jumlah tenaga kerja yang diperlukan untuk industri. Sehingga hasil produksi baja setahunnya mencapai 2,2 juta ton, sedang pipa-pipa berbagai jenis untuk sepeda, sepeda-motor dan perabot rumah-tangga, hampir 300 ribu ton/tahun. Dari hasil produksi desa Hua Xi sudah ada yang ekspor ke AS, Kanada, Eropa , Australia dan beberapa Negara Asia-tenggara.

Julukan “Desa No. 1 di Dunia”, “Basis Organisasi Partai termaju”, “Model Dewan Petani Tiongkok”, “Pedesaan Tiongkok yang Berkebudayaan”, “Model Tipikal Kebudayaan Tiongkok” dan “Kesatuan Maju Pekerjaan Ideologi-Politik” kini disadang oleh desa Huaxi.

Filosofi dari kemajuan desa Huaxi seperti yang dikatakan oleh kepala desa Huaxi juga sekaligus sekretaris PKT, “Apakah sosialisme itu? Singkatnya, sosialisme itu adalah kemakmuran Rakyat. Dari sebanyak  100 orang, yang hidupnya makmur dan sejahtera sebanyak 98 orang, itu adalah sosialisme. Sisa dari dua orang yang tidak mau hidup makmur dan sejahtera, mereka sendirilah yang tidak mau hidup makmur dan sejahtera. Apakah komunisme itu? Semua orang hidupnya makmur dan sejahtera, itu adalah komunisme. Seorang individu saja yang hidup makmur dan sejahtera itu bukan lah orang yang hidup makmur dan sejahtera tetapi sekelompok orang hidupnya makmur dan sejahtera itu baru yang disebut hidup makmur dan sejahtera. Satu desa sejahtera itu tidak bisa dianggap desa yang sejahtera tetapi seluruh desa sejahtera itu baru disebut sejahtera”.

Terakhir saya ingin mengatakan bahwa dengan melihat kebangkitan Rakyat di dunia melawan imperialisme dan feodalisme serta kemajuan-kemajuan yang dicapai oleh negeri-negeri Demokrasi Rayat seakan-akan kini sejarah itu mulai berbicara kembali kepada kami setelah sekian lama mereka bungkam dalam kebisuan gerak jaman yang semakin maju. Kini sejarah itu telah membuktikan bahwa analisis akhir sejarahnya Francis Fukuyama adalah salah besar. Kami percaya bahwa bendera merah itu akan kembali berkibar di tanah air tempat kami dilahirkan. Percayalah kita pasti menang! Venceramos!

Referensi :

1.       Diansu. Membantah Fitnah Pemalsu Sejarah, 2011.

2.       Engel, Stefan. Dawn of the International Socialist Revolution, ICOR, Maret 2011.

3.       Einstein, Albert. Mengapa Sosialisme? Situs Indo-Marxist-Situs Kaum Marxis Indonesia , Februari 2002.

4.       Prasetyantoko, A. Bencana Finansial Stabilitas Sebagai Barang Publik, PT. Kompas Media Nusantara, 2008.

5.       Suryajaya, Martin. Alan Badiou dan Masa Depan Marxisme, Yogyakarta : Resist Book, Agustus 2011.

6.       Tjetung, Mao. Tentang Praktek, Cetakan Keempat, Yayasan Pembaruan, Jakarta 1964.

7.       Weifeng, Peng dan Haiyan, Sun. Hukum Besi Desa Huaxi : 25 Aturan Emas Menjadi Desa No. 1 di Dunia, Penerbit Lujiang, 2007.

8.       Desa Huaxi, Desa Terkaya Di Dunia, Media Indonesia . http://www.indonesiamedia.com/2012/04/24/desa-hua-xi-desa-terkaya-didunia/

9.       Desa Huaxi Desa Terkaya di Cina yang Setiap Warga Punya Rp. 2 Milyar. Atom Studios. http://atom-studios.blogspot.com/2012/04/desa-huaxi-desa-terkaya-di-cina-yang.html

Suar Suroso:

FUKUYAMA SEJARAWAN ANTI-KOMUNIS

YANG KESIANGAN (2)

Bagi Indonesia, yang selama sepertiga abad berada di bawah cengkeram kediktatoran Orba Suharto, Marxisme Leninisme diharamkan dan Partai Komunis dilarang. Marxisme dinyatakan telah punah. Untuk membantah pandangan ini, Hasta Mitra telah menerbitkan buku berjudul Marxisme Sebuah Kajian, Dinyatakan Punah ternyata Kiprah, 7) karya Suar Suroso, tahun 2008, 236 halaman dengan Sebuah Renungan Singkat tulisan Joesoef Isak. Dalam buku ini dipaparkan perkembangan pemikiran mengenai Marxisme di Indonesia dan dunia umumnya. Haruslah diakui, bahwa dengan bermacam-macam variasi pemahaman akan sosialisme, tokoh-tokoh nasional pembela kemerdekaan Indonesia, mulai dari Pak H.O.S.Tjokroaminoto, Haji Agus Salim, Tan Malaka, Darsono, Semaoen, Moesso, Tan Ling Djie, Tjoa Siek In, Mohammad Hatta, Soetan Sjahrir, Bung Karno sampai-sampai Haji Roeslan Abdoelgani dan Siauw Giok Tjan adalah pendamba sosialisme. Bung Karno yang dari masa muda remaja gandrung akan Marxisme, bukan hanya mendambakan sosialisme, bahkan berkali-kali menganjurkan untuk mempelajari Marxisme, mengajarkan bahwa Marxisme adalah ilmu yang kompeten dalam memecahkan masalah-masalah sosial.

Membantah pandangan Francis Fukuyama yang menyatakan bangkrutnya Marxisme, dalam buku ini diungkapkan kenyataan tak punahnya Marxisme dengan Perang Dingin, bahkan Marxisme tetap berkembang. Diperkenalkan perkembangan Marxisme dengan Fikiran Mao Zedong, sebagai hasil praktek revolusioner di bawah pimpinan PKT di Tiongkok. Jelas-jemelas Fikiran Mao Zedong mengembangkan Marxisme di bidang filsafat, teori pembangunan Partai, pembangunan Tentara Rakyat, dan di bidang kebudayaan.Serentetan pandangan Mao Zedong adalah senjata teori untuk memenangkan revolusi demokrasi baru.

Dan sesudah berdirinya Republik Rakyat Tiongkok, Marxisme berkembang  lagi dengan Teori Deng Xiaoping, teori membangun sosialisme berkepribadian Tiongkok. Deng Xiaoping mengedepankan sejumlah gagasan baru yang belum ada dalam literatur Marxis sebelum ini. Antara lain: untuk membangun sosialisme haruslah menegakkan Empat Prinsip Dasar yaitu: pertama menempuh jalan sosialis, kedua mempertahankan diktatur proletariat, ketiga di bawah pimpinan Partai Komunis, keempat dengan ideologi pembimbing Marxisme-Leninisme dan Fikiran Mao Zedong, 7). [Deng Xiaoping, Xian De Si Xiang Ji Ben Yuan Zhi, Deng Xiaoping Wen Xuan 1975-1982, Ren Min Chu Ban She , 1983, hal 144-170]. Pengertian tentang diktatur proletariat sudah berkembang semenjak tahun 1948 Georgi Dimitrov dalam kongres Partai Komunis Bulgaria mengajukan diktatur demokrasi rakyat sebagai perwujudan diktatur proletariat zaman sekarang, yaitu penggantian diktatur satu klas dari proletariat, menjadi diktatur bersama klas-klas yang membela sosialisme. Hal yang sama diajukan dan dikembangkan lagi oleh Mao Zedong dalam karyanya Tentang Demokrasi Rakyat, dalam peringatan ulang tahun ke 29 Partai Komunis Tiongkok, tahun 1949 8) [Mao Tje-tung, Pilihan Karja, jilid IV, Pustaka Bahasa Asing, Peking, 1968, hal. 493-509]. Kini dalam praktek, diktatur demokrasi rakyat di Tiongkok diwujudkan dalam bentuk kerjasama multi partai di bawah pimpinan Partai Komunis. Republik Rakyat Tiongkok adalah negara hukum, yang menempatkan semua warga negaranya, tak pandang tinggi-rendah kedudukannya, adalah sama di muka hukum.

Disamping itu Deng Xiaoping mengajarkan bahwa Tiongkok sekarang berada dalam tahap awal sosialisme, tugas utama sesudah ditegakkannya diktatur proletariat adalah membebaskan dan mengembangkan tenaga produktif, ilmu dan tekhnololgi adalah tenaga produktif yang utama, pasar berguna bagi kapitalisme juga berguna bagi sosialisme, pedoman satu negara dua sistim untuk membebaskan Hongkong dan Macao dari kolonialisme, dan untuk mengembalikan Taiwan ke pangkuan Tiongkok, menilai ciri zaman yaitu situasi internasional sekarang ini adalah perdamaian dan perkembangan.  Dengan kreatif berlangsung pen-Tiongkokan Marxisme, Marxisme ditrapkan sesuai dengan kenyataan kongkrit Tiongkok..Ini adalah memenuhi ajaran Lenin yang mengatakan: “Kaum komunis di negeri-negeri Timur harus ‘menterjemahkan ajaran komunis yang sejati …. ke dalam bahasa tiap-tiap bangsa” 10). [Lenin: The National-Liberation Movement in the East, FLPH 1962. hal 234-235]

Dalam sejarah Indonesia, patut diingat usaha Bung Aidit yang menampilkan masalah Peng-Indonesiaan Marxisme-Leninisme. .Aidit menyatakan: “Jika tidak meng-Indonesiakan Marxisme-Leninisme maka hal itu justru berarti tidak bersikap Marxis-Leninis” 11). [D.N.Aidit Marxisme-Leninisme dan Peng-Indonesiaannya, Pustaka Ketjil Marxis, No-40, hal 42, Jajasan Pembaruan, Djakarta, 1964.]. Bukan hanya Bung Aidit yang mengemukakan masalah peng-Indonesiaan Sosialisme. Bung Njoto pun memaparkan, bahwa sosialisme yang dibangun di Indonesia haruslah sosialisme Indonesia, sosialisme yang berciri Indonesia, “sosialisme yang disesuaikan dengan kondisi-kondisi yang terdapat di Indonesia”. “Mengingkari sifat-sifat khusus sosialisme Indonesia berarti bahwa ia bukan sesuatu yang bersifat Indonesia, mengingkari sifat-sifat umum sosialisme Indonesia berarti, bahwa ia bukan sosialisme sama sekali, Kekhususannya harus diintroduksikan, tetapi keumumannya harus dipertahankan. Beginilah dan hanya beginilah kita bisa berbicara tentang sosialisme Indonesia”. 12). [Njoto: Marxisme, Ilmu & Amalnya, terbitan HR, Djakarta, 1962, hal. 89].

Di Indonesia, hancurnya PKI bukanlah karena salahnya Marxisme-Leninisme. Tapi karena pentrapan Marxisme-Leninisme oleh PKI telah sampai tingkat yang merupakan ancaman membahayakan bagi kelangsungan hidup kekuatan  imperialisme di Indonesia, maka satu-satunya jalan adalah dengan biadab dilancarkan teror tak berperi kemanusiaan.membasmi kaum komunis dan kaum kiri serta menggulingkan Bung Karno. Apa yang dikatakan kejayaan demokrasi liberal yang diagung-agungkan Fukuyama adalah jauh dari kenyataan. Yang ada ternyata hanyalah teror berdarah komunisto-fobi yang digalakkan dengan rekayasa Amerika Serikat. Di bawah rezim kediktatoran militeris fasis orba Suharto ratusan ribu bahkan jutaan dibunuh, dipenjarakan, disiksa, dipersekusi sampai turun temurun menderita. Tapi cita-cita membela keadilan dari Marxisme tidaklah punah.

Ramalan sejarah oleh Fukuyama bertolak dari pandangannya bahwa Marxisme sudah mati. Baginya, masa depan sejarah adalah kejayaan demokrasi liberal yang akan melahirkan klas menengah. Tapi awal abad ke-XXI mendemonstrasikan kebangkrutan kapitalisme dengan demokrasi liberalnya, yaitu krisis moneter yang berlarut-larut. Di lain fihak, Tiongkok beserta negara-negara yang mentrapkan Marxisme menempuh jalan sosialis  Vietnam, Kuba, Republik Rakyat Demokrasi Korea tetap dan kian berjaya. Dan cita-cita sosialisme kian bergolak di Nepal, dan sejumlah negeri Amerika Latin. Berlawanan dengan ramalan Fukuyama, Marxisme bukanlah punah, tapi kian kiprah. Adalah jelas-jemelas, bahwa mereka yang telah menyimpulkan Tiongkok melakukan restorasi kapitalis, secara tidak sedar telah membenarkan kesimpulan Fukuyama, telah terbawa arus kesimpulan Fukuyama. Keberhasilan sosialisme berciri Tiongkok adalah fakta yang membantah ke-absurdan kesimpulan Fukuyama..

Catatan Bibliografi

1). Francis Fukuyama, The End of History and The Last Man , AVON BOOKS, INC., New York, 1992  xi..

2). The End of History, hal 25 – 26.

3). Matyerialhi XXVIII Siyezda Kommunisticeskoi Partii Sovyetskovo Soyuza, Moskwa, Politizdat, 1990, hal. 39.

4).  Idem, hal 37.

5)  The End of History., hal. 27.

6)  Suar Suroso; Bung Karno Korban Perang Dingin, 472 halaman, Hasta Mitra, 2008, dengan pengantar Joesoef Isak, hal. 1.

7).  Suar Suroso: Marxisme Sebuah Kajian, Dinyatakan Punah ternyata Kiprah, 237 halaman, Hasta Mitra, 2008, dengan Sebuah Renungan Singkat tulisan Joesoef Isak, mendampingi Kata Pengantar.

8).  Mao Tje-tung, Pilihan Karja, jilid IV, Pustaka Bahasa Asing, Peking, 1968, hal. 493-509]

9).  Deng Xiaoping, Xian De Si Xiang Ji Ben Yuan Zhi, Deng Xiaoping Wen Xuan 1975-1982, Ren Min Chu Ban She , — Dukung Empat Prinsip Dasar, Pilihan Karya Deng Xiaoping 1975-1982, Balai Penerbitan Rakyat, 1983, hal 144-170

10).  Lenin: The National-Liberation Movement in the East, FLPH 1962. hal 234-235

11). D.N.Aidit: Marxisme-Leninisme dan Peng-Indonesiaannya, Pustaka Ketjil Marxis, No-40, hal 42, Jajasan Pembaruan, Djakarta, 1964.

12). Njoto: Marxisme Ilmu & Amalnya, terbitan HR, Djakarta, 1962, hal. 89.

Leave a comment