In Memoriam Umar Said: “Untuk Seorang Pejuang, Tidak Ada Kata Akhir”

In Memoriam Umar Said: “Untuk Seorang Pejuang, Tidak Ada Kata
Akhir”
Minggu, 9 Oktober 2011 | 7:36 WIB | In Memoriam Umar Said
Oleh : Ulfa Ilyas

Pagi kemarin, 8 Oktober 2011, sebuah kabar duka datang dari Paris,
Perancis: Umar Said meninggal dunia. Kepergian pejuang kemerdekaan dan
begawan jurnalis Indonesia ini membuat kami tersontak.

Ia seolah baru saja berdiskusi dengan kami. Kiriman terakhirnya,
tertanggal 29 September 2011, berisi kumpulan artikel tentang G.30/S itu
seakan mengajak kita semua merenungkan peristiwa 46 tahun silam itu.

Di usianya yang 80-an, Umar Said masih sangat aktif menyimak
perkembangan situasi sosial dan politik di tanah air. Ia sangat rajin
menuliskan analisa dan pandangan-pandangannya terkait
peristiwa-peristiwa politik di tanah air.

Faktor usia, bahkan sakit yang mendera, seakan tak menghentikannya untuk
bekerja dan berjuang untuk bangsanya. Ia benar-benar mengikuti apa yang
pernah dikatakan oleh Bung Karno, tokoh pembebasan nasional yang paling
dikaguminya, bahwa “for a fighting nation there is no journeys’s
end!”

Umar Said dilahirkan hanya dua hari menjelang ikrar Sumpah Pemuda: 26
Oktober 1928, di sebuah desa di Pakis, Malang, Jawa Timur. Ayahnya,
Hardjowinoto, adalah seorang pengagum Haji Oemar Said Tjokroaminoto.
Itulah mengapa sepotong nama pemimpin Sarekat Islam itu melekat juga
pada Ayik Umar Said.

Ketika “Revolusi Agustus” berkobar, pemuda Umar Said, yang masa
itu masih pelajar SMP di Kediri, sudah menyetorkan nyawanya untuk
kemerdekaan Republik. Ia terlibat perjuangan rakyat Kediri melucuti
senjata tentara Jepang.

Menjelang pertempuran 10 November 1945 di Surabaya, pemuda Umar Said dan
kawan-kawannya aktif menyimak perkembangan Surabaya via radio. Disitulah
ia mendengar pidato heroik Bung Tomo. Pemuda Umar Said pun terpanggil
jiwanya untuk mempertahankan kemerdekaan Republik yang baru berusia 3
bulan itu. Ia turut dalam pertempuran 10 November 1945 di kota Surabaya.

Semangat revolusi benar-benar membakar jiwa Umar Said muda. Pernah,
kira-kira di penghujung 1945, ia dan kawan-kawannya mengumpulkan dana
untuk revolusi selama sebulan penuh. “Kami menyodorkan kotak kaleng
kepada penumpang-penumpang kereta,” tulis Umar Said dalam buku
memoarnya, Perjalanan Hidup Saya.

Semangat revolusi agustus itu pula yang mengantarkan Umar Said dan
kawan-kawannya mengembara hingga Sumatra Selatan.

Terlahir dari “keluarga guru” membuat bung Umar sangat dekat
dengan pekerjaan mulia itu. Ia sempat menjadi pengajar di sebuah Sekolah
Dasar di Malang, Jawa Timur, kira-kira tahun 1948-1949.

Penggagas Persatuan Wartawan Anti-Imperialis

Umar Said memasuki dunia jurnalistik pada tahun 1950-an. Ia pertama
sekali bekerja sebagai korektor di harian milik Mohtar Lubis, Indonesia
Raya.

Saat itulah, ketika sebagaian wilayah republik dicabik-cabik oleh
separatisme, Umar Said memulai tugas jurnalistiknya dengan mengikuti
operasi penumpasan RMS di Maluku. Pada saat itu juga, Ia berkesempatan
mengikuti kunjungan Bung Karno ke Indonesia bagian timur. “Sambutan
rakyat dimana-mana sangat meriah,” kenang bung Umar di buku
memoarnya.

Pekerjaan sebagai wartawan inilah yang menghubungkan Umar Said dengan
banyak orang. Salah satunya dengan Fransisca Fangiday, seorang aktivis
Pesindo, yang mengajaknya bergabung dalam Panitia Persiapan Pesta Pemuda
Sedunia . Dari sini, Ia mendapat kesempatan untuk mengikuti Konferensi
Internasional Hak-Hak Pemuda di Wina, Austria, pada tahun 1953.

Tetapi rencana itu hampir kandas: pemimpin koran Indonesia Raya, Mohtar
Lubis, tidak setuju dengan rencananya. “Itu konferensi komunis!”
kata Mohtar Lubis. Umar pun tidak menggunakan nama Indonesia Raya dan
harus mencari dana sendiri untuk berangkat ke Wina.

Sekembalinya ke Jakarta, Bung Umar mulai bekerja di surat-kabar
berhaluan kiri, Harian Rajat, dimana Njoto jadi pemimpin redaksinya. Ia
sering membuat reportase tentang kegiatan berbagai organisasi rakyat:
kongres, pemogokan, aksi massa dan lain-lain.

Pengalaman “paling mahal” dalam hidupnya adalah ketika ia
ditunjuk Harian Rajat meliput Konferensi Asia-Afrika. “Ini peristiwa
paling bersejarah bagi negara-negara yang masih dijajah waktu itu.
Khususnya Afrika,” kata Umar Said.

Dan, dari sinilah kekaguman akan semangat anti-kolonialisme itu terpatri
kuat. Ia menyaksikan dengan kepala sendiri kehadiran tokoh-tokoh besar
dunia saat itu, seperti Jawarhal Nehru (India), Zhou Enlai (Tiongkok),
dan Gamal Abdul Nasser (Mesir). Tetapi kekaguman terbesarnya adalah
kepada Bung Karno.

Semangat Asia-Afrika turut menjadi inspirasi Umar untuk menggagas
Konferensi Wartawan Asia-Afrika (KWAA). Melalui kongres Organisasi
Jurnalis Internasional (IOJ), bung Umar bersama kawan-kawananya—Al.
S. Tahsin, Joesoef Isak, Tom Anwar, dan Hasyim Rahman—menggalang
dukungan dari peserta asal Asia dan Afrika.

Usaha keras Bung Umar dan kawan-kawan terwujud. Kongres Wartawan
Asia-Afrika (KWAA) berhasil digelar di Jakarta pada tahun 1963. Bahkan,
seperti diakui Umar Said dalam memoarnya, KWAA telah menjadi
“pengembangan dari politik Bung Karno dalam melawan neo-kolonialisme
dan imperialisme”.

Organisasi Persatuan Wartawan Asia-Afrika (PWAA) pun terbentuk. Bung
Umar terpilih sebagai bendahara dan merangkap anggota sekretariat PWAA.

Sementara itu, situasi politik di dalam negeri makin memanas: meletus
peristiwa G.30/S. Saat itu bung Umar sedang berada di Aljazair untuk
merundingkan persiapan KWAA ke-II. Sejak itulah ia terhalang pulang ke
tanah air.

Paca peristiwa G.30/S, PWAA memindahkan sekretariatnya dari Jakarta ke
Peking, Tiongkok. Sebagai anggota PWAA, ia masih terus berkeliling ke
berbagai negara Asia-Afrika untuk mempropagandakan persatuan
anti-imperialis Asia-Afrika.

Berjuang Hingga Akhir

Selama berpuluh-puluh tahun bung Umar Said terhalang pulang ke tanah
air.

Pada tahun 1974, selepas dari Tiongkok, Umar Said meminta suaka politik
di Perancis. Di negeri Napoleon tersebut bung Umar sempat melakukan
beberapa pekerjaan: bekerja di kementerian pertanian Perancis,
menerbitkan chine express, dan berbagai kegiatan sosial lainnya.

Ia juga tak henti-hentinya melawan rejim Orde Baru. Bahkan restorannya
yang didirikannya, yang sering sekali mengorganisir kegiatan-kegiatan,
pernah dicurigai oleh rejim orde baru sebagai tempat berkumpulnya
“komunis”.

Tinggal di Paris selama 37 tahun tak membuat Umar Said melupakan tanah
airnya. Ia terus-menerus mengamati situasi sosial-politik Indonesia,
bahkan menulis pandangan-pandangannya melalui sebuah website pribadi.

Di mailing list, nama “Umar Said” sangatlah dikenal pembaca
Indonesia. Ia sangat rutin mengirimkan tulisan-tulisannya mengenai Bung
Karno, Pancasila, PKI, dan konsidi bangsa Indonesia saat ini.

Tetapi Umar tidak puas hanya dengan menyumbangkan fikiran dan gagasan.
Ia bahkan dengan terang-terangan melibatkan diri dengan perjuangan
rakyat Indonesia. Ia aktif menyuarakan program perjuangan Partai Rakyat
Demokratik (PRD) di luar negeri.

Terakhir, posisi bung Umar adalah perwakilan PRD di Eropa. Ia tidak bisa
menyembuyikna kegembirannya ketika PRD, pada kongresnya yang terakhir di
bulan Maret 2010, memutuskan berganti azas menjadi Pancasila dan
mengusung ajaran-ajaran Bung Karno.

Bung Umar juga tercatat pernah mengisi posisi sebagai Komite Perwakilan
Eropa (KPE) Partai Persatuan Pembebasan Nasional (Papernas).

Ia juga sangat mendukung penuh Berdikari Online, media pergerakan yang
mengusung ajaran-ajaran Bung Karno dan berposisi anti-imperialisme.
Kepada saya, dalam suatu percakapan via telpon, Bung Umar berpesan agar
Berdikari Online mengikuti jejak Harian Rajat: menjadi terompet-nya kaum
anti-imperialis di Indonesia dan menyuarakan kaum tertindas.

Bung Umar memang pejuang tak mengenal kata akhir. Ia seolah menarik
ucapan Bung Karno itu untuk ditempelkan pada dirinya, “for a
fighter, there is no journey’s end!”

Selamat jalan Bung Umar Said…
http://berdikarionline.com/kabar-rakyat/in-memoriam-umar-said/20111009/u\
ntuk-seorang-pejuang-tidak-ada-kata-akhir.html

Leave a comment