Menteri Mundur karena “Keseleo Lidah”

SABTU, 17 September 2011 | 325 Hits
Menteri Mundur karena “Keseleo Lidah”
SOAL menteri-menteri yang salah omong bukan hal baru di Jepang. Namun, harga yang mereka bayar bergantung pada bagaimana rentannya pemerintahan dan siapa yang mereka singgung. Menteri Perdagangan Yoshio Hachiro mengundurkan diri pada akhir pekan.

Hal ini terjadi setelah media memberitakan bahwa dia bergurau dengan para wartawan mengenai radiasi di PLTN Fukushima yang dilumpuhkan tsunami.

Hari Senin (12/9), Perdana Menteri Jepang Yoshihiko Noda memilih seorang mantan jubir top pemerintah, Yukio Edano, sebagai menteri perdagangan yang baru untuk membatasi dampak pada kabinet barunya setelah Hachiro mundur. Sebelum itu, ada menteri-menteri lain yang harus mundur karena salah omong, antara lain, menteri yang membuat marah para korban bom atom atau mereka yang menyangkal kesalahan masa perang Jepang.

”Mungkin (apakah seorang menteri harus mengundurkan diri) itu merupakan fungsi seberapa kekuatan kabinet pada saat itu, dan siapa yang tersinggung,” kata profesor Universitas Chuo, Steven Reed.

Pada mulanya, Hachiro tampaknya bisa mengatasi kritik setelah meminta maaf pada hari Jumat karena menyebut daerah yang ditinggalkan dekat PLTN Fukushima sebagai ”kota kematian”.

Namun, laporan media bahwa dia menggosokkan lengan bajunya pada seorang wartawan dan bergurau bahwa dia menyebarkan radiasi terbukti tak termaafkan bagi PM Yoshihiko Noda, yang dilantik pekan lalu dan menghadapi parlemen yang terpecah di mana partai-partai oposisi bisa merintangi RUU. Hari Sabtu, Hachiro mundur.

”Keputusan Hachiro erat hubungannya dengan fakta bahwa Noda takut akan jalan buntu di parlemen,” kata profesor Universitas Sophia, Koichiro Nakano. ”Salah omong itu sendiri bukan merupakan penyebab pengunduran diri, tetapi (menjadi demikian) karena bahaya perintangan oleh oposisi.”

Hachiro adalah menteri kedua dari Partai Demokrat Jepang (DPJ) yang berkuasa yang mengundurkan diri setelah pernyataan yang dipandang memburukkan para korban bencana 11 Maret, yang menyebabkan 20.000 orang tewas atau dianggap tewas karena tsunami dan memaksa sekitar 80.000 warga mengungsi dari daerah dekat PLTN Fukushima. Seorang menteri rekonstruksi yang baru ditunjuk, Ryu Matsumoto, mundur dari kabinet PM waktu itu, Naoto Kan, pada bulan Juli setelah komentar yang dipandang kasar bagi warga wilayah-wilayah yang terkena bencana.

Komentar yang ofensif pada korban pengeboman atom Hiroshima dan Nagasaki juga menarik tindakan segera, seperti halnya upaya seorang menteri kehakiman tahun 1994 untuk menghapus agresi militer masa lalu Jepang.

Cuba is among countries providing the best care for sick children

Havana. September 15, 2011

Cuba is among countries providing
the best care for sick children, according to Save the Children

DAKAR.— Sick children in Switzerland face the lowest risk for dying, according to a study released by the children’s rights organization Save the Children, which places Chad in the last position worldwide and Cuba in an excellent category as number eight among 161 nations.

The analysis was based on three factors: the number of doctors, nurses, midwives and other health workers per 1,000 residents; the percentage of children vaccinated against diphtheria, tetanus and whooping cough and the proportion of women who give birth with the assistance of a midwife.

Switzerland occupies the first spot in the ranking according to these criteria, followed by Finland, Ireland and Norway. Cuba is in eighth place – first among Latin American countries, ahead, for example of Germany (10), Russia (11), France (12), the United Kingdom (14) and the United States (15).

Uruguay is ranked 31, immediately ahead of Spain and Brazil, number 35. Mexico (65), Chile (80), Colombia (85), Panama (88), El Salvador (89), Costa Rica (90), Venezuela (93), Ecuador (95), Peru (99) and Bolivia (107) are the other Latin American countries evaluated in the study.

The last five on the list are Nigeria, Ethiopia, Laos, Somalia and Chad. Countries ranked in the last 20 include 13 African nations.

This analysis shows that children in these African countries which lack health professionals “are five times more likely to die than those in higher positions within the ranking,” the non governmental agency Save the Children reports.

“Without health care workers, vaccinations cannot be administered, prescriptions cannot be written and women receive no help during childbirth. Illnesses such as pneumonia and diarrhea, which are easy to cure, become fatal,” the report adds.

The NGO calls on rich countries to increase their financial aid in the area of health care and emphasizes that “on a world scale, two thirds of the resources needed to provide universal access to health care for women and children are lacking.”

For the time being, the survival of a child depends on where in the world he or she is born. “No mother should have to watch helplessly as her child grows sick or dies before her eyes, simply because no one is prepared to help,” says

Aboubacry Tall, regional director of Save the Children-UK for Central and West Africa, in a communiqué.

Pemerintah Tak Hiraukan Permukiman Kumuh

16.09.2011 14:10

Pemerintah Tak Hiraukan Permukiman Kumuh

(foto:dok/ist)

JAKARTA – Areal permukiman kumuh di Ibu Kota akan terus bertambah jika tidak ada pihak-pihak yang mampu mengakomodasi keberadaannya.

Tak pelak, dengan keadaan seperti itu akan membuat citra Jakarta sebagai ibu kota negara semakin buruk di mata dunia, akibat tak memiliki kemampuan menata ruang kota dengan baik.

Pengamat properti Irwan Nurhadi kepada SH, Kamis (15/9) mengatakan, jika pemerintah masih menyimpan anggarannya untuk membenahi areal permukiman kumuh, Jakarta ke depan akan terus dihadapkan dengan lingkungan-lingkungan yang semakin tak tertata. ”Harus berani ambil APBD dan benahi rumah kumuh,” katanya.

Saat ini, menurutnya, pemerintah daerah terkesan kapitalis karena hanya mengurusi proyek-proyek yang menghasilkan uang. Sementara itu, permukiman kumuh yang semakin menjamur kurang diperhatikan. “Padahal, 2030 pemda punya target tanpa rumah kumuh, tapi realisasinya belum berjalan sampai sekarang,” ujarnya.

Dengan keadaan yang seperti ini, menurutnya, keberadaan perumahan kumuh semakin tak terkontrol. Akibatnya, Jakarta makin sesak oleh permukiman padat penduduk yang rata-rata hidup di bawah garis kemiskinan.

Selain itu, jumlah penduduk yang semakin membludak setiap tahun ikut mempengaruhi bertambahnya kawasan kumuh di Ibu Kota. “Mereka datang yang utama bertujuan mencari pekerjaan, masalah tempat tinggal mereka nomorduakan. Jadi, wajar jika mereka mau tinggal di mana saja,” tuturnya.

Irwan menambahkan, selama ini program-program pemerintah daerah bahkan dari pemerintah pusat tidak berjalan. Program rumah murah dari Kementerian Perumahan Rakyat tidak dengan mulus berjalan karena kesulitan mencari lahan, ditambah dengan dana yang minim.

Program Rumah Susun hak Milik sekarang ini juga tidak berjalan dengan baik. “Pemerintah takut rugi karena selama ini cara berpikirnya kapitalis,” katanya.

Namun, menurutnya masih ada langkah-langkah pencegahan. Pertama, pemerintah harus segera membenahi peraturan-peraturan mengenai tata ruang kota. Dia juga berpesan dalam menjalani peraturan tersebut dibutuhkan ketegasan dan komitmen yang sangat kuat dari pemerintah.

Kedua, alokasikan dana APBD untuk meminimalkan rumah kumuh, karena tanpa bantuan dari APBD semuanya tak berjalan. “Jangan pelit, alokasikan APBD demi tertatanya Kota Jakarta,” ujarnya. Terakhir, pemerintah juga harus mempersiapkan alokasi bagi warga yang tak mampu memiliki tempat tinggal.

Benahi Aliran Air

Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Persatuan Perusahaan Real Estate Indonesia (REI) Setyo Maharso lebih menekankan kepada kebijakan pemerintah dalam menata perbaikan kampung kumuh. “Benahi aliran airnya, tata kawasan kumuhnya, semua pasti lebih baik,” katanya.

Namun, dalam pengerjaannya Setyo mengatakan butuh banyak dana dari pemerintah untuk perbaikan itu. Pemerintah harus serius mengalokasikan dana untuk pembenahan tata ruang kota.

Setyo menyangsikan dana yang keluar dari pemerintah untuk memikirkan perumahan kumuh mampu digelontorkan dengan jumlah yang banyak.

Pasalnya, selama ini keberadaan rumah kumuh juga diikuti oleh penerapan peraturan tata ruang kota yang kurang tegas dari pemerintah. “Berapa banyak dana yang dikeluarkan, jika peraturannya tidak tegas itu semua percuma,” tuturnya.

Setyo menambahkan, saat ini saja program-program untuk meminimalkan kawasan kumuh seperti program rumah mewah dari pemerintah masih mengalami kendala dalam pencarian lahan.

Pasalnya, tidak mudah melepaskan lahan dari warga yang sudah ditempati. “Program itu jangan dibicarakan, itu masih jauh pelaksanaannya. Langkah yang tercepat pemerintah harus tegas dengan masalah tata ruang kota,” katanya.

Masalah urbanisasi juga harus mendapat sorotan utama dari pemerintah. Ini karena urbanisasi menjadi ladang utama terbentuknya kawasan kumuh di Jakarta. (CR-28)

 

Masih Ada Keadilan untuk Korban Rawagede

19 September 2011
Share :Facebook Twitter
Tajuk Rencana

Masih Ada Keadilan untuk Korban Rawagede

Kabar indah mengenai keadilan dan penegakan hukum itu berembus dari Belanda. Pengadilan Negeri Den Haag, Rabu (14/9), memutuskan memenangkan gugatan para korban dan keluarga korban pembantaian di Rawagede, Karawang, Jawa Barat, oleh tentara Negeri Kincir Angin pada 1947. Tak pelak lagi, Belanda harus bertanggung jawab atas kerugian yang diderita keluarga kejahatan perang di kawasan yang kini namanya terhapus dari peta itu. Mereka mesti bertanggung jawab secara moral maupun material. Mereka tidak bisa lagi mengubur kekejaman yang mereka lakukan.

Sebenarnya apa yang terjadi saat itu? Pada 9 Desember 1947,  tentara Belanda mencari Kapten Lukas Kustario yang memasuki Desa Rawagede. Tak ada seorang pun yang mau memberi informasi di mana sang pejuang bersembunyi. Akibatnya, para lelaki di desa itu itu disuruh berjajar dan ditembak mati sesuka hati. Indonesia mengklaim, tak kurang 431 laki-laki dibunuh, sedangkan Pemerintah Belanda pada 1969 ”hanya” menyebut angka 150. Meski ada perbedaan jumlah, tetap saja peristiwa ini layak disebut sebagai ”Rawagede Massacre”. Brutal, tragis, dan mengenaskan.

Meskipun dianggap sebagai salah satu negeri humanis, ternyata pada 1947, Belanda memutuskan untuk tidak menyeret para serdadu yang melakukan eksekusi sadistis itu ke pengadilan. Mereka beralasan pembunuhan itu perlu dilakukan untuk menghentikan perang gerilya dan teror yang dilakukan lawan. Tentu saja dunia geram terhadap tindakan Negeri Kincir Angin itu. Persatuan Bangsa-bangsa (PBB) mengecam aksi Belanda sebagai ”serangan yang disengaja dan kejam”. Tetapi tetap saja Belanda bergeming pada simpulan: pembunuhan dalam peperangan adalah sebuah keniscayaan.

Apa akibat dari sikap Belanda yang semacam itu? ”Rawagede Massacre” seperti terlupakan. Apalagi hubungan Indonesia-Belanda kian intim dan kerja sama di berbagai bidang berlangsung, sehingga kejahatan perang yang paling kejam pun terkubur. Untung ”perjuangan melawan lupa”  —meminjam ungkapan Milan Kundera— dilakukan oleh berbagai pihak. Ada yang membuat film dokumenter tentang pembantaian itu, sehingga memicu Belanda untuk menengok ulang sejarah kekejaman mereka. Hasilnya: pada 2005, Menteri Luar Negeri Ben Bot menyesalkan tragedi  Rawagede.

Lalu pada 2009 keluarga korban dan saksi terakhir tragedi itu menggugat Belanda. Mereka, terutama para janda, menuntut pengakuan dan ganti rugi atas meninggalnya tulang punggung keluarga. Setelah terjadi perdebatan seru di Pengadilan Negeri Den Haag —antara lain gugatan dianggap kedaluwarsa— akhirnya 64 tahun pascatragedi, pintu keadilan pun terbuka. Belanda kalah. Bertolak dari peristiwa ini, bukan tidak mungkin kasus Westerling di Sulawesi juga akan dimenangi oleh para penggugat. Itu jika para keluarga korban menggugat dan tak mengubur pembantaian itu dalam-dalam.

Apa pelajaran penting dari kemenangan peradilan para korban pembantaian di kawasan yang kini bernama Desa Balongsari, Rawamerta, Karawang, itu? Negeri ini —jika benar mereka menjadi pelaku kekerasan atas nama keamanan dan ketertiban— juga harus segera meminta maaf pada korban dan keluarga tragedi pembantaian ”kaum komunis” pada 1965, peristiwa Tanjung Priok, pembunuhan misterius, Tragedi Mei 1998, dan lain-lain. Tentu yang lebih penting, janganlah pembunuhan dan kekejaman pada manusia dari etnis apa pun terjadi lagi pada masa-masa mendatang.

 

Krisis dengan Israel, Turki Tolak Mediasi AS

Krisis dengan Israel, Turki Tolak Mediasi AS

Minggu, 18 September 2011 12:19
E-mail Print PDF

Istanbul – Turki tidak memerlukan mediasi Amerika Serikat (AS) untuk memecahkan krisis yang telah berlangsung lama dengan Israel akibat serangan terhadap konvoi kapal bantuan pada 2010 yang merenggut sejumlah korban, kata Menteri Luar Negeri Ahmet Davutoglu pada Sabtu (17/9).

“Kami tak memerlukan mediasi bagi Israel dalam bentuk apapun,” kata Davutoglu dalama jumpa pers yang disiarkan televisi di provinsi Konya, Turki tengah, ketika dimintai komentar tentang kemungkinan AS membantu memecahkan perbedaan mereka.

“Tak diperlukan mediasi. Tuntan Turki jelas,” jika bekas sekutunnya Israel ingin memperbaiki hubungan, katanya.

“Tak satu pihakpun hendaknya menguji sikap kami tentang hal itu, kata Menlu Davutoglu, seraya menambahkan hubungan Israel-Turki mungkin jadi agenda di antara isu-isu lain dalam pertemuan Perdana Menteri (PM) Turki Recep Tayyip Erdogan dan Presiden AS Barack Obama pekan depan di sela Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa.

“Orang Amerika barangkali orang yang sangat memahami sikap Turki mengenai isu itu,” katanya.

Israel dan Turki terkunci dalam pertikaian pahit sejak Mei 2010 ketika pasukan komando angkatan laut Israel menyerbu konvoi enam kapal yang mencoba mencapai Jalur Gaza. Penyerbuan itu membunuh sembilan orang.

Israel memberlakukan blokade laut ke Jalur Gaza.

Awal bulan ini Turki mengusir duta besar Israel dan membekukan hubungan militer dan perjanjian perdagangan pertahanan.

Hubungan bertambah panas ketika PM Erdogan mengancam akan mengirim kapal perang untuk mengawal kapal Turki yang mencoba mencapai Gaza yang perintah Hamas.

Presiden Obama akan membahas krisis politik di Suriah dan kekerasan di Timur Tengah dalam pembicaraan dengan PM Erdogan di New York pada pekan depan, kata Deputi Penasehat Keamanan nasional AS Ben Rhodes, Jum`at (16/9).

Presiden Obama mungkin juga mengatasi perselisihan antara Turki dan Israel. [EL, Ant]

 

Turkey wants to revive Ottoman Empire

http://english.pravda.ru/world/asia/16-09-2011/119068-turkey_ottoman-0/

 

Turkey wants to revive Ottoman Empire

16.09.2011

A hundred years after the collapse of the Ottoman Empire, Turkey is re-emerging on the international arena. Furthermore, it intends to regain the ground lost in the 19th-20th centuries, which is a direct threat to the interests of all the neighboring countries, including Russia. Consider the actions of the Turkish leadership during the past weeks that have caused serious concerns in Israel, Syria, Iraq, Iran and the EU.

Particularly noteworthy are the frictions of Ankara and Tel Aviv, which raise questions about preservation of the Alliance between the two. The Turkish leadership provides a strong support to the Palestinians, and threatened to appeal to the international authorities with a demand to monitor the Israeli nuclear program and promised to prevent the development of Israeli-rich gas fields in the Mediterranean.

Finally, a serious concern in Israel was caused by the fact that on September 7, Turkey announced its intention to sign an important military agreement with Egypt during a corresponding visit of the Turkish government. Of course, this is a historic day in the history of the entire Middle East. Given the sharp rise in anti-Israel sentiment in Turkey and in Egypt, as well as the ongoing processes of evolution of power in several North African countries, the concerns of Israelis about the activity of Ankara on the Egyptian direction are quite understandable.

Worst case scenarios should be considered as one of the options for the future development in the Middle East. One possibility is the return to the days of the 1960s and 1970s, when Israel was virtually in the siege of hostile neighbors.However, at this time the situation in Tel Aviv will be much worse, because Ankara can turn from an ally into an enemy more dangerous than all the Arab countries put together.

Some experts call manifestations of military activity in Turkey an additional concern. Turkey threatens Israel to send a new “freedom flotilla” to Gaza under the protection of the Turkish Navy warships, as well as equip the squadron that will be on duty in the Red Sea. If we take into account the fact that Erdogan sent another squadron to the Israeli Mediterranean coast, it seems that the Turks are threatening Israel with a full naval blockade.

It should be remembered that the Israeli-Turkish complications did not occur in 2010. Gradual cooling has been observed since 2008 in parallel with strengthening of foreign policy activity of Turkish Islamists in power. In the last six months the efforts of Erdogan in this area have been more obvious.However, anti-Israel rhetoric of the Turkish leadership cannot hide his true intentions, which extend far beyond the desire to defy Israel.

First, the emergence of the Turkish Navy in the Red Sea is largely a reaction to the appearance of the Iranian fleet in the area. In addition, Turkey intends to demonstrate a desire to show its power in the region strategically important for the West, where the oil routes from the Persian Gulf run.Second, attention should be paid to Turkey’s policy in respect of all Arab countries. Turkey openly threatened Syria to send troops to northern Iraq, and participated in the NATO operation against Libya.

As for Egypt, under Murambak Cairo considered Ankara a dangerous competitor in terms of influence on the Middle East and Arab countries.

Of course, they remain competitors today. But then Egypt used to rely on the full support of the West. Now the situation has changed: the revolutionary changes in the country are just beginning, and Islamist sentiment out there is much worse. Turkey would not mind to use the opportunity to try to expand its influence in this country through the development of the economic ties and military-technical cooperation.

Last but not least factor has to do with the events of “Arab spring” that led to the collapse of the former authoritarian regimes. In this regard, Turkey would not mind using the opportunity to, first, divert public attention from the purely Turkish reality and increase its influence in the region.

It is significant how Islamists Erdogan and Gul support Syrian and Egyptian “Muslim Brothers”. This is mostly not an ideological affinity, but the intention to place a bet in the global game. The West supports the Liberals who have no influence on the masses of protesters who sympathize with the radicals like those “brothers.” As for Israel itself, its attitude towards Turkey’s behavior is rather unemotional. The Israeli leadership is well aware that strong statements by the Turkish leadership are in fact more focused on winning sympathy among Arabs.

In the discussion about the Israeli-Turkish verbal dispute, it should be emphasized that the actions of Ankara are aimed not so much against the interests of Tel Aviv, but at restoring its influence in the eastern Mediterranean and southern Europe.The Turkish leadership is doing all it can to show that its activity is directed against Israel, to whose shores a few frigates and corvettes as well as dozens of missile boats and support vessels will soon rush.

However, it is sufficient to consider “a new naval strategy” with a great name “Operation Barbarossa – Aegean shield” adopted a few days earlier, which implies that Israeli ships would be placed between Cyprus and Israel. This will allow the latter to make an equal influence not only on the Tel-Aviv, but also Nicosia and Athens. Anti-Israel rhetoric in this case is more like a camouflage to conceal the true intentions of the South-European direction.

In the past six months, Ankara has been aggressively pursuing its policy towards Cyprus and has been trying to prevent the of oil and gas deposits at its shores going to Greek companies. Moreover, the Turkish Minister for EU Affairs Egemen Bagysh openly declared the possibility of using military force to prevent such a scenario.

But there is more to it. Turkey has also announced its plans to increase its Navy presence in the Adriatic Sea. It is known that in the near future a new “assignment” will be given to at least some of the 14 Turkish submarines. This way Ankara intends to strengthen its influence among the Muslims of Bosnia and Herzegovina (BiH), openly declaring this to the European Union that had its own plans for the future of BiH.

In the middle of the 18th century the Ottoman Empire has steadily weakened and lost its influence in the world on all fronts, starting with the Maghreb and ending with the Balkan and Caucasus. It was evidenced by lost wars with its neighbors, including Russia.Finally, in the middle of the 19th century, the Ottoman Empire had the contemptuous name of a “sick man of Europe”. Such a characterization was fully justified considering losses in a war with Russia (1877-1878), clashes with the Balkan states, and loss of its Italian possessions in Libya1912-1913.The defeat in World War I meant not only the destruction of the Ottoman Empire, which had lost virtually all the Arab lands. The existence of Turkey in general as an independent state was at stake.

While in 1922 Kemal managed to beat Greece supported by the Entente, it seemed that the Turks have never recovered from the defeat of 1918. Yet, after 100 years of “gathering strength” Turkey seems to be going back to claim the lost. Inevitably, the Turkish activity will be more manifested in the Caucasian and Crimean directions, which cannot but worry Russia.

Sergei Balmasov

Pravda.Ru

Mengembangkan Pikiran Hingga ke Wilayah-wilayah yang Sangat Jauh

Bagaimana Saya Menulis Buku Writing Toolbox (80):
Mengembangkan Pikiran Hingga ke Wilayah-wilayah yang Sangat Jauh

Oleh Hernowo
in: dikbud@yahoogroups.com, Monday, 19 September 2011 4:59 AM

 

 

 

Saya sudah melangkah sangat jauh. Apa hubungannya konsep-konsep Islam tentang ilmu dengan buku Writing Toolbox? Tentu dengan mudah dapat saya jawab bahwa keduanya tidak ada hubungannya secara langsung karena Writing Toolboxmemang tidak berbicara soal ilmu dalam perspektif Islam. Hanya, saya menuliskan serial yang panjang hingga ke-80 ini dengan tujuan agar pembuatan buku Writing Toolbox dapat saya selesaikan dengan pikiran saya yang sudah berkembang hingga titik yang sangat jauh.

 

Buku Writing Toolbox akan menjadi buku yang baik apabila pikiran saya yang membuat buku itu memang dapat saya kembangkan. Dalam hal ini, saya tidak ingin menyebutkan bahwa dengan banyaknya literatur yang saya baca, yang terkait dengan materi-pokok buku Writing Toolbox, akan menjadikan buku saya itu baik. Mungkin ya. Tapi, saya lebih meyakini bahwa apabila saya berhasil mengembangkan pikiran—dengan membaca buku-buku yang tak hanya terkait dengan materi bukuWriting Toolbox—maka buku yang saya buat itu, insya Allah, akan menjadi buku yang hanya baik tetapi juga “menggigit”.

 

Selama menulis serial terakhir—mungkin ada sekitar 15 tulisan lebih sejak tulisan ke-71—saya benar-benar harus memeras pikiran dan mencermati secara detail apa saja yang ingin saya ungkapkan secara tertulis tersebut. Saya memang banyak mengutip, tetapi hanya megutip tanpa berusaha mengaitkan yang saya kutip dengan gagasan yang ingin saya sampaikan, tentulah tulisan itu akan ke mana-mana dan tidak jelas. Topik terakhir yang saya pilih—ilmu dalam perspektif kaum Muslim—bukanlah topik yang mudah. Ia merupakan topik yang njlimet dan sulit—karena telah dikembangkan belasan abad.

 

Saya bersyukur dapat menemukan buku-buku lama yang menyimpan kenangan dan pengetahuan saya atas khazanah “ilmu dalam perspektif kaum Muslim”. Satu hal penting yang saya peroleh dari kegiatan menulis sampingan secara berseri ini adalah bahwa ilmu—apa pun ilmu yang akan kita cari atau sudah kita miliki—tidak dapat dilepaskan dari Tuhan. Mencari dan mendapatkan ilmu tidak boleh dicampuri dengan maksiat dan dosa—atau melanggar hukum Ilahi. Ilmu juga harus diamalkan sebab jika tidak diamalkan ilmu itu akan menjad ilmu yang tidak bermanfaat.

 

 

 

Saya tentu akan terus mencoba mengembangkan pikiran saya hingga ke wilayah-wilayah yang lebih jauh lagi yang saya ukur dari titik awal perjalanan saya yang hanya ingin menulis bukuWriting ToolboxPertama, saya tetap masih harus memperkaya diri saya baik dengan ilmu yang bermanfaat dan juga dengan kata-kata yang bergizi yang bermacam ragam. Hanya dengan memperkaya diri seperti itulah—dengan menuliskan proses saya memperkaya diri tersebut—saya akan dimudahkan dalam membuat buku Writing Toolbox dan memetik banyak sekali manfaat dari kegiatan saya.

 

Kedua, saya harus mau berbagi—tidak menyimpan ilmu baru yang saya miliki hanya untuk diri saya sendiri. Medium seperti milis (mailing list) dan Facebook adalah medium-canggih abad kini yang harus saya manfaatkan secara habis-habisan. Dari proses berbagi ilmu itulah, ternyata, saya malah mendapatkan banyak ilmu baru yang tidak terduga. Milis dan Facebook memungkinkan saya berinteraksi dengan pikiran lain yang unik baik yang setuju maupun tidak setuju. Itulah proses belajar di abad sekarang yang luar biasa dan sangat “powerful”.

 

Dan ketiga, sebagaimana janji saya untuk melanjutkan “Proyek Ramadhan 2011” yang tak hanya berlangsung pada bulan Ramadhan, saya juga berjanji kepada diri saya sendiri untuk tidak hanya membuat satu buku. Saya ingin melahirkan minimal dua buku lagi di luar buku Writing Toolbox. Saya yakin dapat meraih tujuan saya itu karena dua buku tambahan saya itu sesungguhnya sudah terkonsep lama sebelum Writing Toolbox lahir. Keyakinan saya tersebut tentu harus didukung dengan “amunisi” yang memadai. Oleh karena itu, saya harus lebih banyak berlatih membaca dan menulis (mengikat makna) lagi, lagi, dan lagi.

 

Ya Allah, ridhai aku dalam membuat buku-buku itu dan jadikanlah buku-bukuku sebagai cahaya….[]

 

19 Pasal RUU Intelijen Bermasalah

19 Pasal RUU Intelijen Bermasalah
Iwan Santosa | Nasru Alam Aziz | Minggu, 18 September 2011 | 22:25 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com — Direktur Eksekutif Imparsial Poengky Indarti menegaskan, Rancangan Undang-Undang (RUU) Intelijen yang digodok DPR dan pemerintah masih mengandung 19 pasal bermasalah.

Poengky, dalam keterangan pers pada Minggu (18/9/2011) di Jakarta, menjelaskan, RUU Intelijen tidak mengakomodasi tata nilai hak asasi manusia (HAM) dan memandang pembatasan HAM penting demi negara (penguasa).

Adapun deretan permasalahan RUU Intelijen tersebut adalah:

  • Definisi intelijen.
  • Ancaman dan keamanan nasional yang tidak jelas.
  • Fungsi intelijen untuk penyelidikan, terutama intelijen non-judicial yang bersifat karet.
  • Intelijen kejaksaan tidak dibutuhkan pada era demokrasi saat ini.
  • Fungsi Badan Intelijen Negara (BIN) meluas hingga ke daerah yang memberi wewenang berlebihan.
  • Keberadaan BIN di bawah Presiden yang seharusnya di bawah departemen.
  • Intelijen TNI tidak dijelaskan secara rinci tugasnya dan dikhawatirkan represif.
  • Kode Etik dan Dewan Kehormatan Intelijen yang seharusnya memiliki lembaga pengawas resmi dan tidak menghalangi penegakan hukum terhadap intelijen yang melanggar hukum.
  • Perlindungan yang berlebihan kepada aparat intelijen. Aparat intelijen yang gagal menjalankan tugas disebutkan masih dilindungi negara. Di negara mana pun kegagalan operasi intelijen tidak pernah diakui negara.
  • BIN sebagai kordinator lembaga intelijen yang masih menjalankan tugas operasional.
  • Penggunaan istilah ”pendalaman” sebagai ganti istilah ”pemeriksaan intensif”, yang sebetulnya bermakna penahan.
  • Penyadapan yang dilakukan tanpa izin pengadilan.
  • Pemeriksaan aliran dana yang belum rinci sehingga rawan terjadi korupsi.

Uraian di atas adalah sebagian dari kelemahan mendasar RUU Intelijen yang menurut Poengky dapat membuka pintu kembalinya rezim represif dan menggunakan lembaga intelijen sebagai alat kekuasaan dan bukannya aparat negara.

Hindari Kekeringan, Hentikan Pembabatan Hutan

19 September 2011 | BP
Hindari Kekeringan, Hentikan Pembabatan Hutan
Tajuk Rencana

PARA petani Bali kini galau menyusul belum turunnya hujan sejak beberapa bulan lalu. Kekeringan pada musim kemarau kali ini dinilai luar biasa, karena dampaknya sangat luas. Tidak hanya menyebabkan sawah mengering, tetapi mata air yang menjadi sumber kehidupan juga makin surut.

Kekeringan kini terus meluas di Bali. Dam Telaga Tunjung di Tabanan maupun dam-dam lainnya yang bisa diharapkan untuk mengairi sawah petani, debit airnya menurun. Hal ini bisa terjadi karena pembangunan di Bali tidak terkontrol dan kurangnya koordinasi. Pembabatan hutan masih terus berlangsung, demikian pula air di tanah Bali juga dijual kepada investor untuk air minum dalam kemasan. Dengan fenomena seperti ini lengkaplah penderitaan petani.

Gembar-gembor untuk memajukan pertanian di Bali sebagai sektor unggulan dari Bali Mandara hanyalah retorika. Belum ada langkah kongkret dari pemerintah kabupaten maupun provinsi untuk menangani masalah pertanian dalam arti luas termasuk menangani kekeringan ini. Padahal untuk mengatasi kekeringan yang berkepanjangan ini diperlukan terobosan, salah satunya menghentikan pembabatan hutan dan pembangunan vila yang menjamur di hulu sungai.

Seperti diberitakan harian ini, pekan lalu, kekeringan paling parah dialami petani di Tabanan. Hal yang sama juga dialami petani di kabupaten lainnya di Bali. Kurangnya ketersediaan air, selain menyebabkan pertumbuhan tanaman padi terhambat, juga mempengaruhi isi dari buah padi.

Kebanyakan biji padi kosong dan berwarna putih. Namun, lantaran petani harus menanam padi, mereka pun terpaksa melakukannya yang tentunya dengan menyediakan fokus perhatian secara ekstra.

Kekeringan dan turunnya debit air telah menjadi masalah klasik. Hampir selalu terjadi tiap tahun dan terus berulang dengan intensitas bervariasi bergantung pada siklus musim kemarau dan hujan. Namun, kita melihat tidak ada upaya terencana, serius, komprehensif, dan terstruktur untuk mencari jalan keluar dan memecahkan persoalan tersebut. Langkah dan tindakan yang ditempuh oleh pemerintah serta pihak-pihak yang berwewenang cenderung bersifat jangka pendek. Contohnya pendropan air bersih atau membuat hujan buatan yang biayanya mahal dan hasilnya kerap kurang optimal.

Karena itulah kita kembali mengingatkan pentingnya hutan bagi ketersediaan air bagi kehidupan. Sebenarnya, kekeringan merupakan peristiwa rutin setiap tahun. Setiap musim kemarau datang, pemerintah selalu mengeluarkan deretan angka-angka kerugian yang diakibatkannya.

Namun, tidak banyak langkah kongkret yang dilakukan para pengambil keputusan untuk mengatasinya. Mereka hanya bermain angka-angka dan sekadar memberi harapan. Itu saja.

Padahal, pemerintah harus bersikap. Bagaimana petani harus diselamatkan. Ketersediaan pangan juga terjamin, sehingga tidak menjadi masalah yang berkelanjutan dari tahun ke tahun.

Sebagai gejala alam, kekeringan dan juga banjir selalu terjadi hampir setiap tahun. Hal ini dikarenakan Bali tidak memiliki manajemen air secara terpadu. Masalah kekeringan, seharusnya dilihat secara luas, tidak hanya kekeringan sendiri atau banjir sendiri.

Untuk mengatasi kekeringan sekaligus banjir, air yang jatuh ke permukaan tanah diupayakan meresap ke dalam tanah. Untuk itu, Daerah Aliran Sungai (DAS) harus mampu menyerap air secara maksimal, sehingga air yang terserap tersebut akan mampu mengisi sumber air di danau, sungai dan waduk. Dengan demikian, pada musim kemarau debit air tetap terjaga.

Agar lebih berdaya dan berhasil guna, upaya mengatasi masalah kekeringan perlu melibatkan seluruh masyarakat. Embung Telaga Tunjung di Tabanan selama ini cukup memberi harapan kepada petani akan pasokan air. Ketika air berlimpah pada musim hujan disimpan di embung yang dibuat dengan biaya miliaran rupiah. Selain itu, menjaga daerah tangkapan air dan mempertahankan kelestarian hutan sangatlah penting karena menjadi penentu kuantitas dan kualitas sumber air.

Dua Korea rembukan nuklir di Beijing

Dua Korea rembukan nuklir di Beijing

Minggu, 18 September 2011 18:45 WIB | 550 Views

Seoul (ANTARA News) – Utusan-utusan penting nuklir Korea Utara dan Korea Selatan akan berunding di Beijing, Rabu, untuk mendorong Korea Utara menghentikan program pembangunan senjata nuklirnya, kata kantor berita Yonhap seperti dikutip Reuters, Minggu.

“Korea Selatan dan Korea Utara sepakat menetapkan tanggal perundingan nuklir pada 21 September,” kata kantor berita Korsel itu mengutip pernyataan seorang pejabat senior pemerintah. “Tanggal pasti dan frekuensi akan dibicarakan di sana (Beijing).”

Media Korea Selatan memberitakan Wi Sung-lac, ketua juru runding Korsel dan sejawatnya dari Korea Utara Ri Yong-ho telah berada di ibukota China itu untuk mempersiapkan bahan apa yang akan dibicarakan dalam pertemuan kedua dalam dua bulan.

Atas desakansekutu-sekutu utama mereka di Washington dan Beijing , kedua Korea yang berseteru itu mengalami kemajuan dalam memulai kembali perundingan denuklirisasi dengan imbalan bantuan, yang juga melibatkan Amerika Serikat, China, Jepang dan Rusia, ketika Wi bertemu dengan Ri di Bali, akhir Juli lalu.(*)

H-RN/B002Editor: Jafar M Sidik

COPYRIGHT © 2011