ADAKAH TRADISI SOLIDARITAS DI KALANGAN ORANG DAYAK?

Jurnal Toddopuli

(Cerita Tentang Katingan Untuk Andriani S. Kusni Dan Anak-Anakku)


Kabupaten Kotawaringin Timur menggunakan motto « Habaring Hurung » yang berarti “gotong royong”, kabupaten Katingan dalam arti yang serupa memakai “Penyang Hinje Simpei ». Sedangkan di kalangan masyarakat Dayak Ngaju kita mengenal istilah « handep » , yang saya kira terjemahannya bukan “saling bantu”, tapi « giliran membantu » atau « melakukan sesuatu secara bersama-sama ». Pengerjaan suatu pekerjaan secara bersama-sama dilakukan oleh keluarga satu dan yang lain sebagai balasan yang pernah ia terima waktu mengerjakan hal yang sama sebelumnya. Di balik hal yang nampaknya membantu itu tersimpan unsur balas budi atau balasan jasa. Budi dibayar dengan budi, jasa dibalas dengan jasa. Jasa yang pernah terima, jika benar demikian bersifat hutang dalam bentuk kerja dan budi atau jasa. Sangatlah tidak beradat jika hutang dalam bentuk apa pun tidak dibayar. Gotong-royong pun, saya kira ttermasuk dalam keluarga pengertian “melakukan sesuatu secara bersama-sama”. Misalnya gotong-royong membersihkan kampung yang penuh semak-semak karena tidak lama tidak dibersihkan. Handep adalah suatu kebiasaan di kalangan masyarakat Dayak untuk membuka ladang, misalnya, dengan bantuan keluarga-keluarga sekampung. Keluarga-keluarga lain datang membantu keluarga yang sedang membuka ladang, sebagai bayaran terhadap jasa atau bantuan yang pernah ia terima ketika membuka ladangnya. Jika ia tidak membantu, tidak ikut handep, maka secara psikhologis dan adat, ia mengemban suatu beban sebagai orang yang tidak tahu balas budi dan tidak beradat – suatu beban sangat berat di kalangan masyarakat Dayak. Handep nampaknya, di satu segi, mirip dengan ciri barter, embrio dari perdagangan pada tingkat awal antar etnik atau sub-etnik. Sejalan dengan perkembangan ekonomi, menyempitnya lahan ladang dan pertumbuhan masyarakat, handep pun makin memudar. Individualisme kian marak dan memperoleh lahan subur di hati warga masyarakat Dayak. Di segi lain, handep juga merupakan cara mengatasi sesuatu masalah yang menyangkut kepentingan bersama secara bersama-sama. Misalnya membangun jalan, memperbaiki jembatan, membersih kampung, dan sebagainya yang menyentuh kepentingan bersama. Demikianlah saya memahami arti handep, habaring hurung, atau penyang hinje simpei atau gotong royong.

Sementara setiakawan atau solidaritas, mempunyai nuansa pengertian lain. Setiakawan merupakan tindakan membantu pihak lain tanpa mengharapkan balas budi, pembayaran kembali dalam bentuk apa pun. Solidaritas diberikan untuk membantu pihak lain supaya keluar dari kesulitan atau penderitaan tanpa latar tersirat balas jasa atau barter jasa seperti pada handep. Agar seseorang keluar dari kesulitan dan penderitaan adalah motif utama dari solidaritas, tanpa ada unsur tersirat yang bersifat barter, jual beli, untung-rugi dan faktor memaksa seperti yang diperlihatkan oleh rakyat seluruh dunia terhadap korban tsunami, korban bencana alam baik banjir atau pun gempa bumi.

Dengan uraian singkat di atas, saya mendapatkan adanya perbedaan nuansa isi antara istilah gotong-royong, handep, habaring hurung dan sejenisnya. Karena itu haduhup kulae (saling tolong) dan saling tolong pun terdapat macam-macam motif dan pemahamannya.

Setelah memperhatikan dan berada kembali langsung di kehidupan masyarakat Dayak selama bertahun-tahun, mencermati pepatah-petitih serta ungkapan yang ada dalam bahasa Dayak dan cerita-cerita rakyat Dayak, kemudian pada diri saya muncul pertanyaan : Adakah tradisi solidaritas di dalam masyarakat Dayak ?

Dalam usaha menelusur dan menjawab pertanyaan ini, saya mencoba menoleh ke belakang yang agak jauh.

Pada masa manusia Dayak hidup di rumah-rumah betang 1), keluarga-keluarga Dayak hidup di ruang petak betang masing-masing. Kehidupan individual dan tanggungjawab individual berpadu laras dengan kehidupan bersama dan tanggungjawab sebagai warga betang. Warga betang saling Bantu dan saling memperhatikan. Kelarasan dan sikap “saling” begini merupakan produk dari sistem masyarakat betang. Sisanya sekarang terdapat pada beberapa kampung pedalaman dengan demografi masih rendah, yang membagi hasil buruan mereka ke seluruh warga kampung. Sistem masyarakat betang merupakan suatu ketentuan yang mengatur dan secara tidak langsung mempunyai sifat menekan, paling tidak secara psikhologis dan moril yang kemudian berkembang jadi kebiasaan. Adat. Dari segi pengertian solidaritas seperti yang saya katakan di atas, saling memperhatikan, saling bantu, saling berbagi, yang merupakan produk sistem betang, tidak saya masukkan ke dalam solidaritas. Apalagi, tidak jarang warga betang satu berperang melawan warga betang lainnya. Betang, tidak jarang menjelma sebagai “kubu” terpisah dan bermusuhan terhadap betang lain sehingga betang dan produk sistem berupa hubungan produksinya 2), tidak bisa dikatakan penjamin solidaritas yang melampaui lingkup betangnya. Sedangkan dalam betang itu sendiri para kepala keluarga saling merasa pangkalima atau tamanggung dengan tingkat yang sama hebat. Persatuan akan menjadi kian kokoh pada masa menghadapi musuh bersama, perang dengan betang lain. Saling haduhup betang, dengan demikian, jika dilihat lebih dalam bukanlah wujud murni solidaritas.

Sikap merasa diri sama hebat ini antara lain tertuang dalam cerita berikut:

Alkisah pada suatu hari seorang tamanggung dan maharaja dalam perjalanan berperahu menuju sebuah kampung. Sangat malang, perahu yang mereka gunakan bocor. Air pun mengalir masuk perahu dengan deras. Maharaja berkata kepada tamanggung: “Timbalah perahu kita. Kalau tidak, kita akan karam”. Tamanggung segera menjawab: “Saya kan tamanggung, bukan tukang timba perahu. Kau timbalah”.

“Bagaimana saya harus menimba perahu sedangkan saya adalah maharaja”, balas Maharaja sementara air makin lama makin banyak mengisi perahu sehingga akhirnya sebelum sampai ke tempat tujuan, perahu mereka karam.

Cerita rakyat di atas selain memperlihat pandangan dan sikap para petinggi mengenai kerja badan, kepongahan, juga menunjukkan betapa tamanggung dan maharaja karena merasa sama hebat membiarkan diri mereka didera petaka. Pola pikir dan mentalitas ini di dunia politik daerah sekarang bersisa dalam wujud “saling hakayau kulae” (saling memotong kepala orang sesaudara). Ketika berada di Kasongan, Katingan, saya mendengar keterangan dari berbagai sumber, betapa seorang abang mencaci maki dan menjelek-jelekkan adik kandungnya dalam suatu rapat umum kampanye pilkada. Apakah perbuatan si abang bukannya perangai “Saling hakayau kulae“ yang sangat kasar. Kebrutalan “kayau” agaknya berlangsung dalam pemilu di Kalteng. Yang berlaga bukan adu dalam debat program, tapi adu kekayaan, tanding jumlah uang. Uang menjadi mandau 3) baru. Jika “mandau baru” tak berfungsi mandau lama tak segan digunakan. Pada perlombaan partai-partai politik merebut kursi kekuasaan, saya seperti sedang melihat warga betang satu berperang dengan warga betang lain. Di manakah letaknya solidaritas pada masyarakat Dayak dari tuturan di atas?

Sekarang saya ingin mengangkat beberapa pepatah untuk menelusur ada-tidaknya, mentradisi tidaknya solidaritas di kalangan masyarakat Dayak. Sebagai misal adalah pepatah-pepatah berikut :

« Kahem badue bisa ije » (Karam berdua yang basah satu; Mambelom tingang manutok mate(Memelihara enggang mematuk mata) yang berarti menghidupkan seseorang tapi pada suatu ketika ia mencelakakan orang yang menghidupinya;Hong kueh batang lembut hete ie tege (Di mana batang 4) timbul di situ ia hadir) yang berarti seseorang yang mencari enaknya sendiri; Aku raja aku tamanggung aku damang; Duan kulate ilihi batange (Mengambil jamurnya meninggalkan pokok kayunya) , berarti: mau enaknya saja, tak mau susah payahnya; Lepah anise kuas inganan (Habis manis sepah dibuang).

Kalau pepatah-petitih merupakan kesimpulan pengalaman suatu generasi atau generasi-generasi terdahulu, maka pepatah-pepatah di atas bisa sebagai lukisan watak manusia Dayak dalam hal solidaritas bahkan sikap yang mendekati sifat individualistis.

Sifat atau perangai individualistis agaknya sengaja didorong kembangkan oleh Belanda sejak Pertemuan Tumbang Anoi tahun 1894, 5) antara lain dengan anjuran mendirikan rumah-rumah individual sebagai pengganti rumah betang. Rumah individual dipandang Belanda sebagai lambang peradaban, sedang betang simbol keterbelakangan, tidak hygienis, tidak etis. Bersamaan dengan munculnya rumah-rumah indvidual dan halamannya, idinvidualisme mendapatkan lahan persemaian dengan terciptanya penguasaan individual atas alat-alat produksi. Barangkali sejak Pertemuan Tumbang Anoi-lah penggerowotan terhadap budaya Dayak mulai dilakukan secara sistematik sebagai perwujudan dari politik budaya “ragi usang”. Politik “ragi usang” yang pada galibnya semacam politik desivilisasi makin efektif berlangsung pada masa Orde Baru Soeharto. Hasilnya? Terjadi keterasingan manusia Dayak dari budaya mereka sendiri. Bahkan ada yang malu mengaku diri sebagai Dayak, menyetan-nyetankan budaya Dayak (Lihat: artikel-artikel Milis Dayak di tahun-tahun awal).

Pandangan dan sikap yang berlangsung sampai sekarang pada sementara kalangan orang Dayak tentang rapat (pumpung) sebagai kegiatan yang tidak menjadi nasi (dia jadi bari), saya kira hanyalah varian dari pandangan dan sikap individualistis. “Dia jadi bari” adalah pandangan dan sikap oportunis bertolak dari kepentingan mendesak tak melihat jangka panjang sehingga bisa disebut hanya melihat persoalan sejauh ujung jari belaka, wujud dari pola pikir dan mentalitas “mie instan”. Jika tidak disadari pandangan sejauh ujung jari tanpa isi kepala begini akan memudahkan seseorang menjual diri, martabat dan harkatnya demi pemenuhan keperluan mendesak sesaat. “Mamut menteng pintar harati mameh ureh” (gagah berani cerdik beradat urakan dan rajin) hanyalah kesimpulan Dayak masa silam yang membuih di sungai kehidupan. Jalan beginilah yang oleh Charles James Brooke, the Rajah of Sarawak pada tahun 1915 sebagai jalan “akan disingkirkan dan menjadi bukan apa-apa lagi kecuali kuli-kuli dan orang buangan di pulau ini”. 6)

Jika pemahaman di atas, termasuk masalah ‘dia jadi bari” benar, maka ia menggarisbawahi tentang minimnya dan tidak mentradisinya solidaritas di kalangan manusia Dayak. Barangkali karena itu pulalah maka usaha Koperasi Persekutuan Dayak (KPD) yang berfokus pada kegiatan di bidang ekonomi koperasi guna pemberdayaan dan pembangunan masyarakat, bukanlah pekerjaan yang gampang.

Melalui Jurnal ini, saya hanya ingin mengajak orang Dayak (bisa dibaca: anak bangsa!) untuk berkaca diri sesuai anjuran strateg Lao Tzu agar kita mengenal diri sendiri sebelum mengenal lawan, lawan yang hari ini berupa: keterbelakangan, keterpinggiran, kebodohan, kemandegan, ketiadaan solidaritas. Dayak, Kalteng, Republik Indonesia adalah tajuk dari sebuah program besar yang menagih pelaksanaan. Saya tidak melihat alasan mengapa kita takut pada diri sendiri dan membohongi diri. Berbohong (mananjaru) oleh manusia Dayak dipandang sebagai sesuatu yang paling buruk.***

Palangka Raya, Mei 2009

——————————

JJ. Kusni

Catatan :

1). Rumah betang, dengan masuknya istilah rumah betang ke dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, terbitan terakhir, maka rumah betang sudah resmi dimasukkan ke dalam kosakata bahasa nasional Indonesia.

2). Hubungan produksi, hubungan antar manusia yang muncul dari suatu sistem ekonomi (struktur basis) tertentu.

3). Mandau, parang panjang khusus untuk berperang.

4). Batang, bahasa Dayak Katingan, balok-balok kayu utuh yang dijadikan pengapung jamban, tempat klotok, speed boat berlabuh, tempat orang mencuci di sungai. Bagian dari tapian.

5). Sumber lain mengatakan Pertemuan Tumbang Anoi yang merupakan pertemuan damai dan kekalahan orang Dayak, berlangsung pada tahun 1896.

6). Lihat : « Hanya Betang ! », KPD Palangka Raya, Edisi No.4, Tahun IIApril 2008, hlm.8.

7 thoughts on “ADAKAH TRADISI SOLIDARITAS DI KALANGAN ORANG DAYAK?

  1. Ganip September 9, 2009 / 8:26 am

    Terima kasih atas tulisannya, menarik. salam kenal.

  2. warayaita hoo February 23, 2010 / 8:10 am

    Orang dayak bisa dikatakan berbeda dengan orang2 atau suku2 selain dayak….karna seteleh saya membacanya saya sedikit heran.orang dayak kependidikannya masih kurang sehingga masih mengikuti sifat2 nenek moyang yang sangat tidak moral bagi kita semua

  3. Ann & Kusni February 24, 2010 / 2:41 pm

    apa makssud kalimat “orang dayak kependidikannya masih kurang sehingga masih mengikuti sifat2 nenek moyang yang sangat tidak moral bagi kita semua”. Tolong jelaskan sedikit.

    Dimana letak atau bentuk ‘sangat tidak moral’ bagi kita semua? Standar bagaimana yang disebut bermoral bagi kita semua? Indikator-indikatornya apa?

    Terima kasih telah mengunjungi blog kami dan memberi komentar.

    Ann & Kusni

  4. ve March 29, 2012 / 12:44 pm

    HANDEP sekarang udah jadi salah satu tipe dari model belajar lho, insya allah bisa diterapkan di mata pelajaran apapun,karena banyak segi positifnya….

  5. sangumang kusni March 30, 2012 / 2:28 am

    handep apakah solidaritas ataukah bentuk barter?
    solidaritas murni adalahbantuan tanpa pamrih seperti bantuan rakyat sedunia kepada korban tsunami.apakah ada unsur demikian pada handep. saya melihat manusia dayak lebih individualis seperti ditunjukkan dalam besei kambe, semua merasa pangkalima , kisah tamanggung dan maharaja yang membiarkan perahu mereka tenggelam , hubungan sosial dalam betang, dan lain-lain.

    keadaan ini mempunyai pengaruh dalam kehidupan mayarakat dayak hingga hari ini.

    tolong berikan saya bukti adanya solidaritas dalam masyarakat dayak.terimakasih

    kusni sulang

Leave a comment