Halaman Budaya Sahewan Panarung | 14 April 2024 | Andriani SJ Kusni: SANSANA KAYAU

Radar Sampit, Minggu, 14 April 2024

Sansana Kayau dalam kehidupan sehari-hari di Desa Tumbang Liting, Kecamatan Katingan Hilir, Kalimantan Tengah. Foto dan Dok. Kusni Sulang

Sansana kayau adalah puisi lisan, diciptakan dan dinyanyikan langsung pada saat pergelaran. Di Daerah Aliran Sungai Katingan, terutama di Katingan Hilir dan Hulu, sansana kayau sampai sekarang masih hidup dan dinyanyikan, biasanya dipertunjukan pada saat pesta, upacara-upacara adat seperti menerima tamu dalam upacara pemotongan pantan, pesta perkawinan, bahkan dalam keseharian.

Puisi yang dinyanyikan tersebut diciptakan oleh penyair individual, kemudian disambut secara beramai-ramai oleh seluruh orang yang hadir. Para pelantun nyanyian puisi (disebut pasansan) bisa melantunkannya secara acapela (tanpa musik) dan bisa juga dengan iringan suling balawung dan kacapi.

Para Pasansana berdialog menggunakan puisi (sansana kayau), paduan antara kolektivitas dan individu. Pada puisi berbentuk sansana kayau ini, hubungan serasi antara individu dan kelompok dalam masyarakat Periode Bétang tergambarkan seperti juga dicerminkan dalam tari pergaulan Manasai–yang pada masa Pemerintahan Soekarno pernah diangkat secara resmi oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan sebagai tari pergaulan nasional.

Dikarenakan Sansana Kayau diciptakan dan dilantunkan secara langsung (semacam karya improvivasi) dan tanpa menggunakan teks terlebih dahulu pada saat pementasannya, maka dari para pansansana dituntut penguasaan bahasa yang baik, dalam  hal ini Bahasa Katingan,  keterampilan, dan pengetahuan filsafat Kaharingan yang padan serta kecekatan membaca keadaan dan kecepatan menganalisanya. Dengan pengetahuan dan penguasaan serta keterampilan demikian, baru bisa diharapkan akan lahir karya sansana kayau yang bermutu tinggi.

Sansana Kayau menggambarkan hubungan Uluh Katingan (Orang Katingan) dengan alam, kekuasaan alam lain, hubungan antarmanusia. Artinya, sansana kayau dilahirkan oleh masyarakat Suku Dayak Katingan, oleh alam dan kehidupan manusia serta digunakan dalam kehidupan sampai hari ini.

Bentuk Sansana Kayau

Secara teknis bentuk (form) Sansana Kayau terdiri dari tiga bagian, yaitu: 1) Prolog; 2) Tubuh Sansana; 3) Epilog.

Prolog dan Epilog dinyanyikan bersama-sama dalam irama tertentu dengan kata-kata: Oi, nanai, nanai, nanai, nanananai, nanai, oiiii nanai.Setelah itu, Pansansana secara tunggal (soloist) menyanyikan puisinya dan pada akhirnya ditutup untuk kemudian dilanjutkan lagi dengan prolog. Pengulangan lirik untuk prolog dan epilog sama.

Subtansi

Subtansi pesan dan isi puisi terdapat pada Tubuh Sansana, puitisitas Tubuh Sansana terdapat pada keseluruhan Tubuh Sansana, baik di awal (aliterasi), di tengah ataupun di akhir (coda).

Sansana Kayau dengan gampang berkembang menjadi sebuah naskah cerita drama, novel atau roman, hal ini terbukti oleh adanya karya epik Sansana Bandar, Sansana Kayau Pulang (warisan para Pansansana terdahulu), dan lain-lain.

Dirangkum dari: https://jurnaltoddoppuli.wordpress.com/2010/04/


REVITALISASI TRADISI LISAN DAYAK NGAJU: SANSANA

Oleh: Basori* | Penyunting: Andriani SJ Kusni

Sansana adalah puisi lisan, diciptakan dan dinyanyikan langsung pada saat pergelaran. Di daerah Aliran Sungai Katingan, terutama di Katingan Hilir dan Hulu, sansana sampai sekarang masih hidup dan dinyanyikan, biasanya di pertunjukan pada saat pesta, pada upacara-upacara adat seperti menerima tamu dalam upacara potong pantan, pesta perkawinan, bahkan dalam keseharian (Kusni, 2010).

Puisi yang dinyanyikan tersebut diciptakan oleh pesansana yang kemudian disambut secara beramai-ramai oleh seluruh orang yang hadir. Pasansana bisa melantunkannya secara acapela (tanpa musik) dan bisa juga dengan iringan suling Balawung dan Kacapi. Paduan antara kolektivitas dan individu dalam seni sansana menggambarkan hubungan serasi antara individu dan kelompok dalam masyarakat periode rumah Betang, hubungan yang juga dicerminkan juga pada tari pergaulan Manasai.

Karena sansana dituturkan secara langsung tanpa menggunakan teks, pada saat pementasannya, maka para Pasansana dituntut menguasai bahasa Dayak Ngaju yang baik, serta keterampilan dan pengetahuan filsafat Kaharingan (agama tua suku Dayak) yang memadai.

Sansana menggambarkan hubungan Uluh Dayak (orang Dayak) dengan alam, kekuasaan alam lain, hubungan antara manusia, artinya sansana dilahirkan oleh masyarakat Dayak Ngaju, oleh alam dan kehidupan manusia (Kusni, 2010).

Sansana biasanya digelar berhubungan dengan adanya suatu hajatan. Biasanya hajatan itu timbul dari janji-janji tertentu atau wujud rasa syukur karena telah tercapainya sesuatu yang diharapkan. Misalnya, seseorang berjanji kepada diri sendiri akan mengundang tukang sansana apabila mempunyai anak laki-laki tampan, tanaman padinya panen dengan memuaskan, perjalanan berhasil dengan selamat dan lancar, dan sebagainya. Sansana juga dapat digelar apabila seseorang atau keluarga menghendaki keluarga yang damai, murah rezeki, atau ingin menyatakan rasa syukur dan gembira atas lahirnya seseorang bayi dengan selamat dan sebagainya.

Cerita yang diangkat dalam sansana adalah cerita legendaris yang berisi kisah seorang tokoh super, yang memiliki banyak pengetahuan, pengalaman, kekuatan lahir batin, kecerdasan, serta budi pekerti yang luhur. Tokoh super ini disebut bandar. Dengan demikian dapat dikatakan, bandar sebenarnya bukan nama tokoh, tetapi gelar tokoh legendaris sehingga muncul sebutan Bandar Tumanggung, Penembahan, Bandar Panjantrahan, Bandar Ratu Anom, Bandar Huntup Batu Api, dan lain-lain.

Sansana dapat digolongkan dalam bentuk prosa liris karena cerita yang disampaikan berirama, meskipun iramanya sangat sederhana dan monoton. Di luar ciri tersebut, pilihan kata dalam sansana dan penyusunannya tampak agak menyimpang dari aturan-aturan bahasa Dayak Ngaju yang dipergunakan sehari-hari oleh masyarakat.

Pemilihan sansana sebagai subjek tulisan disebabkan banyaknya karya sastra masyarakat Kalimantan Tengah, khususnya masyarakat Dayak Ngaju yang belum secara tuntas diteliti. Salah satunya adalah seni sansana. Sampai saat ini, penelitian dan pendokumentasian sastra lisan Dayak Ngaju (dan Dayak pada umumnya) amat sedikit.

Sansana, sebuah proses bernyanyi yang diiringi kecapi sebagai alat musiknya dan ditujukan sebagai penghibur hati setelah seharian bekerja di ladang merupakan media mengomunikasikan misi kebaikan, penceritaan riwayat seseorang yang dianggap sangat terhormat dan sangat berjasa, serta tentang percintaan. Tetapi, belakangan kesenian ini sudah semakin hilang dari kebiasaan masyarakat. Hal itu disebabkan kecanggihan teknologi yang menawarkan lebih dari sekadar sebuah sansana, sedangkan upaya secara sistematis untuk mempertahankan keberadaan sansana sepertinya tidak terlaksana dengan baik. Hal ini terbukti dengan kurang menguasainya kaum muda dalam kesenian ini.

Kenyataan bahwa dalam perkembangan masyarakat dan peradaban yang mengharuskan masyarakat itu mengikuti perubahan yang ada, seolah sudah tidak bisa dihindari. Hal ini membuat masyarakat tersebut secara tidak sadar meninggalkan budaya lama kemudian menggantikannya dengan budaya yang baru. Seiring dengan kemajuan zaman, semakin tertinggal pula kesenian-kesenian daerah dari hati masyarakat. Hal ini pun terjadi pada masyarakat Kalimantan Tengah, khususnya Dayak Ngaju.

Satu hal yang bisa kita lihat adalah tidak adanya regenerasi dalam bidang kesenian, khususnya kesastraan yang benar-benar intens untuk melestarikan budaya tersebut. Untuk itulah kajian ini dilakukan, agar khasanah sastra yang ada dalam suku Dayak Ngaju ini tidak hilang begitu saja. Di samping itu, kajian ini juga dimaksudkan sebagai suatu upaya penulisan karya-karya sastra yang memang tidak ada, karena pada umumnya di Kalimantan Tengah berlaku sastra lisan sehingga jika tidak ada upaya intensif dalam pencatatan dan pembukuannya, akan hilang tanpa meninggalkan bekas ditelan oleh zaman yang bergerak demikian cepat. Di samping itu, nilai-nilai yang tekandung dalam sansana sebagai bahasa hati dan sosial akan hilang begitu saja jika tidak segera menjadi perhatian yang serius. Utamanya bagi kaum intelektual yang bergerak di bidang kebudayaan serta kesenian dan kesastraan.

Tulisan ini diharapkan bermanfaat bagi pemerintah, masyarakat Dayak Ngaju, dan masyarakat umum. Untuk pemerintah, penelitian ini bermanfaat sebagai salah satu sumber dasar informasi dalam pengambilan keputusan daerah dan bahan pertimbangan bagi pelaksana pembangunan di lapangan. Untuk masyarakat Dayak Ngaju, penelitian ini dapat merangsang generasi muda untuk lebih mencintai sastra lisan Dayak Ngaju; menjadi bahan pertimbangan bagi dasar pengembangan diri masyarakat dalam bidang kesenian dan kebudayaan; serta lebih meningkatkan rasa kebanggan diri terutama dalam pembangunan bangsa menuju manusia yang bermartabat. Untuk masyarakat umum, penelitian ini dapat  merangsang para sastrawan, ilmuwan, dan seniman untuk menggali lebih dalam sastra lisan Dayak Ngaju dan bisa menjadi dasar penelitian lanjutan, serta membuka pengetahuan masyarakat luas tentang sastra lisan suku Dayak Ngaju.

Landasan Teori

Tentang revitalisasi, peneliti menggunakan teori Pudentia (2008) dan Sibarani (2012). Sibarani (2014: 299) menyatakan bahwa model revitalisasi lisan dan pelestarian tradisi lisan yang ditawarkan meliputi Sumber Daya Manusia (SDM) budaya yang bergerak dalam bidang tradisi lisan, metode revitalisasi dan pelestarian tradisi lisan, dan paradigma revitalisasi dan pelestarian tradisi lisan yang mencakup pelaku, pendukung, akademisi, pemerintah, promotor budaya, dan industriawan budaya. Kemudian, ia menambahkan bahwa komponen revitalisasi mencakup penghidupan/pengaktifan kembali, pengelolaan, dan pewarisan tradisi lisan serta tiga komponen pelestarian, yakni: perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan tradisi lisan.

Sibarani (2012: 307) menyatakan bahwa tipe revitalisasi dan pelestarian tradisi lisan dapat dilakukan secara formal melalui pendidikan formal, secara nonformal melalui sanggar-sanggar atau lembaga-lembaga adat, dan secara informal melalui kesadaran sendiri belajar di masyarakat. Ketiga tipe revitalisasi dan pelestarian tradisi lisan itu sebaiknya dilakukan secara bersama-sama demi pewarisan tradisi lisan di masa mendatang.

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan langkah-langkah penelitian etnografi. Langkah-langkah etnografi itu dipaparkan dalam bagian berikut:

  1. Membuat Catatan Etnografis. Membuat catatan etnografi merupakan tindakan sebagai jembatan antara temuan dan deskripsi, yang menghubungkan temuan dan deskripsi menjadi tunggal, proses yang komplit. Temuan-temuan menemukan caranya dalam akhir tulisan etnografi. Membaca catatan ini di lapangan akan menuju kepada temuan-temuan tambahan. Adanya umpan balik ketika menulis etnografi yang mengarah kepada temuan-temuan baru dan tambahan-tambahan untuk catatan etnografi. Bisa disimpulkan bahwa temuan etnografi akan dilanjutkan dengan membuat catatan etnografi dan berakhir pada deskriptif etnografi. Catatan etnografi akan mengumpulkan temuan-temuan dari sudut pandang penutur dan menuliskan etnografi akhir (deskripsi) yang merupakan perolehan yang teliti dari proses terjemahan.
  2. Menetapkan Situasi. Berdasarkan informasi dari para informan, peneliti menetapkan situasi yang akan diteliti. Spradley (1979: 39) menyatakan bahwa setiap situasi sosial diidentifikasi menjadi tiga bagian mendasar yaitu: tempat, aktor (pelaku), dan aktivitas. Dalam hal ini, lokasi atau tempat penelitian sesuai dengan hasil wawancara dan pengamatan peneliti, maka lokasi penelitian ditentukan di Kecamatan Jekan Raya, Kota Palangka Raya dan Kecamatan Sanaman Mantikei, Kabupaten Katingan. Untuk aktor/pelaku, ditentukan berdasarkan  kriteria informan yang baik sesuai dengan pendapat Spradley.
  3. Melakukan Observasi Partisipasi. Spradley (1979: 54) menyatakan bahwa observasi partisipan melakukan observasi dengan dua tujuan: (1) untuk terlibat dalam aktivitas dan situasi tertentu, (2) untuk mengobservasi aktifitas, pelaku, dan aspek-aspek fisik dari situasi tersebut. Dalam penelitian ini, peneliti melakukan obsevasi partisipasi dengan melakukan hal-hal yang berkaitan dengan pemerolehan informasi mengenai Sansana.
  4. Membuat Catatan Etnografi. Rekaman dalam penelitian ini mencakup rekaman secara audio-video untuk mendapatkan rekaman sansana dan wawancara sekaligus dapat mengobservasi kegiatan tersebut.

Sansana, Penciptaan, dan Persebarannya

Sebagai puisi lisan tradisional, umumnya penciptaan sansana berlangsung secara spontan atau langsung di depan khalayak pada saat pertunjukan. Setelah itu pesansana akan melantunkan sansananya sesuai dengan suasana yang terjadi saat itu. Sansana biasanya menceritakan tokoh-tokoh yang memiliki banyak pengetahuan, pengalaman, kekuatan lahir batin, kecerdasan, serta budi pekerti yang luhur. Tokoh-tokoh dalam sansana ini merupakan tokoh-tokoh pemimpin dalam masyarakat Dayak.

Pada saat ini, amat sedikit orang yang mampu menciptakan sansana. Masyarakat Dayak Ngaju sendiri sadar bahwa menciptakan sansana ternyata tidak mudah, kesulitan terutama ada pada penciptaan syair. Untuk dapat menciptakan sebuah syair yang indah, seseorang dituntut untuk memiliki pengetahuan yang memadai mengenai bahasa (Dayak Ngaju), wawasan yang cukup tentang kehidupan budaya masyarakat, keterampilan menggali dan mengolah tema, dan memiliki imajinasi yang kuat. Bahasa Dayak Ngaju sendiri saat ini mengalami pergeseran, terutama pada remaja dan anak-anak muda yang mulai menggunakan Bahasa Banjar dalam pergaulan mereka sehari-hari. Hal ini tentu saja memengaruhi keberadaan sansana itu sendiri, meski mungkin masih ada sebab lain yang lebih dominan.

Karena keterbatasan tersebut, umumnya, pencipta sansana dianggap sebagai seorang yang istimewa, meski dalam kehidupan bermasyarakat hal itu tidak memengaruhi sikap masyarakat, dalam arti ia tidak memeroleh perlakuan khusus.

Sejak mulanya, sansana tercipta sebagai media hiburan, pendidikan, dan ekspresi budaya masyarakat Dayak Ngaju. Berdasarkan pada hal tersebut, sansana tersebar luas di kalangan masyarakat di Kalimantan Tengah, dengan berbagai istilah yang melabelinya. Sansana, pada akhirnya menjadi lambang identitas masyarakat Dayak Ngaju. Sesuai dengan keberadaan etnik Dayak Ngaju sebagai kelompok etnik terbesar (dalam jumlah dan luas wilayah sebaran) di Kalimantan Tengah, seluas itu pula wilayah sebaran sansana. Tradisi migrasi etnik juga ikut memengaruhi proses persebaran sansana ke wilayah yang lebih luas.

Penyair sansana tidak lahir dari pendidikan formal. Juga tidak dari pewarisan yang turun-temurun dari generasi tua ke generasi di bawahnya secara sengaja. Penyair sansana lahir dari proses alamiah dengan adanya beberapa pemuda yang suka kemudian meniru dan belajar bagaimana bersansana. Mereka belajar dengan memerhatikan bagaimana seorang pasansana itu melantunkan nyanyian-nyanyian yang disesuaikan iramanya. Ada pula pewarisan model keturunan, seorang damang atau balian akan mewariskan kemampuannya dalam bersansana pada anaknya.

Dalam proses peniruan ini, tidak mustahil memunculkan perubahan bentuk dan pengembangan, termasuk di dalamnya adalah perubahan nada pada posisi tertentu. Dari sini terjadi proses resepsi produktif. Pilihan-pilihan kata yang digunakan amat tergantung pada pelantun dan suasana yang terjadi pada saat pelantunan. Sebagaimana umumnya sastra lisan, para penyair sansana juga tidak mencantumkan nama atau identitas penciptanya. Setiap sansana yang tercipta merupakan milik kolektif masyarakat. Hal ini terjadi sepanjang pewarisan sansana secara lisan.

Revitalisasi Sansana, Kekayaan Budaya Dayak Ngaju

Tradisi lisan, apa pun bentuknya kian memudar dan terancam seiring perubahan orientasi hidup dan kebudayaan masyarakatnya. Hal itu tidak bisa dimungkiri. Begitu juga dengan sansana, meskipun di daerah-daerah tertentu kita masih menemukan keberlangsungannya. Misalnya, di wilayah hulu Sungai Kahayan, Katingan, dan Kapuas, tradisi bersansana, karungut, deder, dan upacara-upacara tradisional yang tentunya dilengkapi dengan tradisi-tradisi lisan masih bisa kita dapati.

Berikut ini beberapa hal yang ditengarai menjadi sebab makin hilangnya sansana di kalangan masyarakat Dayak Ngaju:

Pertama, faktor intern masyarakat Dayak sendiri. Masyarakat tidak atau kurang bisa lagi menghargai diri dan budaya sendiri. Menjadi Dayak dan berbudaya Dayak dianggap sebagai “primitif” dan tidak modern. Menjadi tidak ”keren” kalau berdialog dengan siapa pun menggunakan bahasa Dayak (dengan lingkungan sesama Dayak sendiri bahkan). Keadaan ini membuat masyarakat diam-diam melakukan bunuh diri budaya, mengasingkan diri dari komunitas, dan kehilangan ketahanan budaya. Perubahan pola hidup menuju kemodernan telah memosisikan generasi muda semakin jauh berada di luar sansana. Mereka semakin menjauhi sansana karena kurang mampu berbahasa Dayak Ngaju, di samping irama sansana yang cenderung monoton dan membosankan jika dibandingkan dengan hingar-bingar musik luar.

Kedua, pergeseran pemakaian bahasa. Generasi muda masa ini lebih mahir berbahasa Banjar daripada berbahasa Dayak Ngaju. Hal ini dibuktikan dengan penelitian yang dilakukan oleh Kurniati (2008) terhadap seratus responden mahasiswa etnik Dayak di Palangka Raya. Hasil penelitian itu menunjukkan  bahwa banyak mahasiswa etnik Dayak sudah tidak mahir lagi dalam berbahasa Dayak Ngaju.

Ketiga, pola persebaran dan pewarisan yang bersifat individual dan tidak terorganisasi dengan baik. Pewarisan dalam bentuk demikian nyata-nyata tidak efektif membentuk generasi penerus. Generasi muda masa ini sudah gagap budaya sendiri. Mereka lebih suka dengan permainan yang lebih “modern” dengan gitar, piano, drum, dan sebagainya.

Keempat, pendokumentasian yang tidak terbarukan lagi. Pendokumentasian sansana dengan kaset yang hanya bisa didengar melalui tape recorder terasa tidak ada artinya pada saat dunia sudah sangat akrab dengan media video youtube.

Kelima, peran media massa, RRI, yang makin mengurangi jumlah jam siar sansana. Media massa cetak pun sudah tidak ada lagi yang memuat syair-syair sansana. Penerbitan yang dilakukan oleh pemerintah daerah sangat terbatas dalam hal jumlah cetakan dan sebarannya.

Keenam, peran pemerintah yang diharapkan bisa menjadi benteng terakhir keberadaan sansana juga semakin berkurang. Media festival hanya menjadi semacam rutinitas tahunan yang bahkan tidak bergerak. Dari tahun ke tahun yang menghadiri dan mengikuti lomba adalah peserta yang itu-itu juga.

Festival yang diharapkan mampu menjadi jaring regenerasi nyata telah kehilangan fungsi dengan makin kuatnya keinginan untuk menjadi pemenang tanpa memerhatikan keberlangsungan regenerasi. Yang paling mendasar sebenarnya adalah masuknya tradisi lokal ini dalam kurikulum sekolah dalam materi muatan lokal atau ekstrakurikuler. Faktor ini tampaknya tidak digarap dengan sungguh-sungguh bahkan beberapa sekolah di Palangka Raya justru memasukkan bahasa Inggris sebagai muatan lokal (hal yang aneh). Pewarisan dan penyebaran lewat sanggar-sanggar seni juga belum kelihatan hasilnya.

Berkaitan dengan masalah-masalah tersebut, revitalisasi sansana menjadi penting untuk mulai dipikirkan dan menjadi program mendesak dalam upaya untuk melestarikan kebudayaan ini. Revitalisasi ini juga mesti mempertimbangkan bahwa sansana merupakan puncak kebudayaan Dayak. Segala sesuatu yang sudah mencapai puncak tentu tidak akan bisa berkembang lebih baik lagi. Langkah yang bisa diambil adalah menciptakan sesuatu yang baru atas dasar unsur-unsur yang sudah mencapai puncak itu. Tentu saja ini tidak bermaksud untuk menggugat atau bahkan mengganti sesuatu yang berada di puncak itu. Ini merupakan salah satu cara untuk mengembangkan dan sekaligus melestarikan kebudayaan dalam fungsinya. Sebagaimana seni campur sari dalam kebudayaan Jawa.

Beberapa langkah yang sangat mungkin untuk bisa dilakukan terkait dengan masalah tersebut antara lain: pertama, mengembalikan fungsi dan peran bahasa Dayak Ngaju sebagai bahasa pergaulan sehari-hari. Lingkungan keluarga menjadi garda depan untuk membiasakan diri menggunakan bahasa Dayak Ngaju; kedua, bahan ajar muatan lokal bahasa dan budaya Dayak Ngaju juga mesti disiapkan dengan baik. Hal ini tentu saja menuntut peran yang lebih banyak dari pemerintah daerah. Balai Bahasa Kalimantan Tengah sudah menyusun Tata Bahasa Dayak Ngaju, Kamus Dayak Ngaju. Hal ini perlu dilanjutkan dengan penyusunan bahan ajar muatan lokal; ketiga, pendokumentasian dengan media terbarukan. Sansana bisa dibuat dalam bentuk film animasi yang diharapkan akan menarik minat para pelajar untuk mengetahui dan belajar bersansana; keempat, pasansana harus lebih kreatif dalam bersansana, menciptakan pola baru dari pola-pola yang sudah ada. Kreatif memilih tema dan menggunakan kata.

Simpulan

Sansana sudah semakin kehilangan peminat seiring perkembangan teknologi. Apabila sansana tidak bisa menyesuaikan diri dengan perkembangan teknologi ini, sansana akan semakin hilang. Apabila hal ini tidak diperhatikan secara sungguh-sungguh, dikhawatirkan kehidupan sansana akan surut dan hilang dalam satu generasi ke depan. Kusni, penyair Dayak yang tinggal di Paris, pernah mengungkapkan gagasan revitalisasi terhadap sansana dalam pertemuan Sastrawan Borneo, 2005. Tampaknya, hal itu perlu segera kita sambut sebagai bagian dari pemertahanan dan pengembangan sansana di masa mendatang. (Sumber: Jurnal Sastra Lisan, Volume 1, Nomor 1, 2021).

*Basori, Peneliti pada Pusat Riset Manuskrip, Literatur, dan Tradisi Lisan Badan Riset dan Inovasi Nasional. Disunting berdasarkan keperluan penyiaran ini.


Halaman Budaya Sahewan Panarung asuhan Kusni Sulang dan Andriani SJ Kusni. Radar Sampit, Minggu, 14 April 2024. Redaktur: Heru Prayitno, Penata Letak: Rafi

Leave a comment