LAGI TENTANG FILM TENTANG FILM “THE ACT OF KILLING” (JAGAL)

Tanggapan Ko-Sutradara Filem Jagal terhadap Pernyataan Pemerintah
On Wednesday, 5 February 2014, 7:25, Chan CT <SADAR@netvigator.com> wrote:
http://jurnalfootage.net/v4/artikel/tanggapan-ko-sutradara-filem-jagal-terhadap-pernyataan-pemerintah31 Jan 2014
Jagal, Oppenheimer, The Act of Killing
by Jurnal Footage

 

Pengantar Editor
Lebih dari satu tahun filem The Act of Killing (Jagal) telah ditayangkan di seluruh dunia, tak terkecuali di Indonesia. Filem ini pun telah menuai berbagai macam tanggapan dari masyarakat internasional. Mulai dari pujian atas kualitas bahasa sinema yang baik dan juga isu kemanusiaan yang dibicarakannya, mendapatkan penghargaan di berbagai festival filem internasional, hingga berbagai tuduhan dan hujaman kritik pedas yang diberikan oleh berbagai pihak, salah satunya pemerintah Indonesia.
Pada tanggal 16 Januari 2014 lalu, filem ini menjadi nominasi The Best Documentary pada perhelatan 86th Academy Awards. Peristiwa ini tentu menjadi catatan tersendiri bagi perkembangan sejarah sinema Indonesia. Namun, beberapa saat kemudian, prestasi itu kembali mendapat kritik tajam dari pemerintah Indonesia.[1]
Jurnal Footage merasa perlu memuat kembali dan menyebarluaskan jawaban kawan-kawan anonimous terhadap kritik pemerintah Indonesia yang pernah dimuat di sosial media beberapa hari lalu. Wacana kekerasan yang selama ini ‘tersimpan’ dalam sejarah kebudayaan Indonesia terutama tragedi 1965-1966 yang diangkat oleh filem The Act of Killing (Jagal) menjadi sebuah perjuangan kemanusiaan dan membangun kesadaran untuk melihat kembali bagaimana sejarah bangsa ini dibangun. Selain itu, kami juga berpendapat bahwa filem ini memiliki bahasa sinema (estetika) yang sangat kuat dan layak untuk diberikan tempat sebesar-besarnya bagi pembelajaran apa itu sinema.
– –
[1] Baca: http://www.thejakartaglobe.com/news/indonesia-reacts-to-act-of-killing-academy-nomination/
30 Januari 2014 pada 01:46

Membaca reaksi pemerintah Indonesia terhadap filem Jagal atau The Act of Killing kami merasa perlu memberikan tanggapan.
Filem yang kami buat berlokasi di Indonesia, berbahasa Indonesia, dengan tema yang berkait erat dengan babak gelap dalam sejarah Indonesia, namun demikian filem kami sesungguhnya bercerita tentang manusia; tentang sebuah pembantaian massal yang dilakukan oleh manusia terhadap manusia lainnya. Filem kami bercerita mengenai dunia yang dibangun oleh imajinasi dan penyampaian cerita; tentang dunia yang dibangun dengan imajinasi penguasa dan penyampaian cerita berupa propaganda cuci otak. Tentang sebuah dunia yang dibangun untuk menjustifikasi kekerasan massal sebagai sebuah perjuangan heroik yang terus dipertahankan sampai hari ini. Tentang sebuah dunia yang menghasilkan kekosongan moral dan kematian budaya—semati hewan awetan walau diusahakan kelihatan dan berpose hidup. Tentang sebuah dunia yang dibangun diatas kuburan massal yang disembunyikan agar terlupakan. Filem kami adalah sebuah kisah mengenai apa yang terjadi di manapun jika manusia membangun normalitas sistem ekonomi dan politik berdasarkan kekerasan, kebohongan, dan ketakutan.
Menghindari membicarakan pokok persoalan yang diangkat di dalamnya, filem Jagal dituduh sebagai upaya asing untuk memperburuk citra Indonesia di dunia. Kami, pembuat filem Jagal, sama sekali tidak pernah berniat memperburuk citra Indonesia, karena bagi kami citra buruk bukanlah dari apa yang digali dan diungkap dari kejadian di masa lampau tetapi apa yang dikerjakan saat ini. Bagi kami citra bukanlah persoalan bagaimana dan seberapa baik kejahatan terhadap kemanusiaan disembunyikan dari pengetahuan rakyatnya. Citra buruk adalah melanggengkan ketidakadilan dan impunitas bagi mereka yang melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan. Citra buruk adalah tidak meminta maaf kepada penyintas dan keluarga korban kejahatan terhadap kemanusiaan. Citra buruk adalah tidak merehabilitasi dan memberikan mereka rekompensasi atas segala yang telah dirampas dari mereka selama ini. Citra buruk adalah terus-menerus menyembunyikan fakta yang penting, walaupun pahit, pada buku teks yang dibaca jutaan murid sekolah dan pada akhirnya mencetak berlapis generasi yang tak mengenal sejarahnya sendiri. Citra buruk adalah mengangkat arsitek pembunuhan massal sebagai pahlawan. Citra buruk adalah ketiadaan upaya untuk memulai sebuah proses rekonsiliasi yang sejati dan menampilkan rekonsiliasi pura-pura yang berinti proses pelupaan sebagai satu-satunya hal yang mungkin dilakukan.
Tidak satupun kerja memperburuk citra Indonesia kami lakukan lewat filem Jagal.
Menuduh filem Jagal sebagai suara ‘asing’ adalah upaya usang sekadar memancing sentimen sempit untuk mendirikan pagar pemisah tinggi-tinggi antara yang ‘kita’ dan yang ‘mereka’. Jika ada yang bisa diambil pelajarannya dari filem kami, maka pembedaan yang melupakan semua kesamaan itulah yang menjadi salah satu faktor mengapa sebuah kebencian dan kekerasan massal menjadi mungkin dibayangkan dan dilakukan oleh sekelompok manusia terhadap sekelompok manusia yang lainnya.
Berbicara mengenai intervensi asing, kami ingin mengajak semua untuk melihat berbagai investasi asing, proyek, dan utang yang menggelontor Indonesia sejak 1965 dan dibukakan gerbangnya selebar-lebarnya oleh pemerintah, masuk sebagai kelanjutan pembantaian massal yang disembunyikan itu dan pada akhirnya menggusur, mempermiskin rakyat, mengeruk segala kekayaan alam sambil meninggalkan jejak kerusakan lingkungan yang berkelanjutan dari Aceh sampai Papua. Pembunuhan massal 1965-1966—dan bukannya filem ini—yang justru adalah sebuah intervensi asing. Justru pemerintahan yang menuduh bahwa filem ini adalah sebuah intervensi asing yang sesungguhnya adalah produk dari puluhan tahun intervensi asing.
Filem Jagal bukan semata-mata ekspresi dari pendapat dan pandangan awak filem berkebangsaan selain Indonesia, tetapi juga adalah pandangan kami, awak filem berkebangsaan Indonesia. Filem ini mewakili pandangan kami semua sebagai manusia penghuni bumi melintasi batas-batas negara, kebangsaan, ras, etnis, dan bahasa. Filem Jagal dibuat oleh orang-orang dari berbagai bangsa, dengan awak filem paling banyak berasal dari Indonesia, dengan semangat kemanusiaan dan solidaritas kepada semua korban pelanggaran hak azasi manusia di dunia. Jika filem Jagal (The Act of Killing) secara resmi terdaftar sebagai produksi Denmark, Inggris, dan Norwegia—negara tempat perusahaan produksi filem Jagal berkedudukan—itu semata-mata karena keputusan kami untuk menjadi Anonim—awak filem tak bernama—karena dalam pendapat kami, negara kami belum bisa menyediakan perlindungan yang memadai. Kami tak bisa mendaftarkan filem kami sebagai filem Indonesia karena kami yang tak bernama tak mungkin mendirikan perusahaan dan tak ada jaminan bahwa perusahaan produksi yang mewakili filem kami akan aman dari tindakan kekerasan. Kami tidak ingin menciptakan risiko baru di dalam negara yang gagal melindungi pertemuan keluarga penyintas dan korban kekerasan massal 1965, yang tidak hadir ketika kekerasan terjadi pada saat orang menyampaikan pendapat dan berekspresi dengan damai, yang tidak mengusut tuntas dan menghukum orang yang bertanggung jawab atas pembunuhan Munir, wartawan Udin, dan jutaan korban kekerasan politik serta pelanggaran HAM lainnya sejak 1965 di seluruh Indonesia dan Timor Leste. Hal-hal seperti inilah yang bisa—dan sepatutnya—dilakukan oleh negara jika negara sungguh-sungguh ingin memulai memperbaiki citranya, pertama kali, kepada rakyatnya sendiri.
Kami adalah generasi muda yang berusaha untuk menjadi sadar sejarah dan kami tahu bahwa banyak terjadi pelanggaran di luar Indonesia yang dilakukan oleh pemerintah negara lain. Kami tidak membuat filem mengenai pelanggaran HAM yang dilakukan negara lain, seperti Amerika Serikat, Australia, Inggris, Israel, Afrika Selatan, Rwanda, Serbia, dan lainnya karena, tanpa mengurangi arti penting dari filem tentang pelanggaran HAM di manapun oleh siapapun, hal utama yang memotivasi pembuatan filem Jagal adalah solidaritas kami kepada sesama rakyat Indonesia yang menjadi korban penindasan negara selama ini, dan karena bagi kami yang terpenting adalah membuat negeri kami menjadi negeri yang terhormat di antara negara lain di dunia. Untuk bisa menjadi negara yang terhormat, kami yakin, negara harus menyadari bencana moral akibat pembantaian massal—dan bencana moral hari ini akibat impunitas, korupsi, dan ketakutan. Itu sebabnya kami membuat filem Jagal. Solidaritas terhadap penyintas dan keluarga korban ini juga yang kami bawa bersama awak filem dari bangsa lain dan ingin kami tularkan kepada penonton di seluruh Indonesia dan di luar Indonesia.
Kami sepenuhnya sadar bahwa sebanyak dan sebesar apapun pelanggaran HAM yang dilakukan negara lain tidak pernah memberi pembenaran bahwa kita bisa melakukan hal yang sama.
Seperti kami yang melalui filem ini menggugat negara kami, awak berkebangsaan lain pun menuntut hal yang sama lewat filem The Act of Killing kepada pemerintah negaranya. Awak filem berkebangsaan Amerika Serikat, sutradara filem Joshua Oppenheimer, lewat filem ini menuntut agar pemerintah Amerika Serikat mengakui perannya dalam genosida, dan berharap penonton Amerika mengenali The Act of Killing sebagai sebuah filem mengenai dampak kebijakan luar negeri Amerika Serikat yang mengutamakan hak perusahaan-perusahaan Amerika untuk menjarah dengan perlindungan impunitas di atas hak hak azasi manusia di negara-negara tempat perusahaan tersebut beroperasi. Sebagaimana telah berkali-kali disampaikan oleh pembuatnya di berbagai kesempatan di banyak negara, filem ini menyampaikan sebuah pesan bahwa kita lebih mirip dengan para pelaku pelanggaran HAM daripada yang selama ini kita bayangkan. Pesan yang dimengerti dengan jelas oleh para penonton di banyak negara.
Kami bekerja dan memberikan sumbangsih untuk membuat filem yang sebaik-baiknya dengan kesadaran bahwa kamilah yang berbahasa Indonesia paling baik di antara semua awak filem Jagal (The Act of Killing), kamilah yang paling dekat dengan sejarah yang menjadi tema filem ini, kamilah yang merasakan tumbuh dan hidup di dalam sebuah dunia fantasi yang dipaksa menjadi rumah dan tanah air kami, serta kamilah yang akan menjalani segala konsekuensi dari perubahan atau ketiadaan perubahan di tanah air kami. Kami menempuh segala risiko yang tak tertebak sampai saat ini, dengan kesadaran tidak akan pernah dikenal dan menerima langsung penghargaan setelah bekerja dan bekerja sama selama delapan tahun untuk menghasilkan karya kami, dari Indonesia untuk Indonesia dan dunia.
Mari menengok kembali tanggung jawab kita bersama membuat dunia yang lebih manusiawi. Mari kita mulai dengan membuat Indonesia menjadi lebih manusiawi.

‘Act of Killing’ Director Hopes US Will Admit Role in 1965 Killings

http://www.thejakartaglobe.com/news/act-of-killing-director-hopes-us-will-admit-role-in-1965-killings/
By Inter Press Service on 10:08 am March 3, 2014.
Category Featured, Human Rights, News
Tags: ‘The Act of Killing’, Communist Party of Indonesia PKI, Indonesia 1965 massacre

Director Joshua Oppenheimer poses for a portrait Feb. 13, 2014 in Washington, DC. (AFP Photo/Brendan Smialowski)
Washington. Watching former gangsters and paramilitary leaders proudly reenact scenes from Indonesia’s military-led mass killings of 1965-66 in the Oscar-nominated documentary, “The Act of Killing,” it’s easy to forget the role of outside countries.
“It was like I had wandered into Germany 40 years after the Holocaust only to find the Nazis were still in power,” director Joshua Oppenheimer told IPS in an exclusive interview.
But while US covert support for the deadly crackdown that killed at least half a million people is not the focus of his film, Oppenheimer hopes the powerful country will at least admit its role.
“There was lots of foreign support for the genocide and that is used as an excuse not to apologize,” he said during a recent visit to Washington.
“It’s my hope that the US will also take responsibility for its part so the Indonesian government can come to terms with the past and we can move on to reconciliation and healing,” he added.
While the US has not formally admitted to that part, declassified documents show the CIA directly assisted the Indonesian army in its quest to eliminate the Communist Party of Indonesia (PKI) — killing anyone accused of links in the process — after a failed coup attempt.
“The simplest way to put it is that in the month leading up to the events of Sep. 30, 1965 the US sought through covert operations to provoke an armed clash between the Indonesian army and the communist movement in the hope that it would eliminate the PKI,” said Bradley Simpson, who heads a project at the National Security Archive that declassified key US government documents concerning Indonesia and East Timor during the reign of General Suharto.
“Perhaps most important is the fact that the [Lyndon] Johnson administration sent clear signals that they enthusiastically supported an attempt to destroy the communists from the bottom up knowing full well that this would lead to mass violence,” he told IPS.
But while Oppenheimer may have produced one of the most unique documentaries of all time, he had initially set out to film a different story in Indonesia.
While documenting a community of exploited plantation workers in 2001, Oppenheimer, then in his late twenties, witnessed how they were bullied by the “Pancasila Youth,” a gangster-led paramilitary organization that used death squads and continues to repress the population to this day.
After victims of the genocide were intimidated into not talking to him by order of the military — the leaders of which proudly display their brute hold on the population and corruption on camera — some survivors urged Oppenheimer to interview the perpetrators instead.
“I was afraid at first, but after I got over that fear I realized that everyone I interviewed was boastful about even the most horrible details of the killings, which they described with smiles on their faces,” he said.
In the eight years that it took Oppenheimer to complete “The Act of Killing,” which was executive produced by internationally known directors Werner Herzog and Errol Morris, he only discovered his main character, Anwar Congo — the founder of a right-wing paramilitary organization that grew out of the death squads — in the final year of filming.
Anwar, who describes torturing and murdering suspected communists “like we were killing happily,” acts as though he is the director of the documentary as he collaborates with friends and colleagues to recreate scenes from his memory.
“I felt his pain was close to the surface, so I lingered on him,” said Oppenheimer.
But while Anwar seems haunted by his past, especially by a recurring nightmare of a severed head with eyes he failed to close staring at him, he ultimately reverts to the excuse that he was just following orders.
“I don’t think Congo saw this as his redemption,” said Oppenheimer. “He doesn’t recognize in a cognizant way that what he did was wrong.”
After Anwar watched the film “he was very moved and emotional and then he pulled himself together and said, ‘this film shows what it’s like to be me,’” Oppenheimer told IPS.
“His conscience was guiding the process and it sounds very complex but for him it was simply about showing me how he killed,” he said.
Adi Zulkadry, a fellow executioner who warns Anwar that the material in the film could be used against them, seems to have a deeper understanding of the magnitude of his actions but also justifies them as a consequence of war.
Pressed to respond to the fact that what he did is described by the Geneva Conventions as “war crimes,” Adi says he doesn’t “necessarily agree with those international laws.”
“War crimes are defined by the winners… Americans killed the Indians. Has anyone punished them for that? Punish them!” he proclaims.
But while Adi denies the value of Indonesia coming to terms with its past by admitting that what happened was a genocide, Oppenheimer’s film may be aiding the process — it has been screened thousands of times in Indonesia, and is available for free online.
“The Act of Killing” was also recently shown at the US Library of Congress.
Senator Tom Udall of the foreign relations committee, who introduced the film to a group of senators, told US News and World Report that, “The United States government should be totally transparent on what it did and what it knew at the time, and they should be disclosing what happened here.”
But it remains to be seen whether Washington will change a policy of denial.
“Fifty years is long enough for both the US and Indonesia not to call it a genocide,” said Oppenheimer.
Inter-Press Service

http://www.thejakartaglobe.com/news/the-act-of-killing-just-the-start-of-a-long-road-to-addressing-1965-killings-co-director/

‘The Act of Killing’ Just the Start of a ‘Long Road’ to Addressing 1965 Killings: Co-Director
By Jakarta Globe on 1:46 pm March 3, 2014.
Category Featured, News
Tags: ‘The Act of Killing’, Indonesia 1965 massacre

Jakarta. The Indonesian co-director of “The Act of Killing,” hopes the Oscar-nominated documentary will continue to inspire conversation about the 1965 communist killings, calling the controversial film “a gift for the Indonesian people,” after it failed to win an Academy Award on Monday morning.
“We made the movie because we were pessimistic that there would be any action acted upon the case,” the anonymous co-director told the Jakarta Globe. “But we were also optimistic that the people finally want to re-learn their history and identity … We hope that the coming movies, discussions and anything else will bring change in the society. They may not be able to change the conditions, but we’re sure they can change the society.”
The co-director was unfazed by the film’s Oscar snub, explaining via Twitter that documentary was only the start of a “long road” to addressing the realities of the 1965 massacre — which left an estimated 500,000 people dead in a wave of anti-communist violence. The documentary has prompted a response from the central government, and discussion among human rights activists and public officials over a period of history long obscured by decades of New Order-era propaganda.
The film, made by US director Joshua Oppenheimer and an anonymous Indonesian crew, has already won a host of awards, including best documentary at the 2014 BAFTA awards. But for the co-director, who remained anonymous out of fear of retaliation over the film’s content, the documentary’s impact in Indonesia remained more important than any award, he said.
“Each nomination and award that we won has helped us to open up a wider discussion on human rights and impunity,” the co-director said. “Even though we didn’t win [the Oscar], we strongly believe that the conversation on this issue will still be there among the people.
“The movie is disturbing at some points. It is not an answer, but rather a question … for the viewers. Until there is a real answer and action [from the central government], the question will still haunt many people.”
“The Act of Killing” received a Best Documentary Feature nomination at the 86th Annual Academy Awards but lost to director Morgan Neville’s “Twenty Feet From Stardom,” which spotlights the US music industry’s unsung backup singers. The documentary may not have won the Academy Award, but the directors continued to receive accolades from their peers on Monday.
“Special salute to @Anonymous_TAoK. If he didn’t need to stay anonymous, today he’d be the first Indonesian sitting in that Oscar audience,” tweeted Daniel Ziv, the director of “Jalanan,” referring to the Twitter account used by the Indonesian co-director.
The film, which was not submitted to be shown in Indonesia, was posted for free download for Indonesian viewers. A complete copy of the documentary was also posted to YouTube, where it has received more 130,000 views, the co-director said. He is now working with Oppenheimer on a second film about the purge, this one focusing on the victims. The documentary, tentatively titled “The Look of Silence,” was shot at the same time as “The Act of Killing,” and is currently in the editing stages.
The co-director expects “The Look of Silence,” to be released by the end of the year.
“The movie was shot at the same time as ‘The Act of Killing’,” he said. “It will bring up the same issue during the same time frame in South Sumatra.”
The co-director thanked the survivors of the 1965 killings for their help in making the film in a tweet on Monday morning.
“The Act of Killing is a gift for the Indonesian people. The victim’s family, survivors and the viewers are our motivation to make this movie,” he tweeted.
“We owe them gratitude and support, which we can never pay back,” the co-director continued. “Thank you for everything.”[]

Act of Killing director focuses on genocide

http://www.atimes.com/atimes/Southeast_Asia/SEA-01-030314.html

Mar 3, ’14

By Jasmin Ramsey

WASHINGTON – Watching former gangsters and paramilitary leaders proudly reenact scenes from Indonesia’s military-led mass killings of 1965-66 in the Oscar-nominated documentary, The Act of Killing, it’s easy to forget the role of outside countries. “It was like I had wandered into Germany 40 years after the Holocaust only to find the Nazis were still in power,” director Joshua Oppenheimer told IPS.

But while US covert support for the deadly crackdown that killed at least half a million people is not the focus of his film, Oppenheimer hopes the powerful country will at least admit its role.

“There was lots of foreign support for the genocide and that is used as an excuse not to apologize,” he said during a recent visit to Washington.

“It’s my hope that the US will also take responsibility for its part so the Indonesian government can come to terms with the past and we can move on to reconciliation and healing,” he added.

While the US has not formally admitted to that part, declassified documents show the CIA directly assisted the Indonesian army in its quest to eliminate the Communist Party of Indonesia (PKI) – killing anyone accused of links in the process – after a failed coup attempt.

“The simplest way to put it is that in the month leading up to the events of September 30, 1965 the US sought through covert operations to provoke an armed clash between the Indonesian army and the communist movement in the hope that it would eliminate the PKI,” said Bradley Simpson, who heads a project at the National Security Archive that declassified key US government documents concerning Indonesia and East Timor during the reign of General Suharto (1966-1998).

“Perhaps most important is the fact that the [Lyndon] Johnson administration sent clear signals that they enthusiastically supported an attempt to destroy the communists from the bottom up knowing full well that this would lead to mass violence,” he told IPS.

The Act of Killing was beaten by 20 Feet From Stardom for the accolade of “Best Documentary Feature” in the 86th annual Academy Awards on Sunday March 2.

But while Oppenheimer may have produced one of the most unusual documentaries of all time, he had initially set out to film a different story in Indonesia. While documenting a community of exploited plantation workers in 2001, Oppenheimer, then in his late 20s, witnessed how they were bullied by the “Pancasila Youth”, a gangster-led paramilitary organization that used death squads and repressesses the population to this day.

After victims of the genocide were intimidated into not talking to him by order of the military – the leaders of which proudly display their brute hold on the population and corruption on camera – some survivors urged Oppenheimer to interview the perpetrators instead.

“I was afraid at first, but after I got over that fear I realized that everyone I interviewed was boastful about even the most horrible details of the killings, which they described with smiles on their faces,” he said.

In the eight years that it took Oppenheimer to complete The Act of Killing, which was executive produced by internationally known directors Werner Herzog and Errol Morris, he only discovered his main character, Anwar Congo – the founder of a right-wing paramilitary organization that grew out of the death squads – in the final year of filming.

Congo, who describes torturing and murdering suspected communists “like we were killing happily,” acts as though he is the director of the documentary as he collaborates with friends and colleagues to recreate scenes from his memory.

“I felt his pain was close to the surface, so I lingered on him,” said Oppenheimer.

But while Congo seems haunted by his past, especially by a recurring nightmare of a severed head with eyes he failed to close staring at him, he ultimately reverts to the excuse that he was just following orders.

(Inter Press Service)

Film “The Act of Killing” Masuk Nominasi Oscar

Film The Act of Killing (Jagal) karya sutradara Joshua Oppenheimer
TEMPO.CO – Film dokumenter tentang pembantaian masal di Indonesia, karya sutradara Inggris , Joshua Oppenheimer, “The Act of Killing” masuk sebagai salah satu nominasi film dokumenter terbaik Academy Awards yang akan diumumkan siang ini, Jumat 17 Januari 2014.
“Sebelum dirilis awal musim panas tahun lalu, film ini sudah menjadi pembicaraan di kalangan pembuat film,” kata Chief Editor The New York Times, Larry Rohter yang dimuat dalam situs dan blog di media yang sama, Jumat 17 Januari 2014.
Subjek film Oppenheimer yang menceritakan tentang pembantaian masal di Indonesia, saat konflik politik tahun 60-an yang terjadi antara militer dan sipil, menyajikan cerita dokumenter yang dinilai Rohter tidak biasa. Ia yakin, banyak pengamat film yang mendukung bila The Act of Killing akan memenangkan piala Oscar.
Film The Act of Killing, menurut Rohter, memiliki inovasi dalam tehnik penyajian yang baik. Keberhasilan Joshua Oppenheimer mendapatkan kesaksian tim jagal asal Medan, Anwar Kongo, menjadi sebuah nilai istimewa. “Tehnik Joshua Oppenheimer mewawancarai sumber menuai penghargaan dan kritik,” katanya.
Joshua Oppenheimer mengatakan tidak menyangka bahwa film besutannya menjadi salah satu nominasi dalam penghargaan tertinggi insan perfilman. “Saya sebenarnya tidak memperkirakan film ini akan menang,” katanya kepada Newyork Daily News. “Tapi ini merupakan awal yang baik bagi tim kami dan para pihak yang menjadi korban dalam pembantaian itu,” tambahnya.

Saat menonton pengumuman itu secara langsung, Oppenheimer sedang bersama timnya di Denmark, Ia langsung menghubungi timnya di Indonesia ketika nominasi dibacakan. “Saya langsung skyping dengan tim di Indonesia mengenai pengumuman itu,” katanya .

Film “The Act of Killing” Bisa Perburuk Citra Indonesia
http://internasional.kompas.com/read/2014/01/24/1920457/Film.The.Act.of.Killing.Bisa.Perburuk.Citra.Indonesia

Jumat, 24 Januari 2014 | 19:20 WIB
ACT OF KILLING Poster film the Act of Killing yang bercerita tentang pembunuhan massal di Indonesia tahun 1960-an.

JAKARTA, KOMPAS.com – Pemerintah Indonesia, Jumat (24/1/2014), mengeluarkan tanggapan terkait film dokumenter “The Act of Killing” yang masuk nominasi Oscars dalam katagori film dokumenter terbaik.

Film yang mengupas pembantaian besar-besaran di Indonesia pada 1960-an itu ternyata dianggap memberikan citra buruk untuk Indonesia di mata komunitas internasional.

“Indonesia digambarkan sebagai sebuah negara yang kejam dan tak berhukum. Film itu menggambarkan pada 1960-an Indonesia sangat terbelakang. Itu tidak sesuai kenyataan,” kata juru bicara kepresidenan Indonesia, Teuku Faizasyah.

“Harus diingat bahwa Indonesia sudah melalui sebuah reformasi. Banyak hal berubah. Persepsi satu orang seharusnya tidak terpengaruh hanya oleh satu film,” tambah Faizasyah.

Faisazyah mengatakan banyak negara di dunia memiliki masa-masa kelam dalam sejarahnya, sehingga jangan terlalu mudah menghakimi sebuah negara.

“Kita ingat sejarah perbudakan di Amerika Serikat, diskriminasi suku Aborigin di Australia, pengeboman Vietnam oleh AS. Ada elemen kekerasan terhadap kemanusiaan dalam semua peristiwa itu,” lanjut Faizasyah.

“Harus diingat kejadian di Indonesia itu terkait konteks perang dingin dan perang melawan komunisme,” Faizasyah menegaskan.

Laporan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menyebut pembunuhan massal pada 1960-an itu sebagai sebuah pelanggaran HAM serius dan sebuah kejahatan terhadap kemanusiaan.

Meski demikian, tak satu kelompokpun yang dimintai pertanggungjawabannya atas kebrutalan yang meluas mengincar sebagian besar pengikut komunis menyusul upaya kudeta yang gagal pada 1965.

Film “The Act of Killing” yang disutradai Joshua Oppenheimer itu berhasil membujuk beberapa orang yang terlibat dalam peristiwa itu untuk menceritakan kembali kejahatan yang mengerikan tersebut.

Tak hanya Indonesia yang “meradang”, masuknya “The Act of Killing” dalam nominasi Oscars juga memicu kemarahan di China. Sebab, dalam film itu, komunitas warga keturunan China ikut menjadi korban pembantaian pada 1960-an itu.

Leave a comment