Halaman Masyarakat Adat | 7 April 2024 | Catatan Kusni Sulang: SEJARAH, RUANG TERBUKA HIJAU, TEMPAT PARKIR DAN PEMAJUAN ZAMANI

Radar Sampit, Minggu, 7 April 2024 | Penyunting: Andriani SJ Kusni

Gedung KONI Kalteng
Gedung KONI Kalteng (kaltengdaily)
Gedung KONI Kalteng
Gedung KONI di Jl. Tjilik Riwut No. 1, Palangka Raya, Kalimantan Tengah, Sabtu, 6/4/2024. Di halaman gedung terlihat alat berat dan tumpukan material terkait aktivitas pembongkaran. Foto: Andriani SJ Kusni

Gedung KONI yang dibangun pada tahun 1974, 17 tahun setelah Kalimantan Tengah (Kalteng) berdiri sebagai provinsi otonom seusai pemberontakan bersenjata rakyat—terutama masyarakat Dayak—setelah Lebaran ini akan dibongkar dan dijadikan sebagai Ruang Terbuka Hijau (RTH).

Gedung ini diresmikan oleh Wakil Presiden Sultan Hamengku Buwono IX pada 1 Agustus 1975. Awalnya digunakan sebagai Gedung DPRD Kalteng di mana banyak keputusan-keputusan yang berperan dalam perkembangan Katleng telah diambil sedangkan Gedung DPRD Kalteng yang sekarang (terletak di depan Tugu Soekarno), tadinya digunakan sebagai Kantor Gubernur. Karena itu, Gedung KONI  dipandang sebagai salah satu gedung bersejarah dan pada tempatnya dijadikan sebagai cagar budaya.

Permintaan untuk menjadikan Gedung KONI diberikan status cagar budaya sudah pula diajukan dan didaftarkan di Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi sebagaimana diperlihatkan oleh dokumen-dokumen seperti Surat Edaran Pelindungan Cagar Budaya Gedung KONI Provinsi Kalimantan Tengah Nomor 2288/F.F4/KB.09.02/2024 Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi dan Surat Permohonan Peninjauan Kembali Pendaftaran Gedung KONI/Eks DPRD Provinsi Kalimantan Tengah Nomor 800/1054/DPKKO-Umpeg/IV/2024 Pemerintah Kota Palangka Raya Sekretariat Daerah.

Surat Edaran Pelindungan Cagar Budaya Gedung KONI Provinsi Kalimantan Tengah Nomor 2288/F.F4/KB.09.02/2024 Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Direktorat Jenderal Kebudayaan

Surat Permohonan Peninjauan Kembali Pendaftaran Gedung KONI/Eks DPRD Provinsi Kalimantan Tengah Nomor 800/1054/DPKKO-Umpeg/IV/2024 Pemerintah Kota Palangka Raya Sekretariat Daerah

Sekalipun Gedung KONI itu “telah masuk ke dalam daftar Objek yang Diduga Cagar Budaya, Pemerintah Provinsi Kalteng tetap berencana membongkar Gedung KONI Palangka Raya dengan alasan, menurut Wakil Gubernur Kalteng Edy Pratowo “menata kawasan sekitarnya secara komprehensif, termasuk membangun Ruang Terbuka Hijau (RTH). Dengan demikian, Bundaran Besar benar-benar menjadi sebuah tempat yang menciptakan multiplier effect (dampak ganda), di antaranya pertumbuhan ekonomi pariwisata hingga sarana edukasi dan rekreasi yang memadai.”

Gubernur Sugianto Sabran (mengutip Wakil Gubernur Edy Pratowo) menjelaskan, pembangunan RTH tersebut direncanakan dengan memugar atau membongkar bangunan eks Gedung KONI atau gedung DPRD lama yang ada saat ini.

Apabila diperlukan, juga termasuk kantor Dispora dan kantor Disnakertrans saat ini sebab kantor atau gedung pemerintahan itu sudah tidak layak dari sisi estetika jika berada di kawasan bundaran.

“Akan lebih tepat jika Bundaran Besar saat ini menyatu dengan kawasan Ruang Terbuka Hijau, dilengkapi playground taman bermain edukatif bagi anak-anak, serta bangunan satuan pendidikan Taman Kanak-Kanak,” kata Sugianto Sabran (https://kalteng.antaranews.com/berita/683181/wagub-kalteng-ada-keinginan-rth-dan-tempat-bermain-di-bundaran-besar).

Sementara Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Kalteng Salahuddin mengetengahkan alasan-alasan pembongkaran sbb:

Maka dari itu, pihaknya (Salahuddin –KS) mengaku terkejut saat mengetahui Gedung KONI diduga sebagai cagar budaya. “Jadi jika dibilang saat ini muncul diduga cagar budaya, kenapa baru sekarang, tidak dari enam tahun lalu, mengingat enam tahun yang lalu membuat bangunan terintegrasi dengan bangunan sekitarnya tersebut, kita mengundang semua tokoh masyarakat termasuk budayawan yang ahli tentang cagar budaya, arsitek. Jadi kami saat ini hanya melanjutkan saja,” imbuhnya.

Salahuddin menyampaikan, kewenangan terkait cagar budaya merupakan kewenangan yang memiliki aset (https://kalteng.tribunnews.com/2024/03/27/gedung-koni-kalteng-di-bundaran-besar-palangkaraya-segera-dibongkar-perencanaan-sejak-6-tahun-lalu).

Setelah mengetahui rencana ini, gelombang penolakan pun datang dari berbagai pihak: dari para ahli, anggota-anggota DPRD Kota dan Provinsi, anggota DPD-RI, kalangan mahasiswa, gereja, dan lapisan masyarakat lainnya.

Argumen penolakan umumnya berangkat dari makna sejarah dan pendidikan dari gedung-gedung tua seperti Gedung KONI, yang sesungguhnya bukan tanpa preseden di provinsi ini.

Bahkan pihak Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi melalui Dirjen Kebudayaan pun telah bersurat kepada Gubernur Kalteng, H. Sugianto Sabran, menyampaikan tiga hal:

  1. Pertama, Gedung KONI di Bundaran Besar Kota Palangka Raya telah masuk daftar objek diduga cagar budaya (ODCB) dengan potensi ditetapkan menjadi cagar budaya.
  2. Kedua, sesuai Undang-undang No. 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya, maka selama dalam proses pengkajian, setiap objek diduga cagar budaya yang didaftarkan, akan dilindungi dan diperlakukan sebagai cagar budaya.
  3. Ketiga, agar rencana terkait gedung KONI tersebut ditunda hingga ada pertemuan dengan Tim Ahli Cagar Budaya Nasional (https://kaltengdaily.com/kabar-terkini/kemendikbudristek-ri-minta-pembongkaran-gedung-koni-kalteng-ditunda/).

Dalam penolakan terhadap rencana pembongkaran Gedung KONI Palangka Raya ini, yang disampaikan bukan hanya protes, tetapi saran-saran jalan keluar atau alternatif pun dikemukakan.

Terhadap pendapat-pendapat ini, Wakil Gubernur Kalteng Edy Pratowo hanya mengatakan, “Ya, kita termasuk mendengarkan semuanya,” (https://prokalteng.jawapos.com/pemerintahan/pemprov-kalteng/28/02/2024/respon-surat-teras-narang-soal-rencana-pembongkaran-gedung-.koni-ini-penjelasan-wagub-kalteng/).

Tapi yang sering saya alami bahwa yang didengar itu biasanya dibiarkan masuk dari telinga kiri, segera keluar dari telinga kanan. Apalagi kalau menyimak argumen Salahuddin bahwa “Apakah itu diduga cagar budaya, menurut saya, itu merupakan kewenangan yang memiliki aset dan secara sah aset tersebut kepunyaan pemprov. Jadi sudah semestinya pihak pemprov yang lebih berhak menentukan, apakah Gedung KONI tersebut dijadikan cagar budaya atau tidaknya.” Pandangan yang memperlihatkan pendekatan kekuasaannya begitu kuat: “Boleh mengatakan apa saja, yang menentukan adalah saya karena saya yang berkuasa”.

Pandangan begini sama sekali tidak memedulikan apakah yang disampaikan dan ‘pura-pura’ didengar itu, benar atau salah secara hakekat. Suatu sikap yang disebut oleh Merton sebagai ‘kepribadian birokratik’ (bureaucratic personality), walaupun dalam praktek, pemahaman terhadap peraturan-peraturan oleh para birokrat itu patut dipertanyakan.

Alasan-alasan yang dikemukakan oleh Salahuddin sebenarnya sangat lemah. Ketiadaan tempat parkir, keamanan gedung sudah tak terjamin, sudah mengajak diskusi para pihak enam tahun silam. Mantan Plt Ketua KONI Kalteng, Christian Sancho mengatakan bahwa gedung KONI masih layak dipakai tidak seperti yang disebut oleh Salahuddin sedangkan mengenai diskusi dengan para pihak yang disebut oleh Salahuddin, menurut Sancho, “Rapat terkait pembongkaran tersebut yang diundang sangat terbatas, orang-orang yang diundang, merupakan orang-orang yang tidak bisa berbicara seperti saya,” tambah Sancho (https://kalteng.tribunnews.com/2024/03/01/gedung-koni-kalteng-masih-layak-pakai-bangunan-bersejarah-saat-pembentukan-provinsi?page=2).

Terbatasnya ruangan ini membuat saya tidak bisa membahas seluruh argumen dari Wakil Gubernur dan  Salahuddin poin per poin. Yang mau saya garis bawahi bahwa penghancuran benda sejarah seperti yang mungkin dijadikan cagar budaya, sama dengan melenyapkan bukti sejarah tentang suatu peristiwa atau hal-ikhwal. Yang dihancurkan tidak bisa kembali lagi. Hilang. Bukti-bukti pun hilang oleh penghancuran itu. Jika langkah begini diteruskan,  akan beralasan orang mengatakan bahwa Dayak, Kalteng adalah manusia dan daerah primitif walaupun ada mobil,internet, dan lain-lain.

Jika ini terjadi maka apa yang bisa dibanggakan Dayak dan Kalteng, orang dan daerah yang tak punya sejarah. Secara psikologis akan berkembang pengingkaran diri, mentalitas rendah diri, dasar pembenaran Dayak tidak layak memegang penyelenggaraan Negara dan daerahnya. Bunuh diri budaya akan berkembang. Bukti bunuh diri budaya yang saya sinyalir ini memiliki banyak bukti.

Singkatnya: Penghancuran cagar budaya, yang mungkin dijadikan cagar budaya dan bukti-bukti sejarah adalah suatu kesalahan besar, tindak anti-kebudayaan dan  berdampak generatif apalagi atas nama tempat parkir. Sejarah akan mencatatnya memang, tapi tidak dengan penghormatan.

Pemajuan zamani tidak akan terwujud dengan menjadikan diri primitif.***


Halaman Masyarakat Adat asuhan Kusni Sulang dan Andriani SJ Kusni. Radar Sampit, Minggu, 7 April 2024. Redaktur: Heru Prayitno, Penata Letak: Rafi
Halaman Masyarakat Adat asuhan Kusni Sulang dan Andriani SJ Kusni. Radar Sampit, Minggu, 7 April 2024. Redaktur: Heru Prayitno, Penata Letak: Rafi

Halaman Budaya Sahewan Panarung | 31 Maret 2024 | Catatan Kebudayaan Andriani SJ Kusni: SAKULA BUDAYA DAN KONSOLIDASI HASIL

Radar Sampit, Minggu, 31 Maret 2024

Ugak (berbaju merah) melatih anak asuhnya main (bela diri Dayak) di Sakula Budaya Handep-Hapakat di ruang terbuka karena ruang gereja yang dipinjamkan oleh Geraja Kalimantan Evangelis Desa Sumur Mas tidak cukup menampung jumlah peserta. Latihan dilakukan tanpa iringan gendang dan gong. Hanya gerak dan suara pelatih yang memberi aba-aba. (Foto dan Dok.: Kusni Sulang/2024)

Sovie sedang melatih anak-anak asuhnya menari di Sakula Budaya Handep-Hapakat. Latihan menari pun dilangsungkan dengan musik dari telepon genggam yang suaranya antara terdengar dan tidak. (Foto dan Dok.: Kusni Sulang/2024)

Tiap kali latihan main, Ugak selalu mengenakan lawung (ikat kepala) Merah-Putih. Foto dan Dok.: Kusni Sulang/2024

Sakula Budaya Desa Sumur Mas Kecamatan Téwah, Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah (Kalteng) pada 2 Maret 2024 sudah selesai. Kepada para pelatih dan para peserta diberikan sertifikat yang telah dibingkai rapi, sedangkan untuk pemerintah desa dan kepala sekolah SD dan SMP diberikan sertifikat penghargaan atas partisipasi aktif mereka dalam menyelenggarakan Sakula Budaya.

Sakula Budaya memang dinyatakan selesai tapi kegiatan kebudayaan desa tidak berakhir dan terus berlanjut. Mengapa berlanjut dan bagaimana melanjutkannya?

Para pihak seperti pemerintah desa, pihak sekolah, kepolisian Kecamatan Téwah dan para orang tua peserta Sakula serta para peserta Sakula itu sendiri sangat mengharapkan kegiatan berlanjut. Mereka sangat merasakan kegunaaan adanya Sakula Budaya ini dan juga melihat sedang ditunggu oleh perspektif yang cerah.

Ketika masa Sakula berakhir dan acara tamat Sakula diselenggarakan meriah dengan sambutan dari Dirjen Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Kalteng dan Kabupaten, para orang tua para peserta Sakula dan guru-guru SD dan SMP bernafas lega, berkata, “Akhirnya kita berhasil.”

Kelegaaan ini gampang dipahami karena Sakula Budaya ini sesungguhnya dimulai terutama bermodalkan semangat dan niat memberikan sesuatu untuk tujuan “Manggatang Utus”.

Penyelenggara yang terdiri dari Yayasan Borneo Institut, Fairventure World Wide (yang kemudian berubah menjadi Good Forest Indonesia), Pemdes, SD dan SMP Desa, awalnya tidak memiliki kelengkapan apa pun. Gendang. gong, kecapi, rebab, kangkanong, pengeras suara, dan lain-lain tidak ada.

Melihat keadaan itu, warga desa mencari pinjaman gong dan gendang. Pemangku adat desa, Mantir Herlison menebang sebatang pohon umtuk dijadikan dua buah kecapi yang digunakan untuk mengiringi pelajar mempraktekkan Karungut. Kusni Sulang, seorang pencinta budaya yang turut membantu penyelenggaraan Sakula, tanpa keengganan “mengemis” bantuan ke berbagai pihak dan mendapatkan bantuan gendang baru dari Kardinal Tarung (Damang Jekan Raya, Palangka Raya), sebuah kecapi dari Hansli Gonak (Kepala Dinas  Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Gunung Mas), teman-teman Jerman yang sempat berkunjung secara spontan menyumbangkan dana untuk membelikan peralatan-peralatan mendesak seperti pengeras suara berukuran kecil yang diperlukan untuk latihan menari. Bahkan empati nyata juga datang dari Andrew, teman Kusni Sulang di Universitas Pittsburgh, Amerika Serikat.

Nampak bahwa kebersamaan merupakan kekuatan yang bisa memberikan hasil di luar bayangan. Kebersamaan bisa digerakkan oleh niat dan tujuan baik dan ketulusan—sesuatu yang langka dalam masyarakat kita hari ini, tapi masih tersisa. Masih ada.

Teringat keadaan demikian, pada acara tamat Sakula, para pelatih, para peserta, orang tua-orang tua anak-anak dan  pihak Pemdes bernafas lega bahkan ada yang meneteskan air mata. Menanggapi reaksi demikian, Kusni Sulang mengatakan kepada mereka, “Kita sudah memulai sesuatu dan kita akan jalan terus ke depan. Bukan ke belakang. Dayak itu artinya sama dengan pejuang, bukan pengemis!”

Ide, sikap dan semangat demikianlah yang dituangkan dalam slogan Sakula:”Dayak Hingkat, Dayak Batarung, Dayak Manang. Sakula Budaya: Manggatang Utus” (Dayak Bangkit, Dayak Berjuang, Dayak Menang. Sakula Budaya (untuk) Manggatang Utus”.

Adakah dampak dari slogan ini pada masyarakat desa?

Nampaknya ada. Terdapat beberapa petunjuk. Waktu penyelenggaraan Sakula Budaya di Desa  Linau, Kecamatan Rungan, warga desa mengira Sakula Budaya itu hanya belajar  main, karungut dan seni lainnya. Ketika mendengar adanya lahap (pekikan tarung diteriakkan) disusun oleh slogan di atas, nampak jelas air muka warga desa yang selalu hadir menonton anak-anak mereka latihan, berubah. Seperti orang tersentak. Baru tahu pesan inti penyelenggaraan Sakula.

Di Desa Sumur Mas, setelah sadar akan pesan slogan, setiap melatih, Ugak Sang Pelatih selalu mengenakan ikat kepala (lawung) Merah-Putih. Di desa ini juga, seorang peserta anak SD bercerita penuh antusiasme tentang keindahan alam air terjun 12 lapis yang menurutnya pasti tak ada di bagian dunia lainnya. Ia juga berkisah kepada Kusni Sulang tentang jahatnya penjajahan Jepang. Kemudian, Kusni Sulang ditanyai oleh warga desa.

“Apakah Bué (Bhs Dayak Ngaju: kakek) seorang veteran?”

“Saya veteran?”

“Ya, betul kan, Bué seorang veteran?”

“Bué terlalu kecil pada masa perang gerilya menghalau Belanda dulu, tapi semua anggota keluarga Bué terlibat dalam perang itu,” jawab Kusni.

Cerita-cerita di atas memperlihatkan bahwa pesan slogan Sakula menjalar sampai ke pikiran dan perasaan warga desa. Slogan yang masih diingat oleh peserta didik dan selalu dipekikkan dengan penuh semangat. Serukan saja kata Dayak dengan mengangkat tangan ke atas, maka akan langung terdengar jawaban penuh semangat, “Hingkat, Batarung, Manang dan Manggatang Utus”.

Pasti sikap begini bukanlah kebetulan. Artinya, semangat dan pemahaman yang disebarkan oleh Sakula Budaya di desa, bisa dijadikan bekal spiritual untuk perubahan maju. Dayak itu mau berubah maju.

Untuk melangkah jauh dalam melakukan perubahan maju, yang pertama-tama diperlukan adalah pemajuan pola pikir dan mentalitas bagaimana membuat seluruh warga—terutama yang terpuruk—Hingkat, Batarung untuk Manang dan Manggatang Utus yang seniscayanya.

Lebih lanjut dijelaskan dan ditunjukkan secara konkret, bagaimana hingkat dan batarung, bagaimana manang dan manggatang utus. Penjelasan akan lebih efektif ketika sejarah, filosofi dan nilai-nilai budaya lokal digunakan sehingga etnisitas dan kearifan lokal adalah metode pendekatan yang tak ada kaitannya dengan etnosentrisme. Etnosentris bukan etnosentrisme.

Untuk mengkonsolidasi hasil-hasil yang dicapai melalui Sakula Budaya dan agar kegiatan kebudayaan di desa berlanjut, pada 23 Maret 2024 di Gereja Kalimantan Evangelis desa yang biasa digunakan sebagai tempat latihan, seusai pembagian sertifikat Sakula kepada para peserta, pihak pemerintah desa, pemangku adat dan penyelenggara Sakula Budaya mengadakan rapat bersama untuk menetapkan langkah-langkah tindak lanjut. Rapat memutuskan mendirikan organisasi kebudayaan berakta  notaris, dinamai Sanggar Budaya Handep-Hapakat Desa Linau dengan Yater Sahabu sebagai ketua sanggar dan Mantir Herlison sebagai wakil ketua. Selain itu, rapat konsolidasi menetapkan jadwal kerja yang mesti diselesaikan.

Rapat konsolidasi itu memaknai sanggar sebagai wadah melakukan kegiatan kebudayaan dan kebudayaan tidak  terbatas pada kesenian. Kesenian sebagaimana dikemukakan oleh Koentjaraningrat, hanyalah salah satu dari tujuh unsur kebudayaan yaitu: sistem peralatan hidup, mata pencaharian, sistem kemasyarakatan, bahasa, kesenian, sistem pengetahuan dan religi. Kebudayaan adalah hal-hal yang bersangkutan dengan budi atau akal (Koentjaraningrat,(1974:19).

Sanggar Budaya inilah selanjutnya yang akan meneruskan pekerjaan Sakula Budaya yang dalam waktu dekat akan diselenggarakan di desa lain, masih di Kabupaten Gunung Mas. Terbayangkan oleh pembaca jika pada suatu hari, desa-desa  Kalteng  mempunyai Sakula Budaya dan selanjutnya memiliki organisasi kebudayaan masing-masing?

Pelestarian, revitalisasi, transformasi dan pemajuan kemajuan lokal pada saat itu tidak lagi sebatas pernyataan-pernyataan formal standar karena tujuan tersebut mendapatkan cara pelaksanaannya secara terorganisasi dan terencana.***


Sajak Magusig O Bungai
Aku Gaér (Aku Khawatir)



Amas Bukit Naga
Amas Batu Apui
Amas pètak-danum
Mampabèlum lèwu
Bara nyélu ka nyélu


(Emas Bukit Naga
Emas Bukit Apui
Emas kampung-halaman
Menghidupkan lèwu)

Amas panénga
Kataun-kajénta Hattala Ranying
Panguasa karé langit
Bulan matanandau
Akan Utus Dayak-Panarung itah


(Emas anugerah
Tanda kasih sayang Hatatala Ranying
Penguasa seluruh langit
Bulan matahari
Ke Utus Dayak Paanarung kita)

Panjang késah-sarita akangkuh je nakan harian
Huran yuh huran auh ah, amas inggaú
Baranjung-ranjung amas indinu
Baya mbuhen o tambi-bué
Panjang-haї aku
Léwu tatap tapilihi
Huma-séruk tatap baya-baya kia
Nahuang sakula masih bahali?


(Panjang kisah-cerita kepadaku yang lahir belakangan
Dahulu ya dahulu dituturkan, emas dicari
Berkeranjang-keranjang emas diperoleh
Tapi mengapa o kakek-nenekku
Besar dewasaku
Kampung-halaman masih saja tertinggal
Rumah tinggal tetap saja bagai sedia kala
Mau sekolah pun tak ada biaya)

Tahining kuh hung silan léwu
Tégé suara paham nyaring
Diá eh suara riwut-barat, oi aring
Suara té suara buldozer uluh luar
Manggaú amas pétak-danum itah imbongkar

(Di sebelah kampung kudengar
Ada suara nyaring benar
Pasti bukan suara angin ribut, adikku
Suara itu gemuruh bulldozer orang luar
Memburu emas kampung-halaman kita dibongkar)

Aku gaer tambi-bué
Aku gugup mina-mana
Umai-Aba
Je tatisa akangku
Baya rutik jatun am baguna


(Aku khawatir kakek-nenek
Aku gugup paman-tante
Ayah-ibu
Yang tersisa untukku
Hanyalah sampah tanpa guna)


Februari 2024


Halaman Budaya Sahewan Panarung asuhan Kusni Sulang dan Andriani SJ Kusni. Radar Sampit, Minggu, 31 Maret 2024. Redaktur: Heru Prayitno, Penata Letak: Rafi

Halaman Masyarakat Adat | 24 Maret 2024 | Jurnal Perdesaan Kusni Sulang: MEMERIKSA CARA BERPIKIR KITA

Radar Sampit, Minggu, 10 Maret 2024 | Penyunting: Andriani SJ Kusni

Senjata Mandau Suku Dayak. Foto: Andriani SJ Kusni, 2012

Tragedi Sampit 2000-2001, di mana Dayak serta etnik-etnik lain di Kalimantan Tengah (Kalteng) dan Madura terlibat dalam konflik yang sangat berdarah itu sudah berlalu 24 tahun lalu.

Senyatanya, tidak siapa pun yang diuntungkan dari konflik tersebut. Semua mengalami kerugian, termasuk kehilangan nyawa. Pantar Perdamaian yang didirikan di Sampit setelah tragedi tersebut, seyogyanya bisa selalu mengingatkan kita bahwa keragaman itu sesungguhnya suatu kekayaan dan rahmat yang patut disyukuri, sedangkan keseragaman menyimpan benih petaka, bertentangan dengan kenyataan.

Belajar dari tragedi itu, jadinya merupakan suatu keniscayaan agar kualitas kemanusiaan kita tidak merosot ke taraf kualitas keledai. Kita berhak berbuat salah, asal kita mau dan dengan berani mengoreksi kesalahan itu. Dengan demikian, kita bisa berkembang dengan kualitas baru.

Setelah dua puluh empat tahun berlalu, apakah sikap dan perasaan terhadap etnik lain dalam konflik tersebut di atas sudah pupus? Saya pastikan jawabannya: Belum! Banyak sekali contoh yang saya temukan dalam kehidupan sehari-hari pada kedua belah pihak yang oleh keterbatasan ruangan di sini tidak bisa saya tuturkan dengan rinci.

Dendam dan curiga masih saja ibarat virus menjalar di hati dan kepala–barangkali di kedua belah pihak, tapi yang jelas di kalangan Orang Dayak. Contoh paling baru adalah apa yang saya dapatkan di berbagai Daerah Aliran Sungai (DAS) di Kalteng, termasuk di Desa Sumur Mas, Kecamatan Téwah, Kabupaten Gunung Mas, pada saat Pilpres Februari 2024 lalu.

Dalam percakapan dengan berbagai pihak, saya ketahui kemudian bahwa  warga Dayak tidak mau memilih Paslon Nomor 03, Ganjar-Mahfud karena adanya “faktor Mahfud”. “Mahfud kan Orang Madura? Mengapa memilih  Orang Madura?!”

Pernyataan singkat mengandung banyak informasi ini membuat saya tercenung, diam sejenak. Dua puluh empat tahun berlalu, sikap dan perasaan antipati pada Orang Madura masih saja belum pupus. Hampir satu generasi sikap dan perasaan demikian masih merasuk. Sementara, bagaimana Dayak menyelamatkan Madura, Madura menyelamatkan Dayak, dalam konflik berdarah itu sangat-sangat jarang saya dengar diungkap–untuk tidak mengatakan ‘tidak pernah’.

Orang-orang pun tidak pernah menelisik makna perkawinan Tamanggung Panduran dengan seorang puteri Raja Madura yang tercatat pada nama sebuah Desa Panduran di tepi Sungai Kahayan yang masih ada hingga hari ini. Sejarah tidak mempunyai arti apa-apa, boleh jadi karena “tidak bisa jadi nasi” (diá taú jadi bari) yang sangat hedonistik. Terkesan betapa membenci sesama itu lebih gampang dari pada mencintai. Padahal, kebudayaan itu sarinya adalah perdamaian, kemajuan dan saling mencintai.

Sementara, kriteria Trilogi Dayak Ideal ‘Gagah-Berani, Pandai-Berbudi, Kritis-Tekun” (Mamut-Ménteng, Pintar-Harati, Maméh-Ureh) tidak pernah juga diperbincangkan. Trilogi itu dipisah-pisahkan. Tidak dipandang sebagai satu kesatuan. Yang diutamakan adalah ‘Mamut-Ménteng’ yang menghasilkan dominasi ‘budaya’ kekerasan seperti halnya kekeliruan menjadikan ‘talawang’ (perisai) yang alat perang itu sebagai ikon Dayak di seluruh Kalteng. Dari segi filosofi dan kebudayaan Dayak, yang paling sesuai adalah enggang dan naga. Hanya tentu saja membuat patung enggang dan naga pasti lebih rumit dibandingkan dengan membuat talawang. Apakah ini wujud dari kesukaan pada Jalan Pintas dalam masyarakat Dayak hari ini, sebagai akibat dari keterputusan sejarah dan budaya? Apakah Orang Dayak suka berpikir atau lebih suka pada sikap ‘kambing-tumbur’?

Saya membaca masalah menolak memilih Paslon nomor 03 Ganjar-Mahfud karena adanya faktor Mahfud yang Madura adalah menyangkut masalah cara berpikir dan tingkat pengetahuan yang kemudian mengungkapkan diri pada tindakan. Penolakan itu lebih bersifat emosional, bukan rasional (dalam bahasa Dayak: ‘jatun hurui, atau ‘diá tamé akal’).

Dalam upaya menangani hubungan antara dua etnik ini, saya mencoba menghubungi beberapa pekerja budaya di Madura dan masih menunggu tanggapan mereka. Di konteks ini, saya sangat menghargai pentas bersama musisi Madura-Dayak di Jawa (maaf, saya lupa nama kotanya, barangkali Yogyakarta).

Berpikir secara  ‘jatun hurui’ atau ‘diá tamé akal’, lebih mendekati sikap ‘kambing-tumbur’ ini, kalau berani jujur pada diri sendiri—hal penting untuk perubahan maju—berlangsung di berbagai bidang dan sejak lama serta menyubur pada masa Orde Baru yang menumbuhkembangkan ‘budaya’ takut. Berpikir secara ‘jatun hurui atau ‘diá tamé akal’ dan sikap ‘kambing-tumbur’ sebenarnya bukanlah tanda kesukaan berpikir, tapi bentuk kemalasan berpikir.

Untuk mewujudan cita-cita Manggatang Utus, seyogyanya Dayak meninjau ulang cara berpikir mereka. Saya khawatir, kalau kita masih berpikir secara ‘jatun hurui’ atau ‘diá tamé akal’ dan bersikap  ‘kambing-tumbur’, jarak kita dengan perkembangan zaman yang melaju kencang (Bhs.Dayak: cinik!) tanpa memperdulikan siapapun, akan makin jauh dan makin jauh.

Terbayang di mata saya keadaan Dayak di Nusantara, Ibu Kota Negara yang sedang dibangun tapi sudah lebih papa dari ‘Betawi’. Jika cara berpikir kita tidak diperiksa ulang dengan keras dan jujur, kepapaan itu akan menjadi-jadi dan menunggu kita di seluruh ruang dan relung kehidupan. Dayak menjadi lumpen di Pulau Kelahirannya: Borneo!

Di sinilah pula, saya melihat arti penting mendesaknya penyelenggaraan Kongres Kebudayaan Kalimantan Tengah yang belum pernah dilangsungkan sejak berdirinya provinsi ini pada tahun 1957. Kongres bisa berusaha menyusun strategi kebudayaan Kalimantan Tengah sehingga menjadi Bétang Bersama bagi semua Uluh Kalteng.***


KERAGAMAN INDONESIA DAN UPAYA MENGHINDARI KONFLIK

Oleh: Reyhan Davin Ardhionova* | Penyunting: Andriani SJ Kusni

Keragaman itu keindahan alami. Penyeragaman itu lumbung petaka. Foto: Oki Sobara. Sumber: https://commons.wikimedia.org/wiki/File:Carnaval_baju_daerah.jpg

Tidak dapat dipungkiri lagi, hampir semua wilayah (termasuk kota) di Indonesia adalah wilayah dengan masyarakat multikultur. Para transmigran tentu lebih jelas motivasinya, yaitu mendapatkan tanah dan pekerjaan yang lebih baik di luar Jawa dan Bali.

Namun, kelompok etnis diaspora yang terdiri dari beberapa kelompok etnis tentu memiliki latar belakang yang berbeda-beda. Para pendatang tersebut (transmigran, diaspora, dan migrasi lainnya) mau tidak mau harus melakukan kontak budaya dengan masyarakat setempat.

Berdasarkan teori kultur dominan, kelompok etnis tertentu menjadi dominan di wilayah teritorialnya. Beberapa provinsi yang termasuk dalam kategori ini antara lain adalah lima provinsi di Jawa (Jawa Tengah, DIY, Jawa Timur, Jawa Barat), Bali, Gorontalo, Kalimantan Selatan, Sumatera Barat, Bangka Belitung, Nusa Tenggara Barat, dan Nangroe Aceh Darusalam. Sementara, kelompok etnis tertentu menjadi dominan di luar wilayah teritorialnya, untuk kategori ini hanya terjadi di propinsi Lampung, dimana orang Jawa menjadi mayoritas (61,89%) diikuti dengan orang asli Lampung justru menjadi minoritas.

Beberapa etnis memiliki jumlah yang berimbang, dapat dikateorikan lagi menjadi: Perimbangan jumlah etnis dengan jumlah etnis asli lebih besar. Kategori ini kebanyakan berasal dari etnis diaspora seperti Batak, Bugis, Melayu, Minahasa, dan Buton di wilayah teritorialnya.

Selain itu, etnis Banten juga paling banyak jumlahnya meskipun tidak dominan. Beberapa propinsi yang termasuk dalam kategori ini antara lain adalah: Banten, Sumatera Utara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Jambi, Riau, Sumatera Selatan, dan Sulawesi Tenggara.

Faktor yang membuat perbedaan-perbedaan itu terutama berasal dari ilmu-ilmu perilaku manusia (Behavioral Sciences) seperti sosiologi, antropologi dan psikologi. Ilmu-ilmu sosial tersebut mempelajari dan menjelaskan kepada kita tentang bagaimana orang-orang berperilaku, mengapa mereka berperilaku demikian, dan apa hubungan antara perilaku manusia dengan lingkungannya. Penyebab tersebut telah menimbulkan banyak konflik di dalam masayarakat.

Akhir-akhir ini di Indonesia sering muncul konflik antar ras dan etnis yang diikuti dengan pelecehan, perusakan, pembakaran, perkelahian, pemerkosaan, dan pembunuhan. Konflik tersebut muncul karena adanya ketidakseimbangan hubungan yang ada dalam masyarakat, baik dalam hubungan sosial, ekonomi, maupun dalam hubungan kekuasaan.

Konflik di atas tidak hanya merugikan kelompok-kelompok masyarakat yang terlibat konflik tetapi juga merugikan masyarakat secara keseluruhan. Kondisi itu dapat menghambat pembangunan nasional yang sedang berlangsung.

Indonesia merupakan salah satu bangsa yang paling plural di dunia dengan lebih dari 500 etnik dan menggunakan lebih dari 250 bahasa. Karenanya, sebagaimana bangsa multietnik lainnya, persoalan-persoalan mengenai pengintegrasian berbagai etnik ke dalam kerangka persatuan nasional selalu menjadi tema penting.

Ironisnya, setelah sekian puluh tahun kemerdekaan, pertikaian antaretnik tetap saja terjadi. Sementara pembauran antaretnik intens berlangsung terutama di daerah-daerah urban, konflik antaretnik terus terjadi. Di satu sisi digalakkan upaya untuk meningkatkan nasionalisme guna mengurangi etnosentrisme, di sisi lain tumbuh subur pemujaan etnik.

Memiliki ratusan etnik dengan budaya berlainan, yang bahkan beberapa di antaranya sangat kontras, potensi ke arah konflik sangatlah besar. Ketika Koentjaraningrat mendefinisikan nilai budaya sebagai suatu rangkaian konsep yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar warga masyarakat mengenai apa yang di anggap penting dan remeh dalam hidup, sehingga berfungsi sebagai pedoman dan pendorong perilaku, yang tidak lain mengenai sikap dan cara berpikir tertentu pada warga masyarakat, sekaligus ia menyatakan inilah masalah terbesar dalam persatuan antaretnik (Koentjaraningrat, 1971).

Nilai budaya inilah yang berperan dalam mengendalikan kehidupan kelompok etnik tertentu, memberi ciri khas pada kebudayaan etnik, dan dijadikan patokan dalam menentukan sikap dan perilaku setiap anggota kelompok etnik. Nilai-nilai budaya yang berbeda pada tiap etnik akan menimbulkan sikap dan cara berpikir yang berbeda pula.

Demikian juga dalam perilaku yang diambil meskipun dalam masalah yang sama. Perbedaan ini potensial menimbulkan konflik terutama pada masalah-masalah yang datang dengan adanya interaksi antaretnik.

Upaya Menghindari Konfilk

Berbagai cara dan upaya agar jangan sampai terjadi konflik sangat penting dilakukan. Misalnya, membuat Rancangan Undang-Undang Penghapusan Diskriminasi etnis dan ras hendaknya tidak hanya memfokuskan perhatian pada diskriminasi seperti yang terjadi pada etnis Papua.

Setiap manusia mempuyai kedudukan yang sama dihadapan Tuhan karena dilahirkan dengan martabat, derajat, hak dan kewajiban yang sama. Pada dasarnya, manusia diciptakan dalam kelompok ras atau etnis yang berbeda-beda yang merupakan hak absolut dan tertinggi dari Tuhan Yang Maha Esa.

Dengan demikian, manusia tidak bisa memilih untuk dilahirkan sebagai bagian dari ras atau etnis tertentu. Adanya perbedaan ras dan etnis tidak berakibat menimbulkan perbedaan hak dan kewajiban antarkelompok, ras, dan etnis dalam masyarakat dan negara.

Selain itu, membangun sikap anti diskriminasi etnis dilakukan oleh pihak sekolah merupakan salah satu langkah penting. Dalam poin bahasan ini adalah bagaimana membangun sikap saling menghargai antaretnis yang dimulai melalui institusi sekolah.

Untuk mendukung langkah-langkah guru dalam membangun sikap anti diskriminasi etnis, peran sekolah juga sangat menentukan. Beberapa langkah penting sebaiknya dilakukan pihak sekolah agar siswa dapat secara langsung belajar meningkatkan sensitifitasnya untuk bersikap menghargai etnis lain di lingkungan sekolah.

Indonesia adalah salah satu negara multikultural terbesar di dunia. Kenyataan ini dapat dilihat dari kondisi sosio-kultural maupun geografis yang begitu beragam dan luas. Keragaman ini diakui atau tidak, akan dapat menimbulkan berbagai persoalan seperti korupsi, kolusi, nepotisme, kemiskinan, kekerasan, perusakan lingkungan, separatisme, dan hilangnya rasa kemanusiaan untuk menghormati hak-hak orang lain, merupakan bentuk nyata sebagai bagian dari multikulturalisme tersebut.

*Reyhan Davin Ardhionova, Milenial Pontianak (https://kabardamai.id/keragaman-indonesia-dan-upaya-menghindari-konflik/)


Halaman Masyarakat Adat asuhan Kusni Sulang dan Andriani SJ Kusni. Radar Sampit, Minggu, 24 Maret 2024. Redaktur: Heru Prayitno, Penata Letak: Rafi

Halaman Budaya Sahewan Panarung | 17 Maret 2024 | Cerpen Korrie Layun Rampan: HAYAPING

Radar Sampit, Minggu, 17 Maret 2024

Salah satu karya seniman Indonesia di pameran Kitab Visual Ianfu (https://medium.com/@febrianafirdaus/ianfu-ada-dan-berlipat-ganda-50ff4d04d3d0)

Kalau bukan karena Ogay, aku tidak akan sampai ke Hayaping. Pernah kudengar nama itu dari temanku, seorang wartawan tabloid reformasi, tapi aku tak juga mampu tiba semauku di tempat itu. Tapi, Ogay membuat aku terpikat, terutama karena di tempat itu terdapat sebuah gua yang dinamakan Liang Saragi.

“Kata orang gua itu indahsekali,” Ogay merayuku.

“Sayang kalau kita tidak menyempatkan diri datang ke situ.”

Dengan motor sewaan aku diboncengi  Ogay menuju Hayaping. Meskipun jalannya agak rusak jika berjalan dari arah Tamiang Layang, tetapi  Hayaping  memiliki daya tarik yang segera membuat aku menyukai tempat itu. Pasarnya yang menjorok ke arah dalam dan keadaan sekitarnya yang membayangkan sebuah kampung yang khas milik orang Dayak.

Kekhasan itu terlihat dari bentuk rumah, logat bicara, dan terutama babi-babi yang lepas berkeliaran di sekitar rumah dan di sepanjang jalan. Bahkan, Ogay hampir saja menabrak seekor babi dengan sejumlah anaknya yang masih kecil saat kami berdua sudah mendekati belokan menuju pasar. Kebetulan kami memang memilih hari pasar yaitu hari Selasa.

Ingin aku menulis tentang sebuah kampung yang merangkak menuju dunia modern, tetapi pada sisi lain masih memelihara tradisi desa tertinggal dengan pola kehidupan nenek-moyang.

“Itulah sebabnya aku membawamu kemari,” Ogay berargumentasi. “Tanpa melihat dari dekat, kau hanya membuat tulisan dari mimpi.”

“Aku memang tak mau menulis impian,” aku membenarkan Ogay. “Karena itu, aku ikut kau melihat kenyataan.”

Sebenarnya, aku mempunyai pengetahuan yang samar-samar dari Billa, puteri pemilik losmen tempat aku menginap di Tamiang Layang. Kampung ini  agak jauh menjorok ke dalam, mirip sebuah kota pedalaman. Selebihnya adalah sebuah pasar yang hanya ramai seminggu sekali dan kondisi kampung yang dipenuhi para wisatawan domestik jika tiba masanya ada acara ijame atau musim liburan sekolah dan anak-anak remaja akan memasuki gua.

Ketika aku menggali sumber-sumber kisah dari berbagai kalangan di Kampung Patung dan Simpang Bingkuang, ada yang mengatakan bahwa Liang Saragi merupakan gua terindah dan terpanjang di dunia.

“Jika saja di dalamnya dipelihara dengan baik dan dibuatkan penerangan sehingga terlihat stalaktit dan stalakmit, gua itu akan mampu menghasilkan devisa,” ujar kepala desa. “Panjang liang dunia itu sungguh menakjubkan. Kata orang sampai ratusan kilometer, bahkan mencapai Kota Tanjung di Kabupaten Tabalong.”

“Tapi, siapa yang pernah masuk ke sana? Melihat  keindahan yang tak bertara?” seorang anak muda yang tampak cukup kritis berkata dari atas motor ojeknya. “Kita semua hanya mendengar cerita. Tak ada yang berani  membuktikan!”

“Kau sendiri tak berani,” seorang anak muda lain menjawab. “Bagaimana kita tahu keadaan sebenarnya kalau hanya menduga-duga?”

“Cobalah kau yang meneliti,” lelaki pengojek lainnya menimpali. “Mudah-mudahan kau akan menemukan harta atau ular siluman.”

“Kau kok malah menakut-nakuti,” lelaki yang lebih kurus  berkata bagaikan pokrol bambu. “Kata orang, di zaman Jepang banyak sekali intan permata milik rakyat yang disembunyikan di dalam gua itu.”

“Nah, bukankah itu harta karun?” kepala desa membesarkan nyali warganya. “Kalian bisa minta jaminan keamanan kepada aparat untuk meneliti liang penghasil devisa. Coba, ajukan proposal …”

Para tukang ojek saling pandang. Mungkin kata proposal dianggap aneh. Apa pula maksudnya? Suatu surat lamaran? Pemberitahuan akan melakukan kerja untuk negara? Atau, suatu permintaan untuk mengelola harta masyarakat?

Kudapat cukup bekal untuk melihat kenyataan sebuah gua yang memberi kegirangan bagi pengunjungnya karena indahnya panorama bawah tanah. Jika Billa hanya memberikan bahan samar-samar, para pengojek menambah dengan sejumlah cerita yang mengundang keingintahuan. Tapi, masih bisa kusauk data-data terjadinya gua dan keindahannya serta data-data sejarah dari pihak parawisata. Bukankah mereka sangat berkepentingan dengan gua sebagi sumber pendapatan pemerintah daerah?

Dengan Ogay, aku jakin dapat membuat perjalanan jadi menyenangkan. Kami sudah siapkan peralatan khusus untuk sebuah gua. Dari penuturan kawanku, Danu, yang sering masuk di gua walet Karang Bolong, kutahu banyak mengenai benda-benda penting untuk seseorang pengarung gua. Bukankah berjalan di bawah tanah kadang menemukan bahaya tak terduga. Bukan saja mungkin menemukan ular berbisa, tapi juga disergap gas beracun yang mematikan. Belum lagi bahaya longsor, kejatuhan batu-batu yang licin, atau tercebur ke dalam telaga yang dingin seperti es. Bisa juga ditemukan sumber air panas yang mendidih dan bisa membuat pengarung terebus bagaikan ayam yang matang di kuali para penjual ayam potong di pasar tradisional.

Hayaping dan Liang Saragi membuat aku dan Ogay lebih menyiapkan mental. Jika hanya ingin berbelanja barang-barang di pasar Selasa, kami berdua tidak perlu membawa perlengkapan yang memadai.  Soto Banjar yang  enak dapat menjadi pengganjal perut dan goreng pisang khas Pasar Hayaping tentu saja bisa menggoyang lidah. Akan tetapi, kami berdua bukan hanya akan melihat keramaian pasar. Kami lebih memfokuskan diri untuk masuk ke dalam gua yang terkenal dengan segala legenda.

Aku sendiri tidak yakin dengan dongeng. Bukankah dongeng adalah cerita rekaan yang diciptakan seorang ahli sastra tradisional yang biasa mengucapkannya secara lisan? Akan tetapi, aku juga tidak bisa menghapus keyakinan masyarakat sehingga tercipta sebuah mitos mengenai kawasan tertentu. Gua Saragi yang diyakini masyarakat sebagai penjelmaan dari suatu peristiwa, harus pula disiasati dengan cerdas bahwa legenda yang ada pasti ada hubungannya dengan kehadiran masyarakat yang mendukung cerita tersebut.

Menurut beberapa informasi yang aku dapatkan dari masyarakat Hayaping, gua itu bukanlah gua yang angker. Belum ada catatan resmi bahwa gua itu menyimpan gas yang menjadi alat pembunuh.  Tidak juga pernah terjadi kematian karena dipatuk ular berbisa. Bahkan, di zaman Jepang, di mana sering terjadi gua-gua dan lubang bawah tanah diceritakan menjadi lubang maut, tidak pernah dikisahkan oleh masyarakat  yang mengalami zaman itu. Gua Saragi benar-benar merupakan obyek wisata yang paling aman di dunia.

Tak kuragu untuk  masuk ke dalam gua. Ogay yang tiba-tiba jadi begitu antusias menemaniku, seperti melupakan tugasnya yang harus segera pulang ke Jakarta karena masa peliputannya di Tumbang Samba sudah selesai. Bahkan berita-berita menyedihkan dari Sampit dan Palangka Raya telah pula direkamnya dan menjadi berita bersambung yang dimuat media tempatnya bekerja.

Tiga jam sudah kami berdua berjalan di lubang gua yang gelap dan pengap. Bagiku sendiri, pengalaman ini adalah pengalaman pertama menyusup di dalam terowongan alami di perut bumi. Aku memang pernah memasuki terowongan kereta api bawah tanah yang disebut metro di Paris. Pernah juga memasuki lekuk dan liku kereta di dalam terowongan di Tokyo. Akan tetapi, gua yang kumasuki ini bukanlah gua yang dibuat manusia. Batu-batu yang menjadi bagian gua alam itu memang indah. Tak ada tangan manusia yang menatanya. Kepengapan yang menandai  kelembapan karena berada pada suatu kedalaman bumi, menciptakan sirkulasi udara yang berbeda jika dibandingkan dengan udara di padang terbuka. Masker dan oksigen yang kami bawa sungguh membantu sebagai penguat keyakinan bahwa kami tidak akan terbencana karena terhirup udara busuk atau gas beracun yang dapat menghilangkan nyawa.

Gerakan kelelawar atau walet kadang membuat kejutan. Akan tetapi, apa yang kemudian teronggok di depan kami terasa lebih dari kejutan. Ketika dua lensa senter kami arahkan ke benda-benda yang ada di depan, mata kami jadi terbelalak. Suatu yang tak pernah terbayangkan, justru benar-benar  menjadi kenyataan.

***

Upacara penghargaan itu berlangsung dengan meriah. Aku dan Ogay bolak-balik Jakarta-Tokyo karena penemuan di Gua Saragi. Kami berdua diberikan penghargaan karena menemukan rangka Jenderal Takashi Imamura yang harakiri di Gua Saragi pada akhir Perang Dunia Dua. Tapi, saat upacara sedang berada di puncaknya, kala diadakan di Hayaping, kami dikejutkan oleh datangnya teriakan dari seorang wanita tua yang compang-camping.

“Hentikan pemberian hadiah itu. Hentikan!” suaranya dalam teriakan yang serak. “Rangka itu rangka suami saya. Rangka itu bukan rangka Imanura. Rangka itu rangka suami saya karena kekejaman Jepang !”

Acara hampir saja mulur dan kacau kalau pihak keamanan tidak cepat turun tangan untuk mengamankan wanita tua compang-camping. Apa benar rangka itu suami wanita compang? Bukankah sudah dites forensik di laboratorium canggih milik pemerintah negara adikuasa di Asia? Tapi, bukankah jutaan orang Indonesia pernah hilang selama Perang Dunia Kedua? Dan, di dalamnya Jepang dan Belanda harus bertanggung jawab karena mereka yang menciptakan perang di bumi Nusantara?

“Batalkan pemberian hadiah!” teriak wanita itu. “Batalkan pemberian hadiah! Berikan hadiah kepada ahli waris mereka yang telah menjadi korban perang. Berikan hadiah untuk para wanita yang dijadikan jugun ianfu. Berikan hadiah kepada anak cucu korban Perang Dunia Kedua! Tuan-Tuan, jangan menggelar ketidakadilan dengan cara seolah-olah adil!”

Kurasa berjuta mata arwah memandang tajam bagaikan pisau silet melihat ke arah bungkusan hadiah yang diberikan kepadaku dan Ogay. Bukankah kami hanya iseng, tapi menemukan hadiah yang jumlahnya luar biasa. Siapa yang memberikan hadiah untuk mereka yang menjadi korban kekerasan  perang dan kekejaman nafsu manusia?

Ludah tak tertelan di tenggorokanku saat tanganku menyambut bungkusan hadiah yang tampak begitu mewah! Cukupkah nilainya untuk dibagikan kepada seluruh korban?

Sentawar, 27 Juni 2001

Catatan:

Ijame = upacara penguburan abu tulang belulang anggota keluarga

Jugun ianfu = memiliki arti “wanita penghibur para tentara”. Sebenarnya sebutan untuk para wanita penghibur dalam beberapa dokumen resmi tentara Jepang adalah Teishintai, berarti barisan sukarela penyumbang tubuh. Sebagian besar para Jugun Ianfu bukan wanita yang bersedia menghibur tentara Jepang secara sukarela. …  Proses perekrutan Jugun Ianfu di wilayah Indonesia dilakukan dengan melibatkan perangkat pemerintahan bentukan pemerintah militer Jepang, mulai dari kepala desa hingga ketua tonarigumi dilibatkan dan diwajibkan untuk merekrut perempuan muda dengan dalih program pengerahan tenaga kerja (Oktorino, 2016: 262). ( https://esi.kemdikbud.go.id/wiki/Jugun_Ianfu)


Dr. Hilmar Farid:

“Sakula Budaya Membuka Jalan bagi Anak-Anak Mengenal Lebih Dekat Kebudayaan”

Sambutan pada Acara Tamat Sakula Budaya Handep Hapakat, Desa Sumur Mas, Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah, 2 Maret 2024

Hilmar Farid (keempat dari kanan) menghadiri pembukaan Kemah Budaya Nasional (KBN) Tahun 2017 bertema “Harmoni dalam Kebinekaan di Bumi Tambun Bungai, Bumi Pancasila” di Palangka Raya, 17-22 Juli 2017. (Andriani SJ Kusni)

Salam budaya,

Pertama-tama, saya ingin mengucapkan selamat atas berlangsungnya kegiatan Sakula Budaya Handep Hapakat di Desa Sumur Mas, Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah.

Saya sudah mendengar banyak cerita tentang kegiatan ini, tapi suatu waktu ingin menyaksikan sendiri dan berinteraksi dengan para penyelenggara maupun peserta kegiatan ini. Semoga diberi jalan pada suatu waktu.

Selaku Direktur Jenderal Kebudayaan yang bertugas melaksanakan amanat konstitusi untuk memajukan kebudayaan, saya tentu menyambut baik Sakula Budaya ini sebagai sebuah tonggak penting. Sakula Budaya ini membuka jalan bagi anak-anak kita untuk mengenal lebih dekat kebudayaan mereka, bukan hanya yang terkait kesenian, tapi juga yang berkaitan dengan kebiasaan hidup kita, seperti sandang dan pangan.

Saya secara khusus ingin menyampaikan apresiasi yang tinggi kepada para pemrakarsa Sakula Budaya, serta semua pihak yang telah mengambil bagian, mulai dari komunitas kesenian, pemangku adat desa, pemerintah desa, dan rekan-rekan di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata baik dari Provinsi Kalimantan Tengah maupun Kabupaten Gunung Mas, yang telah bergotong-royong mewujudkan kegiatan ini dan juga mengawal agar terus bisa berlanjut di masa mendatang.

Sakula Budaya ini juga sejalan dengan semangat Program Merdeka Belajar yang dicanangkan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Dalam program ini, para penyelenggara pendidikan dan peserta didik bersama-sama menggali sumber belajar dari kebudayaan setempat. Proses belajar-mengajar pun menjadi lebih intim, lebih menyenangkan, dan berakar dalam kebudayaan.

Sekian sambutan ini saya sampaikan, atas perhatian dan partisipasinya, saya ucapkan terima kasih.

Salam budaya.

Hilmar Farid

Direktur Jenderal Kebudayaan

Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi


Halaman Budaya Sahewan Panarung asuhan Kusni Sulang dan Andriani SJ Kusni. Radar Sampit, Minggu, 17 Maret 2024. Redaktur: Heru Prayitno, Penata Letak: Rafi

Halaman Masyarakat Adat | 10 Maret 2024 | Jurnal Perdesaan Kusni Sulang: KALTENG PERLU PERGUB SAKULA BUDAYA, PAK GUBERNUR

Radar Sampit, Minggu, 10 Maret 2024 | Penyunting: Andriani SJ Kusni

Peserta Sakula Budaya Handep-Hapakat Desa Sumur Mas, Kecamatan Téwah, Kabupaten Gunung Mas, Kalteng, belajar bercocok tanam. Foto: Yater Sahabu/2024

Meremehkan kerja badan sesungguhnya adalah pandangan anakronis jika dilihat dari pandangan sejarah sebab kerja badanlah yang membuat manusia jadi manusia.

Berhasilnya para penjual sayur keliling menyekolahkan anak-anaknya hingga selesai universitas, mampu membangun rumah gedung bertingkat, tidak lepas dari kerja badan mereka yang keras. Kerja badan akan mengantar anak didik menjadi manusia yang membumi, mengenal kehidupan, tidak berlagak sebagai ‘anak raja’ atau ‘tuan’ (ungkapan Orang Katingan: ‘kilau tuan’, ‘seperti tuan saja’); ‘kilau raja’ (berlagak seperti raja yang berarti omong saja, tapi tidak mengerjakan apa-apa, pemalas) sebagaimana diperlihatkan oleh kelas menengah Indonesia yang terlepas dari kegiatan produksi.

Untuk masyarakat Dayak, menggarisbawahi arti penting kerja badan ini akan menjadi mendesak karena dalam masyarakat Dayak hari ini terdapat pandangan umum bahwa seseorang itu baru menjadi orang pada saat ia telah berhasil menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Konsep yang sesungguhnya menegasi konsep Dayak sebagai Utus Panarung’.

Belajar dari pengalaman penyelenggaraan Sakula Budaya selama ini, ditambah dengan adanya krisis petani muda di Indonesia, termasuk di Kalimantan Tengah (Kalteng), maka memasukkan mata pelajaran bercocok tanam dipandang sebagai sesuatu yang niscaya.

Apakah memasukkan mata pelajaran bertani atau bercocok tanam ke dalam kurikulum Sakula Budaya tidak terlalu menyimpang jauh?

Pertanyaan ini mungkin bisa dijelaskan oleh pandangan antropolog Koentjaraningrat tentang kebudayaan.  Kebudayaan menurut Koentjaraningrat ialah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik manusia dengan belajar (1990: 180). Menurut  Koentjaraningrat, menyebutkan unsur-unsur universal dari kebudayaan adalah: 1) sistem religi dan upacara keagamaan, 2) sistem dan organisasi kemasyarakatan, 3) sistem pengetahuan, 4) bahasa, 5) kesenian, 6) sistem mata pencaharian hidup, dan 7) sistem teknologi dan peralatan.

Jika sepakat dengan pendapat Koentjaraningrat ini maka memasukkan masalah bertani, bercocok tanam dalam kurikulum Sakula Budaya, bukanlah sesuatu yang mengada-ada dan irelevan. Malah sebaliknya, sudah pada tempatnya, baik secara teori maupun urgensi praktis.

Agar hasil karya manusia dalam rangka kehidupan bermasyarakat bisa dijadikan milik manusia dengan belajar maka karya itu perlu proses pembudayaan melalui enam cara yaitu: internalisasi, sosialisasi, enkulturasi, akulturasi, asimilasi, dan difusi.

Dalam hal ini Sakula Budaya, sebagai tempat belajar, merupakan salah satu bentuk konkretnya. Dari Sakula Budaya ini sebagai tempat belajar atau sarana pembudayaan, pelestarian, revitalisasi dan pemajuan zamani budaya berlangsung, termasuk didalamnya kedaulatan pangan.

Sakula Budaya, Kedaulatan Pangan, Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Adat sebagai organisasi kekuasaan berbasiskan sejarah dan budaya lokal sesungguhnya saling berkaitan satu dengan yang lain. Untuk mempunyai akses kembali ke alat-alat produksi yang sampai hari ini dipisahkan dari mereka oleh sistem tertentu; melalui desa adat, warganya mengurus diri mereka sendiri untuk bisa zamani, berdasarkan sejarah dan budaya yang mereka miliki. Sejarah dan budaya melalui Sakula Budaya (baca: pendidikan) diinternalisasi, disosialisasi, dienkulturasi, diakulturasi, diasimilasi, dan didifusi. Diharapkan juga melalui Sakula Budaya (untuk berbagai tingkat usia berbeda-beda), perubahan maju pola pikir dan mentalitas bisa dilakukan. Karena Sakula Budaya itu tidak lain adalah proses pencerahan atau proses penyadaran, jika meminjam istilah Pastur Brasilia, Paulo Freire, sedangkan desa adat mengembalikan kekuasaan kepada warga adat untuk mengatur diri mereka sendiri.

Adanya kekuasaan di tangan warga adat membuka akses terutama kepada alat-alat produksi yang oleh sistem direnggut dari tangan mereka sehingga bisa dikatakan bahwa desa adat adalah metode pemberdayaan menyeluruh bukan parsial, dari bawah agar menjadi desa zamani yang mandiri (baca: oleh, dari dan untuk warga adat) itu.

Desa adat bukan berarti kembali ke masa lampau. Hal kunci dalam pemberdayaan menyeluruh ini terletak pada perubahan maju pola pikir dan mentalitas warga adat—hal yang antara lain dilakukan melalui Sakula Budaya. Artinya, pemberdayaan itu diawali dari manusianya. Manusianya dibebaskan dari himpitan beban-beban pola pikir dan mentalitas yang menghambat berlangsungnya perubahan maju yang dalam budaya Dayak disebut Utus Panarung (Turunan Pejuang, bukan Pengemis!).

Karena itu, slogan yang digunakan oleh Sakula Budaya selama ini adalah Dayak Hingkat, Dayak Batarung, Dayak Manang, Sakula Budaya: Manggatang Utus! (Dayak Bangkit, Dayak Berjuang, Dayak Menang, Sekolah Budaya –untuk- Dayak Bermartabat). Slogan ini hanya bisa diwujudkan oleh manusia dengan trilogi karakter: mamut-ménténg, pintar-harati, maméh-ureh (gagah-berani, pintar-beradat, kritis-tekun). Trilogi berarti ketiga-tiganya tidak boleh dipisah-pisahkan, tapi merupakan satu kesatuan tunggal. Utuh.

Pekerjaan Sakula Budaya ini, di daerah perdesaan kemudian dilanjutkan oleh organisasi kebudayaan–didalamnya termasuk sanggar seni berakta notaris. Saya membayangkan akan munculnya keadaan baru di Kalteng jika paling tidak ada satu organisasi kebudayaan dengan program yang jelas di bawah asuhan manusia-manusia berkesadaran manusiawi di tiap kecamatan. Hal begini tentu tidak terlalu muluk karena Kepala Dinas (Kadis) Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi, Adiah Chandra Sari, S.H., M.H., seperti halnya dengan Hansli Gonak, Kadis Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Gunung Mas, sangat berkomitmen untuk terwujudnya gagasan Sakula Budaya ini. Yang mereka perlukan adalah tersedianya waktu bekerja untuk merampungkan program kerja mereka.

Dengan menyebut posisi Kepala Dinas, saya mau memperlihatkan pentingnya uluran tangan dan keterlibatan langsung kekuasaan politik sebagai organisator dan pemikir pemajuan masyarakat, dalam hal ini kebudayaan sebagai pendekatan top-down. Saya kira, laju maju suatu kegiatan akan meningkat dengan kecepatan tinggi pada saat berlangsungnya pemaduan pendekatan top-down dan bottom-up. Kecepatan tinggi ini akan makin meningkat lagi pada saat model pentahelix diterapkan.

Yang dimaksud pentahelix, menurut Arif Yahya adalah kolaborasi 5 (lima) unsur subyek atau pemangku kepentingan pariwisata, yaitu: academician (akademisi), business (bisnis), community (komunitas), government (pemerintah) dan media (publikasi media) seperti yang digambarkan oleh diagram berikut:

Model Pentahelix. Diolah oleh: Andriani SJ Kusni

Efektiftas model pentahelix telah diperlihatkan oleh penyelenggaraan Sakula Budaya selama ini. Lima unsur itu di tingkat kabupaten, provinsi dan desa bekerja sama erat, dengan hasil walaupun tidak sempurna tapi tidak mengecewakan, apalagi usaha ini baru pertama kali dilakukan di Kalteng.

Agar Sakula Budaya ini keberlangsungannya ke depan relatif bisa terjaga dan dikembangkan, kiranya diperlukan minimal sebuah Peraturan Gubernur (Pergub) khusus mengenai Sakula Budaya sehingga kegiatan ini berlangsung dan berkembang dengan payung hukum yang jelas.

Terus-terang, saya sangat mengharapkan terbitnya Pergub ini dari Gubernur Sugianto Sabran, sebelum masa jabatan kedua beliau berakhir. Terbitnya Pergub demikian merupakan peninggalan selalu diingat sebagai Pergub pertama tentang Sakula Budaya oleh warga Kalteng, terutama warga adat Dayak di daerah perdesaan yang luas, apalagi sekarang, Pak Gubernur mempunyai “Menteri” Kebudayaan yang tanggap, berkomitmen dan terbuka.

Terbitnya Pergub Sakula Budaya merupakan salah satu pengejawantahan konkret Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 Tentang Pemajuan Kebudayaan. Pemajuan, bukan hanya pelestarian budaya kampung-halaman kita. Terima kasih.***


MENGENALKAN PETANI KEPADA ANAK SEJAK DINI

Oleh: Narwan Sastra Kelana | Penyunting: Andriani SJ Kusni

Sumber: Siedoo.com

Miris rasanya bila generasi Indonesia mendatang tidak mengenal petani atau bahkan sebagai negara agraris tetapi tidak memiliki petani sehingga menjadi hal yang penting dan perlu dilakukan adalah mengenalkan profesi petani kepada anak-anak sejak dini.

Pertanian merupakan salah satu tulang punggung perekonomian bangsa kita. Saat ini, profesi bidang pertanian mampu memberi jaminan kehidupan tidak sedikit. Terlebih ke depan dengan bonus demografi besar, mau tidak mau ketahanan pangan dan agrikultur menjadi isu sentral yang sulit ditepis.

Dikutip dari laman resmi forum Sahabat Keluarga Kemendikbud, ada berbagai cara mengenalkan profesi petani kepada anak-anak, seperti:

  1. Melalui permainan Dunia anak adalah dunia bermain, kita dapat mengenalkan profesi petani ini dengan bermain, misal mengajak anak bermain peran menjadi petani. Dengan memanfaatkan mainan, ajaklah anak bermain mengolah tanah, menanam padi atau jagung. Bila ada hama disemprot dengan mainan semprotan airnya untuk memberantas hama. Setelah itu sediakan jagung bakarnya dan nikmati hasil panennya.
  2. Lewat bernyanyi Selain suka bermain, anak-anak juga suka bernyanyi. Masih ingat lagu yang diajarkan saat masih kecil, “Menanam Jagung”? Nah, sambil bernyanyi kita dapat mengenalkan profesi petani pada anak-anak. Harapannya, negara agraris kita tidak miskin petani andal. Benar-benar menjadi negara maju dalam bidang pertanian, pangan, perkebunan, dan perikanan. Bukan negara agraris pengimpor pangan.
  3. Dengan berbelanja Anak-anak juga sangat senang bila diajak berbelanja ke pasar atau swalayan. Ajaklah mereka belanja bahan pangan seperti membeli beras, cabai, sayuran. Ketika membeli beras atau bahan pangan lain, tanyakan pada ananda: ”Adik, siapa yang menghasilkan beras?” atau “Bagaimana kalau tidak ada beras?” Nah, dari respons yang diberikan anak, orang tua dapat mengenalkan profil petani. Anak akan memiliki konsep betapa pentingnya petani dan tidak menganggapnya sebagai profesi buruk.
  4. Belajar berkebun Pengalaman langsung sangat berkesan dan memberikan memori lebih lama pada anak. Ajaklah anak bertani, bercocok tanam atau berkebun, atau sekadar berlatih menanam dan memelihara tanaman di depan rumah. Cobalah kenalkan profesi petani dalam arti luas yang tidak harus melulu belepotan tanah, menyemprot hama pun menggunakan pesawat, memanen padi pun menggunakan peralatan canggih. Ceritakan hal keren tentang petani sehingga anak-anak mempunyai gambaran baik tentang profesi petani.
  5. Wisata agraris Sekarang ini banyak sekali lokasi wisata yang memfasilitasi anak belajar mengenal profesi petani. Kita dapat mengajak anak berwisata ke agrowisata, misalnya: wisata memetik buah, memerah susu, menanam hidroponik, menanam padi, atau wisata lainnya. Dengan mengunjungi tempat tersebut, rasa ingin tahu anak yang tinggi akan menuntun mereka menanyakan hal-hal yang mereka amati selama berwisata. Anak akan merasa senang berwisata sambil belajar.

Dengan mengenalkan profesi petani kepada anak-anak sejak dini, niscaya profesi petani tetap diminati oleh anak-anak di negara agraris ini sehingga Indonesia tetap menjadi negara agraris yang memiliki petani. Petani modern yang mengolah bumi pertiwi.***

Sumber: https://siedoo.com/berita-15881-mengenalkan-petani-kepada-anak-sejak-dini/


Halaman Masyarakat Adat asuhan Kusni Sulang dan Andriani SJ Kusni. Radar Sampit, Minggu, 10 Maret 2024. Redaktur: Heru Prayitno, Penata Letak: Rafi

Halaman Budaya Sahewan Panarung | 3 Maret 2024| Micky Hidayat: SEPINTAS SASTRAWAN DAN KOMUNITAS SASTRA DI KALIMANTAN

Radar Sampit, Minggu, 3 Maret 2024 | Penulis: Micky Hidayat | Penyunting: Andriani SJ Kusni

Sastrawan Kalteng Fridolin Ukur. Sumber: http://hadi-saputra-miter.blogspot.com/2012/07/tokoh-maanyan-1-fridolin-ukur.html

Dari kanan ke kiri: Korrie Layun Rampan (pertama, baju biru), Kusni Sulang (keempat, baju hitam), Alex Mering (kelima, baju hitam), bertemu di lokasi pameran dalam rangka kegiatan Rakernas MADN, 30/8/2013, Hotel Swiss-Belhotel Danum, Palangka Raya. Foto: Andriani SJ Kusni

Haram manyarah, waja sampai kaputing.

Pulau Kalimantan sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang mempunyai luas 553.000 kilometer persegi atau 28,3 % dari luas seluruh Negara kita dan 5,5 kali Pulau Jawa (758.000 km2 luasnya termasuk wilayah Malaysia, yang sekarang disebut Malaysia Timur, Serawak, Brunei dan Sabah), di masa penjajahan Belanda dulu dikenal dengan sebutan Pulau Dayak dan pulau hutan yang penuh dengan berbagai cerita misteri dan menakutkan.

Dulu, orang-orang di luar Kalimantan beranggapan bahwa penduduk yang menghuni pulau ini adalah orang liar, orang biadab, orang Dayak yang makan orang, hitam seperti arang, manusia berekor dan anggapan mengerikan lainnya. Stigma negatif demikian tidaklah mengherankan karena memang politik penjajahan Belanda di masa lampau terkenal dengan politik ‘pecah-belah’nya (devide et impera) itu dan memublikasikan ke seantero dunia bahwa orang atau Suku Dayak di Kalimantan itu jahat, ganas, makan orang, hitam, suka potong kepala dan lain sebagainya.

Pada kenyataannya, Orang Dayak dan Orang Banjar tidaklah berbeda dari suku bangsa lain di tanah air yang ingin duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi, merasa senasib dan sepenanggungan serta memiliki rasa solidaritas yang tinggi terhadap sesama warga bangsanya. Orang Kalimantan pun terbuka dan dapat hidup secara rukun dan damai dengan Suku Jawa, Bugis, Madura, Sunda, Batak, Ambon, keturunan Arab, Melayu, Tionghoa, dan berbagai suku atau bangsa lainnya yang kini bertebaran menghuni pulau Kalimantan.

Kalaupun beberapa tahun lalu di dua wilayah provinsi di Kalimantan pernah terjadi peristiwa kerusuhan akibat konflik antaretnis yang menimbulkan banyak korban nyawa dan harta-benda, pemicu tragedi memilukan itu hanyalah persoalan ‘di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung’ yang (sengaja) diabaikan atau terabaikan oleh sebagian penduduk dari salah satu etnis pendatang.

Pulau dengan keindahan alamnya yang menakjubkan dan memendam harta karun berupa sumber daya alam nan melimpah ini, dulu juga dikenal dengan nama Pulau Borneo atau Tanjung Negara (nama sewaktu kerajaan Hindu) dengan nama asli Pulau Bagawan Bawi Lewu Telu, yang merupakan taburan berlian di lintang khatulistiwa (ekuator).

Kalimantan artinya pulau yang mempunyai sungai yang besar-besar (kali=sungai dan mantan=besar). Tahun 1950, Kalimantan menjadi salah satu provinsi–bersama provinsi lainnya seperti Sunda Kecil, Sulawesi, Sumatera, Maluku, Jawa Barat, dan Jawa Timur–dengan ibu kotanya Banjarmasin, dikepalai seorang Gubernur, Dr. Murdjani.

Dalam perkembangan selanjutnya (1957), Kalimantan terbagi menjadi 4 provinsi yaitu: Kalimantan Selatan dengan ibu kotanya Banjarmasin, Kalimantan Tengah ibu kotanya Palangka Raya, Kalimantan Timur ibu kotanya Samarinda, dan Kalimantan Barat ibu kotanya Pontianak, sedangkan Kalimantan Utara, seperti Kuching (Serawak), Brunei dan Sabah masuk dalam wilayah Malaysia Timur. Perkembangan terakhir ini tercetus wacana untuk memekarkan 4 provinsi lagi yaitu: Provinsi Kapuas Hulu, Provinsi Barito Raya, Provinsi Kalimantan Tenggara, dan Provinsi Borneo Raya.

Dalam hal seni dan budaya, Kalimantan sebagai salah satu kantong budaya di Indonesia sejak dulu memiliki seniman-seniman kreatif yang menciptakan karya seni budaya berbagai ragam yang berkualitas–sebagai produk budaya yang di dalamnya terkandung harkat atau kemaslahatan hidup bermasyarakat, adat-istiadat, ritual-ritual, berbagai pemikiran, perasaan, pandangan hidup maupun nilai-nilai budaya yang diwariskan oleh nenek moyangnya.

Beragam karya seni yang hingga kini terus dipelihara atau dilestarikan antara lain berpuluh jenis seni tari, seni suara, seni lukis, seni ukir, dan seni sastra (syair, pantun, sastra lisan lamut, bakisah, dan madihin). Menyangkut tradisi penulisan sastra Indonesia modern di 4 Provinsi Kalimantan, kemunculannya tidaklah bersamaan. Kegiatan penulisan sastra Indonesia di Kalsel dimulai pada 1930-an, Kaltim 1940-an, Kalbar 1950-an, dan Kalteng 1960-an.

Kalimantan Tengah

Pertumbuhan dan perkembangan sastra di Kalimantan Tengah, tidaklah sesubur di Kalsel, Kaltim maupun Kalbar.

Sastrawan, pengamat dan peneliti sejarah kesusastraan di Kalimantan seperti Korrie Layun Rampan pun merasa agak kesulitan menelusuri jejak-jejak sastra di bumi Tambun Bungai ini. Tidak seperti daerah tetangga dekatnya Kalsel, dari dekade ke dekade sastrawan-sastrawan Kalteng yang layak diperhitungkan di percaturan sastra nasional hanya bisa dihitung dengan bilangan jari. Setelah generasi sastrawan Tjilik Riwut, J.F. Nahan, Marsiman Affandie, Badar Sulaiman Usin, JJ. Kusni, dan Joko S. Passandaran, regenerasi sastrawan di daerah ini dari dekade ke dekade berjalan sangat lamban.

Sastrawan Kalteng yang karyanya mampu berbicara dalam skala nasional, antara lain Badar Sulaiman Usin (Haji Achmad Badar bin Sulaiman Usin Buthaib), kelahiran Kabupaten Pulang Pisau, 9 April 1927. Ia adalah sastrawan perintis kesusastraan Indonesia modern di Kalteng dekade akhir 1940-an, dan merupakan satu-satunya sastrawan paling produktif melahirkan karya sastra terutama puisi hingga menjelang akhir hayatnya. Buku puisinya yang sempat diterbitkan adalah Rambahan (penerbit Keluarga Besar Garasi, Palangka Raya, 2000). Di samping sajak, ia juga menulis cerpen, esai sastra, cerita rakyat, dan reportase seni-budaya daerah Kalteng, dan dipublikasikan di media massa cetak Jakarta dan berbagai daerah di tanah air. Cerpennya berjudul “Pertemuan dengan Musim” meraih Juara Harapan I sayembara mengarang fiksi majalah Sarinah, Jakarta. Sastrawan yang juga pensiunan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Kalimantan Tengah ini dikenal sangat tekun membina para penyair pemula maupun penyair muda kota Palangka Raya dan gigih dalam mengembangkan sastra di wilayahnya. Ia meninggal dunia di Palangka Raya, 23 Mei 2002.

Kemudian, Marsiman Affandie dengan sejumlah sajaknya yang dihimpun dalam antologi Perkenalan dalam Sajak, bersama dengan penyair lain dari seluruh Kalimantan.

JJ. Kusni, sastrawan kelahiran Kabupaten Katingan, yang karena pergolakan politik di Indonesia 1960-an, mengharuskannya menjadi sastrawan eksil di manca negara dan sejak 2003 hingga sekarang tinggal di Paris sebagai dosen serta masih aktif menulis, terutama sajak dan esai sastra di media Indonesia maupun di situs cybersastra.net. Antologi sajaknya yang paling akhir Sansana Anak Naga (penerbit Ombak, Jogjakarta, 2005), dan Joko S. Passandaran (nama aslinya Johanes Joko Santoso Passandaran), penyair kelahiran Jawa Timur yang lama bermukim di Jogjakarta, kemudian menjadi guru SMA di Kuala Kapuas (Kalteng), lalu pindah ke Palangka Raya dan mengajar di Universitas Palangka Raya (Unpar). Awal tahun 2000-an, ia hijrah ke Jogjakarta dan menetap hingga kini. Buku antologi sajaknya yang sudah diterbitkan adalah Kwatrin-kwatrin Lautan (1975), Darmaga II (1975), dan Bulaksumur Malioboro (Dema UGM, Jogjakarta, 1975).

Ketiga sastrawan ini tak bisa dimungkiri merupakan tokoh penggerak roda komunitas sastra di Kalimantan Tengah, namun setelah Badar yang kini hanya dapat dikenang lewat jasa dan karya sastranya. Begitu pun setelah Kusni dan Joko Passandaran yang sudah berpuluh tahun meninggalkan Kalteng, secara otomatis perjalanan, regenerasi sastrawan dan persentuhan proses-kreatif sastra di Kalteng menjadi tersendat-sendat yang berimplikasi pada stagnasi yang cukup panjang, bahkan hingga hari-hari ini belum ada indikasi ditemukannya potensi sastrawan maupun karya-karya yang memiliki prospek menjanjikan sebagai penanda eksistensi dan kebangkitan sastra(wan) di daerah ini.

Persoalan krusial yang menjadi penyebab terhambatnya perkembangan sastra(wan) di Kalteng tentu tak terlepas dari peran media massa, terutama media cetak, yang kurang memberikan ruang untuk sosialisasi karya para sastrawan atau calon sastrawan. Sejatinya, sastrawan dan media massa saling bersinergi untuk menumbuhkan apresiasi sastra. Sastrawan sangat membutuhkan media untuk memublikasikan karyanya, sehingga karya tersebut dapat dibaca atau dinikmati oleh masyarakat pecinta, peminat, pemerhati maupun kritikus sastra.

Tahun 1980-an di Kalteng, khususnya Palangka Raya sebagai ibu kota provinsi, pernah terbit Koran Dinamika Pembangunan, akan tetapi tak ada memberikan ruang untuk karya sastra sehingga sastrawan–mayoritas penyair–Kalteng lebih suka memublikasikan karyanya ke koran Banjarmasin Post di Banjarmasin. Sederet nama penyair di antaranya: Badar Sulaiman Usin, Joko S. Passandaran, J.F. Nahan, M. Anwar MH, Mas Eko, Wansel Eryanatha Rabu, Sutran, Dini Sufian, Bella Sanjaya, Najmi Fuadi, Bungepith, R. Hariyanti, dan Lukmanul Hakim MA, Jana–untuk menyebut hanya beberapa nama.

Dekade 1990-an hingga awal 2000-an, terkecuali Badar Sulaiman Usin, hampir semua nama penyair yang pernah meramaikan perpuisian di Kalteng tersebut kini tak terdengar lagi gaung karyanya. Memang di Kalteng kini mempunyai dua koran, Palangka Pos dan Kalteng Post, namun rubrik sajak yang disajikan kedua media cetak lokal pada terbitan hari Minggunya hanya diisi oleh para remaja/pelajar dan penyair pemula yang sajak-sajaknya masih belum memadai sebagai karya sastra.

Sementara, komunitas sastra yang pernah eksis di Kalteng pada dekade 1980-an, antara lain Ikatan Pecinta Seni Sastra Palangka Raya (IPSSPR) dan Ikatan Sastrawan Indonesia (ISASI)–kedua komunitas sastra ini didirikan oleh Badar Sulaiman Usin. IPSSPR sempat menerbitkan buletin Dermaga dalam puluhan edisi untuk kemudian di tengah perjalanan tak mampu lagi terbit. Kemudian di Sampit, Kabupaten Kotawaringin Timur pada pertengahan 1990-an, didirikan Komunitas Seniman Sastra Betang (KSSB) oleh penyair dan dramawan Amang Billem (ketika masih bermukim di Kota Banjarmasin dan Jakarta, nama kepenyairannya dikenal sebagai Ibrahim Yati) dan penyair Ariel Abu Hasan (almarhum). Komunitas sastra ini sempat mementaskan dramatisasi puisi, pergelaran sastra, musikalisasi puisi, dan pembacaan puisi di beberapa kota Kalimantan, Sulawesi, dan Solo. Komunitas ini masih eksis berkegiatan sastra hingga kini, sedangkan lembaga kesenian semacam Dewan Kesenian Provinsi Kalimantan Tengah yang memiliki bidang seni sastra, selama beberapa tahun ini tak pernah terdengar lagi berita kegiatan sastranya.

Kabar terakhir yang cukup mencerahkan bagi iklim berkesenian ialah adanya rencana pihak pemerintah Provinsi Kalteng, dalam hal ini kemauan atau gagasan Gubernur Agustin Teras Narang, untuk segera merenovasi total infrastruktur kesenian yakni Taman Budaya Provinsi Kalimantan Tengah–yang selama beberapa tahun ini tampak seperti gedung tua tak berpenghuni, dibiarkan tak terawat dan terbengkalai.

Dengan difungsikannya Taman Budaya yang dilengkapi fasilitas (gedung pertunjukan, bengkel-bengkel seni, teater terbuka, dan sarana maupun prasarana penunjang lainnya) yang representatif, maka para seniman/sastrawan merasa menemukan dan memiliki kembali sebuah “rumah” dengan ruang-ruangnya yang besar sebagai tempat beraktivitas dan berekspresi, sehingga keberadaan Taman Budaya ini mampu membangkitkan dan memberikan denyut kehidupan serta kegairahan berkesenian (bersastra) di Kalimantan Tengah. Semogalah!

Sumber: http://sastra-indonesia.com/2011/10/sepintas-sastrawan-dan-komunitas-sastra-di-kalimantan/

Catatan Pengasuh:

*  Micky Hidayat, sastrawan asal Kalimantan Selatan, putera alm. Penyair Hijaz Yamani. Usaha Micky walaupun seperti yang diperlihatkannya melalui tulisan ini untuk mencatat perkembangan sastra Indonesia di Kalimantan patut dihargai dan sangat berguna. Kekurangan pembaruan dan ketidaktepatan adalah hal nomor lima dibandingkan dengan kegunaan tulisannya. Di sini, tulisan panjang yang disusun  Micky pada tahun 2011  ini, hanya diambil yang berbicara tentang Kalimantan Tengah saja. Bravo dan terima kasih, Micky.


Senandung Tanah-Tanah Dayak 
Oleh: Diah Hadaning


Percayalah kepada musim di tanah ini
percayalah kepada adat turun-temurun
percayalah kepada darah ibu dari hulu
kesetiaan dan kejujuran selalu satu.

Sementara orang-orang berdatangan
menyebar kepongahan merenggut lahan-lahan
dan seorang ketua adat dari daerah pedalaman Ketapang
bersaksi pada satu hari
sertifikat kami adalah pohon durian
dan tengkawang yang
sudah berumur ratusan tahun.

Alam bersaksi kehidupan bersaksi
tapi beraninya orang-orang yang datang
bicara sambil membunuh rasa cinta tanah merdeka
katanya: di Kalimantan tidak ada tanah-tanah adat.

Lalu Rifin Ivon ketua suku dayak punan
bersaksi: lihatlah hutan-hutan kami
dengar senandung dan tangisnya
sungai-sungai penuh endapan lumpur

Air yang dulu jernih oleh rimbun hutan kasih
menjadi air mata perih
di mana-mana pembersihan
Kalimantanku menerawang dalam diam
dibawa arus sungai Ambawang.


Bogor, Juli 1992


Halaman Budaya Sahewan Panarung asuhan Kusni Sulang dan Andriani SJ Kusni. Radar Sampit, Minggu, 3 Maret 2024. Redaktur: Heru Prayitno, Penata Letak: Rafi

Halaman Masyarakat Adat | 25 Februari 2024 | Jurnal Perdesaan Kusni Sulang: SAKULA BUDAYA DAN KEDAULATAN PANGAN DESA

Radar Sampit, Minggu, 25 Februari 2024 | Penyunting: Andriani SJ Kusni

Salah satu lumbung padi di Desa Riam Penahan Kecamatan Delang Kabupaten Lamandau Provinsi Kalimantan Tengah. (Ricky Aflah Adicandra-Own work, CC BY 3.0, https://commons.wikimedia.org/w/index.php?curid=89442517)

Penjual sayur keliling terdapat baik di kota maupun desa-desa Kalimantan Tengah. Foto: Andriani SJ Kusni/2023

Berladang dan seluruh prosesnya merupakan peristiwa yang masih kuat melekat di ingatanku. Menggembirakan. Barangkali bukan hanya bagi anak-anak, tetapi juga para remaja dan orang-orang tua. Bekerja sambil bermain, misalnya, pada saat manugal. Pada saat ini, orang-orang saling menggosok pipi dengan arang kayu-kayu yang sudah dibakar. Suatu kesempatan bagi para muda-mudi kampung memperoleh peluang mendapatkan pasangan. Orang-orang sekampung berinteraksi produktif satu dengan yang lain sehingga solidaritas pun kian tergalang dan terkonsolodasi.

Yang juga kuat melekat di ingatan saya adalah saat ayah membuka ladang, saya minta sepetak kecil khusus untuk saya sendiri.

“Untuk apa?” tanya ayah.

 “Untuk saya urus sendiri. Di petak itu, saya menanam ketan hitam,” saya menjelaskan keinginan itu lebih lanjut. Ayah mengabulkan permintaan saya.

Demikianlah, saban ayah atau ibu ke ladang, saya selalu ikut serta untuk mengurus petak ladang ketan hitam saya. Saya ingin ladang kecil saya, terurus baik, lebih baik dari ladang ayah dan ibu. Ketika panen, saya memanen sendiri petak ladang itu tanpa campur tangan siapa pun. Hasilnya saya titipkan dalam lusuk (Bhs. Katingan= lumbung) keluarga. Saya bungkus tersendiri. Ayah dan Ibu tak memberi komentar sepatah kata pun. Kebiasaan dan kesukaan bercocok tanam sejak kecil ini terbawa hingga sekarang. Sebesar apa pun halaman yang ada, saya manfaatkan menanam keperluan dapur sehari-hari.

Hasil panen umumnya bisa dimanfaatkan untuk keperluan setahun lebih. Di sinilah, lusuk atau karangking atau jurung  menjadi sangat diperlukan. Isi lusuk akan bertambah oleh hasil panen berikutnya, sehingga persediaan beras tidak pernah kekurangan, apalagi sampai kosong. Sayur, selain dari kebun halaman rumah, juga dipungut dari hutan dan ladang. Ikan dengan mudah didapat dari sungai. Terbayangkankah, pada musim bertelur, ribuan mungkin jutaan ikan berenang ke hulu, membuat permukaan sungai menggelombang.

Oleh keadaan demikian, ketika  berada di Jawa, saat makan bersama Om Tiyel Djelau, saya merasa sangat heran mengapa di Jawa banyak pengemis memandang kami makan. Selain itu, ketika meninggalkan tempat menginap, pintu harus dikunci karena dikatakan banyak pencuri, sedangkan di kampung, kalau keluar rumah, pintu tak perlu dikunci bahkan dibiarkan terbuka.

Om Tiyel tertawa kecil melihat keheranan saya, tanpa usaha menjelaskan apa-apa. Barangkali, ia ingin saya mencari jawabannya sendiri.

Hingga pada masa pemerintahan Soekarno, lusuk masih banyak terdapat di Kalimantan Tengah (Kalteng). Boleh dikatakan, terdapat di semua Daerah Aliran Sungai (DAS).

Empat puluh tahun lebih saya meninggalkan kampung. Ketika kembali, pola pikir dan mentalitas orang sangat berubah. Alam sudah hancur-lebur. Lusuk yang tadinya terdapat di mana-mana, sudah tak lagi nampak. Bahkan, angkatan milenial pun barangkali sudah tak lagi mengenal kosakata lusuk itu.

Sungai yang dulu jernih, sekarang keruh berwarna lumpur. Airnya tajam menyengat karena penuh merkuri. Sudah sulit mendapatkan sungai di Kalteng yang bersih, bebas merkuri. Kalaupun masih ada, jumlah ikan di sungai sudah sangat berkurang. Salah satu penyebabnya adalah kadar merkuri yang terdapat di air sungai.

Perubahan keadaan yang luar biasa ini, kian rinci saya ketahui sejak secara teratur menjelajahi desa demi desa jauh hingga di pedalaman pulau, lebih-lebih ketika memulai penyelenggaraan Sakula Budaya di daerah perdesaan.

Di sini, saya membatasi diri berbicara tentang keadaan pangan di Desa Sumur Mas, Kecamatan Tèwah, Kabupaten Gunung Mas sebagai contoh. Contoh artinya dengan segala variannya, keadaan serupa juga terjadi di desa-desa atau daerah-daerah lain di Kalteng ini.

Menurut Sekretaris Desa Yater Sahabu, mencari emas merupakan mata pencaharian 90 persen lebih penduduk Desa Sumur Mas. Beras, sayur-mayur, ikan, apalagi daging, bahkan air minum, semuanya didatangkan dari luar, yang dijual oleh pedagang keliling menggunakan mobil atau sepeda motor.

Pekerjaan ini umumnya dilakukan oleh warga asal Jawa  yang sekarang jumlahnya lebih sepertiga dari 2,6 juta seluruh penduduk Kalteng. Tanah halaman jarang ditanami sayur-mayur yang diperlukan sehari-hari. Kehidupan penduduk sepenuhnya tergantung pada mata pencaharian tunggal yaitu mencari emas.

Singkatnya, secara pangan, Desa Sumur Mas tidak lagi berdaulat, tidak mandiri, seperti desa-desa Kalteng dahulu.

Mencermati keadaan begini, Kepala Sekolah SMP Negeri yang terdapat di desa dalam diskusi mempertanyakan: Apakah keadaan begini tidak berbahaya? Sebab, emas bukanlah sumber daya alam yang bisa diperbaharui. Pada suatu saat ia akan habis, apalagi sekarang sudah terdapat sebuah perusahaan besar asing, PT Alam Sutera, yang sedang beroperasi.

Ketika berjumpa dengan penanggung jawab lapangan perusahaan PTAlam Sutera, saya tanyakan, “Apakah perusahaan sudah berproduksi?”

Jawabannya, “Kami sedang mencari urat emas yang lebih besar.”

Pada saat emas yang sekarang merupakan sumber mata pencaharian penduduk desa habis, warga desa hidup dari apa?

Lalu, saya tanyakan kepada Kepala Sekolah itu, “Apakah Bapak mempunyai saran jalan keluar?”

Dijawabnya, “Saya sarankan, Sakula Budaya Handep Hapakat yang sekarang sedang berlangsung, kelak kemudian atau sesudah ini, mengajarkan kepada anak-anak yang ikut serta, teknik bertani, misalnya bagaimana membuat kompos. Sebab, menurut pengamatan saya, Orang Dayak kita ini tidak punya tradisi berkebun dan bertani. Kalau bercocok tanam, Orang Dayak itu menanam sesuatu, kemudian ditinggalkan. Mereka tidak pernah merawatnya dengan tekun sehingga tanaman mereka ada yang hidup, tidak sedikit pula yang mati sebelum menghasilkan apa-apa.”

Sehubungan dengan pendapat ini, saya berhipotesa bahwa sesungguhnya Orang Dayak itu belum tumbuh menjadi petani. Mereka masih pada taraf peramu dan pemburu yang baru sedenter. Ladang berpindah adalah petunjuk mereka baru menetap, tapi masih tergantung pada kegiatan berburu dan meramu. Karena itu, hutan menjadi sandaran.

Hipotesa ini berkaitan dengan salah satu poin kesimpulan Pertemuan Tumbang Anoi 1894 yang menyerukan agar Orang Dayak berhenti jadi nomaden dan mulai menetap (sedenter). Saya juga mempertanyakan, apakah kayau-mangayau itu tidak ada hubungannya dengan perebutan daerah meramu dan berburu yang kemudian diberi bungkus oleh pihak lain dengan argumen bersifat religius untuk mengokohkan tokoh primus inter pares seperti banyak terjadi dalam Gerakan Ratu Adil?

Sejak awal penyelenggaraannya, Sakula Budaya memang memasukkan dalam kurikulumnya masalah bercocok tanam, terutama menanam sèngon. Dalam kurikulum Sakula Budaya Handep Hapakat, masalah bercocok tanam ini mulai lebih berkembang.

Pada Sakula Budaya berikutnya dan di mana pun, boleh jadi masalah bercocok tanam ini lebih dikembangkan lagi karena seperti yang dituturkan oleh Kepala Sekolah SMP di atas, bercocok tanam, pengetahuan tentang bertani, mempunyai arti strategis menjangkau jauh. Apalagi, sekarang berlangsung yang disebut krisis petani milenial.

Seperti yang saya katakan di atas, pengalaman kecil saya pribadi, menunjukkan bahwa kecintaan saya berkebun bertani dan bercocok tanam, tidak lepas dari apa yang saya lakukan sejak kecil, dengan antara lain mempunyai petak khusus sendiri untuk menanam ketan hitam. Pengalaman ini kemudian saya rumuskan agar tidak memisahkan kerja otak dan kerja badan. Dua jenis kerja ini, kedua-duanya perlu dipelihara dan dikembangkan sehingga anak didik tidak memandang rendah kerja badan dan merasa hanya terhormat jika melakukan kerja otak (istilah pasarannya: kerja kantor).

Meremehkan kerja badan sesungguhnya adalah pandangan anakronis jika dilihat dari pandangan sejarah sebab kerja badanlah yang membuat manusia jadi manusia. Berhasilnya para penjual sayur keliling  menyekolahkan anak-anaknya hingga selesai universitas, mampu membangun rumah gedung bertingkat, tidak lepas dari kerja badan mereka yang keras. Kerja badan akan mengantar anak didik menjadi manusia yang membumi, mengenal kehidupan , tidak berlagak ‘anak raja’ atau ‘tuan’ (ungkapan Orang Katingan: ‘kilau tuan’, seperti tuan saja) sebagaimana diperlihatkan oleh kelas menengah Indonesia yang terlepas dari kegiatan produksi.

Untuk masyarakat Dayak, menggarisbawahi arti penting kerja badan ini akan menjadi urgen karena dalam masyarakat Dayak hari ini terdapat pandangan umum bahwa seseorang itu baru menjadi orang pada saat ia telah berhasil menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Konsep yang sesungguhnya menegasi konsep ‘Dayak sebagai Utus Panarung’.

Apakah memasukkan mata pelajaran bertani atau bercocok tanam ke dalam kurikulum Sakula Budaya tidak terlalu menyimpang jauh?

Pertanyaan ini mungkin bisa dijelaskan oleh pandangan antropolog Koentjaraningrat tentang kebudayaan.  Kebudayaan, menurut Koentjaraningrat, ialah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik manusia dengan belajar (1990: 180). Menurut  Koentjaraningrat, menyebutkan unsur-unsur universal dari kebudayaan adalah 1) sistem religi dan upacara keagamaan, 2) sistem dan organisasi kemasyarakatan, 3) sistem pengetahuan, 4) bahasa, 5) kesenian, 6) sistem mata pencaharian hidup, dan 7) sistem teknologi dan peralatan.

Jika sepakat dengan pendapat Koentjaraningrat ini maka memasukkan masalah bertani, bercocok tanam dalam kurikulum Sakula Budaya bukanlah sesuatu yang mengada-ada dan irelevan. Malah sebaliknya, sudah pada tempatnya, baik secara teori maupun urgensi.

Agar hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik manusia dengan belajar maka karya itu perlu proses pembudayaan melalui enam cara yaitu: internalisasi, sosialisasi, enkulturasi, akulturasi, asimilasi, dan difusi. Dalam hal ini, Sakula Budaya, sebagai tempat belajar, merupakan salah satu bentuk konkretnya. Dari Sakula Budaya ini sebagai tempat belajar atau sarana pembudayaan, pelestarian, revitalisasi dan pemajuan zamani budaya berlangsung, termasuk di dalamnya kedaulatan pangan.

Sakula budaya, kedaulatan pangan dan desa adat sebagai organisasi kekuasaan berbasiskan sejarah dan budaya lokal sesungguhnya saling berkaitan satu dengan yang lain.

O, jauh dan berlikunya perjalanan ke tujuan bertabur sekian banyak tantangan dan pekerjaan harus dilewati dan dikerjakan.  Tapi boleh jadi,  ini memang jalan tak punya ujung, perjalanan yang tak punya sampai.***


Halaman Masyarakat Adat asuhan Kusni Sulang dan Andriani SJ Kusni. Radar Sampit, Minggu, 25 Februari 2024. Redaktur: Heru Prayitno, Penata Letak: Rafi

Bagikan:

Halaman Budaya Sahewan Panarung | 18 Februari 2024 | AMRUS NATALSYA: DALAM KENANGAN SEORANG KAWAN

Radar Sampit, Minggu, 18 Februari 2024 | Penulis: Misbach Thamrin | Penyunting: Andriani SJ Kusni

Salah satu karya Amrus Natalsya

Amrus Natalsya Tanjung Pasaribu (21 Oktober 1933-31 Januari 2024) dan Misbach Thamrin. Dok.: Misbach Thamrin/2023

TENTANG tokoh seniman perupa ‘tiga zaman’ (Orla, Orba, Reformasi) dan ‘tiga genre-media’ seni rupa (patung, lukisan kayu dan lukisan di atas kanvas), serta pendiri Sanggar Bumi Tarung (SBT) ini, telah cukup banyak ulasan biografi yang saya tuliskan di Facebook, juga di setiap ulang tahun kelahirannya, selaku kawan karib terdekat almarhum.

Iya, tentu saja biografi ini pun di samping telah banyak ditulis oleh para penulis pengamat seni rupa lainnya. Hal ini dikarenakan  oleh popularitas kesenimanannya yang senior dan terkenal sangat kreatif dan produktif dalam berkarya di tiga zaman dan genre tersebut.

Bagi saya pribadi, esensi monumental biografi almarhum, terutama tertuang dan terwakili oleh buku Amrus Natalsya dan Bumi Tarung terbitan Amnat Studio edisi tahun 2008 yang saya tulis. Esensi monumental ini diperkuat lagi oleh duet bersama kami dalam pameran “Dua Petarung” di Bentara Budaya Yogyakarta sekitar sebulan lebih lalu. Pameran ini merupakan suatu pameran seniman perupa sepuh angkatan 1950-1960-an yang langka, jarang terjadi dan merupakan kesempatan yang sangat berarti bagi kami berdua mewakili Sanggar Bumi Tarung berpameran di kota kelahirannya buat pertama kali sejak berdiri tahun 1961 di Gampingan Yogya.

Sebelum saya ke Yogyakarta dalam rangka pameran tersebut, saya tinggal bersama di rumahnya  di Lido, Bogor–suatu momen kebersamaan terakhir kami, sejak dalam kurun waktu selama sekitar setengah abad. Dalam kurun waktu itulah, antara kami terbangun persahabatan, pergaulan akrab dengan lika-liku suka dan duka sebagai  kawan senasib, sependeritaan dan seperjuangan. Saat tinggal di rumahnya itu, saya memang sudah melihat keadaannya yang sudah memberikan tanda-tanda bahwa kemungkinan besar kebersamaan kami tak akan berlangsung lebih lama lagi.

Layaknya dan seakan sudah menjadi rutin dan prosais, kami, para anggota Sanggar Bumi Tarung, saling bergantian pergi berpulang selama dua dekade ini. Meski terkadang dalam kenyataan, akhir hayat itu telah beberapa kali batal. Maklum, kematian seperti halnya kelahiran,  jodoh dan rezeki, kita tak bisa memperkirakan dan menebak dengan pasti kapan terjadi, kecuali Tuhan yang di atas yang tahu.

Ia tergeletak di atas pembaringan dalam keadaan tak berdaya. Sekali-sekali, ia  kami angkat untuk didudukkan di kursi roda. Sambil diajak bicara, meski mulutnya sulit buat berkomat-kamit, ia lebih banyak berdiam diri dengan pandangan mata nanar menyimpan suara kata-katanya di hati. Kerapuhan badan manusia memang selalu mengiringi usia senja yang berlanjut. Di antara gelambir kulit tubuhnya yang mengeriput, masih tampak tersembul sisa-sisa otot yang dulunya ditempa oleh kerja keras seorang pematung kayu yang sangat spartan dan energik. Di situlah, terletak sisa-sisa energi orang tua yang sekarang tak berdaya ini.

Dulu, pernah dikatakan oleh pengamat sejarah seni rupa dari Amerika, Claire Holt, bahwa Amrus sebagai perupa muda Indonesia, sulit dicari tandingannya. Kala sebuah tubuh manusia tak berdaya digerogoti usia renta yang kian merangkak, kita tak bisa membayangkan lagi dibaliknya terdapat suatu tenaga yang luar biasa.

Ribuan karya patung, lukisan kayu dan lukisan kanvas telah dihasilkan oleh maestro seni rupa Amrus Natalsya kelahiran 21 Oktober 1933 di Kota Medan, Sumatera Utara ini. Pada 31 Januari 2024, sang maestro telah mengakhiri kiprah juangnya lewat alur-alur perjalanan menuju ajal yang fana dan manusiawi. Sembilan puluh tahun  telah berhasil ia lampaui dengan daya tahun fisik dan psikis yang luar biasa, tapi realitas kefanaan raga yang menurut takdir mutlak sangat terbatas, tak terelakkan juga oleh Amrus.

Di akhir keberadaannya, secara verbal, bagaikan nyala lilin di ujung sumbu yang tersisa, meleleh menuju padam. Episode perjalanan akhir pengalaman manusia pada umumnya, selalu dalam kerawanan yang memilukan. Namun, secara imajiner akan meninggalkan jiwa alias roh kehidupan yang langgeng bersama keberkaryaan yang telah dihasilkannya selama hidup di alam dunia fana. Ibarat bunyi peribasa klasik yang universal “Ars Longa Vita Brevis”. Hidup singkat, sedangkan karya seni tetap hidup langgeng, sehingga lewat karya-karya yang ditinggalkannya, manusia seperti terniscaya tak pernah mati-mati.

Karya-karya seni rupa Amrus bukan sembarang tumbuh lewat nilai estetika dan artistik yang biasa. Tidak sekadar layak dan enak dilihat sebagai pajangan hiasan dinding semata. Namun, punya muatan mutu bobot visi dan misi yang mengandung pernyataan filosofis seorang seniman perupa tentang kehidupan manusia, sosial-masyarakat dan alam semesta yang sublim.

Sebagai pendiri dan ketua pimpinan Sanggar Bumi Tarung (SBT), ia mengarahkan dan mengajarkan kepada kawan-kawannya anggota sanggar, bagaimana menuangkan dan mengekspresikan lewat media seni rupa, muatan ide kemanusiaan sebagai tanggung jawab moral seorang seniman terhadap tantangan zamannya dalam sejarah,  makna penderitaan pelanggaran HAM berat yang kami alami melalui peristiwa Tragedi Kemanusiaan 1965, misalkan, tak lepas dari rekam jejak tema-tema seni rupa yang mewarnai keberkaryaan SBT yang telah kami hasilkan selama ini. Barangkali, di situlah terletak kekhususan dan “keseksian” ciri khas karya-karya seni rupa SBT yang pernah ditampilkan dalam khazanah seni rupa Indonesia.

Di sini, kami tak bisa melupakan kata-kata bercambuk dari Amrus, yang melecut semangat hidup dan juang kawan-kawannya anggota SBT, “Jika nasib kalian dalam penderitaan selama ditahan di bawah kekejaman rezim Orde Baru, tanpa dilukiskan lewat karya-karya kalian, lebih baik jadi kerbau saja!”

Demikianlah esensi yang kuat dari kenangan obituari terhadap pengalaman rekam jejak kebersamaan egaliter yang guyub dalam kehidupan kolektif SBT bersama Amrus Natalsya yang tercatat dalam sejarah. Semoga di alam baka, almarhum dapat menyimak dan mengecap kenikmatan dalam istirahat surganya yang tenang, atas serangkuman keagungan buah karya-karya seninya yang dapat membawa berkah dan manfaat bagi kehidupan umat manusia di alam fana yang ditinggalkannya.***

Banjarmasin, 2 Februari 2024

* Misbach Thamrin, pelukis dan esais kelahiran Kalimantan Selatan, salah seorang pendiri Sanggar Bumi Tarung


Diskusi Buku Puisi-Puisi Amrus Natalsya berbarengan dengan perayaan ulang tahun Sanggar Bumi Tarung Fans Club di Banjarmasin, 26/2/2016. Para pembicara (dari kiri ke kanan): Kusni Sulang, Sumasno Hadi, dan Sihar R. Simatupang. Foto dan dokumentasi: Andriani SJ Kusni, 2016

Sajak-Sajak Amrus Natalsya
JENDELA TERBUKA


Lima puluh tahun jendela ini terbuka
Pagi malam menghadap bulan dan matahari
Tempat cahaya masuk memanasi rumah
Dan angin membawa wangi kembang melati
Lima puluh tahun jendela ini terbuka
Di dalamnya ada aku dan istriku
Juga anak kami yang masih kecil
Di dinding ada sajak Agam Wispi – tentang Latini
Ada sajak Klara Akustia – “Sebutkan Semua Penjara Itu Adalah Aku”
Ada sajak paman Ho Chi Minh – “Tunggu Aku Masih Berperang”
Ada sketsa poster tua lukisan Affandi – “Bung Ayo Bung”
Juga ada sketsa lukisan – Peristiwa Djengkol – Marsinah – dan Munir
Lima puluh tahun telah berlalu
Sajak dan sketsa itu masih ada

2011


ORANG-ORANG BERJALAN DALAM TAMAN

Ada orang berucap
Mengapa seni panjang abadi
Sedang hidup pendek sekali
Seni adalah benda mati yang berjiwa
Dibuat oleh manusia
Dalam kecukupan cinta
Orang-orang berjalan
Dalam taman
Ada orang berucap
Ada anak manusia
Hidup tanpa jiwa
Dalam perjalanan (waktu itu di taman)
Setiap orang pengen hidupnya punya arti
Seperti bumi yang melahirkan kembang-kembang melati
Putih-putih-putih sekali

1981


LAGUKAN

Lagukan isi hatimu secerah bumi ini
Lebih tinggi dari lengking cemara dan kota-kota
-- Cita-cita dan hari depan manusia
-- Yang lebih dalam dari hitam lautan
Memberi daku mata bersinar tenang
Selalu senyum dan mengulurkan tangan
Lagukan isi hatimu sepenuhnya jiwa
Lebih tinggi dari lengking cemara dan kota-kota

1967


Halaman Budaya Sahewan Panarung asuhan Kusni Sulang dan Andriani SJ Kusni. Radar Sampit, Minggu, 18 Februari 2024. Redaktur: Heru Prayitno, Penata Letak: Rafi

Halaman Masyarakat Adat | 11 Februari 2024 | Jurnal Perdesaan Kusni Sulang: ABDI MASYARAKAT DESA ITU BERNAMA MANTIR

Radar Sampit, Minggu, 11 Februari 2023 | Penyunting: Andriani SJ Kusni

Tiga pelatih seni bela diri Dayak (Bhs Dayak Ngaju: main) pada Sakula Budaya Handep-Hapakat Desa Sumur Mas, Kecamatan Tèwah, Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah. Herikson (paling kanan, mengenakan berkaos polo putih kerah merah), mantir Desa Sumur Mas, turut melatih anak-anak belajar main. Sakula Budaya adalah sebuah program untuk melestarikan dan mengembangkan budaya Dayak secara partisipatif. Foto: Kusni Sulang/2024

Para Mantir se-Kecamatan Mihing Raya. Foto: Istimewa. Sumber: https://beritakalteng.com/2023/02/03/mantir-adat-se-kecamatan-mihing-raya-gumas-dikukuhkan/

Audiesi Komisi I DPRD Kalteng dengan Forum Kedamangan se-Kalteng pada 21 Desember 2023. Dalam audiensi itu, Komisi I menerima sejumlah usulan termasuk masalah insentif. Bagaimana tindak lanjutnya adalah hal penting, bukan hanya didengar untuk kemudian didiamkan. Foto: Donny/2023

Mantir Adat Dayak adalah perangkat adat atau gelar bagi seseorang yang duduk sebagai pembantu Damang Kepala Adat (selanjutnya disingkat Damang), baik di tingkat desa/kelurahan maupun pada tingkat kecamatan di setiap wilayah kedamangan.

Wilayah kedamangan (wilayah keadatan) hingga hari ini nampaknya masih bersesuaian dengan struktur wilayah pemerintahan yang ada, sementara adat satu Daerah Aliran Sungai (DAS) dengan DAS lainnya tidak sama, walaupun mungkin ada kesamaan.

Oleh adanya kesamaan ini, agaknya pemerintah kolonial Belanda menyebut penduduk DAS-DAS itu dengan nama Dayak, penamaan yang menimbulkan polemik puluhan tahun dan baru berakhir dalam Seminar Nasional Kebudayaan di Pontianak tahun 1992.

Brunei dan negeri-negeri lain serta mereka yang berempati dengan Dayak seperti Prof. Dr. Sajogyo dari IPB, Masri Singarimbun dari Universitas Gadjah Mada, Soetandyo Wignyosoebroto dari Universitas Airlangga, antropolog Mudiyono, Sandra Moniaga, dan lain-lain, kehadiran mereka yang sekaligus memperlihatkan bahwa kebudayaan Dayak tidak ekslusif tapi inklusif. Apalagi organisator dan pemikir penting Seminar Pontianak 1992 adalah R. Hardaputranta, SJ, Direktur LPPS KWI/LP3S. Ciri inklusif ini juga sudah ditunjukkan oleh Pakat Dajak tahun 1926.

Salah satu kesimpulan Seminar Pontianak 1992 adalah menerima nama Dayak sebagai nama etnik-etnik yang umumnya mendiami pedalaman Kalimantan. Kalau tadinya nama Dayak itu mengandung pengertian merendahkan dan menghina, Seminar Pontianak 1992 memutuskan untuk mengubah hinaan tersebut dengan isi baru yang mengandung makna kemartabatan anak manusia.  Dengan cara ini, kata Dayak mengandung arti positif, bukan lagi suatu hinaan (hasil Seminar Pontianak 1992 antara lain terdokumentasi dalam buku Kebudayaan Dayak. Aktualisasi dan Transformasi, (Ed): Paulus Florus, Stepanus Djuweng, John Bamba, Nico Andasaputra. Kata Pengantar: Dr. Michael Dove. Diterbitkan oleh Institut Dayakologi, Pontianak 1994).

Tapi tentu saja, penyatuan nama demikian, tidak menghilangkan keragaman Dayak sebagaimana tercermin misalnya dalam sebutan Uluh Katingan (Orang/Sub-Suku Katingan), Uluh Kahayan, Uluh Barito, Uluh Saruyan, Uluh Bakumpai, dan sebagainya, yang memiliki adat-istiadat masing-masing.

Oleh keragaman Dayak yang demikian, menjadi pertanyaan: Mengapa wilayah adat atau wilayah kedamangan mesti mengikuti tata kelola administrasi resmi atau Republik Indonesia? Apabila terdapat keadaan bahwa satu sub-etnik terdapat di beberapa kabupaten, saya kira, penyelesaian masalah bukan tidak mungkin didapat melalui dialog. Inti adat adalah penyelesaian masalah secara dialog.

Dengan segala kekurangan dan kelemahannya, kelembagaan adat Dayak Kalimantan Tengah telah dikokohkan oleh Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Kalimantan Tengah Nomor 16 Tahun 2008 (selanjutnya disebut Perda 16/2008), kelembagaan yang pada masa Orde Baru dilemahkan oleh kebijakan ‘keamanan dan stabilitas nasional’, ‘desa  mengambang’, Politik SARA, ‘manusia Pancasila’, UU No. 5 Tahun 1979 Tentang Pemerintahan Desa yang melahirkan Jawanisasi budaya, dan lain-lain.

Sejak adanya Perda 16/2008), kelembagaan adat mulai berfungsi kembali. Damang dan mantir mulai berperan, sekalipun secara peraturan dan kenyataan bisa disebut tetap berada di bawah kendali kekuasaan dan terkadang nampak sebagai kendaraan kepentingan politik.

Padahal, jika kelembagaan adat ini berstatus independen, perannya dalam membangun pemerintahan yang bersih dan masyarakat yang beradat akan lebih besar manfaatnya. Ia bisa, bukan saja memberi saran yang gampang tidak diindahkan, tetapi juga sebagai pengawas sosial. Oleh adanya kepentingan politik ini, tidak jarang kita temukan adanya damang yang berkualitas ‘damang-damangan’ dan mantir yang bertaraf ‘mantir-mantiran’ (istilah Damang Jekan Raya, Kardinal Tarung). Mereka ‘terpilih’ melalui pembentukan mayoritas, tapi minim pengetahuan tentang adat, hukum adat dan segala ritual adatnya, sedang keteladanan masih merupakan kualitas langka. Terdapat juga keadaan Orang non-Dayak menjadi pemangku adat Dayak.

Dihadapan keadaan demikian, Lembaga Kebudayaan Dayak Kalimantan Tengah, pernah beberapa kali menyelenggarakan kelas belajar untuk para damang, mantir, sekretaris damang dan pemuka masyarakat desa Kabupaten Kotawaringin Timur dan Katingan, walaupun tahu benar bahwa satu-dua kali penyelenggaraan kelas belajar tidaklah cukup untuk menangani masalah. Kemudian, setelah kelas belajar usai, langkah konsolidasi seyogyanya dilakukan jika tidak ingin hasil kelas belajar menguap tak menentu.

Pendidikan adalah kunci untuk perubahan maju. Pendidikan juga akan meningkatkan kualitas para pemangku adat berbagai tingkat sedangkan pengkonsolidasiannya memerlukan pengorganisasian dibimbing arah yang jelas, terutama apa yang mau dicapai atau dituju.

Di daerah perdesaan yang pernah saya singgahi, saya mendapatkan tidak sedikit para pemangku adat, terutama pemangku adat yang baik, tulus, bekerja dengan penuh ketulusan dan kejujuran, di tingkat akar rumput, tingkat yang paling bawah dan langsung menghadapi warga adat sehari-hari dan aneka rupa persoalan mereka. Saya membayangkan, adanya pendidikan teratur, kapasitas mereka akan terus meningkat, apalagi jika kapasitas ini kemudian ditopang oleh syarat materil yang padan. Penyelenggara Negara, saya pikir, merupakan pihak yang paling mungkin memberikan topangan material konkret yang sangat diperlukan itu. Sebab saya khawatir, jika yang menopangnya perusahaan besar swasta (PBS), bukan tidak mungkin para pemangku adat ini lalu mendapat fungsi baru yaitu menjadi ‘Bagian Humas’ perusahaan-perusahaan tersebut sebagaimana tidak sedikit terjadi hari ini.

Istilah ‘pemangku adat sama dengan humas perusahaan’, saya dapatkan pertama kali waktu bekerja di daerah perdesaan Kabupaten Kotawaringin Timur, kemudian saya dengar kembali di banyak tempat. Ketika ia atau mereka menjadi Humas PBS, saat terjadi konflik lahan atau konflik lain dengan PBS, sulit dibayangkan pemangku adat yang sama dengan Humas PBS akan membela warga adatnya dan mempertahankan keadilan sebagaimana laiknya adat. Kolusi dengan berbagai pihak begini menjadi gejala jamak di daerah perdesaan yang makin berada di bawah kuasa hedonisme.  Tidak heran maka amanat UU No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa cq. Bab XIII mengenai desa adat kurang mendapat perhatian dibandingkan dengan Lima Skema Perhutanan Sosial karena desa adat mengembalikan kedaulatan ke tangan sebenarnya yaitu rakyat (baca: warga adat).

Dalam rangka menyelenggarakan Sakula Budaya Angkatan II, saya mesti bolak-balik ke Desa Sumur Mas, Kecamatan Tèwah, Kabupaten Gunung Mas. Kegiatan ini meniscayakan  saya bekerja sama dengan banyak pihak di desa, termasuk dengan pemangku adat desa, yaitu Mantir Herikson. Sifat hubungan kami oleh proses kegiatan meningkat menjadi kawan. Dengan tingkat hubungan pribadi begini, pembicaraan kami sudah menjadi sangat  leluasa tanpa sekat. Di samping dari pengamatan, juga dari percakapan demi percakapan, saya mengetahui topangan formal yang diberikan kepada pemangku adat di akar rumput.

Rumah pribadi adalah sekaligus kantor mantir. Tidak ada kantor khusus. Saban ketemu, saya menyaksikan kelelahan pada wajahnya. Di tangannya selalu terdapat sebuah buku tulis, jenis yang waktu di Sekolah Rakjat (SR–sekarang SD) dulu, kami gunakan untuk belajar menulis indah. Di buku tulis itu, Mantir Herikson mencatat segala persoalan yang sedang ia tangani. Sebuah telepon genggam (HP) yang juga penggunaannya tergantung ada atau tidak ada sinyal. HP merupakan alat komunikasi utama dengan pihak luar. Untuk mendapatkan sinyal, penggunanya harus mendaki ketinggian di tempat-tempat jauh. Mobilitas bersandar pada sepeda motor yang harus tahan banting di jalan-jalan terjal, sangat licin setelah hujan turun.

“Kau tak punya pembantu?” tanya saya dalam bahasa Dayak Ngaju.

“Gak ada dan dengan apa saya bayar pembantu. Untuk beli alat tulis-menulis saja harus nabung dan berhitung dengan teliti.

“Berapa sih insentif untuk mantir sekarang? Sebab dahulu di tahun-tahun awal pembentukan Dewan Adat Dayak, kalau saya tak salah, mantir mendapat 100 ribu rupiah per bulan dari provinsi. Sekarang berapa?”

“Enam ratus ribu per bulan. Jangan kau tanyakan cukup atau tidak.” Herikson memotong dengan cepat seakan-akan tahu pertanyaanku selanjutnya.

“Kau bandingkan saja, pekerjaan sebagai mantir ini meminta waktu sepenuhnya. Persolan sangat banyak. Mulai dari perkelahian suami-istri yang tak reda-reda dan hendak cerai, pencurian, penyerobotan tanah, perkelahian antar warga. Hari ini, sebelum kemari menemuimu, aku baru saja melanjutkan urusan warga yang mau hatejeb (berkelahi dengan menggunakan Mandau–KS).Yang satu mau damai, yang lain tidak mau.”

“Lalu?”

“Saya ke kecamatan dan minta bantuan polisi dan tentara menemani saya. Polisi tiga orang dan seorang anggota Babinsa.”

Kerjasama pemangku adat di akar rumput dan polisi umum terjadi dalam menangani masalah. Agaknya, kehadiran polisi relatif lebih efektif daripada Batamad (Barisan Pertahanan Masyarakat Adat Dayak), yang menurut Perda 16/2008, bertugas mengawal keputusan damang. Barangkali, hal ini karena polisi mempunyai rumah tahanan dan berhak menahan terduga.

“Kemudian?”

“Yang tak mau damai tadi, nampaknya takut juga akan dibawa ke kantor polisi dan berkata, ayo cepat kita selesaikan.” Mendengarnya, saya hanya ketawa dalam hati.

“Kalau waktumu habis mengurus permasalahan warga adat, sedangkan enam ratus ribu rupiah itu tidak mencukupi untuk hidup, bagaimana kau menutupi keperluan hidup sehari-hari?”

“Ya, ibunya harus kerja juga. Dan saya harus lembur menggunakan sisa waktu yang ada.”

Saya membayangkan, betapa mantir harus punya simpanan energi untuk bisa lembur menyambung hidup. Yang saya kagumi dari Herikson sebagai mantir dengan segala keterbatasan dana, dia tidak nampak dan tidak pernah saya dengar mengeluh dalam melakukan pekerjaan mantirnya. Demikian juga ketika melaksanakan pekerjaan di Sakula Budaya sebagai pelatih karungut dan memainkan kecapi untuk anak-anak yang nakal-nakal.

“Kalau bukan kita, siapa lagi yang menangani ini semua. Karena itu, warga desa ini sangat berterima kasih pada kalian yang sudah memberi perhatian pada anak-anak kami. Sebelumnya, tidak ada kegiatan apa-apa untuk anak-anak. Apa yang kalian lakukan adalah bantuan besar kepada kami di desa.”

“Bukankah kewajiban Dayak pada sesama Dayak?” jawab saya. Herikson tertawa penuh arti. Saya menangkap maksud tawanya.

“Saya tahu kau sering kelaparan waktu di desa kami. Tak ada warung untuk makan.”

“Resiko pekerjaan dan pilihan. Saya mengaggumi Mantir yang bekerja penuh pengabdian kepada warga adat, walaupun kelelahan.”

“Resiko pekerjaan dan pilihan,” ujar Herikson menggunakan jawabanku sambil ketawa. Kami pun ketawa bersama menikmati kelelahan kami.

“Ya, kita tak bisa memilih telah dilahirkan sebagai Dayak dan mempunyai tanggung jawab sebagai Dayak pula.” Herikson memelukku erat.

Saat itu, saya membayangkan Palangka Raya, ibukota Provinsi Kalimantan Tengah, bertanya-tanya apakah kalangan penyelenggara Negara dan para mereka yang turut bertanding dalam pemilihan umum sempat memikirkan nasib dan perbaikan dukungan kepada orang-orang seperti Mantir Herikson?

Saya memastikan, manusia seperti Mantir Herikson adalah modal penting bagi pemajuan Kalimantan Tengah mulai dari perdesaan. Ia bagian dari keterpurukan Dayak, tidak menjualnya, tidak menjual diri juga dan tetap tegar pada harapan, yakin Tuhan hanya menolong orang yang mau berusaha menolong dirinya untuk jadi anak manusia.

Pada 21 Desember 2023, Komisi I DPRD Kalimantan Tengah sudah mengadakan rapat, mendengar pendapat para mantir. Tindak lanjut konkretnya? Apakah berakhir setelah rapat usai?

Tapi, saya pasti bahwa mantir di daerah perdesaan seperti Mantir Herikson adalah nama dari pengabdian tulus yang hari ini terancam kepunahan.***


Halaman MASYARAKAT ADAT asuhan Kusni Sulang dan Andriani SJ Kusni. Radar Sampit, Minggu, 11 Februari 2023. Redaktur: Heru Prayitno, Penata Letak: Rafi