Catatan Kusni Sulang: Uluh Kalteng Beridentitas Kalteng*

Radar Sampit, Minggu, 14 Agustus 2022 | Penyunting: Andriani SJ Kusni

Aksesori Benang Bintik Multi Fungsi karya Andriani SJ Kusni
Aksesori bénang bintik multi fungsi sebagai hiasan topi, kalung, hingga ikat pinggang dari sisa-sisa kain (perca) yang dirancang dan dikerjakan tangan oleh Pengasuh Halaman, Andriani SJ Kusni. Foto: Dokumen Pribadi

Sumber: Dokumentasi Bank Indonesia Kalteng, 2022

Menanggapi beberapa persoalan yang muncul dalam Talkshow Kriya “Kesah Bénang Bintik Kalimantan Tengah” oleh Bank Indonesia, Sabtu, 6 Agustus 2022

Tanggal 4-7 Agustus 2022, Bank Indonesia Kalimantan Tengah (Kalteng) telah menyelenggarakan sebuah kegiatan bertema besar Festival UMKM dan Pariwisata. Pesona Tambun Bungai 2022. Harmoni, Cinta, Karya dan Budaya. Festival berlangsung di dua tempat yaitu Palangka Raya, 4-7 Agustus 2022 dan di Pangkalan Bun, Kabupaten Kotawaringin Barat, 4-6 Agustus 2022.

Pada Festival tersebut digelarkan beberapa acara seperti: pameran produk UMKM kriya, kain, kuliner, festival jajanan, fashion show, edukasi dan sosialisasi lomba lari, panggung hiburan, termasuk diskusi mengenai bénang bintik, ‘batik khas Kalteng’.

Dalam jumpa pers (2/8/2022), Kepala Perwakilan Wilayah Bank Indonesia Kalimantan Tengah, Yura Adalin Djalin menjelaskan bahwa “Pesona Tambun Bungai 2022 guna mendukung perekonomian lokal saat pandemi Covid-19. Terutama dalam memperkenalkan Benang Bintik ke khalayak luas, baik itu lokal hingga ke nasional.” Selain itu, Yura berharap adanya acara tersebut dapat membuat pertumbuhan ekonomi yang substein, kuat, dan berkelanjutan. Terlebih saat ini Kalimantan Tengah mengalami inflasi serta energi terbarukan yang juga ikut naik sehingga Pesona Tambun Bungai 2022 dapat menjadi pendorong bagi pertumbuhan ekonomi di Kalimantan Tengah. Yura juga berharap event ini dapat menambah kunjungan wisata lokal, sehingga menjadi prestasi jika orang luar dapat datang ke Palangka Rraya. Di sisi lain, Bank Indonesia Kalteng menggratiskan para pelaku UMKM yang hendak membuka stand atau booth. “Para pelaku UMKM tidak akan dikenakan biaya sepeser pun untuk membuka stand atau booth pada acara Pesona Tambun Bungai 2022,” terang yura. Hal tersebut merupakan bentuk dukungan BI pada para pelaku UMKM yang akan menjajakan dagangannya.

Sekitar 25 pelaku UMKM Palangka Raya telah terdaftar untuk ikut serta meramaikan Pesona  Tambun Bungai 2022. Perlu dicatat juga bahwa sebelumnya, Bank Indonesia telah berkali-kali mensponsori pentas besar Sendratari Tambun-Bungai dan kisah-kisah rakyat Kalteng lainnya. Perhatian begini patut diapresisasi. K-Pop tidak mungkin mendunia tanpa ada dukungan kekuatan ekonomi Korea Selatan di belakangnya.

Tambun-Bungai

Walaupun setiap bibir mengucapkannya, tapi sampai sekarang bisa dipastikan apa-siapa bagaimana sebenarnya tokoh legendaris Tambun-Bungai yang dijadikan julukan lain bagi Provinsi Kalteng, bisa dipastikan belum diketahui secara persis.

Ragam tafsir terhadap apa-siapa dan bagaimana Tambun-Bungai antara lain diperlihatkan oleh adanya empat bentuk patung berbeda-besa kedua tokoh tersebut. Patung yang terdapat di Tumbang Pajangei berbeda dengan yang ada di Kuala Kurun; berbeda pula dengan yang berdiri di rumah jabatan Gubernur Kalteng dan atau yang terdapat di depan Bétang Hapakat Palangka Raya. Kemudian juga berbeda dengan yang ditampilkan dalam sendratari Tambun Bungai.

Tambun-Bungai jadinya adalah dua tokoh yang disebut oleh hampir semua Orang Kalteng, tapi secara mendasar, keduanya tidak dikenal.

Ketika menjadi Gubernur Kalteng (2005-2010), Dr. A. Teras Narang, SH, pernah mengirimkan ajudannya, meminta saya meneliti dan menulis tentang Tambun-Bungai. Oleh ketiadaan sponsor, usul ini sampai sekarang belum bisa dilaksanakan. Tapi yang saya anggap tetap relevan dari usul Teras ini adalah perlunya melakukan penelitian dan penulisan serius, sebutkan secara ilmiah, tentang kedua tokoh ini. Dengan demikian, kita tahu apa siapa dan bagaimana sesungguhnya kedua tokoh tersebut. Kita menyebut namanya dan kita bisa menjelaskan apa-siapa dan bagaimana mereka.

Saya tidak tahu, apakah Bank Indonesia atau Dinas Kebudayaan Provinsi tertarik dan merasa berguna mensponsori penelitian dan penulisan begini. Hanya saja, yang saya lihat sampai hari ini, Kalteng tidak menaruh minat pada soal-soal sejarah dan antropologi. Riset, pemberdayaan dan pembangunan daerah berbagai bidang, kiranya saling bertautan erat sebab kebijakan yang baik, saya kira adalah evident based policy.

Membuat Bumi Tambun-Bungai yang “mempesona” atau kata sifat baik lainnya, tidak bakal pernah terwujud tanpa riset. Sama halnya dengan mengembangkan pariwisata, pengembangan pariwisata tidak bisa dilakukan hanya dengan pernyataan-pernyataan standar formal karena bidang ini memerlukan pengembangan bidang-bidang lain seperti hotel, restoran, pelayanan, informasi, infrastruktur jalan, pengangkutan, pemandu, sumber daya manusia, seni pertunjukan (apakah Kalteng, cq. Palangka Raya mempunyai gedung pertunjukan yang memadai? Tidak ada!), dan lain-lain.

Tema lain yang menjadi fokus Festival UMKM dan Pariwisata. Pesona Tambun Bungai 2022. Harmoni, Cinta, Karya dan Budaya” adalah soal “bénang bintik”.

Bénang Bintik adalah batik dengan motif (khas) Kalteng. ‘Bénang’ dalam bahasa Dayak Ngaju berarti helaian kain putih sedangkan ‘bintik’ memiliki arti desain atau gambar yang yang diterakan pada helaian kain tersebut.

Motif atau bintik atau desain (kalau mau terdengar keren) diambil dari legenda-legenda, kepercayaan, sejarah, cerita-cerita rakyat setempat dan alam lingkungan sekitar atau buah dari proses akulturasi. Contoh: Batik Ketapang di Kalimantan Barat, merupakan batik Kalimantan dengan latar budaya Melayu. Motif  Dayak Latar Gringsing merupakan perpaduan motif batik Dayak dengan motif batik Jawa. Batik Tidayu, corak ini terilhami dari tiga budaya sekaligus, yakni Dayak, Melayu, dan Tionghoa yang menghasilkan motif yang menarik (lihat: https://pariwisataindonesia.id/budaya-dan-sejarah/motif-batik-benang-bintik-suku-dayak-dan-sejarah-perkembangan-batik-kalomantan/\0. Artinya keragaman etnik merupakan kekayaan yang sangat bernilai dalam melahirkan budaya baru.

Produk seni akuturatif ini juga menunjukkan bagaimana mengembangkan kebudayaan kekinian dengan menerapkan metode dua pemaduan. Pemaduan unsur-unsur baik dari tradisi lokal dipadukan dengan hal-hal positif dari manapun datangnya. Berangkat dari keadaan dan pengalaman sejarah ini maka saya sejak lama menawarkan gagasan “Uluh Kalteng Beridentitas Kalteng” —sejak 10-an tahun lebih—saban minggu, ide ini saya gaungkan melalui Harian Radar Sampit Jawa Pos Group.

Ide “Uluh Kalteng Beridentitas Kalteng” seperti halnya kebudayaan daerah, bangsa atau negeri manapun hanya mungkin terwujud jika ada keterbukaan, toleransi dan kebebasan.

Budaya Dayak pada hakekatnya seperti budaya manapun adalah inklusif, bukan ekslusif seperti budaya ghetto dan ghettoisme budaya. Lebih-lebih bukan ancaman dan penindasan ataupun santase (chantage). Sejajar dengan konsep ini maka prinsip “di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung” sudah kadaluwarsa sebab dengan prinsip ini , yang terjadi “di mana bumi dipijak, satu tangan menjunjung langit, tangan lain nyolong” sehingga Kalteng diberlakukan sebagai kebun belakang rumahnya di tempat lain. Yang relevan adalah “di mana bumi dipijak, di situ bumi dibangun” atau “di mana langit dijunjung, di situ bumi dibangun” karena Kalteng adalah kampung-halamannya sendiri, bukan kebun belakang rumahnya di tempat lain atau bukan tempat berwisata jangka panjang sehingga tidak perlu mengenal budaya setempat.

Di samping bénang bintik, Kalteng sebenarnya mengenal yang dinamakan bénang dinding atau kain perca. Sekitar tahun 1945-an, bénang dinding ini umum dikerjakan oleh para perempuan Dayak di léwu-léwu, nama dari desa adat di Tanah Dayak Kalteng. Hari ini saya tidak lagi pernah menyaksikan hal tersebut. Dari segi politik kebudayaan dalam menghadapi komposisi demografis Kalteng yang beragam, bénang dinding sebenarnya bisa diangkat sebagai politik kebudayaan yang relevan untuk hari ini.

Penghancuran Seni Menenun di Tanah Dayak Kalteng

Apakah Orang Dayak Kalteng mempunyai kemampuan dan tradisi menenun pakaian mereka?

Secara teknologi, Orang Dayak Kalteng sudah berada pada zaman besi. Hal ini ditunjukkan oleh adanya tanur tradisional di desa-desa Kalteng hingga sekarang. Dengan teknologi yang mereka punyai, mereka bisa membuat sabun, garam, gula, shampoo, minyak goreng, pengawetan makanan, dan lain-lain termasuk menenun pakaian dari kapas, kapuk, kulit kayu, membuat kapal/perahu, mewarna (lima ba), ilmu falak. Saya mempunyai dokumen-dokumennya berupa foto.

Teknologi-teknologi ini tidak berkembang karena setelah mereka terdesak ke pedalaman sesudah kekalahan perang di daerah pantai, mereka terisolasi dan diisolasikan. Di tangan saya juga ada tiga naskah buku tentang tingkat teknologi ini yang siap diterbitkan tapi tertunda karena kekurangan dana.

Pertemuan Tumbang Anoi 1894 membuat teknologi ini dimatikan dengan diberlakukannya politik desivilisasi ‘ragi usang”.  Pertemuan Tumbang Anoi 1894 bukan”fajar peradaban” bagi Dayak tapi merupakan titik hitam dalam sejarah Dayak. Kesalahan pemuka-pemuka Dayak melalui Tumbang Anoi 1894 ini dikoreksi oleh Hausmann Baboe pada 1919, 25 tahun kemudian dengan mendirikan Sjarikat Dajak yang pada 1926 diubah namanya menjadi Pakat Dayak. Tahun 1919, pada hemat saya merupakan tahun kebangkitan kembali Dayak. Sisa-sisa keterampilan menenun dan menganyam ini diperlihatkan oleh masih adanya amak daré, tanggui dan sapuyung daré.

Sejarah Bénang Bintik

Ada beberapa versi antara lain:

Pada awalnya, muncul sejarah mengenai batik di Kalimantan adalah bersumber dari cerita hikayat yaitu pada masa Patih Lambung Mangkurat. Dia bertapa menggunakan rakit, ketika ia sampai di Kota Bagantung, secara mendadak muncul buih tepat dihadapannya. Kemudian bersamaan dengan munculnya buih tersebut, muncul juga suara seorang wanita yang disebut oleh  warga sekitar sebagai Putri Junjung Buih. Menurut cerita, dialah yang akan menjadi raja benua ini. Akan tetapi kemunculan sang putri ke atas permukaan harus diikuti dengan beberapa syarat. Beberapa syarat yang harus dipenuhinya antara lain: sebuah istana patung, dan juga kain. Kain tersebut bukan kain sembarangan, akan tetapi menggunakan metode calap dan tenun. Pengerjaannya kain ini harus menggunakan 40 motif. Motif yang dibuatnya adalah motif wadi dan pada ringin. Itulah asal mula munculnya batik di Kalimantan. Dulu, kain batik Kalimantan sering digunakan oleh kaum laki-laki untuk selendang, sabuk dan ikat kepala. Kaum hawa juga memakainya sebagai kerudung maupun sebagai kemben. Ketika upacara adat berlangsung, biasanya juga dikombinasikan dengan kain batik (lihat: https://www.kompasiana.com/yusufarief1/591ef7b61bafbd0c76e32e1f/keindahan-batik-kalimantan-yang-tersembunyi? page=all#sectionall).

Hampir serupa dengan versi di atas adalah versi Farah Nisa (lihat: https://batik-tulis.com/blog/batik-kalimantan/) dan Dave Tjoa yang antara lain menulis: Menurut sahibul-hikayat, Batik Kalimantan pertama kali dibuat tatkala Patih Lambung Mangkurat bertapa selama 40 hari 40 malam di atas rakit balarut banyu. Menjelang akhir tapanya, rakit tersebut tiba di daerah Rantau Kota Bagantung. Tiba-tiba, dari seonggok buih di hadapannya, terdengar suara seorang wanita. Wanita yang kemudian dipastikan sebagai Putri Junjung Buih, yang kelak menjadi Raja di Banua ini. Namun, Sang Putri baru akan muncul ke permukaan jika syarat-syarat yang diminta dipenuhi yaitu sebuah Istana Batung beserta dengan kain yang harus selesai dibuat dalam satu hari. Kain itu pun bukan kain sembarangan melainkan kain yang ditenun dan dicalap (diwarnai) oleh 40 orang putri dengan motif wadi atau padiwaringin. Dari situlah Kain Calapan/Sasirangan atau Batik Kalimantan pertama kali dibuat. “Kain Sasirangan umumnya digunakan sebagai kain adat yang biasa digunakan pada acara-acara adat suku Banjar. Kata ‘sasirangan’ berasal dari kata ‘menyirang’ yang berarti menjelujur karena dikerjakan dengan cara menjelujur kemudian diikat dengan tali rafia dan selanjutnya dicelup, hingga kini sasirangan masih dibuat secara manual. Menurut sejarahnya, Sasirangan merupakan kain sakral warisan abad XII saat Lambung Mangkurat menjadi Patih Negara Dipa. Awalnya sasirangan dikenal sebagai kain untuk “batatamba” atau penyembuhan orang sakit yang harus dipesan khusus terlebih dahulu (pamintaan) sehingga pembutan kain sasirangan seringkali mengikuti kehendak pemesannya. Oleh karena itu, Urang Banjar seringkali menyebut sasirangan kain pamintaan yang artinya permintaan. Selain untuk kesembuhan orang yang tertimpa penyakit, kain ini juga merupakan kain sakral, yang biasa dipakai pada upacara-upacara adat. Pada zaman dahulu kala kain sasirangan diberi warna sesuai dengan tujuan pembuatannya yakni sebagai sarana pelengkap dalam terapi pengobatan suatu jenis penyakit tertentu yang diderita oleh seseorang” (lihat: http://jejakbatik.blogspot.com/2014/09/batik-kalimantan.html).

Secara faktual,  produksi bénang bintik Kalteng dimulai pada masa Gubernur Soeparmanto (1989-1994), terutama diprakarsai oleh Ibu Soeparmanto, menciptakan Batik Kalteng. Gubernur Soeparmanto ingin agar daerahnya memiliki cinderamata yang khas sekaligus bisa menjadi busana formal bercirikan Kalimantan Tengah. Berbagai upaya dilakukan untuk memperkenalkan batik benang bintik kepada masyarakat luas. Mulai dari pameran-pameran diluar daerah sampai mewajibkan pegawai pemerintahan memakai baju batik benang bintik sepekan sekali (lihat: https://www.coursehero.com/file/pha473j/Motif-Batik-kalimantan-utara-17-Motif-Batik-kalimantan-timur-Motif-dayak-pada/).

Kekhasan pada Batik Kalteng adalah pada jenis motif yang mencerminkan kebudayaan Suku Dayak. Salah satunya adalah motif yang terkait dengan Batang Garing, Pohon Kehidupan. Teknik pembuatan kain batiknya sendiri menggunakan teknologi batik cap yang berasal dari Jawa. Di awal pengenalannya, seluruh proses pembuatan kain batik dilakukan di Jawa dan perlahan beberapa kelompok masyarakat diajarkan untuk dapat membuatnya secara lokal di Kalteng. Batik Kalteng ini kemudian dikenal sebagai Batik Benang Bintik. Saat ini, beberapa kabupaten di Kalimantan Tengah telah mengeluarkan motif batik khas kabupaten yang semakin memperkaya khasanah Batik Benang Bintik (lihat: http://kalteng.net/?p=102).

Dengan demikian, kalau dilihat dari sejarah lahirnya, bénang bintik adalah sebuah karya yang diciptakan dengan memadukan teknologi batik Jawa dengan motif lokal (baca: Dayak). Sebuah karya hibrida–karya Uluh Kalteng dengan identitas Kalteng. Munculnya karya hibrida di Kalteng kemudian juga diperlihatkan oleh Germana, seorang perempuan asal Flores, Nusa Tenggara Timur yang sudah berumur setengah abad lebih. Ia telah menekuni pembuatan tenun kain bermotif Dayak Lamandau, Kalimantan Tengah selama 9 tahun sejak 2013, dengan memadukan teknologi menenun Orang Flores. Dengan bantuan pemerintah setempat, Germana berhasil mengembangkan usaha dan karya-karya hibiridanya.

Dalam bidang seni, pertunjukkan karya hibrida ini juga menampakkan diri melalui karya eksperimen berupa Wayang Kalteng. Munculnya karya-karya hibrida dengan menggunakan keragaman budaya di Kalteng sebagai modal lahirnya Uluh Kalteng Beridentitas Kalteng bukanlah ilusioner. Bukan tidak mungkin atas dasar ini, suatu hari yang tidak jauh, budaya politik baru akan menjadi kenyataan seiring dengan hadirnya Uluh Kalteng.

Fakta-fakta di atas memperlihatkan bahwa budaya hibrida ini akan lahir melalui metode dua pemaduan yaitu pemaduan unsur baik lokal dengan hal-hal positif dari luar dari manapun asalnya—konsep yang beralaskan pandangan bahwa keragaman itu suatu kekayaan, toleransi itu keniscayaan dan tutup pintuisme dengan berbagai nama hanyalah jalan menuju bunuh diri budaya dan mereduksi kemanusiaan.

Dengan metode dua pemaduan, kita menciptakan orisinalitas baru. Untuk keperluan ini, studi dan riset, tidak bisa dilepaskan dan diabaikan. Melalui metode dua pemaduan, kita dimungkinkan menyerap kecerdasan dan kekayaan budaya dunia sebagaimana ditunjukkan oleh sejarah teknik pembatikan seperti dilukiskan oleh tuturan berikut:

“Detail ukiran kain yang dikenakan Prajnaparamita, arca yang berasal dari Jawa Timur abad ke-13. Ukiran pola lingkaran dipenuhi kembang dan sulur tanaman yang rumit ini mirip dengan pola batik tradisional Jawa.

Seni pewarnaan kain dengan teknik perintang pewarnaan menggunakan malam atau lilin adalah salah satu bentuk seni kuno. Penemuan di Mesir menunjukkan bahwa teknik ini telah dikenal semenjak abad ke-4 SM, dengan diketemukannya kain pembungkus mumi yang juga dilapisi malam untuk membentuk pola.

Di Asia, teknik serupa batik juga diterapkan di Tiongkok semasa Dinasti T’ang (618-907) serta di India dan Jepang semasa Periode Nara (645-794). Di Afrika, teknik yang mirip dengan batik dikenal oleh Suku Yoruba di Nigeria, serta Suku Soninke dan Wolof di Senegal.

Di Indonesia, batik dipercaya sudah ada semenjak zaman Majapahit, dan menjadi sangat populer akhir abad XVIII atau awal abad XIX. Batik yang dihasilkan ialah semuanya batik tulis sampai awal abad XX dan batik cap baru dikenal setelah Perang Dunia I atau sekitar tahun 1920-an. Walaupun kata “batik” berasal dari bahasa Jawa, kehadiran batik di Jawa sendiri tidaklah tercatat. G.P. Rouffaer berpendapat bahwa tehnik batik ini kemungkinan diperkenalkan dari India atau Srilangka pada abad ke-6 atau ke-7.[5] Di sisi lain, J.L.A. Brandes (arkeolog Belanda) dan F.A. Sutjipto (sejarawan Indonesia) percaya bahwa tradisi batik adalah asli dari daerah seperti Toraja, Flores, Halmahera, dan Papua. Perlu dicatat bahwa wilayah tersebut bukanlah area yang dipengaruhi oleh Hinduisme tetapi diketahui memiliki tradisi kuno membuat batik.

G.P. Rouffaer juga melaporkan bahwa pola gringsing sudah dikenal sejak abad ke-12 di Kediri, Jawa Timur. Dia menyimpulkan bahwa pola seperti ini hanya bisa dibentuk dengan menggunakan alat canting, sehingga ia berpendapat bahwa canting ditemukan di Jawa pada masa sekitar itu.Detail ukiran kain yang menyerupai pola batik dikenakan oleh Prajnaparamita, arca dewi kebijaksanaan buddhis dari Jawa Timur abad ke-13. Detail pakaian menampilkan pola sulur tumbuhan dan kembang-kembang rumit yang mirip dengan pola batik tradisional Jawa yang dapat ditemukan kini. Hal ini menunjukkan bahwa membuat pola batik yang rumit yang hanya dapat dibuat dengan canting telah dikenal di Jawa sejak abad ke-13 atau bahkan lebih awal.[8] Pada perempat terakhir abad ke-13, kain batik dari Jawa telah diekspor ke kepulauan Karimata, Siam, bahkan sampai ke Mosul.

Legenda dalam literatur Melayu abad ke-17, Sulalatus Salatin menceritakan Laksamana Hang Nadim yang diperintahkan oleh Sultan Mahmud untuk berlayar ke India agar mendapatkan 140 lembar kain serasah dengan pola 40 jenis bunga pada setiap lembarnya. Karena tidak mampu memenuhi perintah itu, dia membuat sendiri kain-kain itu. Namun sayangnya kapalnya karam dalam perjalanan pulang dan hanya mampu membawa empat lembar sehingga membuat sang Sultan kecewa.Oleh beberapa penafsir,serasah itu ditafsirkan sebagai batik.

Dalam literatur Eropa, teknik batik ini pertama kali diceritakan dalam buku History of Java (London, 1817) tulisan Sir Thomas Stamford Raffles. Ia pernah menjadi Gubernur Jenderal Inggris di Jawa. Pada 1873 seorang saudagar Belanda Van Rijekevorsel memberikan selembar batik yang diperolehnya saat berkunjung ke Indonesia ke Museum Etnik di Rotterdam dan pada awal abad ke-19 itulah batik mulai mencapai masa keemasannya. Sewaktu dipamerkan di Exposition Universelle di Paris pada tahun 1900, batik Indonesia memukau publik dan seniman.

Semenjak industrialisasi dan globalisasi, yang memperkenalkan teknik otomatisasi, batik jenis baru muncul, dikenal sebagai batik cap dan batik cetak, sementara batik tradisional yang diproduksi dengan teknik tulisan tangan menggunakan canting dan malam disebut batik tulis. Pada saat yang sama imigran dari Indonesia ke Wilayah Persekutuan Malaysia juga membawa batik bersama mereka. Sekarang batik sudah berkembang di beberapa tempat di luar Jawa, bahkan hingga ke manca negara. Di Indonesia batik sudah pula dikembangkan di Aceh dengan batik Aceh, batik Cual di Riau, Batik Papua, batik Sasirangan Kalimantan, dan batik Minahasa” (lihat: https://id.wikipedia.org/wiki/Batik).

Patut pula digarisbawahi di sini, bahwa dunia kesenian dan cipta-mencipta, tidak bisa berdampingan dengan penindasan atas nama apapun. Dengan menggunakan berbagai nama, bahaya ini ada di Kalteng. Saya memandang bahwa kesenian dan dunia-cipta-mencipta tidak lain dari suatu pemberontakan melawan ketidakadilan untuk pemanusiawian manusia, kehidupan dan masyarakat. Inilah barangkali inti tersirat dalam kata-kata penyair Chairil Anwar: “Yang bukan penyair, minggir!”[]

Catatan: Sebagian dari isi artikel ini adalah dari naskah presentasi Kusni Sulang pada kegiatan Talkshow Kriya “Kesah Bénang Bintik Kalimantan Tengah” yang diselenggarakan oleh Bank Indonesia, Sabtu, 6 Agustus 2022. Siaran lengkap talkshow dapat diikuti di https://www.youtube.com/watch?v=gLqerAfuvPE


Halaman Budaya SAHEWAN PANARUNG, Radar Sampit, Minggu, 14 Agustus 2022

Leave a comment