Gerakan Moral Bukan Politik Praktis

DIALOG AGAMA
Gerakan Moral Bukan Politik Praktis

Penulis: | Editor: Jimmy Hitipeuw
Senin, 7 Februari 2011 | 07:23 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com — Para tokoh agama di Indonesia harus menyuarakan berbagai persoalan bangsa yang dihadapi rakyat, seperti masalah yang terkait dengan kemiskinan dan praktik korupsi. Peran profetik tokoh agama seperti itu bukan merupakan politik praktis, melainkan politik kebangsaan atau politik dakwah.

Hal itu dikatakan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Din Syamsuddin di sela acara perayaan The World Interfaith Harmony Week di Istora Senayan, Jakarta, Minggu (6/2/2011).

The World Interfaith Harmony Week merupakan program Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang diselenggarakan pada minggu pertama Februari. Perayaan itu dilatarbelakangi inisiatif Raja Jordania Abdullah II pada September 2010 dalam pertemuan tahunan sidang PBB.

Hadir dalam acara itu perwakilan tokoh agama, antara lain Ketua Majelis Ulama Indonesia Slamet Effendy Yusuf, Ketua Komisi Hubungan Antar-agama dan Kepercayaan Konferensi Waligereja Indonesia Mgr Mandagi, Ketua Umum Majelis Tinggi Agama Konghucu (Matakin) Wawan Wiratma, dan Wakil Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia I Dewa Putu Sukardi. Hadir juga Ketua MPR Taufiq Kiemas, Ketua DPR Marzuki Alie, dan Ketua DPD Irman Gusman.

”Bicara soal kemiskinan dan korupsi sebagai kemungkaran serta kejahatan terhadap rakyat, tokoh agama harus bangkit untuk menyuarakan. Itu bukan politik praktis, melainkan politik kebangsaan atau politik dakwah,” kata Din. Gerakan moral lintas agama merupakan misi profetik agama-agama.

Seperti diberitakan, para tokoh agama resah karena pemerintah dinilai tak jujur dalam penanganan berbagai masalah bangsa. Pemerintah dipandang belum membuktikan komitmen dalam beragam persoalan mendasar, seperti penegakan hukum, pemberantasan korupsi, tenaga kerja, penghormatan hak asasi manusia, dan peningkatan kesejahteraan rakyat. Pandangan tersebut tertuang dalam pertemuan para tokoh agama yang digagas Maarif Institute di Kantor Pimpinan Pusat Muhammadiyah (Kompas, 11/1/2011).

Terkait dengan perayaan The World Interfaith Harmony Week sebagai agenda PBB, menurut Din, acara itu lebih ditekankan untuk membangun dialog antarumat beragama. Kerukunan dan dialog antarumat beragama di Indonesia harus terus-menerus dipelihara dan dijaga.

”Kita mempunyai modal. Indonesia negara majemuk dan tingkat kerukunan cukup besar meski beberapa fase waktu terganggu. Contohnya, pada awal reformasi ada konflik di Ambon dan Poso. Namun, (itu) sudah teratasi dan harus dijaga,” tutur Din.

Slamet Effendy Yusuf mengatakan, harmoni antar-agama sangat penting untuk mencapai perdamaian. ”Harmoni bisa tercapai jika ada keadilan ekonomi, politik, dan sosial,” ujarnya. Para tokoh agama dan elemen masyarakat perlu terus mengupayakan pencapaian keadilan di tengah masyarakat. (FER)

Serangan yang Tewaskan Tiga

Jemaat Ahmadiyah Dikutuk


Senin, 07 Februari 2011 | 06:59 WIB

 

TEMPO Interaktif, Jakarta – Berbagai pihak mengutuk dan mengecam penyerangan serta kekerasan yang dilakukan terhadap komunitas Ahmadiyah di Kecamatan Cikeusik, Pandeglang, Banten, kemarin. Polisi juga diminta menindak tegas pelaku dan mengusut keterlibatan organisasi tertentu di balik aksi yang mengakibatkan tewasnya tiga orang itu.

“Presiden sangat prihatin,” kata Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Djoko Suyanto dalam konferensi pers di kantornya tadi malam. “Pemerintah mengecam keras tindakan dari siapa pun kepada siapa pun yang secara anarkistis dan melanggar hukum, apa pun alasannya.”

Djoko memimpin langsung rapat mendadak untuk membahas masalah ini bersama Kepala Polri Jenderal Timur Pradopo, Jaksa Agung Basrief Arief, Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi, serta Menteri Agama Suryadharma Ali. Dalam kesempatan itu pula aparat Polri diperintahkan segera mencari dan mengungkap secara tuntas pelaku kekerasan.

Desakan kepada polisi agar bertindak cepat disampaikan Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Ifdal Kasim. Ia mengatakan kekerasan terhadap kelompok Ahmadiyah sudah terjadi puluhan kali di lokasi yang berbeda. Tahun lalu, kekerasan mencapai 10 kasus. Di antaranya terjadi di Sukabumi, Bogor, di daerah Manis Lor di Kabupaten Kuningan, serta di Nusa Tenggara Barat.

Menurut Komnas HAM, kekerasan berulang yang menimpa Ahmadiyah itu terjadi akibat polisi yang tidak melakukan tindakan tegas. “Sepertinya para pelaku kekerasan diberi angin, sehingga mereka tidak jera,” kata Ifdal. Karena itu, ia meminta agar perilaku polisi yang janggal itu juga diselidiki.

Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Pramono Anung pun mengutuk kekerasan itu. “Tindakan main hakim sendiri atas nama apa pun tidak boleh diberi toleransi dalam negara hukum yang menjunjung tinggi kebinekaan,” katanya.

Hal yang sama disampaikan oleh Wakil Ketua DPR Anis Matta. “Siapa pun pelakunya harus diproses polisi. Walau ada latar belakang agama, tapi ini kriminal. Ada penghilangan nyawa, harus ditindak.”

Ketua Umum Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Ansor Nusron Wahid menyebut serangan itu sebagai pengingkaran atas hak-hak sipil warga negara Indonesia. “Negara harus tegas, tidak boleh lemah, apalagi dikalahkan oleh gerombolan atau milisi sipil yang jelas mengusik ketenteraman masyarakat luas.”

Markas Besar Polri mengatakan telah menurunkan 300 personelnya ke lokasi penyerangan. Mereka menampik tudingan bahwa intelijen mereka lalai dan aparatnya tak tegas di lapangan karena terbentur surat keputusan bersama tiga menteri tentang Ahmadiyah.

“Potensi gesekan agama sangat besar,” kata Kepala Bagian Penerangan Umum Polri Komisaris Besar Boy Rafli Amar. Tapi ia memastikan bahwa polisi tetap bisa bergerak karena insiden ini adalah tindak pidana. “Tindak pidana tidak termasuk dalam surat keputusan itu.”

MAHARDIKA SATRIA | MUNAWWAROH | TRI SUHARMAN

Bentrokan di Desa Cikeusik
Enam Jemaah Ahmadiyah Tewas
Penulis: | Editor: Glori K. Wadrianto
Minggu, 6 Februari 2011 | 13:29 WIB
SHUTTERSTOCK Ilustrasi

PANDEGLANG, KOMPAS.com — Sebanyak enam orang anggota Jemaah Ahmadiyah meninggal akibat bentrokan antara jemaah keagamaan itu dengan warga di Desa Umbulan, Kecamatan Cikeusik, Kabupaten Pandeglang, Minggu (6/2/2011).

“Yang saya lihat ada enam orang yang meninggal, dan seluruhnya dari Jemaah Ahmadiyah,” kata Lukman, tokoh masyarakat Cikeusik ketika dikonfirmasi, Minggu.

Lukman menjelaskan, seluruh korban meninggal itu tidak diketahui identitasnya karena tak memiliki kartu identitas, namun seluruhnya berasal dari luar daerah dan merupakan Jemaah Ahmadiyah.

Sementara satu orang warga Desa Umbulan, Sarta, mengalami luka bacok pada lengah kanannya. “Lengan kanan Sarta hampir putus dibacok oleh anggota Jemaah Ahmadiyah,” kata Lukman.

Lukman juga menjelaskan, sebenarnya warga tidak bermaksud melakukan kekerasan. Masyarakat hanya ingin agar Jemaah Ahmadiyah di Cikeusik pimpinan Parman membubarkan diri. “Warga ingin Ahmadiyah itu membubarkan diri karena sudah dinyatakan sesat oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI), tapi permintaan itu abaikan oleh mereka,” katanya.

Menurut Lukman, pada Sabtu malam, puluhan anggota Jemaah Ahmadiyah dari Kota Bogor tiba di Cikeusik dengan menumpang dua kendaraan roda empat, dan menginap di rumah Parman.

Pada Minggu pagi, sekitar seribuan warga dari berbagai daerah, di antaranya berasal dari Kecamatan Cibaliung, Cikeusik, Kabupaten Pandeglang, dan Kecamatan Malingping, Kabupaten Lebak, mendatangi rumah Parman.

Saat massa tiba, puluhan Jemaah Ahmadiyah yang berada di rumah Parman sudah siap dan mereka membawa berbagai jenis senjata tajam, seperti samurai, parang, dan tombak. Sesaat kemudian, kata Lukman, salah seorang anggota Jemaah Amhadiyah membacok lengan kanan Sarta hingga nyaris putus. “Pembacokan inilah yang memicu bentrokan. Warga marah karena melihat lengan kanan Sarta nyaris putus,” kata Lukman.

Menko Kesra Minta Kepolisian Usut

Soal Ahmadiyah

Minggu, 06 Februari 2011 21:09 WIB

Jakarta (ANTARA News) – Menteri Koordinator bidang Kesejahteraan Rakyat Agung Laksono meminta pihak kepolisian untuk segera mengusut tuntas konflik antara jemaat Ahmadiyah dan umat Islam di Pandeglang, Banten hingga menimbulkan korban jiwa.

“Saya meminta pihak kepolisian untuk segera mengusut tuntas dan melakukan investigasi terhadap kasus tersebut,” katanya kepada ANTARA di Jakarta, Minggu.

Menteri menambahkan, siapapun yang terbukti bersalah melakukan tindakan kekerasan hingga mengakibatkan jatuhnya korban jiwa harus mendapatkan hukuman sesuai peraturan yang ada.

“Pemerintah tidak pernah menghendaki adanya tindakan kekerasan dalam bentuk apapun,” kata Agung.

Dia mengatakan, penyampaian aspirasi atau pandangan tertentu sangat diperbolehkan di negar ini.

Hanya saja penyampaian aspirasi atau pandangan tertentu harus dilakukan dengan cara yang tertib dan kondusif.

“Jangan sampai dengan cara kekerasan yang mengakibatkan kerusakan apalagi sampai jatuhnya korban jiwa,” katanya.

Dia juga mengatakan bahwa dirinya menolak penggunaan kekerasan dalam menyikapi persoalan Ahmadiyah.

“Saya prihatin dan saya menolak penggunaan kekerasan dalam penyelesaian persoalan Ahmadiyah karena hal itu bertentangan dengan semangat pancasila,” katanya.

Agung juga menyatakan pihaknya akan segera melakukan koordinasi dengan Kementerian Agama untuk mencari solusi terbaik terkait Ahmadiyah.

Sementara itu Humas Pengurus Besar Jemaat Ahmadiyah Indonesia, Mubarik Ahmad mengungkapkan, saat ini tercatat ada tiga jemaah Ahmadiyah yang tewas dalam penyerangan di Kecamatan Cikeusik, Pandeglang, Banten.

“Ini data yang saya terima sampai sore ini, sebelumnya ada yang menyatakan enam, lalu turun jadi empat dan kemudian tiga,” kata Mubarik.

Tiga orang yang tewas itu adalah, Mulyadi, Tarno dan Roni. Keduanya diakui memang anggota jemaah Ahmadiyah.

“Tarno dan Mulyadi adalah kakak beradik dari Parman yang merupakan Mubaligh Ahmadiyah di Cikeusik,” katanya.(*)

(T.W004/Z002)
Editor: Ruslan

__._,_.___

Leave a comment