Radar Sampit, Minggu, 10 Maret 2024 | Penyunting: Andriani SJ Kusni
Meremehkan kerja badan sesungguhnya adalah pandangan anakronis jika dilihat dari pandangan sejarah sebab kerja badanlah yang membuat manusia jadi manusia.
Berhasilnya para penjual sayur keliling menyekolahkan anak-anaknya hingga selesai universitas, mampu membangun rumah gedung bertingkat, tidak lepas dari kerja badan mereka yang keras. Kerja badan akan mengantar anak didik menjadi manusia yang membumi, mengenal kehidupan, tidak berlagak sebagai ‘anak raja’ atau ‘tuan’ (ungkapan Orang Katingan: ‘kilau tuan’, ‘seperti tuan saja’); ‘kilau raja’ (berlagak seperti raja yang berarti omong saja, tapi tidak mengerjakan apa-apa, pemalas) sebagaimana diperlihatkan oleh kelas menengah Indonesia yang terlepas dari kegiatan produksi.
Untuk masyarakat Dayak, menggarisbawahi arti penting kerja badan ini akan menjadi mendesak karena dalam masyarakat Dayak hari ini terdapat pandangan umum bahwa seseorang itu baru menjadi orang pada saat ia telah berhasil menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Konsep yang sesungguhnya menegasi konsep Dayak sebagai Utus Panarung’.
Belajar dari pengalaman penyelenggaraan Sakula Budaya selama ini, ditambah dengan adanya krisis petani muda di Indonesia, termasuk di Kalimantan Tengah (Kalteng), maka memasukkan mata pelajaran bercocok tanam dipandang sebagai sesuatu yang niscaya.
Apakah memasukkan mata pelajaran bertani atau bercocok tanam ke dalam kurikulum Sakula Budaya tidak terlalu menyimpang jauh?
Pertanyaan ini mungkin bisa dijelaskan oleh pandangan antropolog Koentjaraningrat tentang kebudayaan. Kebudayaan menurut Koentjaraningrat ialah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik manusia dengan belajar (1990: 180). Menurut Koentjaraningrat, menyebutkan unsur-unsur universal dari kebudayaan adalah: 1) sistem religi dan upacara keagamaan, 2) sistem dan organisasi kemasyarakatan, 3) sistem pengetahuan, 4) bahasa, 5) kesenian, 6) sistem mata pencaharian hidup, dan 7) sistem teknologi dan peralatan.
Jika sepakat dengan pendapat Koentjaraningrat ini maka memasukkan masalah bertani, bercocok tanam dalam kurikulum Sakula Budaya, bukanlah sesuatu yang mengada-ada dan irelevan. Malah sebaliknya, sudah pada tempatnya, baik secara teori maupun urgensi praktis.
Agar hasil karya manusia dalam rangka kehidupan bermasyarakat bisa dijadikan milik manusia dengan belajar maka karya itu perlu proses pembudayaan melalui enam cara yaitu: internalisasi, sosialisasi, enkulturasi, akulturasi, asimilasi, dan difusi.
Dalam hal ini Sakula Budaya, sebagai tempat belajar, merupakan salah satu bentuk konkretnya. Dari Sakula Budaya ini sebagai tempat belajar atau sarana pembudayaan, pelestarian, revitalisasi dan pemajuan zamani budaya berlangsung, termasuk didalamnya kedaulatan pangan.
Sakula Budaya, Kedaulatan Pangan, Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Adat sebagai organisasi kekuasaan berbasiskan sejarah dan budaya lokal sesungguhnya saling berkaitan satu dengan yang lain. Untuk mempunyai akses kembali ke alat-alat produksi yang sampai hari ini dipisahkan dari mereka oleh sistem tertentu; melalui desa adat, warganya mengurus diri mereka sendiri untuk bisa zamani, berdasarkan sejarah dan budaya yang mereka miliki. Sejarah dan budaya melalui Sakula Budaya (baca: pendidikan) diinternalisasi, disosialisasi, dienkulturasi, diakulturasi, diasimilasi, dan didifusi. Diharapkan juga melalui Sakula Budaya (untuk berbagai tingkat usia berbeda-beda), perubahan maju pola pikir dan mentalitas bisa dilakukan. Karena Sakula Budaya itu tidak lain adalah proses pencerahan atau proses penyadaran, jika meminjam istilah Pastur Brasilia, Paulo Freire, sedangkan desa adat mengembalikan kekuasaan kepada warga adat untuk mengatur diri mereka sendiri.
Adanya kekuasaan di tangan warga adat membuka akses terutama kepada alat-alat produksi yang oleh sistem direnggut dari tangan mereka sehingga bisa dikatakan bahwa desa adat adalah metode pemberdayaan menyeluruh bukan parsial, dari bawah agar menjadi desa zamani yang mandiri (baca: oleh, dari dan untuk warga adat) itu.
Desa adat bukan berarti kembali ke masa lampau. Hal kunci dalam pemberdayaan menyeluruh ini terletak pada perubahan maju pola pikir dan mentalitas warga adat—hal yang antara lain dilakukan melalui Sakula Budaya. Artinya, pemberdayaan itu diawali dari manusianya. Manusianya dibebaskan dari himpitan beban-beban pola pikir dan mentalitas yang menghambat berlangsungnya perubahan maju yang dalam budaya Dayak disebut Utus Panarung (Turunan Pejuang, bukan Pengemis!).
Karena itu, slogan yang digunakan oleh Sakula Budaya selama ini adalah Dayak Hingkat, Dayak Batarung, Dayak Manang, Sakula Budaya: Manggatang Utus! (Dayak Bangkit, Dayak Berjuang, Dayak Menang, Sekolah Budaya –untuk- Dayak Bermartabat). Slogan ini hanya bisa diwujudkan oleh manusia dengan trilogi karakter: mamut-ménténg, pintar-harati, maméh-ureh (gagah-berani, pintar-beradat, kritis-tekun). Trilogi berarti ketiga-tiganya tidak boleh dipisah-pisahkan, tapi merupakan satu kesatuan tunggal. Utuh.
Pekerjaan Sakula Budaya ini, di daerah perdesaan kemudian dilanjutkan oleh organisasi kebudayaan–didalamnya termasuk sanggar seni berakta notaris. Saya membayangkan akan munculnya keadaan baru di Kalteng jika paling tidak ada satu organisasi kebudayaan dengan program yang jelas di bawah asuhan manusia-manusia berkesadaran manusiawi di tiap kecamatan. Hal begini tentu tidak terlalu muluk karena Kepala Dinas (Kadis) Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi, Adiah Chandra Sari, S.H., M.H., seperti halnya dengan Hansli Gonak, Kadis Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Gunung Mas, sangat berkomitmen untuk terwujudnya gagasan Sakula Budaya ini. Yang mereka perlukan adalah tersedianya waktu bekerja untuk merampungkan program kerja mereka.
Dengan menyebut posisi Kepala Dinas, saya mau memperlihatkan pentingnya uluran tangan dan keterlibatan langsung kekuasaan politik sebagai organisator dan pemikir pemajuan masyarakat, dalam hal ini kebudayaan sebagai pendekatan top-down. Saya kira, laju maju suatu kegiatan akan meningkat dengan kecepatan tinggi pada saat berlangsungnya pemaduan pendekatan top-down dan bottom-up. Kecepatan tinggi ini akan makin meningkat lagi pada saat model pentahelix diterapkan.
Yang dimaksud pentahelix, menurut Arif Yahya adalah kolaborasi 5 (lima) unsur subyek atau pemangku kepentingan pariwisata, yaitu: academician (akademisi), business (bisnis), community (komunitas), government (pemerintah) dan media (publikasi media) seperti yang digambarkan oleh diagram berikut:
Efektiftas model pentahelix telah diperlihatkan oleh penyelenggaraan Sakula Budaya selama ini. Lima unsur itu di tingkat kabupaten, provinsi dan desa bekerja sama erat, dengan hasil walaupun tidak sempurna tapi tidak mengecewakan, apalagi usaha ini baru pertama kali dilakukan di Kalteng.
Agar Sakula Budaya ini keberlangsungannya ke depan relatif bisa terjaga dan dikembangkan, kiranya diperlukan minimal sebuah Peraturan Gubernur (Pergub) khusus mengenai Sakula Budaya sehingga kegiatan ini berlangsung dan berkembang dengan payung hukum yang jelas.
Terus-terang, saya sangat mengharapkan terbitnya Pergub ini dari Gubernur Sugianto Sabran, sebelum masa jabatan kedua beliau berakhir. Terbitnya Pergub demikian merupakan peninggalan selalu diingat sebagai Pergub pertama tentang Sakula Budaya oleh warga Kalteng, terutama warga adat Dayak di daerah perdesaan yang luas, apalagi sekarang, Pak Gubernur mempunyai “Menteri” Kebudayaan yang tanggap, berkomitmen dan terbuka.
Terbitnya Pergub Sakula Budaya merupakan salah satu pengejawantahan konkret Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 Tentang Pemajuan Kebudayaan. Pemajuan, bukan hanya pelestarian budaya kampung-halaman kita. Terima kasih.***
MENGENALKAN PETANI KEPADA ANAK SEJAK DINI
Oleh: Narwan Sastra Kelana | Penyunting: Andriani SJ Kusni
Miris rasanya bila generasi Indonesia mendatang tidak mengenal petani atau bahkan sebagai negara agraris tetapi tidak memiliki petani sehingga menjadi hal yang penting dan perlu dilakukan adalah mengenalkan profesi petani kepada anak-anak sejak dini.
Pertanian merupakan salah satu tulang punggung perekonomian bangsa kita. Saat ini, profesi bidang pertanian mampu memberi jaminan kehidupan tidak sedikit. Terlebih ke depan dengan bonus demografi besar, mau tidak mau ketahanan pangan dan agrikultur menjadi isu sentral yang sulit ditepis.
Dikutip dari laman resmi forum Sahabat Keluarga Kemendikbud, ada berbagai cara mengenalkan profesi petani kepada anak-anak, seperti:
- Melalui permainan Dunia anak adalah dunia bermain, kita dapat mengenalkan profesi petani ini dengan bermain, misal mengajak anak bermain peran menjadi petani. Dengan memanfaatkan mainan, ajaklah anak bermain mengolah tanah, menanam padi atau jagung. Bila ada hama disemprot dengan mainan semprotan airnya untuk memberantas hama. Setelah itu sediakan jagung bakarnya dan nikmati hasil panennya.
- Lewat bernyanyi Selain suka bermain, anak-anak juga suka bernyanyi. Masih ingat lagu yang diajarkan saat masih kecil, “Menanam Jagung”? Nah, sambil bernyanyi kita dapat mengenalkan profesi petani pada anak-anak. Harapannya, negara agraris kita tidak miskin petani andal. Benar-benar menjadi negara maju dalam bidang pertanian, pangan, perkebunan, dan perikanan. Bukan negara agraris pengimpor pangan.
- Dengan berbelanja Anak-anak juga sangat senang bila diajak berbelanja ke pasar atau swalayan. Ajaklah mereka belanja bahan pangan seperti membeli beras, cabai, sayuran. Ketika membeli beras atau bahan pangan lain, tanyakan pada ananda: ”Adik, siapa yang menghasilkan beras?” atau “Bagaimana kalau tidak ada beras?” Nah, dari respons yang diberikan anak, orang tua dapat mengenalkan profil petani. Anak akan memiliki konsep betapa pentingnya petani dan tidak menganggapnya sebagai profesi buruk.
- Belajar berkebun Pengalaman langsung sangat berkesan dan memberikan memori lebih lama pada anak. Ajaklah anak bertani, bercocok tanam atau berkebun, atau sekadar berlatih menanam dan memelihara tanaman di depan rumah. Cobalah kenalkan profesi petani dalam arti luas yang tidak harus melulu belepotan tanah, menyemprot hama pun menggunakan pesawat, memanen padi pun menggunakan peralatan canggih. Ceritakan hal keren tentang petani sehingga anak-anak mempunyai gambaran baik tentang profesi petani.
- Wisata agraris Sekarang ini banyak sekali lokasi wisata yang memfasilitasi anak belajar mengenal profesi petani. Kita dapat mengajak anak berwisata ke agrowisata, misalnya: wisata memetik buah, memerah susu, menanam hidroponik, menanam padi, atau wisata lainnya. Dengan mengunjungi tempat tersebut, rasa ingin tahu anak yang tinggi akan menuntun mereka menanyakan hal-hal yang mereka amati selama berwisata. Anak akan merasa senang berwisata sambil belajar.
Dengan mengenalkan profesi petani kepada anak-anak sejak dini, niscaya profesi petani tetap diminati oleh anak-anak di negara agraris ini sehingga Indonesia tetap menjadi negara agraris yang memiliki petani. Petani modern yang mengolah bumi pertiwi.***
Sumber: https://siedoo.com/berita-15881-mengenalkan-petani-kepada-anak-sejak-dini/