Halaman Masyarakat Adat | 10 Maret 2024 | Jurnal Perdesaan Kusni Sulang: KALTENG PERLU PERGUB SAKULA BUDAYA, PAK GUBERNUR

Radar Sampit, Minggu, 10 Maret 2024 | Penyunting: Andriani SJ Kusni

Peserta Sakula Budaya Handep-Hapakat Desa Sumur Mas, Kecamatan Téwah, Kabupaten Gunung Mas, Kalteng, belajar bercocok tanam. Foto: Yater Sahabu/2024

Meremehkan kerja badan sesungguhnya adalah pandangan anakronis jika dilihat dari pandangan sejarah sebab kerja badanlah yang membuat manusia jadi manusia.

Berhasilnya para penjual sayur keliling menyekolahkan anak-anaknya hingga selesai universitas, mampu membangun rumah gedung bertingkat, tidak lepas dari kerja badan mereka yang keras. Kerja badan akan mengantar anak didik menjadi manusia yang membumi, mengenal kehidupan, tidak berlagak sebagai ‘anak raja’ atau ‘tuan’ (ungkapan Orang Katingan: ‘kilau tuan’, ‘seperti tuan saja’); ‘kilau raja’ (berlagak seperti raja yang berarti omong saja, tapi tidak mengerjakan apa-apa, pemalas) sebagaimana diperlihatkan oleh kelas menengah Indonesia yang terlepas dari kegiatan produksi.

Untuk masyarakat Dayak, menggarisbawahi arti penting kerja badan ini akan menjadi mendesak karena dalam masyarakat Dayak hari ini terdapat pandangan umum bahwa seseorang itu baru menjadi orang pada saat ia telah berhasil menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Konsep yang sesungguhnya menegasi konsep Dayak sebagai Utus Panarung’.

Belajar dari pengalaman penyelenggaraan Sakula Budaya selama ini, ditambah dengan adanya krisis petani muda di Indonesia, termasuk di Kalimantan Tengah (Kalteng), maka memasukkan mata pelajaran bercocok tanam dipandang sebagai sesuatu yang niscaya.

Apakah memasukkan mata pelajaran bertani atau bercocok tanam ke dalam kurikulum Sakula Budaya tidak terlalu menyimpang jauh?

Pertanyaan ini mungkin bisa dijelaskan oleh pandangan antropolog Koentjaraningrat tentang kebudayaan.  Kebudayaan menurut Koentjaraningrat ialah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik manusia dengan belajar (1990: 180). Menurut  Koentjaraningrat, menyebutkan unsur-unsur universal dari kebudayaan adalah: 1) sistem religi dan upacara keagamaan, 2) sistem dan organisasi kemasyarakatan, 3) sistem pengetahuan, 4) bahasa, 5) kesenian, 6) sistem mata pencaharian hidup, dan 7) sistem teknologi dan peralatan.

Jika sepakat dengan pendapat Koentjaraningrat ini maka memasukkan masalah bertani, bercocok tanam dalam kurikulum Sakula Budaya, bukanlah sesuatu yang mengada-ada dan irelevan. Malah sebaliknya, sudah pada tempatnya, baik secara teori maupun urgensi praktis.

Agar hasil karya manusia dalam rangka kehidupan bermasyarakat bisa dijadikan milik manusia dengan belajar maka karya itu perlu proses pembudayaan melalui enam cara yaitu: internalisasi, sosialisasi, enkulturasi, akulturasi, asimilasi, dan difusi.

Dalam hal ini Sakula Budaya, sebagai tempat belajar, merupakan salah satu bentuk konkretnya. Dari Sakula Budaya ini sebagai tempat belajar atau sarana pembudayaan, pelestarian, revitalisasi dan pemajuan zamani budaya berlangsung, termasuk didalamnya kedaulatan pangan.

Sakula Budaya, Kedaulatan Pangan, Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Adat sebagai organisasi kekuasaan berbasiskan sejarah dan budaya lokal sesungguhnya saling berkaitan satu dengan yang lain. Untuk mempunyai akses kembali ke alat-alat produksi yang sampai hari ini dipisahkan dari mereka oleh sistem tertentu; melalui desa adat, warganya mengurus diri mereka sendiri untuk bisa zamani, berdasarkan sejarah dan budaya yang mereka miliki. Sejarah dan budaya melalui Sakula Budaya (baca: pendidikan) diinternalisasi, disosialisasi, dienkulturasi, diakulturasi, diasimilasi, dan didifusi. Diharapkan juga melalui Sakula Budaya (untuk berbagai tingkat usia berbeda-beda), perubahan maju pola pikir dan mentalitas bisa dilakukan. Karena Sakula Budaya itu tidak lain adalah proses pencerahan atau proses penyadaran, jika meminjam istilah Pastur Brasilia, Paulo Freire, sedangkan desa adat mengembalikan kekuasaan kepada warga adat untuk mengatur diri mereka sendiri.

Adanya kekuasaan di tangan warga adat membuka akses terutama kepada alat-alat produksi yang oleh sistem direnggut dari tangan mereka sehingga bisa dikatakan bahwa desa adat adalah metode pemberdayaan menyeluruh bukan parsial, dari bawah agar menjadi desa zamani yang mandiri (baca: oleh, dari dan untuk warga adat) itu.

Desa adat bukan berarti kembali ke masa lampau. Hal kunci dalam pemberdayaan menyeluruh ini terletak pada perubahan maju pola pikir dan mentalitas warga adat—hal yang antara lain dilakukan melalui Sakula Budaya. Artinya, pemberdayaan itu diawali dari manusianya. Manusianya dibebaskan dari himpitan beban-beban pola pikir dan mentalitas yang menghambat berlangsungnya perubahan maju yang dalam budaya Dayak disebut Utus Panarung (Turunan Pejuang, bukan Pengemis!).

Karena itu, slogan yang digunakan oleh Sakula Budaya selama ini adalah Dayak Hingkat, Dayak Batarung, Dayak Manang, Sakula Budaya: Manggatang Utus! (Dayak Bangkit, Dayak Berjuang, Dayak Menang, Sekolah Budaya –untuk- Dayak Bermartabat). Slogan ini hanya bisa diwujudkan oleh manusia dengan trilogi karakter: mamut-ménténg, pintar-harati, maméh-ureh (gagah-berani, pintar-beradat, kritis-tekun). Trilogi berarti ketiga-tiganya tidak boleh dipisah-pisahkan, tapi merupakan satu kesatuan tunggal. Utuh.

Pekerjaan Sakula Budaya ini, di daerah perdesaan kemudian dilanjutkan oleh organisasi kebudayaan–didalamnya termasuk sanggar seni berakta notaris. Saya membayangkan akan munculnya keadaan baru di Kalteng jika paling tidak ada satu organisasi kebudayaan dengan program yang jelas di bawah asuhan manusia-manusia berkesadaran manusiawi di tiap kecamatan. Hal begini tentu tidak terlalu muluk karena Kepala Dinas (Kadis) Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi, Adiah Chandra Sari, S.H., M.H., seperti halnya dengan Hansli Gonak, Kadis Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Gunung Mas, sangat berkomitmen untuk terwujudnya gagasan Sakula Budaya ini. Yang mereka perlukan adalah tersedianya waktu bekerja untuk merampungkan program kerja mereka.

Dengan menyebut posisi Kepala Dinas, saya mau memperlihatkan pentingnya uluran tangan dan keterlibatan langsung kekuasaan politik sebagai organisator dan pemikir pemajuan masyarakat, dalam hal ini kebudayaan sebagai pendekatan top-down. Saya kira, laju maju suatu kegiatan akan meningkat dengan kecepatan tinggi pada saat berlangsungnya pemaduan pendekatan top-down dan bottom-up. Kecepatan tinggi ini akan makin meningkat lagi pada saat model pentahelix diterapkan.

Yang dimaksud pentahelix, menurut Arif Yahya adalah kolaborasi 5 (lima) unsur subyek atau pemangku kepentingan pariwisata, yaitu: academician (akademisi), business (bisnis), community (komunitas), government (pemerintah) dan media (publikasi media) seperti yang digambarkan oleh diagram berikut:

Model Pentahelix. Diolah oleh: Andriani SJ Kusni

Efektiftas model pentahelix telah diperlihatkan oleh penyelenggaraan Sakula Budaya selama ini. Lima unsur itu di tingkat kabupaten, provinsi dan desa bekerja sama erat, dengan hasil walaupun tidak sempurna tapi tidak mengecewakan, apalagi usaha ini baru pertama kali dilakukan di Kalteng.

Agar Sakula Budaya ini keberlangsungannya ke depan relatif bisa terjaga dan dikembangkan, kiranya diperlukan minimal sebuah Peraturan Gubernur (Pergub) khusus mengenai Sakula Budaya sehingga kegiatan ini berlangsung dan berkembang dengan payung hukum yang jelas.

Terus-terang, saya sangat mengharapkan terbitnya Pergub ini dari Gubernur Sugianto Sabran, sebelum masa jabatan kedua beliau berakhir. Terbitnya Pergub demikian merupakan peninggalan selalu diingat sebagai Pergub pertama tentang Sakula Budaya oleh warga Kalteng, terutama warga adat Dayak di daerah perdesaan yang luas, apalagi sekarang, Pak Gubernur mempunyai “Menteri” Kebudayaan yang tanggap, berkomitmen dan terbuka.

Terbitnya Pergub Sakula Budaya merupakan salah satu pengejawantahan konkret Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 Tentang Pemajuan Kebudayaan. Pemajuan, bukan hanya pelestarian budaya kampung-halaman kita. Terima kasih.***


MENGENALKAN PETANI KEPADA ANAK SEJAK DINI

Oleh: Narwan Sastra Kelana | Penyunting: Andriani SJ Kusni

Sumber: Siedoo.com

Miris rasanya bila generasi Indonesia mendatang tidak mengenal petani atau bahkan sebagai negara agraris tetapi tidak memiliki petani sehingga menjadi hal yang penting dan perlu dilakukan adalah mengenalkan profesi petani kepada anak-anak sejak dini.

Pertanian merupakan salah satu tulang punggung perekonomian bangsa kita. Saat ini, profesi bidang pertanian mampu memberi jaminan kehidupan tidak sedikit. Terlebih ke depan dengan bonus demografi besar, mau tidak mau ketahanan pangan dan agrikultur menjadi isu sentral yang sulit ditepis.

Dikutip dari laman resmi forum Sahabat Keluarga Kemendikbud, ada berbagai cara mengenalkan profesi petani kepada anak-anak, seperti:

  1. Melalui permainan Dunia anak adalah dunia bermain, kita dapat mengenalkan profesi petani ini dengan bermain, misal mengajak anak bermain peran menjadi petani. Dengan memanfaatkan mainan, ajaklah anak bermain mengolah tanah, menanam padi atau jagung. Bila ada hama disemprot dengan mainan semprotan airnya untuk memberantas hama. Setelah itu sediakan jagung bakarnya dan nikmati hasil panennya.
  2. Lewat bernyanyi Selain suka bermain, anak-anak juga suka bernyanyi. Masih ingat lagu yang diajarkan saat masih kecil, “Menanam Jagung”? Nah, sambil bernyanyi kita dapat mengenalkan profesi petani pada anak-anak. Harapannya, negara agraris kita tidak miskin petani andal. Benar-benar menjadi negara maju dalam bidang pertanian, pangan, perkebunan, dan perikanan. Bukan negara agraris pengimpor pangan.
  3. Dengan berbelanja Anak-anak juga sangat senang bila diajak berbelanja ke pasar atau swalayan. Ajaklah mereka belanja bahan pangan seperti membeli beras, cabai, sayuran. Ketika membeli beras atau bahan pangan lain, tanyakan pada ananda: ”Adik, siapa yang menghasilkan beras?” atau “Bagaimana kalau tidak ada beras?” Nah, dari respons yang diberikan anak, orang tua dapat mengenalkan profil petani. Anak akan memiliki konsep betapa pentingnya petani dan tidak menganggapnya sebagai profesi buruk.
  4. Belajar berkebun Pengalaman langsung sangat berkesan dan memberikan memori lebih lama pada anak. Ajaklah anak bertani, bercocok tanam atau berkebun, atau sekadar berlatih menanam dan memelihara tanaman di depan rumah. Cobalah kenalkan profesi petani dalam arti luas yang tidak harus melulu belepotan tanah, menyemprot hama pun menggunakan pesawat, memanen padi pun menggunakan peralatan canggih. Ceritakan hal keren tentang petani sehingga anak-anak mempunyai gambaran baik tentang profesi petani.
  5. Wisata agraris Sekarang ini banyak sekali lokasi wisata yang memfasilitasi anak belajar mengenal profesi petani. Kita dapat mengajak anak berwisata ke agrowisata, misalnya: wisata memetik buah, memerah susu, menanam hidroponik, menanam padi, atau wisata lainnya. Dengan mengunjungi tempat tersebut, rasa ingin tahu anak yang tinggi akan menuntun mereka menanyakan hal-hal yang mereka amati selama berwisata. Anak akan merasa senang berwisata sambil belajar.

Dengan mengenalkan profesi petani kepada anak-anak sejak dini, niscaya profesi petani tetap diminati oleh anak-anak di negara agraris ini sehingga Indonesia tetap menjadi negara agraris yang memiliki petani. Petani modern yang mengolah bumi pertiwi.***

Sumber: https://siedoo.com/berita-15881-mengenalkan-petani-kepada-anak-sejak-dini/


Halaman Masyarakat Adat asuhan Kusni Sulang dan Andriani SJ Kusni. Radar Sampit, Minggu, 10 Maret 2024. Redaktur: Heru Prayitno, Penata Letak: Rafi

Halaman Budaya Sahewan Panarung | 3 Maret 2024| Micky Hidayat: SEPINTAS SASTRAWAN DAN KOMUNITAS SASTRA DI KALIMANTAN

Radar Sampit, Minggu, 3 Maret 2024 | Penulis: Micky Hidayat | Penyunting: Andriani SJ Kusni

Sastrawan Kalteng Fridolin Ukur. Sumber: http://hadi-saputra-miter.blogspot.com/2012/07/tokoh-maanyan-1-fridolin-ukur.html

Dari kanan ke kiri: Korrie Layun Rampan (pertama, baju biru), Kusni Sulang (keempat, baju hitam), Alex Mering (kelima, baju hitam), bertemu di lokasi pameran dalam rangka kegiatan Rakernas MADN, 30/8/2013, Hotel Swiss-Belhotel Danum, Palangka Raya. Foto: Andriani SJ Kusni

Haram manyarah, waja sampai kaputing.

Pulau Kalimantan sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang mempunyai luas 553.000 kilometer persegi atau 28,3 % dari luas seluruh Negara kita dan 5,5 kali Pulau Jawa (758.000 km2 luasnya termasuk wilayah Malaysia, yang sekarang disebut Malaysia Timur, Serawak, Brunei dan Sabah), di masa penjajahan Belanda dulu dikenal dengan sebutan Pulau Dayak dan pulau hutan yang penuh dengan berbagai cerita misteri dan menakutkan.

Dulu, orang-orang di luar Kalimantan beranggapan bahwa penduduk yang menghuni pulau ini adalah orang liar, orang biadab, orang Dayak yang makan orang, hitam seperti arang, manusia berekor dan anggapan mengerikan lainnya. Stigma negatif demikian tidaklah mengherankan karena memang politik penjajahan Belanda di masa lampau terkenal dengan politik ‘pecah-belah’nya (devide et impera) itu dan memublikasikan ke seantero dunia bahwa orang atau Suku Dayak di Kalimantan itu jahat, ganas, makan orang, hitam, suka potong kepala dan lain sebagainya.

Pada kenyataannya, Orang Dayak dan Orang Banjar tidaklah berbeda dari suku bangsa lain di tanah air yang ingin duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi, merasa senasib dan sepenanggungan serta memiliki rasa solidaritas yang tinggi terhadap sesama warga bangsanya. Orang Kalimantan pun terbuka dan dapat hidup secara rukun dan damai dengan Suku Jawa, Bugis, Madura, Sunda, Batak, Ambon, keturunan Arab, Melayu, Tionghoa, dan berbagai suku atau bangsa lainnya yang kini bertebaran menghuni pulau Kalimantan.

Kalaupun beberapa tahun lalu di dua wilayah provinsi di Kalimantan pernah terjadi peristiwa kerusuhan akibat konflik antaretnis yang menimbulkan banyak korban nyawa dan harta-benda, pemicu tragedi memilukan itu hanyalah persoalan ‘di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung’ yang (sengaja) diabaikan atau terabaikan oleh sebagian penduduk dari salah satu etnis pendatang.

Pulau dengan keindahan alamnya yang menakjubkan dan memendam harta karun berupa sumber daya alam nan melimpah ini, dulu juga dikenal dengan nama Pulau Borneo atau Tanjung Negara (nama sewaktu kerajaan Hindu) dengan nama asli Pulau Bagawan Bawi Lewu Telu, yang merupakan taburan berlian di lintang khatulistiwa (ekuator).

Kalimantan artinya pulau yang mempunyai sungai yang besar-besar (kali=sungai dan mantan=besar). Tahun 1950, Kalimantan menjadi salah satu provinsi–bersama provinsi lainnya seperti Sunda Kecil, Sulawesi, Sumatera, Maluku, Jawa Barat, dan Jawa Timur–dengan ibu kotanya Banjarmasin, dikepalai seorang Gubernur, Dr. Murdjani.

Dalam perkembangan selanjutnya (1957), Kalimantan terbagi menjadi 4 provinsi yaitu: Kalimantan Selatan dengan ibu kotanya Banjarmasin, Kalimantan Tengah ibu kotanya Palangka Raya, Kalimantan Timur ibu kotanya Samarinda, dan Kalimantan Barat ibu kotanya Pontianak, sedangkan Kalimantan Utara, seperti Kuching (Serawak), Brunei dan Sabah masuk dalam wilayah Malaysia Timur. Perkembangan terakhir ini tercetus wacana untuk memekarkan 4 provinsi lagi yaitu: Provinsi Kapuas Hulu, Provinsi Barito Raya, Provinsi Kalimantan Tenggara, dan Provinsi Borneo Raya.

Dalam hal seni dan budaya, Kalimantan sebagai salah satu kantong budaya di Indonesia sejak dulu memiliki seniman-seniman kreatif yang menciptakan karya seni budaya berbagai ragam yang berkualitas–sebagai produk budaya yang di dalamnya terkandung harkat atau kemaslahatan hidup bermasyarakat, adat-istiadat, ritual-ritual, berbagai pemikiran, perasaan, pandangan hidup maupun nilai-nilai budaya yang diwariskan oleh nenek moyangnya.

Beragam karya seni yang hingga kini terus dipelihara atau dilestarikan antara lain berpuluh jenis seni tari, seni suara, seni lukis, seni ukir, dan seni sastra (syair, pantun, sastra lisan lamut, bakisah, dan madihin). Menyangkut tradisi penulisan sastra Indonesia modern di 4 Provinsi Kalimantan, kemunculannya tidaklah bersamaan. Kegiatan penulisan sastra Indonesia di Kalsel dimulai pada 1930-an, Kaltim 1940-an, Kalbar 1950-an, dan Kalteng 1960-an.

Kalimantan Tengah

Pertumbuhan dan perkembangan sastra di Kalimantan Tengah, tidaklah sesubur di Kalsel, Kaltim maupun Kalbar.

Sastrawan, pengamat dan peneliti sejarah kesusastraan di Kalimantan seperti Korrie Layun Rampan pun merasa agak kesulitan menelusuri jejak-jejak sastra di bumi Tambun Bungai ini. Tidak seperti daerah tetangga dekatnya Kalsel, dari dekade ke dekade sastrawan-sastrawan Kalteng yang layak diperhitungkan di percaturan sastra nasional hanya bisa dihitung dengan bilangan jari. Setelah generasi sastrawan Tjilik Riwut, J.F. Nahan, Marsiman Affandie, Badar Sulaiman Usin, JJ. Kusni, dan Joko S. Passandaran, regenerasi sastrawan di daerah ini dari dekade ke dekade berjalan sangat lamban.

Sastrawan Kalteng yang karyanya mampu berbicara dalam skala nasional, antara lain Badar Sulaiman Usin (Haji Achmad Badar bin Sulaiman Usin Buthaib), kelahiran Kabupaten Pulang Pisau, 9 April 1927. Ia adalah sastrawan perintis kesusastraan Indonesia modern di Kalteng dekade akhir 1940-an, dan merupakan satu-satunya sastrawan paling produktif melahirkan karya sastra terutama puisi hingga menjelang akhir hayatnya. Buku puisinya yang sempat diterbitkan adalah Rambahan (penerbit Keluarga Besar Garasi, Palangka Raya, 2000). Di samping sajak, ia juga menulis cerpen, esai sastra, cerita rakyat, dan reportase seni-budaya daerah Kalteng, dan dipublikasikan di media massa cetak Jakarta dan berbagai daerah di tanah air. Cerpennya berjudul “Pertemuan dengan Musim” meraih Juara Harapan I sayembara mengarang fiksi majalah Sarinah, Jakarta. Sastrawan yang juga pensiunan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Kalimantan Tengah ini dikenal sangat tekun membina para penyair pemula maupun penyair muda kota Palangka Raya dan gigih dalam mengembangkan sastra di wilayahnya. Ia meninggal dunia di Palangka Raya, 23 Mei 2002.

Kemudian, Marsiman Affandie dengan sejumlah sajaknya yang dihimpun dalam antologi Perkenalan dalam Sajak, bersama dengan penyair lain dari seluruh Kalimantan.

JJ. Kusni, sastrawan kelahiran Kabupaten Katingan, yang karena pergolakan politik di Indonesia 1960-an, mengharuskannya menjadi sastrawan eksil di manca negara dan sejak 2003 hingga sekarang tinggal di Paris sebagai dosen serta masih aktif menulis, terutama sajak dan esai sastra di media Indonesia maupun di situs cybersastra.net. Antologi sajaknya yang paling akhir Sansana Anak Naga (penerbit Ombak, Jogjakarta, 2005), dan Joko S. Passandaran (nama aslinya Johanes Joko Santoso Passandaran), penyair kelahiran Jawa Timur yang lama bermukim di Jogjakarta, kemudian menjadi guru SMA di Kuala Kapuas (Kalteng), lalu pindah ke Palangka Raya dan mengajar di Universitas Palangka Raya (Unpar). Awal tahun 2000-an, ia hijrah ke Jogjakarta dan menetap hingga kini. Buku antologi sajaknya yang sudah diterbitkan adalah Kwatrin-kwatrin Lautan (1975), Darmaga II (1975), dan Bulaksumur Malioboro (Dema UGM, Jogjakarta, 1975).

Ketiga sastrawan ini tak bisa dimungkiri merupakan tokoh penggerak roda komunitas sastra di Kalimantan Tengah, namun setelah Badar yang kini hanya dapat dikenang lewat jasa dan karya sastranya. Begitu pun setelah Kusni dan Joko Passandaran yang sudah berpuluh tahun meninggalkan Kalteng, secara otomatis perjalanan, regenerasi sastrawan dan persentuhan proses-kreatif sastra di Kalteng menjadi tersendat-sendat yang berimplikasi pada stagnasi yang cukup panjang, bahkan hingga hari-hari ini belum ada indikasi ditemukannya potensi sastrawan maupun karya-karya yang memiliki prospek menjanjikan sebagai penanda eksistensi dan kebangkitan sastra(wan) di daerah ini.

Persoalan krusial yang menjadi penyebab terhambatnya perkembangan sastra(wan) di Kalteng tentu tak terlepas dari peran media massa, terutama media cetak, yang kurang memberikan ruang untuk sosialisasi karya para sastrawan atau calon sastrawan. Sejatinya, sastrawan dan media massa saling bersinergi untuk menumbuhkan apresiasi sastra. Sastrawan sangat membutuhkan media untuk memublikasikan karyanya, sehingga karya tersebut dapat dibaca atau dinikmati oleh masyarakat pecinta, peminat, pemerhati maupun kritikus sastra.

Tahun 1980-an di Kalteng, khususnya Palangka Raya sebagai ibu kota provinsi, pernah terbit Koran Dinamika Pembangunan, akan tetapi tak ada memberikan ruang untuk karya sastra sehingga sastrawan–mayoritas penyair–Kalteng lebih suka memublikasikan karyanya ke koran Banjarmasin Post di Banjarmasin. Sederet nama penyair di antaranya: Badar Sulaiman Usin, Joko S. Passandaran, J.F. Nahan, M. Anwar MH, Mas Eko, Wansel Eryanatha Rabu, Sutran, Dini Sufian, Bella Sanjaya, Najmi Fuadi, Bungepith, R. Hariyanti, dan Lukmanul Hakim MA, Jana–untuk menyebut hanya beberapa nama.

Dekade 1990-an hingga awal 2000-an, terkecuali Badar Sulaiman Usin, hampir semua nama penyair yang pernah meramaikan perpuisian di Kalteng tersebut kini tak terdengar lagi gaung karyanya. Memang di Kalteng kini mempunyai dua koran, Palangka Pos dan Kalteng Post, namun rubrik sajak yang disajikan kedua media cetak lokal pada terbitan hari Minggunya hanya diisi oleh para remaja/pelajar dan penyair pemula yang sajak-sajaknya masih belum memadai sebagai karya sastra.

Sementara, komunitas sastra yang pernah eksis di Kalteng pada dekade 1980-an, antara lain Ikatan Pecinta Seni Sastra Palangka Raya (IPSSPR) dan Ikatan Sastrawan Indonesia (ISASI)–kedua komunitas sastra ini didirikan oleh Badar Sulaiman Usin. IPSSPR sempat menerbitkan buletin Dermaga dalam puluhan edisi untuk kemudian di tengah perjalanan tak mampu lagi terbit. Kemudian di Sampit, Kabupaten Kotawaringin Timur pada pertengahan 1990-an, didirikan Komunitas Seniman Sastra Betang (KSSB) oleh penyair dan dramawan Amang Billem (ketika masih bermukim di Kota Banjarmasin dan Jakarta, nama kepenyairannya dikenal sebagai Ibrahim Yati) dan penyair Ariel Abu Hasan (almarhum). Komunitas sastra ini sempat mementaskan dramatisasi puisi, pergelaran sastra, musikalisasi puisi, dan pembacaan puisi di beberapa kota Kalimantan, Sulawesi, dan Solo. Komunitas ini masih eksis berkegiatan sastra hingga kini, sedangkan lembaga kesenian semacam Dewan Kesenian Provinsi Kalimantan Tengah yang memiliki bidang seni sastra, selama beberapa tahun ini tak pernah terdengar lagi berita kegiatan sastranya.

Kabar terakhir yang cukup mencerahkan bagi iklim berkesenian ialah adanya rencana pihak pemerintah Provinsi Kalteng, dalam hal ini kemauan atau gagasan Gubernur Agustin Teras Narang, untuk segera merenovasi total infrastruktur kesenian yakni Taman Budaya Provinsi Kalimantan Tengah–yang selama beberapa tahun ini tampak seperti gedung tua tak berpenghuni, dibiarkan tak terawat dan terbengkalai.

Dengan difungsikannya Taman Budaya yang dilengkapi fasilitas (gedung pertunjukan, bengkel-bengkel seni, teater terbuka, dan sarana maupun prasarana penunjang lainnya) yang representatif, maka para seniman/sastrawan merasa menemukan dan memiliki kembali sebuah “rumah” dengan ruang-ruangnya yang besar sebagai tempat beraktivitas dan berekspresi, sehingga keberadaan Taman Budaya ini mampu membangkitkan dan memberikan denyut kehidupan serta kegairahan berkesenian (bersastra) di Kalimantan Tengah. Semogalah!

Sumber: http://sastra-indonesia.com/2011/10/sepintas-sastrawan-dan-komunitas-sastra-di-kalimantan/

Catatan Pengasuh:

*  Micky Hidayat, sastrawan asal Kalimantan Selatan, putera alm. Penyair Hijaz Yamani. Usaha Micky walaupun seperti yang diperlihatkannya melalui tulisan ini untuk mencatat perkembangan sastra Indonesia di Kalimantan patut dihargai dan sangat berguna. Kekurangan pembaruan dan ketidaktepatan adalah hal nomor lima dibandingkan dengan kegunaan tulisannya. Di sini, tulisan panjang yang disusun  Micky pada tahun 2011  ini, hanya diambil yang berbicara tentang Kalimantan Tengah saja. Bravo dan terima kasih, Micky.


Senandung Tanah-Tanah Dayak 
Oleh: Diah Hadaning


Percayalah kepada musim di tanah ini
percayalah kepada adat turun-temurun
percayalah kepada darah ibu dari hulu
kesetiaan dan kejujuran selalu satu.

Sementara orang-orang berdatangan
menyebar kepongahan merenggut lahan-lahan
dan seorang ketua adat dari daerah pedalaman Ketapang
bersaksi pada satu hari
sertifikat kami adalah pohon durian
dan tengkawang yang
sudah berumur ratusan tahun.

Alam bersaksi kehidupan bersaksi
tapi beraninya orang-orang yang datang
bicara sambil membunuh rasa cinta tanah merdeka
katanya: di Kalimantan tidak ada tanah-tanah adat.

Lalu Rifin Ivon ketua suku dayak punan
bersaksi: lihatlah hutan-hutan kami
dengar senandung dan tangisnya
sungai-sungai penuh endapan lumpur

Air yang dulu jernih oleh rimbun hutan kasih
menjadi air mata perih
di mana-mana pembersihan
Kalimantanku menerawang dalam diam
dibawa arus sungai Ambawang.


Bogor, Juli 1992


Halaman Budaya Sahewan Panarung asuhan Kusni Sulang dan Andriani SJ Kusni. Radar Sampit, Minggu, 3 Maret 2024. Redaktur: Heru Prayitno, Penata Letak: Rafi

Halaman Masyarakat Adat | 25 Februari 2024 | Jurnal Perdesaan Kusni Sulang: SAKULA BUDAYA DAN KEDAULATAN PANGAN DESA

Radar Sampit, Minggu, 25 Februari 2024 | Penyunting: Andriani SJ Kusni

Salah satu lumbung padi di Desa Riam Penahan Kecamatan Delang Kabupaten Lamandau Provinsi Kalimantan Tengah. (Ricky Aflah Adicandra-Own work, CC BY 3.0, https://commons.wikimedia.org/w/index.php?curid=89442517)

Penjual sayur keliling terdapat baik di kota maupun desa-desa Kalimantan Tengah. Foto: Andriani SJ Kusni/2023

Berladang dan seluruh prosesnya merupakan peristiwa yang masih kuat melekat di ingatanku. Menggembirakan. Barangkali bukan hanya bagi anak-anak, tetapi juga para remaja dan orang-orang tua. Bekerja sambil bermain, misalnya, pada saat manugal. Pada saat ini, orang-orang saling menggosok pipi dengan arang kayu-kayu yang sudah dibakar. Suatu kesempatan bagi para muda-mudi kampung memperoleh peluang mendapatkan pasangan. Orang-orang sekampung berinteraksi produktif satu dengan yang lain sehingga solidaritas pun kian tergalang dan terkonsolodasi.

Yang juga kuat melekat di ingatan saya adalah saat ayah membuka ladang, saya minta sepetak kecil khusus untuk saya sendiri.

“Untuk apa?” tanya ayah.

 “Untuk saya urus sendiri. Di petak itu, saya menanam ketan hitam,” saya menjelaskan keinginan itu lebih lanjut. Ayah mengabulkan permintaan saya.

Demikianlah, saban ayah atau ibu ke ladang, saya selalu ikut serta untuk mengurus petak ladang ketan hitam saya. Saya ingin ladang kecil saya, terurus baik, lebih baik dari ladang ayah dan ibu. Ketika panen, saya memanen sendiri petak ladang itu tanpa campur tangan siapa pun. Hasilnya saya titipkan dalam lusuk (Bhs. Katingan= lumbung) keluarga. Saya bungkus tersendiri. Ayah dan Ibu tak memberi komentar sepatah kata pun. Kebiasaan dan kesukaan bercocok tanam sejak kecil ini terbawa hingga sekarang. Sebesar apa pun halaman yang ada, saya manfaatkan menanam keperluan dapur sehari-hari.

Hasil panen umumnya bisa dimanfaatkan untuk keperluan setahun lebih. Di sinilah, lusuk atau karangking atau jurung  menjadi sangat diperlukan. Isi lusuk akan bertambah oleh hasil panen berikutnya, sehingga persediaan beras tidak pernah kekurangan, apalagi sampai kosong. Sayur, selain dari kebun halaman rumah, juga dipungut dari hutan dan ladang. Ikan dengan mudah didapat dari sungai. Terbayangkankah, pada musim bertelur, ribuan mungkin jutaan ikan berenang ke hulu, membuat permukaan sungai menggelombang.

Oleh keadaan demikian, ketika  berada di Jawa, saat makan bersama Om Tiyel Djelau, saya merasa sangat heran mengapa di Jawa banyak pengemis memandang kami makan. Selain itu, ketika meninggalkan tempat menginap, pintu harus dikunci karena dikatakan banyak pencuri, sedangkan di kampung, kalau keluar rumah, pintu tak perlu dikunci bahkan dibiarkan terbuka.

Om Tiyel tertawa kecil melihat keheranan saya, tanpa usaha menjelaskan apa-apa. Barangkali, ia ingin saya mencari jawabannya sendiri.

Hingga pada masa pemerintahan Soekarno, lusuk masih banyak terdapat di Kalimantan Tengah (Kalteng). Boleh dikatakan, terdapat di semua Daerah Aliran Sungai (DAS).

Empat puluh tahun lebih saya meninggalkan kampung. Ketika kembali, pola pikir dan mentalitas orang sangat berubah. Alam sudah hancur-lebur. Lusuk yang tadinya terdapat di mana-mana, sudah tak lagi nampak. Bahkan, angkatan milenial pun barangkali sudah tak lagi mengenal kosakata lusuk itu.

Sungai yang dulu jernih, sekarang keruh berwarna lumpur. Airnya tajam menyengat karena penuh merkuri. Sudah sulit mendapatkan sungai di Kalteng yang bersih, bebas merkuri. Kalaupun masih ada, jumlah ikan di sungai sudah sangat berkurang. Salah satu penyebabnya adalah kadar merkuri yang terdapat di air sungai.

Perubahan keadaan yang luar biasa ini, kian rinci saya ketahui sejak secara teratur menjelajahi desa demi desa jauh hingga di pedalaman pulau, lebih-lebih ketika memulai penyelenggaraan Sakula Budaya di daerah perdesaan.

Di sini, saya membatasi diri berbicara tentang keadaan pangan di Desa Sumur Mas, Kecamatan Tèwah, Kabupaten Gunung Mas sebagai contoh. Contoh artinya dengan segala variannya, keadaan serupa juga terjadi di desa-desa atau daerah-daerah lain di Kalteng ini.

Menurut Sekretaris Desa Yater Sahabu, mencari emas merupakan mata pencaharian 90 persen lebih penduduk Desa Sumur Mas. Beras, sayur-mayur, ikan, apalagi daging, bahkan air minum, semuanya didatangkan dari luar, yang dijual oleh pedagang keliling menggunakan mobil atau sepeda motor.

Pekerjaan ini umumnya dilakukan oleh warga asal Jawa  yang sekarang jumlahnya lebih sepertiga dari 2,6 juta seluruh penduduk Kalteng. Tanah halaman jarang ditanami sayur-mayur yang diperlukan sehari-hari. Kehidupan penduduk sepenuhnya tergantung pada mata pencaharian tunggal yaitu mencari emas.

Singkatnya, secara pangan, Desa Sumur Mas tidak lagi berdaulat, tidak mandiri, seperti desa-desa Kalteng dahulu.

Mencermati keadaan begini, Kepala Sekolah SMP Negeri yang terdapat di desa dalam diskusi mempertanyakan: Apakah keadaan begini tidak berbahaya? Sebab, emas bukanlah sumber daya alam yang bisa diperbaharui. Pada suatu saat ia akan habis, apalagi sekarang sudah terdapat sebuah perusahaan besar asing, PT Alam Sutera, yang sedang beroperasi.

Ketika berjumpa dengan penanggung jawab lapangan perusahaan PTAlam Sutera, saya tanyakan, “Apakah perusahaan sudah berproduksi?”

Jawabannya, “Kami sedang mencari urat emas yang lebih besar.”

Pada saat emas yang sekarang merupakan sumber mata pencaharian penduduk desa habis, warga desa hidup dari apa?

Lalu, saya tanyakan kepada Kepala Sekolah itu, “Apakah Bapak mempunyai saran jalan keluar?”

Dijawabnya, “Saya sarankan, Sakula Budaya Handep Hapakat yang sekarang sedang berlangsung, kelak kemudian atau sesudah ini, mengajarkan kepada anak-anak yang ikut serta, teknik bertani, misalnya bagaimana membuat kompos. Sebab, menurut pengamatan saya, Orang Dayak kita ini tidak punya tradisi berkebun dan bertani. Kalau bercocok tanam, Orang Dayak itu menanam sesuatu, kemudian ditinggalkan. Mereka tidak pernah merawatnya dengan tekun sehingga tanaman mereka ada yang hidup, tidak sedikit pula yang mati sebelum menghasilkan apa-apa.”

Sehubungan dengan pendapat ini, saya berhipotesa bahwa sesungguhnya Orang Dayak itu belum tumbuh menjadi petani. Mereka masih pada taraf peramu dan pemburu yang baru sedenter. Ladang berpindah adalah petunjuk mereka baru menetap, tapi masih tergantung pada kegiatan berburu dan meramu. Karena itu, hutan menjadi sandaran.

Hipotesa ini berkaitan dengan salah satu poin kesimpulan Pertemuan Tumbang Anoi 1894 yang menyerukan agar Orang Dayak berhenti jadi nomaden dan mulai menetap (sedenter). Saya juga mempertanyakan, apakah kayau-mangayau itu tidak ada hubungannya dengan perebutan daerah meramu dan berburu yang kemudian diberi bungkus oleh pihak lain dengan argumen bersifat religius untuk mengokohkan tokoh primus inter pares seperti banyak terjadi dalam Gerakan Ratu Adil?

Sejak awal penyelenggaraannya, Sakula Budaya memang memasukkan dalam kurikulumnya masalah bercocok tanam, terutama menanam sèngon. Dalam kurikulum Sakula Budaya Handep Hapakat, masalah bercocok tanam ini mulai lebih berkembang.

Pada Sakula Budaya berikutnya dan di mana pun, boleh jadi masalah bercocok tanam ini lebih dikembangkan lagi karena seperti yang dituturkan oleh Kepala Sekolah SMP di atas, bercocok tanam, pengetahuan tentang bertani, mempunyai arti strategis menjangkau jauh. Apalagi, sekarang berlangsung yang disebut krisis petani milenial.

Seperti yang saya katakan di atas, pengalaman kecil saya pribadi, menunjukkan bahwa kecintaan saya berkebun bertani dan bercocok tanam, tidak lepas dari apa yang saya lakukan sejak kecil, dengan antara lain mempunyai petak khusus sendiri untuk menanam ketan hitam. Pengalaman ini kemudian saya rumuskan agar tidak memisahkan kerja otak dan kerja badan. Dua jenis kerja ini, kedua-duanya perlu dipelihara dan dikembangkan sehingga anak didik tidak memandang rendah kerja badan dan merasa hanya terhormat jika melakukan kerja otak (istilah pasarannya: kerja kantor).

Meremehkan kerja badan sesungguhnya adalah pandangan anakronis jika dilihat dari pandangan sejarah sebab kerja badanlah yang membuat manusia jadi manusia. Berhasilnya para penjual sayur keliling  menyekolahkan anak-anaknya hingga selesai universitas, mampu membangun rumah gedung bertingkat, tidak lepas dari kerja badan mereka yang keras. Kerja badan akan mengantar anak didik menjadi manusia yang membumi, mengenal kehidupan , tidak berlagak ‘anak raja’ atau ‘tuan’ (ungkapan Orang Katingan: ‘kilau tuan’, seperti tuan saja) sebagaimana diperlihatkan oleh kelas menengah Indonesia yang terlepas dari kegiatan produksi.

Untuk masyarakat Dayak, menggarisbawahi arti penting kerja badan ini akan menjadi urgen karena dalam masyarakat Dayak hari ini terdapat pandangan umum bahwa seseorang itu baru menjadi orang pada saat ia telah berhasil menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Konsep yang sesungguhnya menegasi konsep ‘Dayak sebagai Utus Panarung’.

Apakah memasukkan mata pelajaran bertani atau bercocok tanam ke dalam kurikulum Sakula Budaya tidak terlalu menyimpang jauh?

Pertanyaan ini mungkin bisa dijelaskan oleh pandangan antropolog Koentjaraningrat tentang kebudayaan.  Kebudayaan, menurut Koentjaraningrat, ialah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik manusia dengan belajar (1990: 180). Menurut  Koentjaraningrat, menyebutkan unsur-unsur universal dari kebudayaan adalah 1) sistem religi dan upacara keagamaan, 2) sistem dan organisasi kemasyarakatan, 3) sistem pengetahuan, 4) bahasa, 5) kesenian, 6) sistem mata pencaharian hidup, dan 7) sistem teknologi dan peralatan.

Jika sepakat dengan pendapat Koentjaraningrat ini maka memasukkan masalah bertani, bercocok tanam dalam kurikulum Sakula Budaya bukanlah sesuatu yang mengada-ada dan irelevan. Malah sebaliknya, sudah pada tempatnya, baik secara teori maupun urgensi.

Agar hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik manusia dengan belajar maka karya itu perlu proses pembudayaan melalui enam cara yaitu: internalisasi, sosialisasi, enkulturasi, akulturasi, asimilasi, dan difusi. Dalam hal ini, Sakula Budaya, sebagai tempat belajar, merupakan salah satu bentuk konkretnya. Dari Sakula Budaya ini sebagai tempat belajar atau sarana pembudayaan, pelestarian, revitalisasi dan pemajuan zamani budaya berlangsung, termasuk di dalamnya kedaulatan pangan.

Sakula budaya, kedaulatan pangan dan desa adat sebagai organisasi kekuasaan berbasiskan sejarah dan budaya lokal sesungguhnya saling berkaitan satu dengan yang lain.

O, jauh dan berlikunya perjalanan ke tujuan bertabur sekian banyak tantangan dan pekerjaan harus dilewati dan dikerjakan.  Tapi boleh jadi,  ini memang jalan tak punya ujung, perjalanan yang tak punya sampai.***


Halaman Masyarakat Adat asuhan Kusni Sulang dan Andriani SJ Kusni. Radar Sampit, Minggu, 25 Februari 2024. Redaktur: Heru Prayitno, Penata Letak: Rafi

Bagikan:

Halaman Budaya Sahewan Panarung | 18 Februari 2024 | AMRUS NATALSYA: DALAM KENANGAN SEORANG KAWAN

Radar Sampit, Minggu, 18 Februari 2024 | Penulis: Misbach Thamrin | Penyunting: Andriani SJ Kusni

Salah satu karya Amrus Natalsya

Amrus Natalsya Tanjung Pasaribu (21 Oktober 1933-31 Januari 2024) dan Misbach Thamrin. Dok.: Misbach Thamrin/2023

TENTANG tokoh seniman perupa ‘tiga zaman’ (Orla, Orba, Reformasi) dan ‘tiga genre-media’ seni rupa (patung, lukisan kayu dan lukisan di atas kanvas), serta pendiri Sanggar Bumi Tarung (SBT) ini, telah cukup banyak ulasan biografi yang saya tuliskan di Facebook, juga di setiap ulang tahun kelahirannya, selaku kawan karib terdekat almarhum.

Iya, tentu saja biografi ini pun di samping telah banyak ditulis oleh para penulis pengamat seni rupa lainnya. Hal ini dikarenakan  oleh popularitas kesenimanannya yang senior dan terkenal sangat kreatif dan produktif dalam berkarya di tiga zaman dan genre tersebut.

Bagi saya pribadi, esensi monumental biografi almarhum, terutama tertuang dan terwakili oleh buku Amrus Natalsya dan Bumi Tarung terbitan Amnat Studio edisi tahun 2008 yang saya tulis. Esensi monumental ini diperkuat lagi oleh duet bersama kami dalam pameran “Dua Petarung” di Bentara Budaya Yogyakarta sekitar sebulan lebih lalu. Pameran ini merupakan suatu pameran seniman perupa sepuh angkatan 1950-1960-an yang langka, jarang terjadi dan merupakan kesempatan yang sangat berarti bagi kami berdua mewakili Sanggar Bumi Tarung berpameran di kota kelahirannya buat pertama kali sejak berdiri tahun 1961 di Gampingan Yogya.

Sebelum saya ke Yogyakarta dalam rangka pameran tersebut, saya tinggal bersama di rumahnya  di Lido, Bogor–suatu momen kebersamaan terakhir kami, sejak dalam kurun waktu selama sekitar setengah abad. Dalam kurun waktu itulah, antara kami terbangun persahabatan, pergaulan akrab dengan lika-liku suka dan duka sebagai  kawan senasib, sependeritaan dan seperjuangan. Saat tinggal di rumahnya itu, saya memang sudah melihat keadaannya yang sudah memberikan tanda-tanda bahwa kemungkinan besar kebersamaan kami tak akan berlangsung lebih lama lagi.

Layaknya dan seakan sudah menjadi rutin dan prosais, kami, para anggota Sanggar Bumi Tarung, saling bergantian pergi berpulang selama dua dekade ini. Meski terkadang dalam kenyataan, akhir hayat itu telah beberapa kali batal. Maklum, kematian seperti halnya kelahiran,  jodoh dan rezeki, kita tak bisa memperkirakan dan menebak dengan pasti kapan terjadi, kecuali Tuhan yang di atas yang tahu.

Ia tergeletak di atas pembaringan dalam keadaan tak berdaya. Sekali-sekali, ia  kami angkat untuk didudukkan di kursi roda. Sambil diajak bicara, meski mulutnya sulit buat berkomat-kamit, ia lebih banyak berdiam diri dengan pandangan mata nanar menyimpan suara kata-katanya di hati. Kerapuhan badan manusia memang selalu mengiringi usia senja yang berlanjut. Di antara gelambir kulit tubuhnya yang mengeriput, masih tampak tersembul sisa-sisa otot yang dulunya ditempa oleh kerja keras seorang pematung kayu yang sangat spartan dan energik. Di situlah, terletak sisa-sisa energi orang tua yang sekarang tak berdaya ini.

Dulu, pernah dikatakan oleh pengamat sejarah seni rupa dari Amerika, Claire Holt, bahwa Amrus sebagai perupa muda Indonesia, sulit dicari tandingannya. Kala sebuah tubuh manusia tak berdaya digerogoti usia renta yang kian merangkak, kita tak bisa membayangkan lagi dibaliknya terdapat suatu tenaga yang luar biasa.

Ribuan karya patung, lukisan kayu dan lukisan kanvas telah dihasilkan oleh maestro seni rupa Amrus Natalsya kelahiran 21 Oktober 1933 di Kota Medan, Sumatera Utara ini. Pada 31 Januari 2024, sang maestro telah mengakhiri kiprah juangnya lewat alur-alur perjalanan menuju ajal yang fana dan manusiawi. Sembilan puluh tahun  telah berhasil ia lampaui dengan daya tahun fisik dan psikis yang luar biasa, tapi realitas kefanaan raga yang menurut takdir mutlak sangat terbatas, tak terelakkan juga oleh Amrus.

Di akhir keberadaannya, secara verbal, bagaikan nyala lilin di ujung sumbu yang tersisa, meleleh menuju padam. Episode perjalanan akhir pengalaman manusia pada umumnya, selalu dalam kerawanan yang memilukan. Namun, secara imajiner akan meninggalkan jiwa alias roh kehidupan yang langgeng bersama keberkaryaan yang telah dihasilkannya selama hidup di alam dunia fana. Ibarat bunyi peribasa klasik yang universal “Ars Longa Vita Brevis”. Hidup singkat, sedangkan karya seni tetap hidup langgeng, sehingga lewat karya-karya yang ditinggalkannya, manusia seperti terniscaya tak pernah mati-mati.

Karya-karya seni rupa Amrus bukan sembarang tumbuh lewat nilai estetika dan artistik yang biasa. Tidak sekadar layak dan enak dilihat sebagai pajangan hiasan dinding semata. Namun, punya muatan mutu bobot visi dan misi yang mengandung pernyataan filosofis seorang seniman perupa tentang kehidupan manusia, sosial-masyarakat dan alam semesta yang sublim.

Sebagai pendiri dan ketua pimpinan Sanggar Bumi Tarung (SBT), ia mengarahkan dan mengajarkan kepada kawan-kawannya anggota sanggar, bagaimana menuangkan dan mengekspresikan lewat media seni rupa, muatan ide kemanusiaan sebagai tanggung jawab moral seorang seniman terhadap tantangan zamannya dalam sejarah,  makna penderitaan pelanggaran HAM berat yang kami alami melalui peristiwa Tragedi Kemanusiaan 1965, misalkan, tak lepas dari rekam jejak tema-tema seni rupa yang mewarnai keberkaryaan SBT yang telah kami hasilkan selama ini. Barangkali, di situlah terletak kekhususan dan “keseksian” ciri khas karya-karya seni rupa SBT yang pernah ditampilkan dalam khazanah seni rupa Indonesia.

Di sini, kami tak bisa melupakan kata-kata bercambuk dari Amrus, yang melecut semangat hidup dan juang kawan-kawannya anggota SBT, “Jika nasib kalian dalam penderitaan selama ditahan di bawah kekejaman rezim Orde Baru, tanpa dilukiskan lewat karya-karya kalian, lebih baik jadi kerbau saja!”

Demikianlah esensi yang kuat dari kenangan obituari terhadap pengalaman rekam jejak kebersamaan egaliter yang guyub dalam kehidupan kolektif SBT bersama Amrus Natalsya yang tercatat dalam sejarah. Semoga di alam baka, almarhum dapat menyimak dan mengecap kenikmatan dalam istirahat surganya yang tenang, atas serangkuman keagungan buah karya-karya seninya yang dapat membawa berkah dan manfaat bagi kehidupan umat manusia di alam fana yang ditinggalkannya.***

Banjarmasin, 2 Februari 2024

* Misbach Thamrin, pelukis dan esais kelahiran Kalimantan Selatan, salah seorang pendiri Sanggar Bumi Tarung


Diskusi Buku Puisi-Puisi Amrus Natalsya berbarengan dengan perayaan ulang tahun Sanggar Bumi Tarung Fans Club di Banjarmasin, 26/2/2016. Para pembicara (dari kiri ke kanan): Kusni Sulang, Sumasno Hadi, dan Sihar R. Simatupang. Foto dan dokumentasi: Andriani SJ Kusni, 2016

Sajak-Sajak Amrus Natalsya
JENDELA TERBUKA


Lima puluh tahun jendela ini terbuka
Pagi malam menghadap bulan dan matahari
Tempat cahaya masuk memanasi rumah
Dan angin membawa wangi kembang melati
Lima puluh tahun jendela ini terbuka
Di dalamnya ada aku dan istriku
Juga anak kami yang masih kecil
Di dinding ada sajak Agam Wispi – tentang Latini
Ada sajak Klara Akustia – “Sebutkan Semua Penjara Itu Adalah Aku”
Ada sajak paman Ho Chi Minh – “Tunggu Aku Masih Berperang”
Ada sketsa poster tua lukisan Affandi – “Bung Ayo Bung”
Juga ada sketsa lukisan – Peristiwa Djengkol – Marsinah – dan Munir
Lima puluh tahun telah berlalu
Sajak dan sketsa itu masih ada

2011


ORANG-ORANG BERJALAN DALAM TAMAN

Ada orang berucap
Mengapa seni panjang abadi
Sedang hidup pendek sekali
Seni adalah benda mati yang berjiwa
Dibuat oleh manusia
Dalam kecukupan cinta
Orang-orang berjalan
Dalam taman
Ada orang berucap
Ada anak manusia
Hidup tanpa jiwa
Dalam perjalanan (waktu itu di taman)
Setiap orang pengen hidupnya punya arti
Seperti bumi yang melahirkan kembang-kembang melati
Putih-putih-putih sekali

1981


LAGUKAN

Lagukan isi hatimu secerah bumi ini
Lebih tinggi dari lengking cemara dan kota-kota
-- Cita-cita dan hari depan manusia
-- Yang lebih dalam dari hitam lautan
Memberi daku mata bersinar tenang
Selalu senyum dan mengulurkan tangan
Lagukan isi hatimu sepenuhnya jiwa
Lebih tinggi dari lengking cemara dan kota-kota

1967


Halaman Budaya Sahewan Panarung asuhan Kusni Sulang dan Andriani SJ Kusni. Radar Sampit, Minggu, 18 Februari 2024. Redaktur: Heru Prayitno, Penata Letak: Rafi

Halaman Masyarakat Adat | 11 Februari 2024 | Jurnal Perdesaan Kusni Sulang: ABDI MASYARAKAT DESA ITU BERNAMA MANTIR

Radar Sampit, Minggu, 11 Februari 2023 | Penyunting: Andriani SJ Kusni

Tiga pelatih seni bela diri Dayak (Bhs Dayak Ngaju: main) pada Sakula Budaya Handep-Hapakat Desa Sumur Mas, Kecamatan Tèwah, Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah. Herikson (paling kanan, mengenakan berkaos polo putih kerah merah), mantir Desa Sumur Mas, turut melatih anak-anak belajar main. Sakula Budaya adalah sebuah program untuk melestarikan dan mengembangkan budaya Dayak secara partisipatif. Foto: Kusni Sulang/2024

Para Mantir se-Kecamatan Mihing Raya. Foto: Istimewa. Sumber: https://beritakalteng.com/2023/02/03/mantir-adat-se-kecamatan-mihing-raya-gumas-dikukuhkan/

Audiesi Komisi I DPRD Kalteng dengan Forum Kedamangan se-Kalteng pada 21 Desember 2023. Dalam audiensi itu, Komisi I menerima sejumlah usulan termasuk masalah insentif. Bagaimana tindak lanjutnya adalah hal penting, bukan hanya didengar untuk kemudian didiamkan. Foto: Donny/2023

Mantir Adat Dayak adalah perangkat adat atau gelar bagi seseorang yang duduk sebagai pembantu Damang Kepala Adat (selanjutnya disingkat Damang), baik di tingkat desa/kelurahan maupun pada tingkat kecamatan di setiap wilayah kedamangan.

Wilayah kedamangan (wilayah keadatan) hingga hari ini nampaknya masih bersesuaian dengan struktur wilayah pemerintahan yang ada, sementara adat satu Daerah Aliran Sungai (DAS) dengan DAS lainnya tidak sama, walaupun mungkin ada kesamaan.

Oleh adanya kesamaan ini, agaknya pemerintah kolonial Belanda menyebut penduduk DAS-DAS itu dengan nama Dayak, penamaan yang menimbulkan polemik puluhan tahun dan baru berakhir dalam Seminar Nasional Kebudayaan di Pontianak tahun 1992.

Brunei dan negeri-negeri lain serta mereka yang berempati dengan Dayak seperti Prof. Dr. Sajogyo dari IPB, Masri Singarimbun dari Universitas Gadjah Mada, Soetandyo Wignyosoebroto dari Universitas Airlangga, antropolog Mudiyono, Sandra Moniaga, dan lain-lain, kehadiran mereka yang sekaligus memperlihatkan bahwa kebudayaan Dayak tidak ekslusif tapi inklusif. Apalagi organisator dan pemikir penting Seminar Pontianak 1992 adalah R. Hardaputranta, SJ, Direktur LPPS KWI/LP3S. Ciri inklusif ini juga sudah ditunjukkan oleh Pakat Dajak tahun 1926.

Salah satu kesimpulan Seminar Pontianak 1992 adalah menerima nama Dayak sebagai nama etnik-etnik yang umumnya mendiami pedalaman Kalimantan. Kalau tadinya nama Dayak itu mengandung pengertian merendahkan dan menghina, Seminar Pontianak 1992 memutuskan untuk mengubah hinaan tersebut dengan isi baru yang mengandung makna kemartabatan anak manusia.  Dengan cara ini, kata Dayak mengandung arti positif, bukan lagi suatu hinaan (hasil Seminar Pontianak 1992 antara lain terdokumentasi dalam buku Kebudayaan Dayak. Aktualisasi dan Transformasi, (Ed): Paulus Florus, Stepanus Djuweng, John Bamba, Nico Andasaputra. Kata Pengantar: Dr. Michael Dove. Diterbitkan oleh Institut Dayakologi, Pontianak 1994).

Tapi tentu saja, penyatuan nama demikian, tidak menghilangkan keragaman Dayak sebagaimana tercermin misalnya dalam sebutan Uluh Katingan (Orang/Sub-Suku Katingan), Uluh Kahayan, Uluh Barito, Uluh Saruyan, Uluh Bakumpai, dan sebagainya, yang memiliki adat-istiadat masing-masing.

Oleh keragaman Dayak yang demikian, menjadi pertanyaan: Mengapa wilayah adat atau wilayah kedamangan mesti mengikuti tata kelola administrasi resmi atau Republik Indonesia? Apabila terdapat keadaan bahwa satu sub-etnik terdapat di beberapa kabupaten, saya kira, penyelesaian masalah bukan tidak mungkin didapat melalui dialog. Inti adat adalah penyelesaian masalah secara dialog.

Dengan segala kekurangan dan kelemahannya, kelembagaan adat Dayak Kalimantan Tengah telah dikokohkan oleh Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Kalimantan Tengah Nomor 16 Tahun 2008 (selanjutnya disebut Perda 16/2008), kelembagaan yang pada masa Orde Baru dilemahkan oleh kebijakan ‘keamanan dan stabilitas nasional’, ‘desa  mengambang’, Politik SARA, ‘manusia Pancasila’, UU No. 5 Tahun 1979 Tentang Pemerintahan Desa yang melahirkan Jawanisasi budaya, dan lain-lain.

Sejak adanya Perda 16/2008), kelembagaan adat mulai berfungsi kembali. Damang dan mantir mulai berperan, sekalipun secara peraturan dan kenyataan bisa disebut tetap berada di bawah kendali kekuasaan dan terkadang nampak sebagai kendaraan kepentingan politik.

Padahal, jika kelembagaan adat ini berstatus independen, perannya dalam membangun pemerintahan yang bersih dan masyarakat yang beradat akan lebih besar manfaatnya. Ia bisa, bukan saja memberi saran yang gampang tidak diindahkan, tetapi juga sebagai pengawas sosial. Oleh adanya kepentingan politik ini, tidak jarang kita temukan adanya damang yang berkualitas ‘damang-damangan’ dan mantir yang bertaraf ‘mantir-mantiran’ (istilah Damang Jekan Raya, Kardinal Tarung). Mereka ‘terpilih’ melalui pembentukan mayoritas, tapi minim pengetahuan tentang adat, hukum adat dan segala ritual adatnya, sedang keteladanan masih merupakan kualitas langka. Terdapat juga keadaan Orang non-Dayak menjadi pemangku adat Dayak.

Dihadapan keadaan demikian, Lembaga Kebudayaan Dayak Kalimantan Tengah, pernah beberapa kali menyelenggarakan kelas belajar untuk para damang, mantir, sekretaris damang dan pemuka masyarakat desa Kabupaten Kotawaringin Timur dan Katingan, walaupun tahu benar bahwa satu-dua kali penyelenggaraan kelas belajar tidaklah cukup untuk menangani masalah. Kemudian, setelah kelas belajar usai, langkah konsolidasi seyogyanya dilakukan jika tidak ingin hasil kelas belajar menguap tak menentu.

Pendidikan adalah kunci untuk perubahan maju. Pendidikan juga akan meningkatkan kualitas para pemangku adat berbagai tingkat sedangkan pengkonsolidasiannya memerlukan pengorganisasian dibimbing arah yang jelas, terutama apa yang mau dicapai atau dituju.

Di daerah perdesaan yang pernah saya singgahi, saya mendapatkan tidak sedikit para pemangku adat, terutama pemangku adat yang baik, tulus, bekerja dengan penuh ketulusan dan kejujuran, di tingkat akar rumput, tingkat yang paling bawah dan langsung menghadapi warga adat sehari-hari dan aneka rupa persoalan mereka. Saya membayangkan, adanya pendidikan teratur, kapasitas mereka akan terus meningkat, apalagi jika kapasitas ini kemudian ditopang oleh syarat materil yang padan. Penyelenggara Negara, saya pikir, merupakan pihak yang paling mungkin memberikan topangan material konkret yang sangat diperlukan itu. Sebab saya khawatir, jika yang menopangnya perusahaan besar swasta (PBS), bukan tidak mungkin para pemangku adat ini lalu mendapat fungsi baru yaitu menjadi ‘Bagian Humas’ perusahaan-perusahaan tersebut sebagaimana tidak sedikit terjadi hari ini.

Istilah ‘pemangku adat sama dengan humas perusahaan’, saya dapatkan pertama kali waktu bekerja di daerah perdesaan Kabupaten Kotawaringin Timur, kemudian saya dengar kembali di banyak tempat. Ketika ia atau mereka menjadi Humas PBS, saat terjadi konflik lahan atau konflik lain dengan PBS, sulit dibayangkan pemangku adat yang sama dengan Humas PBS akan membela warga adatnya dan mempertahankan keadilan sebagaimana laiknya adat. Kolusi dengan berbagai pihak begini menjadi gejala jamak di daerah perdesaan yang makin berada di bawah kuasa hedonisme.  Tidak heran maka amanat UU No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa cq. Bab XIII mengenai desa adat kurang mendapat perhatian dibandingkan dengan Lima Skema Perhutanan Sosial karena desa adat mengembalikan kedaulatan ke tangan sebenarnya yaitu rakyat (baca: warga adat).

Dalam rangka menyelenggarakan Sakula Budaya Angkatan II, saya mesti bolak-balik ke Desa Sumur Mas, Kecamatan Tèwah, Kabupaten Gunung Mas. Kegiatan ini meniscayakan  saya bekerja sama dengan banyak pihak di desa, termasuk dengan pemangku adat desa, yaitu Mantir Herikson. Sifat hubungan kami oleh proses kegiatan meningkat menjadi kawan. Dengan tingkat hubungan pribadi begini, pembicaraan kami sudah menjadi sangat  leluasa tanpa sekat. Di samping dari pengamatan, juga dari percakapan demi percakapan, saya mengetahui topangan formal yang diberikan kepada pemangku adat di akar rumput.

Rumah pribadi adalah sekaligus kantor mantir. Tidak ada kantor khusus. Saban ketemu, saya menyaksikan kelelahan pada wajahnya. Di tangannya selalu terdapat sebuah buku tulis, jenis yang waktu di Sekolah Rakjat (SR–sekarang SD) dulu, kami gunakan untuk belajar menulis indah. Di buku tulis itu, Mantir Herikson mencatat segala persoalan yang sedang ia tangani. Sebuah telepon genggam (HP) yang juga penggunaannya tergantung ada atau tidak ada sinyal. HP merupakan alat komunikasi utama dengan pihak luar. Untuk mendapatkan sinyal, penggunanya harus mendaki ketinggian di tempat-tempat jauh. Mobilitas bersandar pada sepeda motor yang harus tahan banting di jalan-jalan terjal, sangat licin setelah hujan turun.

“Kau tak punya pembantu?” tanya saya dalam bahasa Dayak Ngaju.

“Gak ada dan dengan apa saya bayar pembantu. Untuk beli alat tulis-menulis saja harus nabung dan berhitung dengan teliti.

“Berapa sih insentif untuk mantir sekarang? Sebab dahulu di tahun-tahun awal pembentukan Dewan Adat Dayak, kalau saya tak salah, mantir mendapat 100 ribu rupiah per bulan dari provinsi. Sekarang berapa?”

“Enam ratus ribu per bulan. Jangan kau tanyakan cukup atau tidak.” Herikson memotong dengan cepat seakan-akan tahu pertanyaanku selanjutnya.

“Kau bandingkan saja, pekerjaan sebagai mantir ini meminta waktu sepenuhnya. Persolan sangat banyak. Mulai dari perkelahian suami-istri yang tak reda-reda dan hendak cerai, pencurian, penyerobotan tanah, perkelahian antar warga. Hari ini, sebelum kemari menemuimu, aku baru saja melanjutkan urusan warga yang mau hatejeb (berkelahi dengan menggunakan Mandau–KS).Yang satu mau damai, yang lain tidak mau.”

“Lalu?”

“Saya ke kecamatan dan minta bantuan polisi dan tentara menemani saya. Polisi tiga orang dan seorang anggota Babinsa.”

Kerjasama pemangku adat di akar rumput dan polisi umum terjadi dalam menangani masalah. Agaknya, kehadiran polisi relatif lebih efektif daripada Batamad (Barisan Pertahanan Masyarakat Adat Dayak), yang menurut Perda 16/2008, bertugas mengawal keputusan damang. Barangkali, hal ini karena polisi mempunyai rumah tahanan dan berhak menahan terduga.

“Kemudian?”

“Yang tak mau damai tadi, nampaknya takut juga akan dibawa ke kantor polisi dan berkata, ayo cepat kita selesaikan.” Mendengarnya, saya hanya ketawa dalam hati.

“Kalau waktumu habis mengurus permasalahan warga adat, sedangkan enam ratus ribu rupiah itu tidak mencukupi untuk hidup, bagaimana kau menutupi keperluan hidup sehari-hari?”

“Ya, ibunya harus kerja juga. Dan saya harus lembur menggunakan sisa waktu yang ada.”

Saya membayangkan, betapa mantir harus punya simpanan energi untuk bisa lembur menyambung hidup. Yang saya kagumi dari Herikson sebagai mantir dengan segala keterbatasan dana, dia tidak nampak dan tidak pernah saya dengar mengeluh dalam melakukan pekerjaan mantirnya. Demikian juga ketika melaksanakan pekerjaan di Sakula Budaya sebagai pelatih karungut dan memainkan kecapi untuk anak-anak yang nakal-nakal.

“Kalau bukan kita, siapa lagi yang menangani ini semua. Karena itu, warga desa ini sangat berterima kasih pada kalian yang sudah memberi perhatian pada anak-anak kami. Sebelumnya, tidak ada kegiatan apa-apa untuk anak-anak. Apa yang kalian lakukan adalah bantuan besar kepada kami di desa.”

“Bukankah kewajiban Dayak pada sesama Dayak?” jawab saya. Herikson tertawa penuh arti. Saya menangkap maksud tawanya.

“Saya tahu kau sering kelaparan waktu di desa kami. Tak ada warung untuk makan.”

“Resiko pekerjaan dan pilihan. Saya mengaggumi Mantir yang bekerja penuh pengabdian kepada warga adat, walaupun kelelahan.”

“Resiko pekerjaan dan pilihan,” ujar Herikson menggunakan jawabanku sambil ketawa. Kami pun ketawa bersama menikmati kelelahan kami.

“Ya, kita tak bisa memilih telah dilahirkan sebagai Dayak dan mempunyai tanggung jawab sebagai Dayak pula.” Herikson memelukku erat.

Saat itu, saya membayangkan Palangka Raya, ibukota Provinsi Kalimantan Tengah, bertanya-tanya apakah kalangan penyelenggara Negara dan para mereka yang turut bertanding dalam pemilihan umum sempat memikirkan nasib dan perbaikan dukungan kepada orang-orang seperti Mantir Herikson?

Saya memastikan, manusia seperti Mantir Herikson adalah modal penting bagi pemajuan Kalimantan Tengah mulai dari perdesaan. Ia bagian dari keterpurukan Dayak, tidak menjualnya, tidak menjual diri juga dan tetap tegar pada harapan, yakin Tuhan hanya menolong orang yang mau berusaha menolong dirinya untuk jadi anak manusia.

Pada 21 Desember 2023, Komisi I DPRD Kalimantan Tengah sudah mengadakan rapat, mendengar pendapat para mantir. Tindak lanjut konkretnya? Apakah berakhir setelah rapat usai?

Tapi, saya pasti bahwa mantir di daerah perdesaan seperti Mantir Herikson adalah nama dari pengabdian tulus yang hari ini terancam kepunahan.***


Halaman MASYARAKAT ADAT asuhan Kusni Sulang dan Andriani SJ Kusni. Radar Sampit, Minggu, 11 Februari 2023. Redaktur: Heru Prayitno, Penata Letak: Rafi

Halaman Budaya Sahewan Panarung | 4 Februari 2024 | Catatan Kebudayaan Andriani SJ Kusni: ANGKATAN BINGUNG DAN INSTAN

Sapundu Tingang

Tari Ajai Besar yang ditampilkan dalam acara Festival Budaya Dayak Kenyah pada 18-20 Juni 2018 di halaman Lamin Adat Pemung Tawai Kelurahan Budaya Pampang, Kota Samarinda, Kalimantan Timur. Sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/Kancet_Papatai#/media/Berkas:Tari_Ajai_Besar.JPG

Bahasa adalah lumbung khazanah budaya suatu etnik. Punahnya sebuah bahasa berarti lumbung khazanah budaya itu pun lenyap pula. Kemudian, etnik dan atau bangsa itu pun menjadi etnik dan atau bangsa yang sudah lain dari dirinya semula. Punah tidaknya suatu bahasa, faktor utama penentunya adalah terletak pada para penuturnya.

Di kalangan masyarakat Dayak Kalimantan Tengah (Kalteng) sekarang, menurut Kusni Sulang, mulai dari kota hingga daerah perdesaan yang luas, nampak gejala bunuh diri budaya. Keluarga-keluarga inti Dayak, makin kurang menggunakan bahasa Dayak sebagai alat berkomunikasi mereka. Yang digunakan adalah Bahasa Indonesia dan atau Bahasa Banjar. Anak-anak dari angkatan muda yang sekarang disebut Angkatan Milenial, berbicara sesama mereka dengan lancar dalam Bahasa Banjar dan atau Bahasa Indonesia, bukan dalam Bahasa Dayak.

Sastra berkaitan langsung dengan bahasa. Ketika bahasa itu punah, kepunahan ini pun akan diikuti oleh kepunahan sastranya. Gejala bunuh diri budaya di kalangan masyarakat Dayak Kalteng ini jika berlanjut maka bukan tidak mungkin bahasa-bahasa Dayak, termasuk Bahasa Dayak Ngaju yang merupakan lingua franca di kalangan etnik-etnik Dayak Kalteng, cepat-lambat akan punah, lalu disusul oleh sastranya. Warga Dayak kemudian mengungkapkan diri mereka dalam bahasa baru, entah itu Bahasa Indonesia ataukah Bahasa Banjar.

Keadaan begini, barangkali ada kaitannya dengan kurang kuatnya pertahanan budaya Orang Dayak, sebagai salah satu hasil dari agresi kebudayaan seperti politik desivilisasi ’ragi usang’ yang dilakukan oleh kolonialis Belanda dan berlangsung berabad-abad, yang menyisakan sampai sekarang kompleks rendah diri menjadi Dayak.

Apakah memang demikian rendah, demikian tak pantasnya nilai-nilai yang terdapat dalam budaya Dayak itu bagi terwujudnya masyarakat manusiawi, upaya penelitian sungguh-sungguh pun kurang diperlihatkan.

Di antara sekitar 30-an lembaga pendidikan tinggai di Kalteng, cuma Universitas PGRI saja yang mempunyai prodi sejarah dan tak satu pun yang mempunyai jurusan antropologi. Tanpa penelitian dan kajian sungguh-sungguh, pembicaraan dan segala diskusi kurang-lebih akan berangkat dari asumsi ‘katanya’ dan ‘kira-kira’ – budaya yang hari ini nampaknya dominan di kalangan generasi muda dan satu dua angkatan di atasmya. Jalan pintas atau instanisme lebih banyak dipilih daripada kesukaan berpikir. Akibatnya, bentuk luar dipandang sebagai hakekat, sebagai  nilai dasar budaya. Dengan demikian, keterasingan pada diri sendiri pun kian menjadi-jadi dan tidak disadari. Sejarah tidak akan menjelaskan apa-apa tentang hari ini dan menjadi suluh perjalanan ke depan lebih jauh. Membuntuti keadaan seperti itu, muncullah dengan pongah kebingungan dan ketidaktahuan bagaimana maju melesat, bagaimana keluar dari permasalahan yang membelit, sekalipun antara sadar dan tidak, mengetahui diri dalam keadaan terpuruk. Angkatan Bingung yang rentan hilang pun lahir.

Di tengah keadaan demikian, tiba-tiba muncul sosok seorang perempuan muda Dayak dengan perrtanyaan: Éwéh Ikau? (Siapa Dirimu? Secara harafiah: Siapa Kau), pertanyaan dalam bentuk sajak dalam dua bahasa: Dayak Ngaju dan Indonesia, seperti mau menyentak semua, terutama orang seangkatannya sesama Dayak, yang lengkapnya sajak tersebut di bawah ini.

Sosok perempuan muda Dayak itu bernama Swary Utami Dewi, biasa disapa Tami, keponakan A. F. Nahan alm., penulis yang sangat berjasa dan belum tergantikan dalam mengangkat ulang cerita-cerita rakyat Dayak, dengan ketekunan luar biasa, lebih-lebih pada saat ia bekerja di bawah pimpinan Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Kalimantan Tengah, Kiwok Rampai. Atas jasanya, sangat pada tempatnya jika almarhum dihargai Anugerah Kebudayaan apa pun namanya.

Menurut biodata yang tertera dalam buku Idealisme & Kearifan Arief Budiman yang dia edit bersama Syaefudin Simon (Global  Express Media. Jakarta 2020, xviii+416 hlm), selain penulis artikel, cerita pendek dan  puisi, Tami juga adalah konsultan dan pegiat  pada isu perhutanan sosial, perubahan iklim, kehutanan multi-pihak, pemberdayaan dan gender. Ia pernah mengikuti program doktoral di Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara, Jakarta, menyelesaikan program master di Monash University, Australia, serta  Jurusan Kriminologi, S1 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu  Politik UI dan D-3 Sastra Perancis UI. Dengan latar pendidikan demikian, Tami selain menguasai bahasa-bahasa asing Inggris dan sedikit Perancis, ia juga fasih berbahasa daerah Jambi, Palembang, Melayu, Dayak Ngaju, Banjar dan Bakumpai.

Pengalaman kerjanya? Tami pernah bekerja,baik sebagai koordinator maupun manejer program untuk berbagai program nasional dan internasional; menjadi staf ahli di Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Republik Indonesia dan  menjadi Tim Ahli Menteri Pertanian Republik Indonesia sampai 2019.  Pada Oktober 2019, menjadi panelis ahli di Kantor PBB di Jenewa, Swiss. Singkatnya, Tami adalah seorang perempuan Dayak Ngaju terdidik yang mempunyai pengalaman kerja nasional dan internasional. Karena itu, ia sering tampil sebagai moderator dalam pertemuan-pertemuan dengan tokoh-tokoh nasional.

Secara tak terduga, dua minggu lalu, Tami mengirimkan sebuah sajak  yang ia tulis dalam dua bahasa: Bahasa Dayak Ngaju dan Bahasa Indonesia berjudul “Siapa Kau”. Saya menerimanya dari Kusni Sulang.

Sajak ini menarik perhatian saya karena dua hal. Pertama, karena isinya yang merupakan suatu renungan serius mengenai apa-siapa dirinya. Melalui renungan itu, dengan menasehati dirinya sendiri, Tami sekaligus mengkritik orang-orang yang lupa dan tidak gubris akan daerah dan etnik asalnya setelah ia mencapai hasil dan kualitas tertentu di daerah luar kampung kelahirannya. Bahkan, tidak jarang malu mengaku dirinya seorang Dayak. Sikap begini menjadi penting bagi masyarakat Dayak Kalimantan Tengah hari ini, di mana berlangsung tidak kurang jumlahnya orang Dayak yang mengkhianati Dayak dengan 1001 cara, tidak peduli nasib Dayak tapi di mulut menyebut diri Dayak, padahal yang terjadi, Dayak dijadikan sebagai komoditas. Sumber daya manusia Dayak yang berkualitas bagi Tami merupakan salah satu prasyarat membuat Utus Bermartabat, bukan untuk bersombong, apalagi bersombong di tengah keterpurukan Utus. Berapa banyak gerangan angkatan milenial Dayak terdidik yang suka dan mau berpikir lalu bersikap seperti Tami dewasa ini? Barangkali bukanlah kebetulan pula, bila Wakil Sekretaris Jenderal Satupena, sebuah organisasi para penulis Indonesia, tidak mencantumkan gelar akademi yang ia peroleh di depan atau di belakang namanya.

Hal kedua yang menarik dari sajak Tami yang ia kirimkan secara khusus untuk Rubrik Kebudayaan Radar Sampit ini adalah ia membuatnya dalam dua bahasa, yaitu Bahasa Dayak Ngaju dan Bahasa Indonesia. Sejauh ini, sangat jarang seorang penulis Dayak menulis dalam Bahasa Dayak. Yang umum terjadi adalah penulis Dayak berbicara tentang Dayak dan permasalahannya dalam Bahasa Indonesia, karya-karya yang saya anggap tidak bisa dikategorikan sebagai sastra Dayak. Sastra Dayak adalah sastra yang menggunakan Bahasa Dayak. Keberadaan sastra Dayak bisa berlanjut karena sastra lisan, karungut, deder dan karya-karya yang menggunakan Bahasa Dayak yang umumnya diciptakan oleh kalangan masyarakat di akar rumput. Karya-karya ini sangat jarang diterbitkan sebagai sebuah buku tapi lebih banyak terbit dalam bentuk kaset. Pembahasannya pun hampir tidak pernah dilakukan, selain karena tidak adanya media cetak yang memberi ruang untuk hal demikian, juga boleh jadi karena tiadanya kritikus sehingga apresiasi sastra berjalan di tempat untuk tidak mengatakan tidak berkembang. Kecuali itu, tentu faktor-faktor nonsastra yang menekan tidak bisa ditiadakan dari tidak berkembangnya apresiasi sastra Dayak. Kemudian, kritik di daerah ini dipandang sebagai hujatan, dianggap sebagai meludah muka seseorang di depan umum.

Karena itu, hadirnya Tami dengan sajak dua bahasa, menjadi berarti dilihat dari upaya memelihara dan mengembangkan sastra Dayak; sedangkan penerjemahannya ke dalam Bahasa Indonesia, akan memungkinkan pembacanya bertambah luas. Dengan karya dua bahasa begini, kita bisa mengembangkan sastra daerah dan sastra Indonesia sekaligus. Walaupun, besaran ruang Rubrik Kebudayaan Harian Radar Sampit ini sangat terbatas, tapi ia bisa digunakan untuk tujuan tersebut.

Upaya yang dilakukan oleh Tami ini, sekalipun ia telah melanglang buana ke berbagai penjuru mata angin tapi tetap fasih berbahasa Dayak Ngaju, saya kira patut dikembangkan oleh para penulis Dayak jika Orang Dayak ingin sastra Dayak Ngaju terhindar dari kepunahan tapi terus berkembang. Upaya ini pun kian nampak pentingnya dihadapan kian maraknya gejala bunuh diri budaya di masyarakat Dayak Kalteng, yang jika berkembang terus, akan membuat Dayak hanyalah sebuah predikat kosong.

Bersastra adalah suatu kegiatan estetis dan berpikir sehingga kiranya tidak salah bila mengatakan bahwa bersastra adalah salah satu cara menangani masalah lahirnya angkatan bingung dan instan yang menempatkan kegiatan berpikir di daerah pinggiran kehidupan yang pelik.

Kebingungan dan instanisme hanya membuat Dayak tetap berada di dasar lubuk marjinalisasi. Sederet panjang gelar akademi menyertai nama, akhirnya tidak jauh berbeda dari papan reklame suatu komoditas apalagi jika pendidikan adalah barang dagangan juga.***


Sajak Swary Utami Dewi*
ÉWÉH IKAU



Éwéh ikau
Dumah ka léwu
Dia taú ikau mahaga utus

Éwéh ikau
Ji balua hung hétuh
Indum ji manak ikau
Inampam mahamen uluh itah

Éwéh ikau
Ji diá katawan tambi buem
Pahari biti', mina mama

Puji ikau maingat arep
Tégé ikau manampayah atei léwu
Cangkah ikau dumah bara ngawa'
Sakula gantung, malihi lewu

Éwéh ikau nah...
Ji diá maingat asal bélum ayum
Mahamen mangaku uluh itah

Éwéh ikau
Ji diá bingat asal utus uluh itah


SIAPA KAU
(Swary Utami Dewi)



Siapa kau
Datang kembali ke kampung ini
Tidak bisa kau jaga (marwah) leluhur

Siapa kau
Yang keluar (lahir) di sini
Dari ibu yang melahirkanmu
(Namun) kau buat malu suku bangsa kita

Siapa kau
Yang tak (lagi) mengenal moyangmu, saudaramu, paman bibimu

Pernahkah kau mawas diri
Pernah kau mengingat esensi kampung asalmu
Congkak lagakmu datang dari sana
(Sesudah) menapak ilmu tinggi, meninggalkan desa

Siapakah engkau
Yang tidak mengingat asal-usulmu
Yang malu mengaku orang kita (Ngaju)

Siapa kau
Yang tidak lagi mengingat asal leluhurmu

*Swary Utami Dewi, dipanggil Tami, adalah Wakil Sekretaris Jenderal Satupena sejak Agustus 2021. Tami mengedit beberapa buku, termasuk tentang perhutanan sosial, Arief Budiman, Azyumardi Azra dan Buya Ahmad Syafii Maarif. Tami, yang asli Dayak Ngaju, masih aktif menulis artikel, cerita pendek dan puisi, serta sedang menyiapkan beberapa buku.


Halaman Budaya Sahewan Panarung asuhan Kusni Sulang dan Andriani SJ Kusni. Radar Sampit, Minggu, 4 Februari 2024. Redaktur: Heru Prayitno, Penata Letak: Rafi

Halaman Masyarakat Adat | 28 Januari 2024 | Jurnal Perdesaan Kusni Sulang: ‘TAMBANG EMAS BARU’

Radar Sampit, 28 Januari 2024 | Penyunting: Andriani SJ Kusni

Cerobong Wilhelmina, sisa peninggalan tambang emas Belanda di Desa  Sumur Mas. Cerobong ini layak dicagarbudayakan dan dicagarsejarahkan. Banyak kisah belum terungkap dibalik cerobong ini. Foto: Yater Sahabu/2023

Peti di Sungai Kapuas. Foto: Istimewa

Untuk ikut menyelenggarakan Sakula Budaya Angkatan II, yang oleh warga desa dinamakan Sakula Budaya Handép-Hapakat, saya mesti bolak-balik ke Desa Sumur Mas, Kecamatan Téwah, Kabupaten Gunung Mas.

Penamaan demikian bermula dari pandangan mereka bahwa tanpa Handép-Hapakat (kebersamaan dan kesepakatan), tidak ada yang bisa terwujud. Pandangan dan sikap begini kiranya patut dirawat dan dikembangkan di tengah-tengah serbuan kuat hedonisme ke tengah-tengah  kehidupan masyarakat Dayak hingga di daerah perdesaan yang jauh di jantung pulau sebesar anak benua ini.

Dampak hedonisme yang agresif ini sangat terasa dalam penyelenggaraan Sakula Budaya yang boleh dikatakan berangkat terutama dari semangat dan ide Manggatang Utus (Hidup Bermartabat Manusiawi), keadaan yang membuat saya terpaksa jadi ’pengemis’ meminta bantuan dari kanan-kiri.

Tiadanya warung makan di desa sering membuat kami kelaparan apabila bekal sudah habis. Saat menggigil kelaparan, sering terngiang kembali pertanyaan teman-teman, “Apa sebenarnya yang kau cari, Kusni?” Kusni pengemis dan kelaparan! Tapi, saya tahu benar apa yang mau dan cari sebagai Dayak Anak Enggang, Putera-Puteri Naga!

Dalam keadaan serba kekurangan ini, nama Megan KING, Direktur Eksekutif Internasional FairVentures Worldwide, seorang pengagum sastrawan-dramaturg sekaligus Presiden Ceko pertama, Vaclav Havel, yang juga saya kagumi, pada tempatnya jika dicatat dan diterimakasihi. Empati dan solidaritas Megan kembali menunjukkan bahwa etnik dan bangsa hanyalah perbatasan semu bagi kemanusiaan yang tunggal.

Secara geografis, Desa Sumur Mas, di utara berbatasan dengan Desa Téluk Lawah, di timur dengan Kelurahan Téwah dan Desa Tumbang Pajangei (kampung tokoh legendaris Dayak Kalimantan Tengah, Tambun-Bungai), di selatan dengan Kecamatan Rungan Hulu dan di barat dengan Kecamatan Rungan Hulu juga.

Menurut Profil Desa Tahun 2021, Desa Sumur Mas mempunyai luas sebesar 10.374.000 hektar,  terbagi dalam lahan sawah: nol (0) Ha, lahan ladang 1.100 Ha, lahan perkebunan 3.370 Ha, hutan 3.429 Ha, Waduk Nol (0) Ha. Komoditas Unggulan Berdasarkan Luas Tanaman ‘tidak ada’, Komoditas Ungggulan Berdasarkan Nilai Ekonomi ‘tidak ada’, sedangkan penduduknya berjumlah 191 KK. Dari jumlah penduduk ini, 201 orang bekerja sebagai petani, buruh-petani 15 orang, peternak satu (1) orang, lain-lain 462 orang, penganggur 2 (dua) orang. Komposisi usia: 0-17 tahun berjumlah 241 jiwa, 18-55 tahun berjumlah 386 jiwa dan 55 tahun-ke atas berjumlah 54 jiwa.

Dari angka-angka ini nampak bahwa penduduk desa yang berjumlah 191 KK dihidupi terutama oleh mereka yang berusia 18-55 tahun atau oleh 386 orang. Tingkat pendidikan pun paling tinggi sembilan tahun. Adakah hubungan keadaan ini dengan maraknya pernikahan dini dan tengkes (stunting) yang tidak kecil jumlah di kabupaten ini?

Kalau merujuk pada Profil Desa Sumur Mas Tahun 2021, di antara 386 orang ini, 201 orang bekerja sebagai petani, buruh-petani 15 orang. Hanya kalau bertani, pertanyaannya: Mengapa lahan sawah nol (0) Ha tanpa ada satu waduk pun lahan ladang, 1.100 Ha tidak nampak memunculkan tanaman padi, lahan-lahan halaman juga tidak nampak tanaman sayur-mayur menghijau? Yang nampak adalah hijauh rerumputan.

Halaman-halaman rumah, saya perhatikan secermat mungkin. Pengamatan ini mengatakan bahwa cabai, ubi kayu (beda dengan singkong food-estate yang berumbi hanya sebesar jari dan disebut berhasil!), bayam, serai, lengkuas, dan lain-lain, bisa tumbuh dengan baik sekalipun tak dirawat sungguh-sungguh. Hanya saja, tanaman keperluan dapur sehari-hari ini tidak akan tumbuh jika tidak ditanam.

Keadaan sesungguhnya menjadi kian jelas ketika Sekretaris Desa (Sekdes) Yater Sahabu mengatakan kepada saya bahwa 99 persen penduduk Desa Sumur Mas hidup dari ‘mangamas’ (mencari emas). Secara bercanda Sekdes mengatakan, “Di desa ini, Orang Jawa (di sini disebut Paman –KS) menjual pentol untuk beli tanah, sebaliknya Orang Dayak menjual tanah  untuk membeli pentol.”

Karena 99 persen penduduk aktif mangamas, keperluan hidup sepenuhnya tergantung dari luar. Beras, sayur-mayur, ikan, bahkan air minum (satu galon besar seharga Rp10.000,-), semuanya dibeli dari luar desa. Karena menjadi kebiasaan, maka ketergantungan ini dipandang sebagai suatu kewajaran.

Memang di leher, tangan,  jari-jari, dan telinga hampir setiap orang baik dewasa atau pun kanak-kanak, saya melihat kilau emas. Emas bukan merupakan hal luar biasa. Yang luar biasa adalah telepon genggam yang canggih, sedangkan rumah-rumah penduduk juga tidak dibuat megah dan mewah oleh pekerjaan mangamas.

Dengan perasaan menyesal, saya mesti mengatakan bahwa rumah-rumah penduduk yang mayoritas mangamas ini masih saja tidak jauh dari tingkat kekumuhan. Gedung SD dan SMP pun tidak juga istimewa bahkan untuk membeli komputer saja sampai sekarang belum berhasil. Saya sempat tercenung diam sejenak ketika Kepala SMP Desa Sumur Mas mengetengahkan persoalan komputerisasi sekolah seakan minta pertolongan, sementara untuk membeli perlengkapan Sakula Budaya saja mesti jadi pengemis.

Terhadap nilai emas ini, saya teringat apa yang terjadi pada diri saya sendiri ketika remaja di Yogyakarta. Waktu itu, kami ingin menyelenggarakan festival drama selama seminggu. Tapi, sebagai mahasiswa dan pelajar, kami tak punya uang. Namun tekad untuk menyelenggarakan festival drama seminggu itu tak terusik. Dalam rapat persiapan, kami memutuskan menggadaikan apa yang bisa kami gadaikan. Saya punya sepeda butut untuk kuliah. Saya putuskan menggadai sepeda itu dan rela ke tempat kuliah dengan jalan kaki. Teman lain menggadaikan cincin emas di jarinya. Di mata saya, cincin emas itu tidak ada artinya karena waktu di kampung di Katingan, mendapatkan emas bukanlah hal yang sulit. Turun saja mandulang ke sungai, akan didapat emas yang diperlukan. Mendapat rusa, punai atau tupai hasil sumpitan dari bambu jenis lamiang jauh lebih membahagiakan. Tapi di Yogya, ternyata hasil gadaian cincin jauh lebih besar daripada sepeda butut saya. Teman-teman menertawai saya, “Dasar Dayak!” Barangkali dalam pikiran orang-orang di Desa Sumur Mas sekarang, tidak jauh berbeda dari remaja Yogya saya dahulu itu. Apalagi ketika saya mendengar cerita mantir desa.

Menurut mantir (pemangku adat tingkat desa), pada awal-awal orang berburu emas di desa ini, pembeli rokok membayar harga rokok dengan jumputan emas seberapa ia mau. Karena hasil mangamas bukan ukuran gram atau kilo tapi karung.

“Mengapa hasil mangamas itu tidak nampak pada kesejahteraan penduduk hingga hari ini?” tanya saya.

“Pada saat pemburuan mas, perjudian, minum-minum dan mambawi (main perempuan) pun marak berkembang. Di tempat-tempat beginilah, hasil mangamas itu berakhir. Yang menikmatinya adalah para bandar judi, penjual minuman dan penjaja seks.”

Cerita serupa juga saya dapatkan ketika pulang sebentar ke Kasongan, Katingan.

Ketika bertandang ke rumah-rumah warga di kampung yang masih mengenal dan menyayangi saya karena kenakalan kanak dahulu, mereka pamer. Ia/mereka menghamparkan uang jualan kayu hutan yang dibabat. Lantai seluas kamar tamu penuh. Ketika datang kembali beberapa tahun kemudian, kekumuhan masih saja berada di kampung lahir saya itu.

Kepada tetua kampung saya bertanya, “Ke mana hasil jualan kayu?”

Jawaban yang saya terima, persis sama dengan yang saya dengar di Desa Sumur Mas hari ini.

“Mengapa Dayak begini?” tanya saya dalam hati. Terasa ada darah mengalir deras dalam hati. “Ini bukan jalan Manggatang  Utus, tapi jalan bunuh diri.”

Dihadapan keadaan begini, saya teringat nasehat tetua bahwa Tuhan hanya menolong orang yang mau berusaha. Daripada mengutuk malam, lebih baik menyalakan  lilin. Dan lilin itu betapa pun kecil cahaya yang disebarkannya, ia tetap cahaya berarti di tengah kegelapan. Cahaya itu tidak lain daripada proses penyadaran melalui pendidikan. Salah satu caranya adalah melalui Sakula Budaya untuk anak-anak, melalui anak-anak mencapai orang-orang tua. Pada saatnya, Sakula Budaya untuk orang dewasa pun dengan kurikulum berbeda patut diselenggarakan.

Barangkali, ini adalah salah satu tambang emas lain yang selama ini terabaikan. Jika meminjam istilah Sulistyowati Irianto, Guru Besar Antropologi Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia,  ‘Jalan Kebudayaan Bagi Indonesia” (lihat: Kompas, 23 Januari 2024).

Paralel dengan mimpi pengubahan maju demikian, Kwartet Megan-Ririn-Monalisa-Jeje di Desa Sumur Mas dan desa-desa sekitar lainnya telah membuka ‘tambang-emas’ lain berupa Program 100 juta pohon dengan menanam berbagai macam pohon dan buah-buahan seperti séngon, nilam, kakao, mangga, jeruk, dan lain-lain. Program ini memberi alternatif kehidupan selain menambang emas, memecahkan masalah-masalah nyata dalam bentuk memberiberi pekerjaan pada penduduk, mencoba menangani masalah-masalah kehidupan berjangka panjang, menengah dan keseharian. Artinya, menjawab masalah ekonomi secara ekonomi.

Cara ini dilakukan dengan pendekatan kebudayaan melalui Sakula Budaya untuk anak-anak sehingga proses penyadaran berlangsung secara berkesinambungan. Dengan kata lain, proses penyadaran dan pemberdayaan dilakukan secara berbarengan antara penanganan masalah kepala dan perut, penanganan masalah ekonomi dan kesadaran. Sebab perut tidak bisa menunggu, ujar Bung Karno dahulu. Penangangan masalah perut akan membantu proses penyadaran jika tidak terpasung oleh gerakan ekonomis belaka. Barangkali, di sinilah terdapat makna kata-kata penulis Rusia bahwa manusia tidak hanya hidup dari roti belaka.

Saya sedang membayangkan apabila pepohonan yang sudah ditanam sekarang mulai membesar dan bisa dipanen, warga Desa Sumur Mas dan sekitarnya akan mempunyai Tambang Emas Baru yang terbarukan. Tambang emas baru yang menghidupkan, bukan menghancurkan.***


Halaman MASYARAKAT ADAT asuhan Kusni Sulang dan Andriani SJ Kusni. Radar Sampit, Minggu, 28 Januari 2023. Redaktur: Heru Prayitno, Penata Letak: Rafi

Halaman Budaya Sahewan Panarung | 21 Januari 2024 | Wawancara Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Kalimantan Tengah Adiah Chandra Sari, S. H., M. H.,: “Kita harus mengakui bahwa Kalimantan Tengah sangat kekurangan SDM bidang sejarah”

Radar Sampit, Minggu, 21 Januari 2024

Adiah Chandra Sari, S. H., M. H., Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Kalimantan Tengah saat menerima kunjungan perwakilan Sakula Budaya Kalimantan Tengah di kantornya, tahun 2023. Foto: Andriani SJ Kusni/2023

Pengantar

Pengasuh ruangan kebudayaan Harian ini memandang bahwa di Kalimantan Tengah (Kalteng) ada keterputusan sejarah, ada ketakutan pada sejarah. Sejarah lokal seperti sejarah kabupaten, apalagi desa-desa, belum sepenuhnya ditulis secara profesional. Dalam upaya mencoba menjawab masalah ini, selangkah demi selangkah, Pengasuh Ruang Kebudayaan Harian Radar Sampit Sahéwan Panarung, Andriani SJ Kusni, melakukan wawancara tertulis dengan Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Kalimantan Tengah Adiah Chandra Sari, S. H., M. H., Rabu, 17/1/2024.

Radar Sampit mengucapkan terima kasih atas kesediaan Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Kalimantan Tengah Adiah Chandra Sari, S. H., M. H., memberikan waktu menjawab pertanyaan-pertanyaan kami di tengah kesibukan-kesibukan. Berikut adalah cuplikan wawancara tersebut (Red.)

Tentang Sejarah

Radar Sampit: Tahun 2023 lalu Dinas Kebudyaan dan Pariwisata Kalteng cukup intens menyelenggarakan berbagai bentuk kegiatan sejarah Kalteng, sesuatu yang bisa dikatakan baru. Apa dasar pemikiran yang melatarbelakangi intensitas tersebut?

Pemerintah Kalimantan Tengah melalui Dinas Kebudayaan dan Pariwisata menyadari bahwa referensi sejarah sangat minim, terutama terkait tokoh dan peristiwa sejarah di Kalimantan Tengah. Kita harus mengakui bahwa Kalimantan Tengah sangat kekurangan SDM bidang sejarah, baik dalam instansi pemerintah maupun di luar pemerintahan. Kekurangan ini berdampak pada minimnya referensi sejarah, yang dikhawatirkan suatu saat akan berdampak hilangnya jejak sejarah serta terjadinya bias sejarah terutama pada generasi muda. Berpatokan pada hal tersebut, contohnya pada tahun 2023, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata melaksanakan kegiatan Pendataan Tempat Sejarah, Lomba Karya Tulis Sejarah, Seminar Tokoh Sejarah, Bimtek Peningkatan Keterampilan Menyusun Teks Cerita Sejarah, Bimtek Peningkatan Kapasitas Tenaga Kesejarahan dan Lawatan Sejarah Kalimantan Tengah. Semua kegiatan ini diharapkan dapat memperkaya referensi sejarah, meningkatkan kapabilitas SDM kesejarahan serta sebagai sarana edukasi sejarah bagi generasi muda.

Radar Sampit: Langkah-langkah apa ke depan yang akan dilakukan oleh Dinas di bawah pimpinan Ibu untuk mengkonsolidasi dan menindaklanjuti kegiatan tentang sejarah ini?

Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah melalui Disbudpar akan berusaha konsisten dalam melaksanakan berbagai kegiatan yang terkait dengan kesejarahan, bahkan berusaha meningkatkan intensitas maupun kualitas dari kegiatan-kegiatan tersebut. Selain itu, Disbudpar juga akan membangun jejaring koordinasi dan komunikasi dengan Para Tokoh Sejarah maupun Akademisi di Lembaga Pendidikan yang ada di Kalimantan Tengah. Selanjutnya juga akan diupayakan untuk meningkatkan kegiatan dokumentasi sejarah, terutama untuk objek-objek sejarah yang masih belum tergali.

Radar Sampit: Di Indonesia, banyak terjadi situs-situs sejarah dihancurkan, padahal secara undang-undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya, situs-situs itu seniscayanya dilindungi dalam bentuk cagar budaya. Penghancuran ini pun terjadi di Kalteng kita. Misalnya jembatan kayu di Mandumai, rujab Gubernur Tjilik Riwut, Kuburan tertua Kaharingan di Pahandut, pencurian sapundu-sapundu tua. Dan (bagaimana nasib gedung KONI dan Patung di Bundaran Besar?) Bagaimana kebijakan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi terhadap situs-situs bersejarah itu sebenarnya?

Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kalimantan Tengah tentunya menaruh perhatian yang sangat besar terhadap objek-objek cagar budaya maupun objek yang diduga cagar budaya. Dalam melaksanakan tugasnya, Disbudpar tentunya memiliki acuan utama yaitu UU Nomor 11 tahun 2010 Tentang Cagar Budaya. Disbudpar juga memiliki komitmen kuat untuk menyusun instrumen pelaksanaan UU tersebut di daerah, yang dibuktikan dengan telah disahkannya Peraturan Daerah Kalimantan Tengah Nomor 02 Tahun 2023 Tentang Cagar Budaya yang disusun bersama dengan pihak Legislatif. Hal ini merupakan salah satu upaya Disbudpar untuk melakukan perlindungan terhadap objek cagar budaya maupun objek yang diduga cagar budaya di Kalimantan Tengah. Sampai dengan saat ini, pelaksanaan pelestarian Cagar Budaya di Kalimantan Tengah tetap mengacu pada aturan yang berlaku.

Radar Sampit: Apakah ada rencana dari Dinas mewajibkan tiap Kabupaten menyusun sejarah kabupaten dan kecamatan masing-masing secara lebih lengkap, bukan hanya empat-lima lembar atau seadanya?

Menjalankan fungsi koordinasi, tentunya telah secara berjenjang menghimbau pelaksanaan berbagai kegiatan yang masuk dalam ranah Tugas Pokok dan Fungsi Disbupar, salah satunya terkait sejarah. Sebagai contoh, Disbupar secara rutin memacu penyusunan PPKD di Kabupaten/Kota se-Kalimantan Tengah, yang merupakan ruh dari upaya pelestarian kebudayaan daerah, termasuk sejarah didalamnya.

Tentang Pelestarian dan Pemajuan Kebudayaan

Radar Sampit: Apa-bagaimana rencana lanjut Dinas Kebudayaan Provinsi tahun 2024 ini untuk melaksanakan amanat UU Nomor 5 Tahun 2017 Tentang Pemajuan Kebudayaan di Kalteng?

Sampai saat ini, kegiatan yang bertujuan dalam upaya pemajuan kebudayaan masih mengacu pada UU Nomor 5 tahun 2017. Pada tahun 2024, Disbudpar akan melaksanakan Pengisian Data Pokok Kebudayaan, Penyusunan PPKD dan secara rutin melakukan pengusulan penetapan WBTB.

Radar Sampit: Setelah Sakula Budaya di Desa Linau berakhir dan sekarang tengah dikonsolidasi, sekarang sedang berlangsung di Desa Sumur Mas Sakula Budaya Handep-Hapakat. Di Barito Selatan dalam proses persiapan. Bagaimana Dinas menanggapi prakarsa dari bawah untuk melestarikan dan mengembangkan kebudayaan di Kalteng?

Disbupar Provinsi Kalimantan Tengah tentunya mengapreasi Program Sakula Budaya yang telah diinisiasi oleh Bapak Kusni Sulang. Tentunya kami berkeinginan untuk dapat berpartisipasi dalam program strategis ini kedepannya. Oleh sebab itu kami berupaya untuk menyusun instrumen pendukungnya, agar dapat terpenuhinya unsur legal-formal sebagai dasar bagi Pemerintah Daerah dapat terlibat bahkan memaksimalkan program strategis ini. Terutama dengan terlebih dahulu menyusun PPKD sebagai acuan dalam upaya Pelestarian Kebudayaan di Kalimantan Tengah.

Radar Sampit: Dalam upaya mengkonsolidasi hasil-hasil yang dicapai oleh Sakula Budaya yang direncanakan akan diselenggarakan di seluruh kecamatan Kalteng, apakah Dinas bisa membantu penyelesaian masalah legalitas? Apa saja yang bisa dibantu oleh Dinas baik provinsi ataupun kabupaten?

Sampai saat ini kami berusaha untuk menyusun instrumen pendukungnya agar dapat terpenuhinya unsur legal-formal sebagai dasar bagi Pemerintah Daerah dapat terlibat bahkan memaksimalkan program strategis ini. Terutama dengan terlebih dahulu menyusun PPKD sebagai acuan dalam upaya Pelestarian Kebudayaan di Kalimantan Tengah.

Tentang Kongres Kebudayaan Kalteng

Radar Sampit: Sejak Kalteng berdiri sebagai provinsi otonom pada 1957, sekali pun tidak pernah dilangsungkan pertemuan serius tentang kebudayaan. Yang dimaksudkan dengan kebudayaan Kalteng bukan hanya tentang kebudayaan Dayak, tapi semua kebudayaan yang ada di Kalteng. Bagaimana pandangan Ibu tentang masalah Kongres Kebudayaan Kalteng ini? Mengapa perlu kalau perlu?

Disbudpar menyadari betul bahwa Kongres Kebudayaan merupakan hal penting yang harus dilaksanakan di Kalimantan Tengah, sebagai langkah awal dan monumental dalam upaya pelestarian budaya. Tentunya dalam hal penganggaran, sebelumnya harus dibuatkan instrumen hukum sebagai dasar dalam pengajuannya. Oleh sebab itu, dalam PPKD Kalimantan Tengah yang nantinya akan disusun, terkait pelaksanaan Kongres Kebudayaan akan dicantumkan. Hal ini yang kemudian dapat menjadi dasar bagi Disbudpar untuk dapat terlibat atau bahkan menjadi pelaksana Kongres Kebudayaan Kalimantan Tengah. ***


KECAPI DAN GENDANG MANCA UNTUK SAKULA BUDAYA

Hansli Gonak (baju putih), Kepala Dinas Kebudayaan, Pemuda dan Olahraga Kabupaten Gunung  Mas, menyumbang sebuah kecapi untuk Sakula Budaya Handep-Hapakat Desa Sumur Mas, 10 Januari 2024. Sumbangan ini sangat berarti bagi penyelenggaraan Sakula  yang sangat kekurangan perlengkapan-perlengkapannya. Foto: Tendri/2024

Palangka Raya, 21 Januari 2024. Sakula Budaya yang pada tahun 2023 lalu dimulai di Desa Linau, Kecamartan Rungan, Kabupaten Gunung Mas, sekarang dilanjutkan di desa dan kecamatan lain di Kabupaten yang sama. Sakula Budaya yang sekarang, berlangsung di Desa Sumur Mas, Kecamatan Tewah, Kalimantan Tengah, dengan peserta dua kali lipat lebih banyak dari yang telah berlangsung di Desa Linau.

Bentuk dukungan konkret terhadap upaya melestarikan dan pemajuan kebudayaan Dayak sebagai bagian dari cita-cita Manggatang Utus ini, diperlihatkan oleh Kepala Dinas Kebudayaan, Pemuda dan Olahraga Kabupaten Gunung Mas, Hansli Gonak. Ketika menyambut kedatangan penyelenggara Sakula di kantornya, Hansli Gonak telah memberikan sebuah kecapi  yang ada di kantor untuk Sakula Budaya Handep-Hapakat Desa Sumur Mas.

Bantuan ini juga berupa gendang manca dan lain-lain, juga telah diterima oleh Sakula Budaya Handep-Hapakat dari Damang Drs. Kardinal Tarung, mantan Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Kalimantan Tengah, dari Profesor Dr. Andrew Weintraub dari Amerika Serikat, Gereja Evangelis Jerman dan Lembaga Kebudayaan Dayak Kalimantan Tengah.

Bantuan-bantuan kongkret begini sangat diperlukan oleh Sakula Budaya yang sampai sekarang masih kekurangan perlengkapan-perlengkapan latihan seperti alat-alat musik tradisional Dayak. Bisa terselenggaranya Sakula Budaya yang direncanakan akan dilanjutkan ke sebanyak mungkin desa-desa Kalimantan Tengah, terutama karena partisipasi masyarakat dan berbagai pihak. (ask-1-24).


Halaman Budaya Sahewan Panarung asuhan Kusni Sulang dan Andriani SJ Kusni. Radar Sampit, Minggu, 21 Januari 2024. Redaktur: Agus JP, Penata Letak: Rafi

Halaman Masyarakat Adat | 14 Januari 2024 | Catatan Kusni Sulang: PERANTAU SAKLAWASE

Radar Sampit, Minggu, 14 Januari 2024 | Penyunting: Andriani SJ Kusni

Tidak sia-sia Pemkab Murung Raya mendatangkan transmigrasi di Desa Bahitom Kecamatan Murung. Keberadaan warga di sana dinilai membantu kebutuhan pangan daerah ini dari hasil pertaniannya. Foto: https://mmc.kalteng.go.id/berita/read/2269/warga-transmigrasi-dinilai-bantu-penuhi-kebutuhan-pangan-di-murung-raya

Daerah Kalampangan terletak di pinggiran Kota Palangka Raya, merupakan sebuah wilayah penampungan transimigrasi asal Jawa. Dengan mengubah lahan gambut menjadi lahan pertanian, terbukti berhasil. Terlihat dari hasil sayur-sayuran yang telah dipasarkan ke Kota Palangka Raya. Foto: https://mmc.kalteng.go.id/berita/read/6547/petani-kalampangan-panen-sayur-sawi

Data Sensus Penduduk Indonesia 2010, dari 2.207.367 jiwa yang didata, tiga etnis dominan di Kalimantan Tengah yaitu Jawa sebanyak 21,68%, Banjar sebanyak 21,03% dan Dayak 20,42%. Sementara suku asal Kalimantan lainnya di luar Dayak sebanyak 26,67%.[45][46]

Kawasan utama etnis Dayak yaitu daerah hulu dan pedalaman, kawasan utama etnis Jawa yaitu daerah transmigrasi dan kawasan utama etnis Banjar yaitu daerah pesisir, perbatasan Kalimantan Selatan dan perkotaan (https://id.wikipedia.org/wiki/Kalimantan_Tengah;”Kewarganegaraan, Suku Bangsa, Agama, dan Bahasa Sehari-hari Penduduk Indonesia” (pdf). Badan Pusat Statistik. 23 Mei 2012. hlm. 36–41. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-05-08. Diakses tanggal 9 September 2021).

Komposisi suku bangsa di Kalimantan Tengah selengkapnya dapat dilihat pada tabel berikut:

No.Suku BangsaSensus 2010
JumlahPersen
1.Asal Kalimantan (di luar Dayak)588.65026,67%
2.Jawa478.43421,68%
3.Banjar464.26021,03%
4.Dayak450.68220,42%
5.Melayu86.3223,91%
6.Madura42.6681,93%
7.Sunda28.5651,29%
8.Asal NTT15.3700,70%
9.Batak12.3240,56%
10.Bugis8.0400,36%
11.Bali7.3620,33%
12.Tionghoa5.1300,23%
13.Lainnya19.5600,89%
Total2.207.367100%
Sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/Kalimantan_Tengah

Kemudian pada tahun 2023, Arief Budiatmo, mantan anggota DPRD Kalteng, Dewan Penasehat Paguyuban Kulowargo Wong Jowo (Pakuwojo) Provinsi Kalteng mengatakan bahwa “Dari seluruh masyarakat Kalteng, diperkirakan 34 persennya orang Jawa” (https://kalteng.co /politika /tokoh-jawa-menilai-abdul-razak-layak-jadi-gubernur-kalteng/).

Sementara Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan mengetengahkan variasi angka lain lagi, tapi tetap etnik asal Jawa merupakan etnik terbesar dari segi jumlah di Kalteng, diikuti oleh etnik Banjar. Padahal pada tahun 1957, saat Kalteng berdiri sebagai provinsi otonom, etnik Dayak merupakan suku terbesar, karena itu Prof. Dr. Mubyarto menyebut Kalteng sebagai Provinsi Dayak.

Perubahan komposisi demografis Kalteng yang demikian, tidak terlepas dari politik kependudukan yang dipilih oleh Pemerintah Pusat melalui kebijakan transmigrasinya.

“Besarnya proporsi orang Jawa di Kalteng karena banyaknya transmigrasi asal Jawa Tengah, Yogyakarta dan Jawa Timur yang masuk ke Kalteng”, tulis https://id.wikipedia.org/wiki/Kalimantan_Tengah.Wikipedia lebih lanjut menulis: “Di beberapa kabupaten seperti Kotawaringin Barat, Seruyan dan Pulang Pisau, etnis Jawa adalah penduduk mayoritas”.

Dengan adanya Program Nasional Food-Estate yang memerlukan tenaga kerja banyak, jumlah transmigran yang didatangkan oleh pemerintah ke Kalteng bukan makin berkurang atau berhenti seperti pernah dituntut oleh DPRD Kalteng, tapi justru semakin besar sehingga posisi etnik Jawa sebagai etnik mayoritas di Kalteng menjadi semakin kokoh.

Tentu bukanlah kebetulan apabila pelantikan dan pengukuhan pengurus Pakuwojo Kalteng periode 2023-2027 dilakukan oleh Gubernur melalui Wakil  Gubernur (Wagub) Edy Pratowo di Ballroom Hotel Bahalap, Sabtu, 11/3/2023 (https://setda.kalteng.go.id/publikasi/detail/wagub-lantik-dan-kukuhkan-pengurus-pakuwojo-kalteng).

Perubahan komposisi demografis demikian membuat Kalteng tak ubah laiknya Mini Indonesia, dalam artian hampir semua etnik yang ada di negeri ini terdapat di Kalteng dan tentu saja berpengaruh langsung ke berbagai sektor kehidupan, apalagi di bidang politik. Apabila keragaman ini bisa dikelola dengan baik, tentu saja kebhinnekaan demikian merupakan suatu rahmat dan suatu kekayaan serta kekuatan untuk bergerak maju ke arah pemanusiawian kehidupan dan masyarakat. Jika tidak, bisa dipastikan akan merupakan malapetaka. Dan petaka itu pernah terjadi misalnya di tahun 2000 yang dikenal sebagai Tragedi Sampit.

Ide umum yang ditawarkan guna mengelola keragaman ini di Kalteng adalah konsep yang dirumuskan sebagai ’di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung’. Konsep ini jugalah yang dianut dan ditawarkan oleh organisasi baru, Perkumpulan Warga Jawa Perantau Saklawase (PAWARTOS) Kalteng yang dibentuk dan dideklarasikan, Minggu tanggal 4 September 2023, organisasi mitra dari Pakuwojo yang sudah lama ada.

Saya khawatir, konsep ini merupakan sebuah konsep yang tak zamani lagi sebab penganut pandangan ini tidak menganggap bumi yang ia pijak sebagai kampung halaman mereka, tapi sekedar tempat merantau mencari hidup. Kampung halamannya ada di tempat lain. Bumi yang sedang ia atau mereka pijak, tidak lebih dari kebun halaman belakang rumah mereka di tempat lain. Mereka tidak punya rasa tanggung jawab membangun bumi yang sedang ia pijak. Untuk aman maka mereka ‘menjunjung langit’ untuk sementara  menaungi mereka sehingga bisa dan gampang terjadi ‘di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung’ sedangkan tangan lain ‘nyolong’ (mencuri) untuk dibawa pulang ke kampung mereka nun di sana.

Lalu yang tepat bagaimana?

Saya kira yang tepat adalah ‘di mana bumi dipijak, di situ bumi dibangun’ atau ‘di mana langit dijunjung, di situ bumi dibangun’. Dengan pandangan dan sikap ini, mereka memandang bumi yang mereka pijak adalah kampung-halaman mereka sendiri. Ini adalah “pijak, tempat mereka mencari hidup yang tidak lain dari tanah rantau semata”. Karena itu, dengan sikap begini, tidak mengherankan jika banyak orang-orang non-Dayak yang lahir, besar dan bekerja di Kalteng tapi hidup dalam ghetto budaya lama mereka, berbahasa Dayak pun tidak bisa karena menganggapnya tidak penting. Tidak berguna. Mereka betul-betul adalah Perantau Saklawase, turis jangka panjang di Kalteng.

Konsep ‘di mana bumi dipijak, di situ bumi dibangun’ atau ‘di mana langit dijunjung, di situ bumi dibangun’, secara lain bisa disebut juga Uluh Kalteng Beridentitas Kalteng (Oranq Kalteng Beridentitas Kalteng). Warga Kalteng apapun asal etniknya, kalau mereka tinggal di Kalteng, mereka adalah Uluh Kalteng. Identitasnya? Tentu saja beridentitas Kalteng. Untuk bisa memiliki identitas demikian, mereka niscaya belajar budaya lokal, lebih-lebih bahasa lokal (baca: Bahasa Dayak). Tidak ada ruginya dan tidak ada salahnya kecuali sangat menguntungkan belajar budaya cq bahasa lokal.

Di tahun 1990-an, dalam sebuah diskusi yang juga dihadiri oleh seorang perwira polisi, saya pernah mengajukan agar polisi, tentara dan siapa saja yang non-Dayak tapi bekerja di Kalteng, lembaganya menyelenggarakan kursus bahasa Dayak. Dalam hubungan ini, saya merasa sedikit aneh jika politik bahasa yang diterapkan sekarang ‘mengutamakan bahasa Indonesia’, padahal dalam Sumpah Pemuda tidak disebut mengutamakan tapi menjunjung tinggi bahasa Indonesia. Dengan politik bahasa yang demikian, tidak mengherankan jika bahasa-bahasa lokal terpinggirkan atau paling tidak menjadi nomor dua atau lima.

Dalam upaya melahirkan Uluh Kalteng Beridentitas Kalteng ini, ada kejadian berikut.

Pada suatu hari, teman saya dari Katingan yang menikah dengan seorang perempuan asal Jawa, tapi lahir dan besar di Kalteng–saya sebut menggunakan istilah pemilik warung dekat rumah yang seorang asal Jawa, ‘Jawa Gambut’. Teman muda saya itu bertanya, apakah saya bisa membantu mendapatkan sepuluh eksemplar Kamus Dayak Ngaju-Indonesia.

“Untuk apa?” saya bertanya balik.

“Ada sekolah dasar di Seruyan memerlukannya. Mereka ingin belajar Bahasa Dayak Ngaju.”

“Siapa mereka itu?”

“Orang-orang Jawa transmigran.”

Mendengar hal demikian, saya sangat gembira. Jawa Transmigran mau belajar Bahasa Dayak. Ini dia janin Uluh Kalteng Beridentitas Kalteng itu.

“Bisa, saya pastikan bisa. Dalam dua hari kau akan mendapatkan 10 Kamus Dayak-Indonesia itu.”

Sebenarnya, Uluh Kalteng Beridentitas Kalteng itu bukan hal baru.

Zaman Perang Gerilya mengusir Belanda dulu, ada teladan dari Kapten Mulyono yang Jawa, dari H. M. Arsyad yang Bugis, dan di Desa Sumur Mas saya dapatkan orang-orang dari NTT dan Bugis. Orang-orang ini tidak menganggap dirinya sebagai Perantau Saklawase, melainkan Uluh Kalteng  Beridentitas  Kalteng.

Hal berkesan lainnya yang selalu saya ingat bahwa lelaki-perempuan muda Kalampangan, desa transmigran di pinggiran Palangka Raya yang secara sadar belajar tarian Dayak dari seorang seniman Ma’nyaan berpengalaman yang juga tinggal di daerah Kalampangan. Untuk mendorong dan mengembangkan semangat ini, bersama Sanggar Tari Balanga Tingang pimpinan Novi dan Denny, kami pernah menyelenggarakan pentas tari dengan mengikutsertakan mereka.

Saya kira, untuk mengelola kebhinnekaan etnik dan budaya di Kalteng, barangkali mengembangkan dan melaksanakan konsep Uluh Kalteng Beridentitas Kalteng akan membuat kebhinnekaan itu suatu kekayaan. Dengan konsep ini maka Dayak berarti ‘Dayak Kebudayaan, genealogis dan yang senasib dengan Dayak’. Kongres Kebudayaan Kalteng adalah tempat bersama untuk merumuskannya.***


Halaman MASYARAKAT ADAT asuhan Kusni Sulang dan Andriani SJ Kusni. Radar Sampit, Minggu, 31 Desember 2023. Redaktur: Heru Prayitno, Penata Letak: Rafi

Halaman Budaya Sahewan Panarung | 7 Januari 2024 | Catatan Andriani SJ Kusni: SEPERTI DIKETEPIKAN

Radar Sampit, Minggu, 7 Januari 2024

Antologi Puisi Indonesia, terbitan Yayasan Lontar Jakarta, 2017

John H. McGlynn, Ketua Redaksi penyusunan Antologi Puisi Indonesia. Kumpulan Pilihan Yayasan Lontar. Penerjemah lebih 200 buku sastra Indonesia ke bahasa Inggris sesuai motto Yayasan Lontar “Promoting Indonesia through Literature and Culture”. Foto: https://www.indoindians.com/john-h-mcglynn-sharing-indonesian-literature-worldwide/

Sekitar enam-tujuh tahun lalu, tepatnya pada tahun 2016 dan 2017, telah terbit dua antologi puisi Indonesia. Dalam sejarah perpuisian Indonesia, sebelumnya tidak pernah diterbitkan bunga rampai puisi setebal dua buku ini, demikian juga jumlah penyair yang disertakan.

Antologi pertama berjudul Matahari Cinta Samudera Kata, diterbitkan pada tahun 2016 oleh Yayasan Hari Puisi dan Yayasan Sagang, Pekan Baru, diselenggarakan oleh penyair asal Riau, Rida K.  Liamsi. Antologi puisi ini melibatkan 216 penyair dari usia 14-80 tahun, diterbitkan sebagai “bagian dari memeriahkan peringatan Hari Puisi Indonesia” dan diluncurkan pada 12 Oktober 2016 di Taman Ismail Marzuki, Jakarta.

Kiranyalitera.co.id  tidak salah jika mengatakan bahwa antologi puisi Matahari Cinta Samudera Kata merupakan buku puisi tertebal di Indonesia hingga hari ini karena ketebalan buku berukuran 24 cm ini mencapai2016 halaman untuk puisi biodata penyair, ditambah dengan  40 halaman romawi kecil dari halaman sampul, Catatan Penyelenggara, dan Kata Pembuka (https://www.litera.co.id/2016/09/25/matahari-cinta-samudra-kata-buku-puisi-tertebal-di-indonesia/).

Sayangnya, saya belum memiliki antologi ini. Informasi yang saya dapatkan sangat tidak memadai karena sebatas keterangan dari  SerambiNews.co,  aceh.tribunnews.com, litera.co.id, sejumlah blog, sehingga saya tidak bisa berbicara banyak mengenai antologi puisi tertebal ini.

Dari sumber-sumber tersebut, saya dapatkan daftar nama 216 penyair  yang karya-karya mereka dimuat dalam antologi. Tapi, keterangan-keterangan ini pun masih tidak menjawab keseluruhan apa yang saya cari. Dari daftar nama tersebut, saya dapatkan mayoritas penyair berada pada tingkat usia yang tidak jauh berbeda. Artinya mayoritas mereka adalah penyair seangkatan. Walaupun ada yang berusia 80 tahun, ada pula yang baru 14 tahun. Dalam perbandingan, perbedaan mencolok ini tentu saja jumlahnya tidak akan besar, sebab jika jumlah usia 14an tahun ini cukup banyak, barangkali akan mempengaruhi kriteria pemilihan apa yang akan dimasukkan ke dalam antologi. Sekalipun tidak besar, adanya perbedaan usia yang mencolok ini menimbulkan pertanyaan tentang kriteria pemilihan karya oleh redaksi antologi tertebal ini—suatu jerih-payah yang perlu dihargai.

Pada tahun 2017, antologi puisi penting lainnya berjudul Antologi Puisi Indonesia. Kumpulan Pilihan Yayasan Lontar. Melacak Sejarah Bangsa Indonesia Abad Ke-20 Melalui Puisi (selanjutnya disingkat Antologi Puisi Lontar) diterbitkan oleh Yayasan Lontar Nusantara atas bantuan Henry Luce Foundation. Antologi setebal v-xxix+796 halaman ini, memuat 460 puisi karya 240 penyair Indonesia dari berbagai angkatan dan aliran pandangan serta berbagai daerah sejak tahun 1920-2000. Walaupun antologi puisi pilihan Yayasan Lontar ini tidak setebal Matahari Cinta Samudera Kata, tapi jumlah penyair yang ditampilkan jauh lebih banyak.

Untuk penyusunan Antologi Puisi Lontardibentuk sebuah tim terdiri dari Dewan Redaksi, Redaksi Tamu, Penasihat, Manajer Redaksi, Asisten Redaksi, Sampul dan Perwajahan, dan Tata Letak. Dewan Redaksi terdiri dari John H. McGlynn (Ketua), Dorothea Rosa Herliani, dan Debra Cole. Redaksi Tamu: Agus R. Sardjono, Eka Budianta, Joko Pinurbo, Radhar Panca Dahana. Dan yang menarik, dalam Tim Penasihat tertera nama Rida K. Liamsi, penyelenggara antologi puisi Indonesia tertebal hari ini,  Matahari Cinta Samudera Kata—barangkali bentuk upaya Yayasan Lontar untuk menarik pengalaman dari Rida, bagaimana menyusun sebuah antologi puisi yang bermutu.

Tentang kriteria pemuatan puisi dalam Antologi Puisi Lontarini, oleh John McGlynn dijelaskan melalui Pengantar Penerbit, sebagai berikut: “Adapun puisi-puisi yang dimasukkan dalam buku kumpulan ini, selain didasarkan pada prestasi mereka di bidang kesusasteraan atau kepenyairan, juga dipilih atas dasar kemampuan karya tersebut dalam memberikan sumbangan pada berbagai topik yang mewakili keragaman pengalaman dalam perjalanan sejarah Indonesia sebagai bangsa selama abad kedua puluh, lepas dari apakah penyair tersebut sudah terkenal atu sudah diterima masyarakat luas atau belum.”

Berangkat dari kriteria tersebut, memang “keragaman pengalaman dalam perjalanan sejarah Indonesia sebagai bangsa selama abad kedua puluh” relatif tercermin dalam Antologi Puisi Lontar ini, walaupun sajak-sajak yang dipilih barangkali bukan puisi yang terbaik dari penulis tersebut.

Saya anggap, walaupun kriteria ini sesungguhnya bukan sesuatu yang baru, tetapi ketika pada hari ini ia dilaksanakan maka hal demikian merupakan suatu contoh bagaimana melaksanakan prinsip yang sering diucapkan tapi sering jauh dari perwujudan. Lebih jauh, saya ingin menyebutnya sebagai suatu terobosan maju. Bagaimana menjadikan kata-kata adalah terjemahan dari perbuatan dan tindakan adalah ungkapan dari kata-kata yang membuat kata-kata tidak kehilangan makna. Hal begini menjadi penting di negeri  yang cenderung menghilangkan makna bahasa sehingga muncul keadaan orang-orang yang bisa berkata-kata tapi tidak bisa berbahasa.

Hal lain yang menarik dari Antologi Puisi Lontar adalah pendekatannya.

Tim penyusun antologi membaca puisi dengan pendekatan sejarah sebagaimana tercermin dari sub judul “Melacak Sejarah Bangsa Indonesia Abad Ke-20 Melalui Puisi”. Kalau bukan sesuatu yang baru untuk negeri ini, pendekatan begini paling tidak jarang dilakukan. Yang banyak dilakukan adalah membahas puisi dari segi teknis perpuisian—walaupun puitisitas bagi penyair memang penting. Antologi Puisi Lontar memperlihatkan dengan jelas bahwa pemikiran-pemikiran yang kemudian membimbing gerakan kemerdekaan dan gerakan-gerakan perlawanan atau perjuangan lainnya, pertama-tama muncul dalam sastra, termasuk puisi.

Sebelum masuk ke gerakan politik atau gerakan perjuangan konkret, pergulatan pertama-tama berlangsung di dunia sastra dalam berbagai genre. Revolusi Besar Kebudayaan Proletar di Republik Rakyat Tiongkok dimulai dari debat tentang drama “Hai Jui Dipecat dari Jabatannya”, pemberontakan Hungaria melawan Uni Soviet dimulai dari diskusi sastra di Café Sandor Petöfi, perlawanan terhadap militerisme Jepang di Indonesia juga berlangsung di bidang teater sebagaimana dituangkan oleh Cak Bowo dengan syairnya “pagupon umahe doro/melu Nipon tambah sengsoro” yang berujung dengan dibunuhnya pemain ludruk itu. Contoh lain ditunjukkan oleh Antologi Puisi Lontar melalui antara lain sajak-sajak Hatta, Yamin, dan lain-lain dari periode 1920-2000.

Sejarawan adalah pemburu kebenaran. Demikian pun sastrawan, termasuk penyair. Dalam perburuan, sejarawan tidak mengenal daerah terlarang, apapun resikonya. Di sinilah, saya melihat bertemunya kerja sejarawan dengan sastrawan dan seniman pada umumnya. Dengan menggunakan kriteria pemilihan karya seperti yang dijelaskan oleh John H. McGlynn, saya kira dasar ini, prinsip kerja seniman-sastrawan dan sejarawan, bersesuaian. Kedua-duanya pemburu kebenaran. Antologi Puisi Lontar telah melakukan pendekatan puisi (baca: sastra-seni) yang langka dilakukan di negeri ini, saat kebanyakan asyik berindah-indah, lupa kehidupan yang tak ramah.

Sebagai ilustrasi, di sini saya ingin menceritakan dialog Whatsapp singkat antara Putu Oka Sukanta dengan Kusni Sulang.

Putu mengirimkan sajaknya kepada Kusni dengan keterangan, “Ini sajak eksperimenku”. Kusni menjawab, “Bagus saja kau bereksperimen. Saya tidak ada waktu untuk itu. Keadaaan sehari-hari di lapangan yang berat mendesakku untuk berkata sederhana dan jelas sehingga kalau pun aku bersajak, yang aku pikirkan bagaimana pesan sajakku sampai kepada sasaran. Sederhana itu indah, sekalipun tak gampang karena perlu perenungan dan kedewasaan. Saya tidak ada niat sedikit pun untuk jadi pembaharu dalam puisi. Yang saya inginkan adalah kampungku bermartabat manusiawi. Boleh jadi ini puisi terindah.”

Kalau Joko Pinurbo selaku Redaksi Tamu Antologi Puisi Lontarmengatakan bahwa “the poetry anthology would show the relationship between literature and the country’s history from one period to another” (antologi puisi ini mau memperlihatkan hubungan antara sastra dan sejarah negeri dari satu periode ke periode lain”, (https://www.thejakartapost.com/news/2016/05/09/lontar-to-globally-publish-selected-indonesian-poems-short-stories.html), saya kira maksud demikian kurang-lebih tercapai.

Selanjutnya Joko Pinurbo mengatakan: ”The anthology doesn’t serve as the representation of the best selected poems of Indonesian writers, but it aims to show the diversity of Indonesia through poems” (Antologi ini bukanlah sebagai perwakilan pilihan sajak-sajak terbaik para penulis Indonesia, tapi ingin memperlihatkan keragaman Indonesia melalui puisi).

Tentang keragaman Indonesia ini, saya jadi teringat akan kebijakan H. B. Yassin melalui Majalah Kisah. Yassin secara sadar mengangkat penulis-penulis dari berbagai daerah Indonesia. Saya kira, kebijakan demikian sangat tepat dan perlu diteruskan sehingga bisa berlangsung desentralisasi estetika. Seniscayanya, keberadaan universitas-universitas di setiap provinsi bisa menjadi dasar kelembagaan dan sosial sekaligus bagi desentralisasi estetika ini sehingga dengan demikian sastra-seni kepulauan atau kampung-halaman bisa berkembang sebagai dasar dari sastra-seni Indonesia. Keragaman Indonesia seyogyanya diberikan jalan berkembang, tidak berhenti di kata-kata.

Pada tahun 1985 (dicetak ulang 1995), penyair asal Karo, Tariganu, pernah menerbitkan kumpulan puisi berbentuk degu (bentuk puisi Dayak Taboyan) disertai “Sebuah Catatan Alit” dari M. S. Hutagalung. Dari apa yang dilakukan oleh Tariganu, nampak bahwa sastra suku bangsa bisa menjadi bahan berguna dalam mengembangkan sastra Indonesia. Di masyarakat Dayak, selain degu, masih terdapat bentuk-bentuk puisi lainnya (yang berbeda dengan pantun), misalnya sansana kayau, karunya, mantera, dan lain-lain, tapi belum pernah diperhatikan apalagi diteliti.

Kalau sekarang kita mengenal yang disebut musikalisasi puisi, di Tanah Dayak hal tersebut bukanlah sesuatu yang baru. Di Tanah Dayak, umumnya puisi itu dinyanyikan. Karena itu, saya ingin mengatakan bahwa sastra (di) Indonesia itu sesungguhnya bukan hanya sastra berbahasa Indonesia tetapi juga sastra yang ada dan masih hidup di daerah-daerah. Seberapa jauh pengenalan kita terhadap sastra suku bangsa-suku bangsa di negeri ini? Saya berani mengatakan bahwa sastra etnik tidak kurang puitis dari apa yang diteorikan para sarjana sastra.

Dalam hal ini, apa yang dilakukan oleh Tim Penyusun Antologi Puisi Lontar dengan mengangkat penulis-penulis dari berbagai daerah merupakan suatu kebijakan yang menggembirakan dan sudah sepatutnya.

Puisi-puisi dalam Antologi Puisi Lontar disusun berdasarkan periode-periode. Tiap periode didahului dengan kata pengantar. Barangkali rincian pengantar ini perlu lebih teliti mengenai soal data. Misal, apakah benar Rivai Apin termasuk penyair eksil setelah Tragedi September 1965? Apakah benar Mawie terpaksa tinggal di Beijing?

Sementara, mengenai substansi Pengantar, tentu saja bisa diperdebatkan, tapi rubrik ini tidak memadai untuk melakukannya. Barangkali karena banyaknya persoalan yang bisa dibicarakan dalam Antologi Puisi Lontar, buku penting dan patut dihargai ini, apakah karena itu maka baik terhadap Matahari Cinta Samudera Kata maupun atas Antologi Puisi Lontar,saya belum mendapatkan adanya ulasan atau resensi menyeluruh sehingga terkesan kedua antologi, lebih-lebih terhadap Antologi Puisi Lontar dengan pendekatan sejarahnya, seperti diketepikan oleh para kritikus dan peminat sastra.

Kalau terhadap soal kepeloporan dalam puisi esai, Remy Sylado, Acep Syahril dan Abda Imran bisa membahasnya dalam sebuah buku berjudul Skandal Sastra Undercover (2019) setebal 333 halaman, bukan mustahil pembahasan serius tentang Antologi Puisi Lontar berupa sebuah buku dengan pendekatan multi-disipliner dapat dilakukan.[]


Halaman Budaya Sahewan Panarung asuhan Kusni Sulang dan Andriani SJ Kusni. Radar Sampit, Minggu, 24 Desember 2023. Redaktur Heru Prayitno, Penata Letak Rafi