APAKAH ACEH DARUSSALAM MENERAPKAN PANCASILA?

Jurnal Toddoppuli

Cerita Buat Andriani S. Kusni Dan Anak-Anakku

APAKAH ACEH DARUSSALAM MENERAPKAN PANCASILA?

 

Tangapan Atas Tanggapan

 

‘’Pertanyaan saya atas pertanyaan bapak Kusni Sulang tersebut adalah ‘Apakah di Daerah Aceh Darussalam selama ini telah menerapkan Pancasila?’’, demikian pertanyaan komentar Tiwi Etika, dosen dari Sekolah Tinggi Agama Hindu Kaharingan Negeri, Palangka Raya menanggapi tulisan saya ‘’Bumi Kalteng Bumi Pancasila?’’.Lengkapya komentar beliau, bisa dibaca di Lampiran.

 

Berikut adalah tanggapan saya.

 

Penerapan hukum Syariah di Aceh Darussalam paling-paling dilaksanakan berdasarkan Peraturan Daerah (Perda), seperti halnya dengan Hukum dan Lembaga-Lembaga Adat Dayak di Kalteng dilakukan dengan menggnnakan Perda No.12 Tahun 2008, kemudian ditambah dengan Pergub No.13 Tahun 2009.Tapi Perda tidak menggantikan Pancasila sebagai kosensus berbangsa,, bernegeri dan bernegara. (Lihat:UU-UU dan Peraturan-Pemerintah (PP) yang digunakan sebagai landasan penerbitan Perda No.12/2008 Maaf saya tidak mempunyai Perda yang di Aceh. Sekiranya Anda bisa memberikannya sebagai acuan bersama, saya akan sangat berterimakasih).Status Perda berada di bawah UUD 45’ dan UU serta PP-PP yang lebih tinggi. Karena banyak Perda yang tidak sesuai dengan ketentuan-ketentuan di atasnya, maka banyak dari Perda-Perda itu yang dicabut oleh Menteri Dalam Negeri, termasuk Perda-Perda di Kalteng.

 

Ketika menjadi Presiden, Gus Dur memperkenankan penerapan hukum Syariah di Aceh, sebagaimana ia memperkenankan pengibaran bendera Bintang Kejora di Papua bahkan memfasilitss Kongres Rakyat Papua, karena dipandang tidak bertentangan dengan Pancasila. Berbeda halnya dengan NII. NII adalah pembentukan negara lengkap dengan struktur kenegaraannya di dalam negara Republik Indonesia (RI). Aceh Darussalam masih salah satu provinsi RI. Karena itu pula maka Piagam Jakarta tidak digunakan  sebagai pembukaan UUD ’45. Dalam Piagam Jakarta, tercantum kalimat: ’’Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab,….’’.Sebagai penggantinya maka digunakan Pembukaan (Preambule) . Sebab jika Piagam Jakarta yang diterakan maka dampaknya akan lain untuk negeri dan bangsa yang majemuk seperti Indonesia. Bukan kebetulan pula maka Soekarno dalam Pidato 1 Juni 1945, mengatakan ‘’ Kita mendirikan negara Indonesia, yang kita semua harus mendukungnya. Semua buat semua! Bukan Kristen buat Indonesia, bukan golongan Islam buat Indonesia, bukan Hadikoesoemo buat Indonesia, bukan Van Eck buat Indonesia, bukan Nitisemito yang kaya buat Indonesia, tetapi Indonesia buat Indonesia. Semua buat semua! Jikalau saya peras yang lima menjadi tiga, dan yang tiga menjadi satu, maka dapatlah saya satu perkataan Indonesia yang tulen, yaitu perkataan “gotong-royong”. Alangkah hebatnya! Negara Gotong-Royong!’ (huruf miring dari KS).

 

 Sekali lagi kedudukan Perda berada di bawah UUD ’45. dan UU. Dengan demikian Perda masih berada dalam kerangka UUD’45 dan Pancasila. Coba Anda baca ulang 45 Butir Nilai Pedoman Penghaytan Pengamalan Pancasila (UUD’45 Sebelum Dan Setelah Amandemen’’, Nuansa Aulia,Bandung, cetakan VI, November 2010). Mungkin ad gunanya dan relevan untuk memeriksa argument Anda.

 

Apakah Perda tentang Syariah di Aceh Darussalam dan Perda No.12/2008 dan Pergub No.13/2009 Kalteng bertentangan dengan Pancasila baik dari segi ketatanegaraan maupun secara konsensus bernegara dan berbangsa, kebudayaan serta filosofi?. Kalau tidak bertentangan, lalu untuk apa secara khusus mendeklarasikan ‘’Kalteng Bumi Pancasila’’,sedangkan menerapkan Pancasila adalah keharusn kecuali bagi NII? Perda-perda ini saya kira, termasuk upaya mencari dan mengembngkan identitas yang sejak paling tidak sepertiga abad diagresi  , upaya mewujudkan keragaman sesuai nilai republikan da berkeindonesiaan.

 

Terimakasih atas kopie pidato Habibie yang Anda lampirkan. Setelah membacapidato tersebut nampaknya Habibie tidak berbicara tentang perlunya sebuah provinsi mendeklarasikan diri sebagai ‘Bumi Pancasila’’ tapi bicara tentang mengapa Pancasila Soekarno diabaikan dan niscayanya Pancasila diterapkan. Jadi lampiran yang Anda berikan agak tidak relevan untuk memperkuat argumen Anda, lalu sampai dijadikan dasar bagi kesimpulan bahwa ‘’BAPAK KUSNI SULANG MEMILIKI “RASA KETAKUTAN” YANG TERLALU BERLEBIHAN SAJA, BAHKAN MALAH PERTANYAAN BAPAK KUSNI INILAH YANG MEMILIKI POTENSI LEBIH BERBAHAYA’’.

 

Hanya patut Anda catat, bahwa tidak semua isi pidato Habibie saya setujui. Mantan Wakil Presidenda jabatan bukanlah ukuran kebenaran; Misalnya pendapat Habibie yang mengatakan‘’ Dengan terjadinya perubahan tersebut diperlukan reaktualisasi nilai-nilai pancasila (huruf miring dri KS) agar dapat dijadikan acuan bagi bangsaIndonesia dalam menjawab berbagai persoalan yang dihadapi saat ini dan yang akan datang, baik persoalan yang datang dari dalam maupun dari luar’’ Dari kalimat ini terkesan Habibie melihat bahwa nilai-nilai Pancasila sudah tidak aktual. Tidak relevan?

 

Apakah nilai-nilai Pancasila itu sekarang sudah tidak aktual,sudah kadaluwarsa sehingga perlu di reaktualisasikan?Ataukah tidak diterapkan? Saya kira, ada perbedaan pengertian antara tidak aktual dan kadaluwarsa dengan tidak dilaksanakan, tidak diindah, diabaikan; (Karena di sini bukan tujuan saya membahas pidato Habibie, maka bahasan tidak saya cukupkan di sini).

 

Saya juga sangat tidak mengerti dasar pernyataan Anda bahwa saya mempertentangkan Pancasila sebgai konsensus berbngsa dan bernegara dengan budaya kampung halaman. Saya hanya mengatakan bahwa budaya kampung halaman adalah dasar dan cara membangun serta mengembangkan kebudayaan nasional. Pandangan ‘’kebudayaan nasional adalah puncak-puncak kebudayaan daerah’’ (perumusan UUD ’45 sebelum diamandemen), saya anggap tidak adil terhadap budaya lokal. Saya juga tidak sepakat dengan cara pembangunan dan pengembangan budaya nasional secara sentralistik. dan menjadikan Pancasila sebagai alat penindas sesama orang sebangsa. Juga tidak setuju dengan pandangan dan praktek-praktek ‘’besarisme’’ yang juga ditentang oleh pendiri bangsa dan negara ini . Selaina ternyata gagal , juga berdarah. Pandangan ,praktek dan percobaan yang bertentangan Pancasila.

 

Baiklah, dengan segala pengorbanan yang telah terjadi, saya menghargai upaya menerapkan Pancasila sebagai suatu proses pencarian yang terbaik. Layaknya kita bisa belajar dari kesalahan dan keunggulan masa silam agar tidak menjadi keledai tersandung dua tiga kali di batu yang serupa. Dalam upaya belajar ini, saya sampai pada wacana budaya kampung halaman. budaya kampung halaman, saya sebut juga sebagai kebudayaan kepulauan , adalah jalan Wacana sebaliknya  dari yang lalu-lalu. Perumusan ini hanyalah suatu varian dari teori Andre Gunder Frank tentang pusat dan pinggiran atau periferik. Wacana budaya kampung halaman tidak lain dari metode membangun dari pinggir. Apalagi saya memandang perpesktifIndonesiatidak terletak di Pusat (Jawa) tapi di pinggir. Untuk pembangunan dan pengembangan kebudayaan yang republikan dan berkeindonesiaan di Kalteng saya selalu menawarkan konsep Budaya Uluh Kalteng Beridentitas Kalteng. Konsep yang adag-kadang saya sebut Budaya Pasca Tradisional , bukan putaran balik kebudayaan (cultural turn) tapi lompatan maju kebudayaan (cultural leap forward). Dalam pembangunan dan pengembangan budaya Pasca Tradisional yang bersifat hibrida ini, keragaman budaya daerah berperan sangat besar sebagai bahan dasar. Budaya Pasca Tradisional ini membuat orang akan berdiri di kampung halaman memandang tanahair merangkul bumi.

 

Sedangkan dalam identitas Kalteng ini, budaya Dayak menempati posisi dasar. Posisi dasar demikian bisa terwujud apabila Pancasila tidak dijadikan alat penindas, tapi benar-benar diterapkan sebagai sutu konsensus berbangsa dan bernegara. Sebagaimana tertuang dalam pidato Bung Karno 1 Juni 1945. Mengejawantahkan  Pancasila di berbagai pulau da daerah tidak bisa terlepas dari kondisi budaya lokal. Apabila Pancasila digunakan untuk menghancurkan lokalitas, saya kiraIndonesiasebagai yang diimpikan oleh Pancasila dan UUD ’45 akan bubar. Saya melihat bahaya bahwa Orang Dayak justru sadar atau tidak sadar mempunyai kecenderungan melakukan bunuh diri budaya, banyak sekali contohnya. Perda No.16/2008 (dengan segala kelemahannya) justru diterbitkan dengan latarbelakang pandangan demikian juga. Sadar akan kelemahan Perda No.16/2008, maka Gubernur A. Teras Narang secra termuka dalam  konfrensi wiayah AMAN meminta kritik dan saran. Artinya A.Teras Narang tidak menganggap bahwa ia adalah lambangkebenaran. Memandang bahwa kata-kata pejabat adalah kebenaran , saya kira tidk lain dari bentuk dari budakisme, asal bapak senang, menjilat ke atas, menginjak ke bawah, menyikut ke samping,  jika dilihat secara pola pikir dan mentalitas. Untuk membuat Kalteng Bermutu kita tidak memerlukan pola pikir dan mentalitas demikian. Persahabatan yang sungguh tidak membinasakan kritik, justru sangat memerlukannya. Bahkan sahabat sebagai sparing partner berpikir dan mencipta (di lingkngan saya) dalam kritik-mengkritik-otokritik, bisa disebut tak kenal ampun. Melalui proses demikian, karya baru dipublikkan.

 

Apakah kedengarannya saya anti Pancasila maka Anda berseru‘’:JAYALAH PANCASILA UNTUK SELAMA-LAMANYA!? Silahkan karena berseru sampai parau pun memang hak Anda.Saya hanya khawatir Pancasila seperti pada masa Orba dijadikan sebagai alat penindas kembali diterapkan sehingga daerah-daerah menjadi daerah-daerah  koloni model baru dalam wilayah RI atau daerah-daerah vazal Pusat.Kemungkinan ini ada jika pernyataan ‘’Bumi Kalteng Bumi Pancasila’’, ditambah dengan selalu ditekan-tekankannya secara berlebihan bahwa Kalteng adalah wilayah NKRI.,Apakah di Kalteng ada suatu gerakan separatis yang mencemaskan maka peekanan itu harus ditekan-tekankan selalu, sementara sejarah Kalteng tidak memperlihatkan adanya akar separatsme yang berarti. Karena itu saya meminta penjelasan rinci dari kalimat tersebut. Adalah benar, saya memang khawatir melihat keadaan Kalteng sekarang, terutama keadaan Uluh Itah. Lengah Uluh Itah punah (Uraiannya, di sini .tidak saya perdalam).

Tentang penggunaan Pancasila sebagai alat penindas antar lain ditunjukkan David Henley dan Jamie Davidson sebagai berikut:

 

‘’Indonesia mempunyai reputasi legendaris dalam toleransi keagamaan, tetapi ironisnya di bawah Orde Baru,ortodoksi keagamaan juga menjadi sasaran langsung dari perhatian negar.Sila pertama yang dibuat Soekarno, Ketuhanan  Yang Maha Esa, ditafsirkan sebagai  melarang tidak haya ateisme dan sinkretisme Jawa, keduanya secara langsung dihubungkan dengan komunisme, tetpi juga semua bentukkepercayaan politeistik dan ‘animis’ dari kalangan masyarakat adat yang belum memeluk agama Islam atau Kristen. Kelompok-kelompok masyarakat ini dipandang rentan terhadap komunisme dan berbagai bentuk ancaman lainnya karena mendiami tempat-tempat terpencil, sulit dijangkau, dan ‘’tidak memilik agama’’. Banyak dari mereka yang sudah melek huruf dipaksa untuk segera memilih antara Islam atau Kristen: ‘tidak peduli agama apa, pokoknya merek bergama’, demikian ucapan dari salah seorang komandan militer di Kalimantan Barat ’. (Tempo, 26 Oktober 1974,in:Jamie S.Davidson ,David Henley, Sandra Moniaga, 2010:14). Berlatarbelakangkan pola pikir begini pula, Kaharingan terpaksa digabungkan dengan agama Hindu, agar bisa tetap eksis (Lebih jauh, lihat: Tjilik Riwut, ‘’Maneser Panatau.Tatu Hiang).

 

Banyak orang memang tidak buta aksara tapi agaknya tidak sedikit yang tak bisa membaca.Atau kemungkinan terbesar, saya tidak pandai menuturkan pikiran saya, maklum saya masih pelajr mula dalam bidang apa pun. Karena tak bisa membaca,walau  pun tak buta aksara, akibatnya Anda sampai pada kesimpulan bahwa saya menentang Pancasila. Padahal melaksanakan Pancasila seperti halnya mewujudkan RepublikIndonesiasebagai suatu rangkaian nilai bukanlah hal yang sudah selesai.

 

Penerapan Syariah di Aceh Darussalam, seperti halnya Perda No.12  Tahun 2008, selain berangkat dari 15 UU dan PP-PP RI, dari segi kebudayaan adalah perwujudan dari prinsip bhinneka tunggal ika,upaya membangun kebudayaan nasional berdasarkan budaya kampung halaman, upaya yang tidak berangkat dari Pusat yang sentralistik , dan tidak pula menerapkan prinsip sentralisme,atas nama keragaman melakukan penyeragaman. Tidakkah selama Orba penyeragaman atas nama pembangunan ‘Manusia pancasila’’ dn , atas nama Pancasila telah dilakukan selama sepertiba abad lamanya? Sehingga ntropolog Papua yang mencoba mengembangkan budaya lokal Papua dengan tudingan separtis telah dibunuh? Di Kalteng, lembaga adat digolkarkan? Atas desakan sebuah seminar ilmiah atas prakarsa LSM Talusung Damar thun 1990-an,Gubernur Kalteng Warsito akhirnya setuju menggeluarkan lembaga adat dari penggolkaran dan pengendalian kekuasaan negara. Lalu di mana salah dan berkelebihanny kekhawatiran bahwa budaya lokal  disisihkan dan bahkan dihancurkan atas nama Pancasila dn NKRI sedngkan praktek demikian telah nyata-nyata dilakukan oleh Orba, dan Habibie  adalah salah seorang penting semasa Orba.(Mungkin sekarang telah berobah banyak dalam pandngan dan sikap)?

 

Apabila ‘’kearifan local tidaklah bertentangan dengan nilai Pancasila bila dimengerti tentunya!’’ lalu mengapa Kalteng harus secara khusus dideklarasikan sebagai ‘’Bumi Pancasila’’? Tidakkah pernyataan begini bentuk kongkret dari keadaan bisa berkata-kata tapi belum bisa berbahasa? Akan lebih mengena apabila yag ditekankan adalah ‘’Membangun Kalteng  Bermutu, Kalteng Berharkat dan Bermartabat’’ sebagai pengejawantah nyata Pancasila, dan bukan hanya seruan atau teriakan hingga parau: ‘’Jayalah Pancsila Selma-lamanya!’’.Hanya berteriak, tak obah dengan igauan dan ajakan bermimpi buruk yang menyakitkan ketika bngun mendapatkan kenyataan yang berbeda.

 

Berbicara tentang ‘’falsafah huma bétang’’. Apa itu falsafah huma bétang? Adakah huma bétang mempunyai falsafah dan dibangun berdasarkan suatu falsafah seperti halnya degan tongkonan Toraja yaitu pandangan kosmiks mereka? Pandangan kosmiks Toraja iniah yang dicerminkan pada bentuk tongkonan.Asesoris-asesoris yang sekarang dipajangkan pada huma bétang yang dibangun sekarang untuk menunjukkan bahwa bétang adalah rumah tradisional Dayak. Hal demikian adalah perkembangan terakhir , yang dalam istilah sejarawan Inggris, Hobsbawm, disebut ‘’invented traditions’’, ‘’tradisi-tradisi temuan’’, dalam upaya pencarian identitas tapi tidak mempunyai dasar sejarah dan filosofis.

 

Melihat sejarah berdirinya bétang, ia tidak lain dari sebuah bangunan vernakuler. Saya kira di Kalteng terjadi salah kaprah terhadap masalah ini, termasuk pengertian dalam Perda No.16/2008. Yang sering didengar dalam pidato-pidato formal dan non formal , falsafah huma bétang ebih ditekankan pada ide dan semangat toleransi. Saya khawatir penekanan begini akan berbalik jadi keris makan tuan. Tahu-tahu peminggiran orang Dayak makin menjadi Tahu-tahu Uluh Itah terutama, sudah terkapar di dasar lembah gelita.apakah konsep begini menguntungkan ataukah berbahaya? Mengenai hal ini secara sekilas sudah saya singgung dalam beberapa tulisan antara lain di Harian Tabengan, Kalteng Pos, Palangka Post, dan juga dalam buku ‘’Senjata Tradisional dan Pakaian Adat Dayak’’. Lebih tepat kiranya jika falsafah huma bétang ini diganti dengan filsafat Dayak atau filosofi Kaharingan, seperti misalnya wacana ‘’hatamuéi lingu nalata’’,‘’hatindih kambang manuntung tarung lawang langit’’, ‘’rengan tingang nyanak jata’’, ‘’utus panarung’’, dan lain-lain. Selain salah kaprah,yang terjadi di Kalteng adalah pandangan bahwa budaya huma bétang yang disebut juga filosofi huma bétang, sekitar tahun 1990-an dipersempit menjadi ‘’berdiri sama tinggi, duduk sama rendah’’ dan ‘’di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung’’. Saya katakan penyempitan  makna karena jika menggunakan ukuran antropolog  Clyde Kluckhohn dan Florence Kluckhohn , semua kebudayaan di dunia ini sebenarnya mengenailimamasalah pokok dalam kehidupan manusia. Kelima pokok itu adalah: 1. masalah mengenai hakekat dari hidup manusia;2.mengenai hakekat dari karya manusia; 3.mengenai hakekat  kedudukan manusia dalam ruang dan waktu; 4. mengenai hakekat hubungan manusia dengan alam sekitar ;5. mengenai hakekat hubungan manusia dengan sesamanya(dikutip dri Koentjaraningrat:2004:27-28). Dibandingkan dengan patokan Kluckhohn ini nampak benar bahwa perumusan filosofi huma bétang Perda 16/2008 dan perumusan bahwa  budaya  bétang adalah ‘’berdiri sama tinggi, duduk sama rendah’’ dan ‘’di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung’’ terlalu berjarak dari apa sesungguhnya budaya dan filosofi. Konsep filosofi huma bétang mana gerangan yang dianut oleh Tiwi Etika?

 

Agaknya, Uluh Itah  dan Uluh Kalteng masih ditagih untuk melakukan penelitian lebih sungguh-sungguh dan intens lagi tentang budaya dan masyarakatnya. Lebih rajin membaca dan berpikir. Gelar  dan status akademi sama sekali bukan jaminan yang padan.. Sya sering bertanya: Adakah cendekiawan di Kalteng? Yang pasti  banyak adalah penyandang gelar akademi. Demikian penilaian Ketua Mahfud MD ketika berbicara tentang dunia kecendikiawan Indonesia.

 

Poin terakhir, walaupun Tiwi Etika memadang bahwa ‘’PERTANYAAN BAPAK KUSNI INILAH YANG MEMILIKI POTENSI LEBIH BERBAHAYA’’, dan dengan pekikan bersamangatnya ‘’ JAYALAH PANCASILA UNTUK SELAMA-LAMANYA!’’. Megisyaratkan bahwa saya ini ‘’orang anti Pancasila’’, namun saya tidak merasa berseberangan dengan beliau.Sebab barangkali yang diperlukan adalah kecermatan mendengar dan bahwa kejernihan dan ketajaman pandangan,dan kesungguhan mewujudkan pandangan itu jauh lebih utama dari pekikan bersemangat. Apalagi  Pancsila adalah konsesus bersama melawan keterpurukan untuk mewujudkan Republik danIndonesiasebagai suatu rangkaian nilai. Adakah yang tak sadar dan tak melihat bahwa dirinya terpuruk dan belum merdeka? Jika ada, maka keadaan begini  sangat berbahaya bahwa seorang budak, seorang anak jajahan tak tahu dan tak sadar diriya budak dan terjajah.***

 

Palangka Raya, Juni 2011.

Kusni  Sulang, anggota Lembaga Kebudayan Dayak Kalimantan Tengah Palangka Raya.

 

 

 

LAMPIRAN:

 

Komentar Bara Tiwi Etika:

Saya pribadi sangat mengemari kritik-kritik constructive dari bapak KUSNI SULANG yang biasanya di muat pada media massa local kita di beberapa media Kalteng-Sel, asik sekali untuk dibaca, komitmen beliau untuk adat, budaya dan tradisi sangat luar biasa, karena itu salute untuk beliau. Namun ada beberapa hal yang ingin saya tanyakan juga atas beberapa pertanyaan beliau dalam note diatas.
1)Kusni Sulang [Lalu mengenai pernyataan Bumi Kalteng Bumi Pancasila. Apakah pernyataan ini secara nalar bisa dipertanggungjawabkan? Pertanyaan yang membuat kalimat ini meragukan ketepatan logisnya, bisa diurai dengan pertanyaan lain: Apakah hanya Kalteng yang menjadi Bumi Pancasila, apakah hanya masyarakat atau warga Kalteng (saya membedakan antara rakyat dan masyarakat, berdasarkan pergulatan politik di Perancis dalam menghadapi separatisme) Apakah warganegara RI di pulau-pulau lain tidak harus menerapkan Pancasila? Mengapa hanya warga Kalteng sebagai warga ‘’Bumi Pancasila’’. Saya kira secara politik, Bumi Pancasila itu adalah seluruh wilayah RI. Bukan hanya Kalteng. Kalau bukan demikian, maka wilayah RI yang lain adalah ‘’bumi non Pancasila’’? Apakah ini bukannya tudingan berbahaya dan memecahbelah?]

Pertanyaan saya atas pertanyaan bapak Kusni Sulang tersebut adalah ‘Apakah di Daerah Aceh Darussalam selama ini telah menerapkan Pancasila?

 

Kusni Sulang [Kalau didalam pidato-pidato publik sering disebut bahwa Pancasila mempunyai nilai universal, maka masih tepatkah menyebut ‘’Bumi Kalteng Bumi Pancasila’’? Membatasi wilayah Pancasila sebatas pada provinsi Kalteng, akan menegasi universalitas yang dimaksudkan. Akan membantah tesis universalitas itu. Pernyataan bahwa ‘’Bumi Kalteng Bumi Pancasila’’, menimbulkan pertanyaan lain: Di mana tempat nilai-nilai lokal, padahal nilai-nilai lokal itu merupakan dasar pembentuk identitas local]…

Apakah Pancasila bertentangan dengan falsafah Huma Betang, sehingga bapak Kusni Sulang mengangab Pancasila bertentangan dengan kearifan-local Kalteng? Sementara falsafah Huma Betang adalah salah satu kearifan local Kalteng!

 

3) Kusni Sulang [Bahkan pernah terdapat tafsiran bahwa Manusia Pancasila adalah manusia baru yang tumbuh atas dasar besarisme. Karena itu maka istilah pambakal diganti dengan istilah lurah, misalnya. NKRI pun sebagai wacana budaya niscayanya tidak ditafsirkan secara sentralistik. Sentralisme dalam sejarah negeri dan bangsa ini ternyata hanya mengucurkan banyak darah. Dalam Pidato 1 Juni 1945 tentang Pancasila, Bung Bung Karno menjelaskan antara lain sebagai berikut: ‘’Jadi yang asalnyalimaitu telah menjadi tiga: Sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi dan Ketuhanan. Kalau Tuan senang kepada simbolik tiga, ambillah yang tiga ini. Tetapi barangkali tidak semua Tuan-tuan senang kepada Trisila ini, dan minta satu, satu dasar saja! Baiklah saya jadikan satu, saya kumpulkan lagi menjadi satu. Apakah yang satu itu? Sebagai tadi telah saya katakan: Kita mendirikan negaraIndonesia, yang kita semua harus mendukungnya. Semua buat semua! Bukan Kristen buat Indonesia, bukan golongan Islam buat Indonesia, bukan Hadikoesoemo buat Indonesia, bukan Van Eck buat Indonesia, bukan Nitisemito yang kaya buat Indonesia, tetapi Indonesia buat Indonesia. Semua buat semua! Jikalau saya peras yanglimamenjadi tiga, dan yang tiga menjadi satu, maka dapatlah saya satu perkataanIndonesiayang tulen, yaitu perkataan “gotong-royong”. Alangkah hebatnya! Negara Gotong-Royong!’’

 

Apakah Pancasila menurut Bung Karno seperti tertera di atas mengandung pengertian pelenyapan, pembawahan lokalitas, budaya kampung halaman? …Jika tidak ada penjelasan lebih rinci maka saya khawatir Deklarasi ‘’Bumi Kalteng Bumi Pancasila’’ bisa berdampak negatif. Akibatnya bukan menjadi konsesus damai menyatukan tapi menjelma sebagai sumber konflik seperti Pancasila dalam sejarah negeri dan bangsa pernah dijadikan alat penindas…Tulisan ini mempertanyakan pertanggungjawaban logika serta penjelasan lebih rinci dari pernyataan ‘’Bumi Kalteng Bumi Pancasila’’ yang penuh semangat tapi bukan tidak mungkin berdampak negatif, terutama untuk budaya kampung halaman yang bisa menjadi dasar pembangunan budaya nasional dan cara membangunnya sekaligus]…
PERNYATAAN DAN PERTANYAAN PADA POINT KE 3 DIATAS SAYA PIKIR BAPAK KUSNI SULANG MEMILIKI “RASA KETAKUTAN” YANG TERLALU BERLEBIHAN SAJA, BAHKAN MALAH PERTANYAAN BAPAK KUSNI INILAH YANG MEMILIKI POTENSI LEBIH BERBAHAYA, …kearifan local tidaklah bertentangan dengan nilai Pancasila bila dimengerti tentunya!BAPAK KUSNI INILAH YANG MEMILIKI POTENSI LEBIH BERBAHAYA,…KARENA ITU SAYA SARANKAN KEPADA BAPAK KUSNI UNTUK MEMBACA DAN COBALAH MEMAHAMI “MAKNA” APA YANG TERSIRAT DARI PIDATO MANTAN PRESIDEN KITA BERIKUT INI MENGENAI PANCASILA…SELEBIHNYA SAYA HANYA INGIN MENGUCAPKAN …JAYALAH PANCASILA UNTUK SELAMA-LAMANYA!…tabe.

Jakarta – Mantan Presiden BJ Habibie mengungkapan secara tepat analisanya mengenai penyebab nilai-nilai Pancasila yang seolah-olah diabaikan pasca era reformasi. Tak heran bila pidato yang disampaikannya secara berapi-api itu memukau para hadirin puncak peringatan Hari Lahir Pancasila.
Acara itu dihadiri oleh Presiden Kelima Megawati dan Presiden SBY. Mereka berpidato bergiliran. Berikut ini teks pidato lengkap Habibie yang disampaikan dalam acara yang digelar di Gedung DPR, Senayan,Jakarta, Rabu (1/6/2011)

 

Assalamu ‘alaikum wr wb, salam sejahtera untuk kita semua.
Hari ini tanggal 1 Juni 2011, enam puluh enam tahun lalu, tepatnya 1 Juni 1945, di depan sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Bung Karno menyampaikan pandangannya tentang fondasi dasar Indonesia Merdeka yang beliau sebut dengan istilah Pancasila sebagai philosofische grondslag (dasar filosofis) atau sebagai weltanschauung (pandangan hidup) bagi Indonesia Merdeka.

 

Selama enam puluh enam tahun perjalanan bangsa, Pancasila telah mengalami berbagai batu ujian dan dinamika sejarah sistem politik, sejak jaman demokrasi parlementer, demokrasi terpimpin, era Orde Baru hingga demokrasi multipartai di era reformasi saat ini. Di setiap jaman, Pancasila harus melewati alur dialektika peradaban yang menguji ketangguhannya sebagai dasar filosofis bangsaIndonesiayang terus berkembang dan tak pernah berhenti di satu titik terminal sejarah.
Sejak 1998, kita memasuki era reformasi. Di satu sisi, kita menyambut gembira munculnya fajar reformasi yang diikuti gelombang demokratisasi di berbagai bidang. Namun bersamaan dengan kemajuan kehidupan demokrasi tersebut, ada sebuah pertanyaan mendasar yang perlu kita renungkan bersama: Di manakah Pancasila kini berada?

Pertanyaan ini penting dikemukakan karena sejak reformasi 1998, Pancasila seolah-olah tenggelam dalam pusaran sejarah masa lalu yang tak lagi relevan untuk disertakan dalam dialektika reformasi. Pancasila seolah hilang dari memori kolektif bangsa. Pancasila semakin jarang diucapkan, dikutip, dan dibahas baik dalam konteks kehidupan ketatanegaraan, kebangsaan maupun kemasyarakatan. Pancasila seperti tersandar di sebuah lorong sunyi justru di tengah denyut kehidupan bangsaIndonesia yang semakin hiruk-pikuk dengan demokrasi dan kebebasan berpolitik.
Mengapa hal itu terjadi? Mengapa seolah kita melupakan Pancasila?
Para hadirin yang berbahagia,
Ada sejumlah penjelasan, mengapa Pancasila seolah “lenyap” dari kehidupan kita. Pertama, situasi dan lingkungan kehidupan bangsa yang telah berubah baik di tingkat domestik, regional maupun global. Situasi dan lingkungan kehidupan bangsa pada tahun 1945 — 66 tahun yang lalu — telah mengalami perubahan yang amat nyata pada saat ini, dan akan terus berubah pada masa yang akan datang. Beberapa perubahan yang kita alami antara lain:
(1) terjadinya proses globalisasi dalam segala aspeknya;

 

(2) perkembangan gagasan hak asasi manusia (HAM) yang tidak diimbagi dengan kewajiban asasi manusia (KAM);
(3) lonjakan pemanfaatan teknologi informasi oleh masyarakat, di mana informasi menjadi kekuatan yang amat berpengaruh dalam berbagai aspek kehidupan, tapi juga yang rentan terhadap “manipulasi” informasi dengan segala dampaknya.

 

Ketiga perubahan tersebut telah mendorong terjadinya pergeseran nilai yang dialami bangsa Indonesia, sebagaimana terlihat dalam pola hidup masyarakat pada umumnya, termasuk dalam corak perilaku kehidupan politik dan ekonomi yang terjadi saat ini. Dengan terjadinya perubahan tersebut diperlukan reaktualisasi nilai-nilai pancasila agar dapat dijadikan acuan bagi bangsa Indonesia dalam menjawab berbagai persoalan yang dihadapi saat ini dan yang akan datang, baik persoalan yang datang dari dalam maupun dari luar. Kebelum-berhasilan kita melakukan reaktualisasi nilai-nilai Pancasila tersebut menyebabkan keterasingan Pancasila dari kehidupan nyata bangsa Indonesia.

Kedua, terjadinya euphoria reformasi sebagai akibat dari traumatisnya masyarakat terhadap penyalahgunaan kekuasaan di masa lalu yang mengatasnamakan Pancasila. Semangat generasi reformasi untuk menanggalkan segala hal yang dipahaminya sebagai bagian dari masa lalu dan menggantinya dengan sesuatu yang baru, berimplikasi pada munculnya ‘amnesia nasional’ tentang pentingnya kehadiran Pancasila sebagai grundnorm (norma dasar) yang mampu menjadi payung kebangsaan yang menaungi seluruh warga yang beragam suku bangsa, adat istiadat, budaya, bahasa, agama dan afiliasi politik. Memang, secara formal Pancasila diakui sebagai dasar negara, tetapi tidak dijadikan pilar dalam membangun bangsa yang penuh problematika saat ini.

Sebagai ilustrasi misalnya, penolakan terhadap segala hal yang berhubungan dengan Orde Baru, menjadi penyebab mengapa Pancasila kini absen dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Harus diakui, di masa lalu memang terjadi mistifikasi dan ideologisasi Pancasila secara sistematis, terstruktur dan massif yang tidak jarang kemudian menjadi senjata ideologis untuk mengelompokkan mereka yang tak sepaham dengan pemerintah sebagai “tidak Pancasilais” atau “anti Pancasila” . Pancasila diposisikan sebagai alat penguasa melalui monopoli pemaknaan dan penafsiran Pancasila yang digunakan untuk kepentingan melanggengkan kekuasaan. Akibatnya, ketika terjadi pergantian rezim di era reformasi, muncullah demistifikasi dan dekonstruksi Pancasila yang dianggapnya sebagai simbol, sebagai ikon dan instrumen politik rezim sebelumnya. Pancasila ikut dipersalahkan karena dianggap menjadi ornamen sistem politik yang represif dan bersifat monolitik sehingga membekas sebagai trauma sejarah yang harus dilupakan.

Pengaitan Pancasila dengan sebuah rezim pemerintahan tententu, menurut saya, merupakan kesalahan mendasar. Pancasila bukan milik sebuah era atau ornamen kekuasaan pemerintahan pada masa tertentu. Pancasila juga bukan representasi sekelompok orang, golongan atau orde tertentu. Pancasila adalah dasar negara yang akan menjadi pilar penyangga bangunan arsitektural yang bernama Indonesia. Sepanjang Indonesia masih ada, Pancasila akan menyertai perjalanannya. Rezim pemerintahan akan berganti setiap waktu dan akan pergi menjadi masa lalu, akan tetapi dasar negara akan tetap ada dan tak akan menyertai kepergian sebuah era pemerintahan!

Para hadirin yang berbahagia,
Pada refleksi Pancasila 1 Juni 2011 saat ini, saya ingin menggarisbawahi apa yang sudah dikemukakan banyak kalangan yakni perlunya kita melakukan reaktualisasi, restorasi atau revitalisasi nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, terutama dalam rangka menghadapi berbagai permasalahan bangsa masa kini dan masa datang. Problema kebangsaan yang kita hadapi semakin kompleks, baik dalam skala nasional, regional maupun global, memerlukan solusi yang tepat, terencana dan terarah dengan menjadikan nilai-nilai Pancasila sebagai pemandu arah menuju hari esok Indonesia yang lebih baik.
Oleh karena Pancasila tak terkait dengan sebuah era pemerintahan, termasuk Orde Lama, Orde Baru dan orde manapun, maka Pancasila seharusnya terus menerus diaktualisasikan dan menjadi jati diri bangsa yang akan mengilhami setiap perilaku kebangsaan dan kenegaraan, dari waktu ke waktu. Tanpa aktualisasi nilai-nilai dasar negara, kita akan kehilangan arah perjalanan bangsa dalam memasuki era globalisasi di berbagai bidang yang kian kompleks dan rumit.
Reformasi dan demokratisasi di segala bidang akan menemukan arah yang tepat manakala kita menghidupkan kembali nilai-nilai Pancasila dalam praksis kehidupan berbangsa dan bernegara yang penuh toleransi di tengah keberagaman bangsa yang majemuk ini. Reaktualisasi Pancasila semakin menemukan relevansinya di tengah menguatnya paham radikalisme, fanatisme kelompok dan kekerasan yang mengatasnamakan agama yang kembali marak beberapa waktu terakhir ini. Saat infrastruktur demokrasi terus dikonsolidasikan, sikap intoleransi dan kecenderungan mempergunakan kekerasan dalam menyelesaikan perbedaan, apalagi mengatasnamakan agama, menjadi kontraproduktif bagi perjalanan bangsa yang multikultural ini. Fenomena fanatisme kelompok, penolakan terhadap kemajemukan dan tindakan teror kekerasan tersebut menunjukkan bahwa obsesi membangun budaya demokrasi yang beradab, etis dan eksotis serta menjunjung tinggi keberagaman dan menghargai perbedaan masih jauh dari kenyataan.
Krisis ini terjadi karena luluhnya kesadaran akan keragaman dan hilangnya ruang publik sebagai ajang negosiasi dan ruang pertukaran komunikasi bersama atas dasar solidaritas warganegara. Demokrasi kemudian hanya menjadi jalur antara bagi hadirnya pengukuhan egoisme kelompok dan partisipasi politik atas nama pengedepanan politik komunal dan pengabaian terhadap hak-hak sipil warganegara serta pelecehan terhadap supremasi hukum.
Dalam perspektif itulah, reaktualisasi Pancasila diperlukan untuk memperkuat paham kebangsaan kita yang majemuk dan memberikan jawaban atas sebuah pertanyaan akan dibawa ke mana biduk peradaban bangsa ini berlayar di tengah lautan zaman yang penuh tantangan dan ketidakpastian? Untuk menjawab pertanyaan itu, kita perlu menyegarkan kembali pemahaman kita terhadap Pancasila dan dalam waktu yang bersamaan, kita melepaskan Pancasila dari stigma lama yang penuh mistis bahwa Pancasila itu sakti, keramat dan sakral, yang justru membuatnya teraleinasi dari keseharian hidup warga dalam berbangsa dan bernegara. Sebagai sebuah tata nilai luhur (noble values), Pancasila perlu diaktualisasikan dalam tataran praksis yang lebih ‘membumi’ sehingga mudah diimplementasikan dalam berbagai bidang kehidupan.
Para hadirin yang berbahagia
Sebagai ilustrasi misalnya, kalau sila kelima Pancasila mengamanatkan terpenuhinya “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”, bagaimana implementasinya pada kehidupan ekonomi yang sudah menggobal sekarang ini?
Kita tahu bahwa fenomena globalisasi mempunyai berbagai bentuk, tergantung pada pandangan dan sikap suatu Negara dalam merespon fenomena tersebut. Salah satu manifestasi globalisasi dalam bidang ekonomi, misalnya, adalah pengalihan kekayaan alam suatu Negara ke Negara lain, yang setelah diolah dengan nilai tambah yang tinggi, kemudian menjual produk-produk ke Negara asal, sedemikian rupa sehingga rakyat harus “membeli jam kerja” bangsa lain. Ini adalah penjajahan dalam bentuk baru, neo-colonialism, atau dalam pengertian sejarah kita, suatu “VOC (Verenigte Oostindische Companie) dengan baju baru”.
Implementasi sila ke-5 untuk menghadapi globalisasi dalam makna neo-colnialism atau “VOC-baju baru” itu adalah bagaimana kita memperhatikan dan memperjuangkan “jam kerja” bagi rakyat Indonesia sendiri, dengan cara meningkatkan kesempatan kerja melalui berbagai kebijakan dan strategi yang berorientasi pada kepentingan dan kesejahteraan rakyat. Sejalan dengan usaha meningkatkan “Neraca Jam Kerja” tersebut, kita juga harus mampu meningkatkan “nilai tambah” berbagai produk kita agar menjadi lebih tinggi dari “biaya tambah”; dengan ungkapan lain, “value added” harus lebih besar dari “added cost”. Hal itu dapat dicapai dengan peningkatan produktivitas dan kualitas sumberdaya manusia dengan mengembangkan, menerapan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Dalam forum yang terhormat ini, saya mengajak kepada seluruh lapisan masyarakat, khususnya para tokoh dan cendekiawan di kampus-kampus serta di lembaga-lembaga kajian lain untuk secara serius merumuskan implementasi nilai-nilai Pancasila yang terkandung dalam lima silanya dalam berbagai aspek kehidupan bangsa dalam konteks masa kini dan masa depan. Yang juga tidak kalah penting adalah peran para penyelenggara Negara dan pemerintahan untuk secara cerdas dan konsekuen serta konsisten menjabarkan implementasi nilai-nilai Pancasila tersebut dalam berbagai kebijakan yang dirumuskan dan program yang dilaksanakan. Hanya dengan cara demikian sajalah, Pancasila sebagai dasar Negara dan sebagai pandangan hidup akan dapat ‘diaktualisasikan’ lagi dalam kehidupan kita.
Memang, reaktualisasi Pancasila juga mencakup upaya yang serius dari seluruh komponen bangsa untuk menjadikan Pancasila sebagai sebuah visi yang menuntun perjalanan bangsa di masa datang sehingga memposisikan Pancasila menjadi solusi atas berbagai macam persoalan bangsa. Melalui reaktualisasi Pancasila, dasar negara itu akan ditempatkan dalam kesadaran baru, semangat baru dan paradigma baru dalam dinamika perubahan sosial politik masyarakat Indonesia.
Para hadirin yang saya hormati,
Oleh karena itu saya menyambut gembira upaya Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang akhir-akhir ini gencar menyosialisasikan kembali empat pilar kebangsaan yang fundamental: Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika dan NKRI. Keempat pilar itu sebenarnya telah lama dipancangkan ke dalam bumi pertiwi oleh para founding fathers kita di masa lalu. Akan tetapi, karena jaman terus berubah yang kadang berdampak pada terjadinya diskotinuitas memori sejarah, maka menyegarkan kembali empat pilar tersebut, sangat relevan dengan problematika bangsa saat ini. Sejalan dengan itu, upaya penyegaran kembali juga perlu dilengkapi dengan upaya mengaktualisasikan kembali nilai-nilai yang terkandung dalam keempat pilar kebangsaan tersebut.

Marilah kita jadikan momentum untuk memperkuat empat pilar kebangsaan itu melalui aktualisasi nilai-nilai Pancasila sebagai weltanschauung, yang dapat menjadi fondasi, perekat sekaligus payung kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan membumikan nilai-nilai Pancasila dalam keseharian kita, seperti nilai ketuhanan, nilai kemanusiaan, nilai persatuan, nilai permusyawaratan dan keadilan sosial, saya yakin bangsa ini akan dapat meraih kejayaan di masa depan. Nilai-nilai itu harus diinternalisasikan dalam sanubari bangsa sehingga Pancasila hidup dan berkembang di seluruh pelosok nusantara.

Aktualisasi nilai-nilai Pancasila harus menjadi gerakan nasional yang terencana dengan baik sehingga tidak menjadi slogan politik yang tidak ada implementasinya. Saya yakin, meskipun kita berbeda suku, agama, adat istiadat dan afiliasi politik, kalau kita mau bekerja keras kita akan menjadi bangsa besar yang kuat dan maju di masa yang akan datang.

Melalui gerakan nasional reaktualisasi nilai-nilai Pancasila, bukan saja akan menghidupkan kembali memori publik tentang dasar negaranya tetapi juga akan menjadi inspirasi bagi para penyelenggara negara di tingkat pusat sampai di daerah dalam menjalankan roda pemerintahan yang telah diamanahkan rakyat melalui proses pemilihan langsung yang demokratis. Saya percaya, demokratisasi yang saat ini sedang bergulir dan proses reformasi di berbagai bidang yang sedang berlangsung akan lebih terarah manakala nilai-nilai Pancasila diaktualisasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Demikian yang bisa saya sampaikan. Terimakasih atas perhatiannya

Wassalamu ‘alaikum wr wb.

Leave a comment