MENCARI DASAR PEMBENARAN TESIS PROF.DR. THAMRIN AMAL TAMAGOLA

Jurnal Toddoppuli

Cerita Buat Andriani S. Kusni & Anak-Anakku

 

Bertindak sebagai saksi ahli dalam sidang Ariel sehubungan dengan Kasus Video Porno di Pengadilan Negeri Bandung pada hari Kamis 2 Desember 2010 lalu sosiolog dari Universitas Indonesia, dengan keberanian luar biasa telah melontarkan hinaan kepada etnik Dayak di seluruh pulau Kalimantan. Dalam sidang tersebut Profesor Thamrin, yang bukan seorang sosiolog amat dikenal di negeri ini, menyatakan bahwa menurut hasil penelitiannya “di kalangan masyarakat Dayak bersanggama tanpa diikat perkawinan sebagai hal biasa’’ (kompas.com, 5 Januari 2011). Menurut penelitian Prof. Dr. Thamrin Amal Tamagola.’’hal biasa’’ begini juga berlangsung  pada ‘’sejumlah masyarakat Bali, Mentawai dan Masyarakat Papua’’. Profesor Thamrin sadar bahwa pegumuman tentang sekelumit hasil penelitiannya tentang masyarakat Dayak akan menuai reaksi. “Itu untuk keperluan pengadilan, penegakan hukum atau diskusi akademik. Kalau di bawa ke diskusi publik akan repot karena yang muncul reaksi-reaksi seperti itu, karena setiap orang memiliki keragaman tingkat pemahaman”. Seperti yang sudah diduganya, pernyataan yang dipandang oleh masyarakat Dayak dari berbagai provinsi, sebagai ‘’pelecehan terhadap adat-istiadat Dayak yang mengedapankan prinsip ‘belom bahadat’’ (hidup bertatakrama dan beradat)’’, ‘’telah mendiskreditkan dan menimbulkan persepsi negatif publik terhadap masyarakat Dayak”, ‘’rasis’’, ‘’bisa menciptakan disharmonisasi dan konflik horizontal yang dapat melemahkan sendi-sendi kehidupan dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara’, ‘’tidak sensitif’’. Protes dan kutukan muncul dalam berbagai bentuk mulai dari dunia maya, melalui pernyataan berbagai organisasi Dayak protes,  sampai kepada unjuk rasa seperti yang berlangsung di Palangka Raya pada 8 Januari 2011. Saya tidak tahu, apa motif atau tujuan dengan pernyataan yang ia sadar bersifat mengundang badi menantang arus. Apakah ucapan ini berangkat dari motif politik tertentu, untuk mencari popularitas secara murahan ataukah benar bertolak dari kejujuran ilmiah seorang akademisi?  Saya mengambil hipotesa dan berpikir positif saja, bahwa Profesor Thamrin mengucapkannya dari titiktolak kejujuran akademisi, yang sering bersifat naïf. Polos. Sebelum berbicara lebih lanjut, perlu saya pastikan bahwa saya tidak akan marah, justru sebaliknya berterimakasih, apabila apa yang dikatakan oleh siapa saja tentang etnik Dayak yang tanpa bisa saya elakkan adalah etnik kelahiran saya. Seperti siapapun, saya tidak bisa memilih di mana, di etnik dan di bangsa mana saya lahir. Apabila yang dikatakan itu benar, maka ia merupakan kaca untuk melangkah maj menjadikan diri anak manusia manusiawi. Mengatakan kebenaran saya pandang bentuk kasihsayang pada sesama dan wujud solidaritas manusiawi. Atas dasar itu, saya mencoba menyimak dengan kemampuan yang terbatas kandungan pernyataan profesor Thamrin, sekaligus melihat apakah protes, dalam berbagai bentuk sebagai wujud kemarahan Orang Dayak yang merasa dihina, mempunyai dasar alasan kuat atau tidak.

Apa masalah yang diangkat oleh Profesor Thamrin? Ia berbicara tentang persanggamaan. Artinya hubungan intim antara lelaki-perempuan dalam suatu masyarakat. Artinya soal moral, etika atau nilai yang menjadi pengatur kehidupan bersama dalam masyarakat tertentu. Sekaligus dalam soal persanggamaan tercakup masalah perkawinan,  masalah-masalah yang memang menjadi obyek kajian antropologi-sosiologi memang (di uiversitas-universitas Francophone dan Anglo Saxon, dua cabang ilmu ini biasa disatukan). Terhadap soal hubungan lelaki-perempuan ini, hasil penelitian Profesor Thamrin menunjukkan bahwa dalam masyarakat Dayak (di sini saya fokuskan pada masyarakat Dayak) bahwa ‘’persanggamaan tanpa diikat perkawinan sebagai hal biasa’’. Dengan kata lain, dalam masyarakat Dayak hubungan seks bebas merupakan hal yang lumrah. Lebih jauh, secara tidak langsung, Profesor Thamrin mengatakan bahwa orang-orang Dayak adalah buah hasil hubungan seks bebas.

Apakah kesimpulan riset Thamrin ini benar, sesuai dengan kenyataan? Kalau sesuai kenyataan, kenyataan di daerah mana, di kalangan suku Dayak mana? Sayangnya, lokasi risetnya ketika dihubungi oleh para wartawan saat pernyataan nekadnya, sudah mendapat reaksi keras dari kalangan Orang Dayak, tidak ditunjukkan oleh Sang Professor, padahal.lokasi riset bukanlah sesuatu yang rahasia. Dengan tidak menyebutkan lokasi risetnya, pihak lain tidak bisa melakukan pemeriksaan silang atau bandingan.Thamrin hanya mengatakan ia sudah bicara rinci ‘’lebih dari satu jam di Pengadilan”. Bisa saja bahkan lebih dari satu jam, tapi tidak berarti waktu bicara merupakan kebenaran kandungan kata dan uraian. Omongkosong bisa memakan waktu lebih banyak lagi.  Sekalipun Profesor Thamrin tidak menyebut lokasi risetnya, apa-siapa-nara sumbernya, metode apa yang digunakannya dalam riset, berapa lama, tapi ringkasan kesimpulannya saja sudah memperlihatkan keterasingan Sang Profesor dari obyek risetnya yaitu masyarakat Dayak. Bahan utama untuk tema penelitiannya, yaitu hokum adapt Dayak yang disepakati oleh seluruh Orang Dayak di Pertemuan Damai Tumbang Anoi 1894, Perda Pemerintah Daerah Kalimatan Tengah No.16 Tahun 2008, Hukum Adat Perkawinan Dayak, literatur dasar untuk mempelajari budaya Dayak, seperti karya Scharer, Tjilik Riwut, Dr. Hermogenes Ugang, F.Ukur, buku-buku terbitan Institut Dayakologi Pontianak, Panaturan, dan lain-lain tidak tercermin dari kesimpulan riset Profesor Thamrin. Artinya bahan-bahan dasar utama ini oleh Sang Profesor tidak dijadikan acuan. Karena itu patut dipertanyakan validitas datanya. Pertanyaan lain, bagaimana Sang Profesor melakukan penelitian? Menggunakan bahasa apa Sang Profesor berkomunikasi dengan nara sumber Dayak? Penterjemah bahasa apa? Angket dalam bahasa apa? Seberapa banyak  disebarkan dan dijadikan sample? Sebagai akademisi dengan gelar Profesor DR pula, semestinya untuk melakukan  periksa silang terhadap hasil pekerjaannya dengan menjalin hubungan dengan akademisi Dayak di pulau Kalimantan. Peneliti serius dan bertanggungjawab akan dengan macam-macam upaya melakukan hal begini, tapi agaknya tidak dilakukan oleh Thamrin. Kalau Thamrin berbicara tentang “diskusi akademi’’, akademisi Dayak akan siap melakukannya dengan Sang Profesor. Saya khawatir perbuatan Thamrin dengan penyataan nekad dan ngawurnya di Pengadilan, adalah sikap yang mengabaikan etik akademi yang mencari kebenaran dan kenyataan. Dengan uraian ini , saya mau menunjukkan bahwa argumen Thamrin untuk membenarkan kesimpulan dan tindakannya tidak terdapat. Sehingga apa yang dilakukannya, tidak lain dari hinaan terhadap kolektif etnik Dayak. Saya pribadi, tidak turut meminta Prof. Thamrin meminta maaf. Kalau ia meminta maaf, maaf itu bukan karena desakan dan tekanan, tapi karena kesadaran dan kejujuran seorang akademisi. Maaf oleh tekanan, bersifat tidak hakiki. Apakah ia jujur pada diri sendiri sebagai akademisi, akan memperlihatkan mutunya baik sebagai manusia maupun sebagai cendekiawan, apakah ia seseorang yang beradat atau tidak akan hakiki jika dilakukan karena paksaan.

Thamrin takut melakukan diskusi publik karena dianggapnya publik bodoh. Mengapa takut jika yakin diri benar? Publik Dayak bodoh? Paling tidak mereka tahu adat-isitadat mereka. Sedangkan Prof Thamrin dengan mengambil masyarakat Dayak sebagai contoh hubungan seks bebas, hanya mencontohi ketidaktahuannya tentang obyek penelitiannya: Masyarakat Dayak.

Dari segi hukum Republik Indonesia, Sang Profesor dengan pernyataan tidak berdasar itu sudah melakukan pencemaran nama baik kolektif. Dari segi hukum adapt Dayak, ia telah melanggar pasal-pasal hukum adat sehingga pantas diseret ke depan Pengadilan Adat.  Dari segi inipun tidak terdapat dasar pembenaran tesis Thamrin tentang Dayak.  Sedangkan dari segi politik, tesis Thamrin membidik nilai republikan dan berkeindonesiaan. Semoga Hatala Ranying Panutung Bulan Matanandau Pambelum mengampuninya.

Kesimpulannya?

Pertama, tidak terdapat dasar apapun yang bisa membenarkan tesis Thamrin tentang Dayak sehingga tesisnya murni tesis hinaan. Kedua, data-data tesis tidak valid. Ketiga, jenjang akademi atau gelar akademi bukanlah jaminan bagi adanya mutu dan tanggungjawab akademisi yang diharapkan. Keempat, tesis Thamrin mencerminkan wajah dunia akademi negeri ini. Kelima, peringatan kepada Uluh Dayak untuk tidak berleha-leha tapi berusaha keras, sangat mendesak, untuk menjadikan diri Dayak Bermutu. Rebut waktu pagi senja, seribu tahun terlalu lama.Keenam, tesis Thamrin wujud dari keadaan bahwa Dayak masih dipandang sebelah mata. Diakui eksistensinya, tidak diakui hak dan nilai-nilainya, dijadikan sasaran agresi .Ketujuh, katamu, harimaumu.***

KUSNI SULANG, Anggota Lembaga Kebudayaan Dayak Palangka Raya (LKD-PR).

 

One thought on “MENCARI DASAR PEMBENARAN TESIS PROF.DR. THAMRIN AMAL TAMAGOLA

  1. Suparno January 12, 2011 / 4:31 am

    Jika penelitian sang Profesor tidak valid, maka bagaimana dengan gelar Profesornya itu. jelas orang Dayak hanya jadi tumbal untuk mendapatkan gelar akademis. mengenai bahasa, etnis Dayak sangat banyak sekali sub sukunya, itu berati sudah jelas bahwa terdapat banyak sekali bahasa dayak, lalu apakah penelitian tersebut menggunakan bahasa dayak, atau dengan bahsa Indonesia tingkat tinggi yang tidak dapat dipahami oleh narasumber dan sang narasumber hanya bisa menjawab ya dan tidak (karna kurang menguasai bahasa Indonesia pada masa itu), jika memang demikian itu berarti gelar Akademis yang telah diperolehnya juga telah terjadi kesalah pahaman, dan ini merupakan pembelajaran bagi kita semua khususnya perguruan tinggi supaya lebih hati-hati dalam memberikan gelar akademik apalagi gelar Profesor, dan kalau memeng sudah dianggap benar dan sesuai prosedur maka hal itu menunjukan bahwa rendahnya mutu Profesor di Negeri tercinta ini.

    Suparno
    (Aktivis Pemuda Katolik)

Leave a comment