Catatan Kusni Sulang: GAGASAN “KALTENG HARATI” ATAUKAH “KALTENG TUNJUNG NYAHU”?

Cerita untuk Andriani SJ Kusni & Anak-Anakku

Jurnal Toddoppuli – Ketika merayakan Hari Pendidikan Nasional 2010 lalu, Gubernur A. Teras Narang, SH mencanangkan suatu gagasan baru di bidang pendidikan yang ia namakan  “Kalteng Harati“. Program “Kalteng Harati” diartikan sebagai Kalteng yang “cerdas”.  Sementara, Kepala Dinas Pendidikan dan Olahraga Palangka Raya, Guntur Talajan, yang “sangat menyambut baik” gagasan ini, memaknai “Kalteng Harati” sebagai “Kalteng cerdas dan pandai”.

Guna mencapai tujuan ini maka lima upaya fokus diletakkan pada lima poin penting  yaitu: masalah kesejahteraan guru, beasiswa untuk siswa berprestasi, penyediaan dan pendistribusian buku-buku pelajaran, serta meningkatkan kualitas mutu belajar-mengajar. Lahirnya gagasan ini sendiri, sebenarnya dilatarbelakangi tiga persoalan mendasar: hasil ujian nasional (UN) tahun 2010, persoalan keterbatasan guru yang masih terjadi di Kalteng dan tantangan ke depan yang lebih berat seiring makin gencarnya arus globalisasi (Harian Tabengan, Palangka Raya, 1 Juli 2010).

Jika salah satu latar belakang gagasan ini adalah “hasil ujian nasional tahun 2010” maka diakui bahwa hasil ujian nasional tahun ini tidak memuaskan. Berbeda dengan bantahan yang terdengar dan terbaca di media massa cetak.

Gagasan “Kalteng Harati” menurut Guntur Talajan, ”sesuai dengan visi Kementerian Pendidikan Nasional untuk membentuk insan Indonesia, cerdas dan komprehensif dan kebijakan pendidikan yang didasarkan pada lima pilar (5 K): ketersediaan, keterjangkauan, kualitas, kesetaraan dan kepastian”.  Gagasan “Kalteng Harati” paralel dengan gagasan walikota untuk menjadikan Kota Palangka Raya sebagai kota pendidikan, disamping sebagai kota jasa dan pariwisata.

Harati’ dalam bahasa Dayak Ngaju atau Katingan lebih menunjukkan kepada suatu sikap, perilaku yang tanggap keadaan. Misalnya, ketika seorang anak melihat ibunya sibuk bekerja, maka ia secara berprakarsa membantu ibunya, baik dengan turut mengerjakan apa yang sedang dilakukan oleh sang ibu, maupun dengan menemani adiknya bermain-main agar tidak rewel dan menganggu ibu. Bisa juga si anak membuatkan ibunya teh atau memasak nasi.

Contoh-contoh ini menunjukkan bahwa kata ‘harati’ mengandung unsur-unsur self awareness (kesadaran diri), empati dan asertif, tapi tidak atau sedikit menyentuh masalah IQ.  Sikap atau perbuatan demikian, dilakukan tanpa ada yang menyuruh. Tapi lahir dari suatu kecerdasan dan kepekaan perasaan. Hampir secara instingtif. Artinya tidak banyak hubungannya dengan masalah IQ (tingkat intelejensia) sehingga bisa terjadi anak harati tingkat IQ-nya pas-pasan.

Sebaliknya, anak dengan IQ tinggi belum tentu harati sebagaimana banyak kita dapati sekarang. Andaikan saja si anak ber IQ tinggi dan harati, tahu membedakan yang baik dan salah, baik dan buruk berdasarkan nilai dominan yang sedang berlaku di suatu ruang dan waktu, tapi dengan 1001 alasan, ia tidak mempunyai keberanian melaksanakan apa yang benar, takut melawan yang salah dan buruk, anak harati dan ber-IQ tinggi alias pandai  itu kurang berguna bagi masyarakatnya. Ia gampang menjadi permisif, membiarkan keburukan dan kejahatan berlangsung di bawah matanya. Bahkan bukan tidak mungkin didorong oleh rasa ketakutan, ia menjadi oportunis. Hanyut dalam arus kesalahan dan keburukan.

Ketakutan membuat permasalahan, keburukan, dan kesalahan menjadi tidak tertanggulangi, tapi sebaliknya bisa merajalela. Hal begini misalnya diperlihatkan oleh masa rezim Orde Baru dimana ketakutan membudaya. Ketakutan membuat manusia bermentalitas “sanuwun dawuh”, yang menjilat ke atas dan menindas ke bawah berkembang subur. Daya kritis, berpikir bebas, tindakan menentang arus, urakan (mameh, bahasa Dayak Ngaju), terganjal dan dipandang sebagai tidak beradab.

Apabila gagasan “Kalteng Harati” seperti ditulis oleh Harian Tabengan, sebenarnya muncul dengan “dilatarbelakangi tiga persoalan mendasar. Hasil Ujian Nasional (UN) tahun 2010, persoalan keterbatasan guru yang masih terjadi di Kalteng, dan tantangan ke depan yang lebih berat seiring makin gencarnya arus globalisasi”’, maka agaknya “harati” di sini lebih menjurus ke kelulusan, ke masalah penguasaan keterampilan, ke tingkat pengetahuan formal akademik. Bukan kepada pembentukan manusia yang berwatak, berwacana, dan setia pada komitmen manusiawi dengan langgam merakyat dan gaya yang tak kenal susah payah. Anak didik tidak dijuruskan menjadi “Utus Panarung” yang “Isen Mulang” dan  “mamut-menteng, pintar-harati, maméh-uréh, andal dia batimpal” (gagah-berani, pintar-berbudi, urakan-rajin, hebat tiada bertara), figur manusia ideal bagi masyarakat Dayak.

Pintar artinya mampu memecahkan soal. Maméh artinya kemampuan melakukan improvisasi guna menanggulangi masalah. Dibandingkan dengan konsep “harati” seperti di atas, maka Manusia Harati menurut gagasan “Kalteng Harati” bukanlah jenis manusia tangguh. Tapi justru sangat ringkih yang bisa diragukan akan mampu menyandang tanggung-jawab membawa Kalteng ke suatu era renaisans. Era renaisans boleh diharapkan dari Manusia Panarung yang “mamut-menteng, pintar-harati, maméh-uréh, andal dia batimpal” bukan dari “Manusia Harati” seperti dilukiskan di atas yang tidak lain adalah manusia minimalis dan reduksionis.

Gagasan adalah suatu orientasi. Artinya, pada wacana “Kalteng Harati” terdapat masalah orientasi yang mengundang polemik. Ketika berbicara soal orientasi arah besar pendidikan, maka kita sampai pada masalah kurikulum nasional yang sejak lama mendapat kritik pedas dari banyak kalangan pendidikan. Kurikulum adalah grand design manusia yang kita inginkan. Oleh tidak sederhananya mengubah kurikulum nasional, maka tidak sedikit sekolah yang menerapkan “kurikulum nasional plus” sebagai jalan keluar. Sehingga “sekolah plus” tersebut – juga terdapat di Palangka Raya walaupun tak banyak – orientasi besarnya adalah melahirkan Manusia Panarung dengan berbagai varian nama seperti “Membangun Manusia Pembangun” sedangkan sekolah yang disebut  bertaraf internasional bukanlah solusi bagi dunia pendidikan kita. Dari nama “bertaraf internasional” saja sudah mengundang polemik.

Adapun lima upaya fokus yang diletakkan pada lima poin penting yaitu: masalah kesejahteraan guru, beasiswa untuk siswa berprestasi, penyediaan dan pendistribusian buku-buku pelajaran, serta meningkatkan kualitas mutu belajar-mengajar, memang diperlukan untuk mewujudkan orientasi besar. “Lima poin penting” itu adalah sarana yang sudah seniscayanya sejak dulu-dulu diperhatikan dan dilaksanakan.Tapi sarana bukan masalah orientasi besar pendidikan. Orientasi menentukan bagaimana sarana digunakan. Bukan sarana yang menentukan orientasi atau grand design.

Yang aneh, 20% APBN yang digunakan untuk pendidikan masih saja tidak memberikan dampak apapun yang berarti. Pungutan masih saja diberlakukan. Sekolah masih saja jadi komoditi di tengah suara nyaring bertalu-talu: “Sekolah Gratis”. Tentu ada yang salah dalam pengelolaan dana APBN itu. Lalu? Apakah tidak sebaiknya masalah besar, masalah orientasi besar ini dibicarakan ulang agar renaisans Kalteng tidak menjadi jargon gelembung sabun dan fatamorgana, tapi benar-benar Kalteng Panarung atau Kalteng Tunjung Nyahu (Kilau-Kilat Kehidupan)?

Setelah orientasi dimantapkan, pelaksanaan memerlukan pengawasan sungguh-sungguh hingga antara orientasi dan kenyataan tidak berjarak.[]

KUSNI SULANG

Anggota Lembaga Kebudayaan Dayak Kalimantan Tengah (LKD-KT)

4 thoughts on “Catatan Kusni Sulang: GAGASAN “KALTENG HARATI” ATAUKAH “KALTENG TUNJUNG NYAHU”?

  1. marbirong sude February 27, 2011 / 5:47 pm

    PROGRAM HARATI perlu didukung oleh semua pihak di KALTENG..

    Program ini sangat BAIK serta Pro-Rakyat

    Bravo Kalteng.. Maju terus

    tabe bara : MARBIRONG SUDE

  2. marbirong sude February 27, 2011 / 5:52 pm

    Salam khusus untuk
    Gubernur KALTENG : A. Teras Narang, SH.
    Kadis Pendidikan Kalteng : Guntur Talajan

  3. sangkusni March 3, 2011 / 2:42 pm

    Pahari Marbirong Sude yang baik,
    Program Kalteng Pintar-Harati secara ide memang baik, tapi maafkan saya kalau saya pesimis.Keadaan di lapangan sangat menyakitkan. Sekolah masih jadi komoditas dan ladang mata pencaharian serta mata proyek.Kalau terus begini satu generasi ke depan tidak akan membaik,apalagi jadi pintar-harati.Apakah pesemisme saya salah? Mudah-mudahan.

  4. miskuindu asramadhanoor January 14, 2013 / 6:38 am

    Trims, atas pengetahuan kalteng haratinya, semoga berkah. Amin

Leave a comment