GUBERNUR KALTENG DAN TIONGKOK

Jurnal Toddoppuli

Cerita Buat Andriani S.Kusni Dan Anak-Anakku

Gubernur Kalteng A.Teras Narang dari tanggal 22-26 Februari 2011 telah melakukan kunjungan kerja ke Republik Rakyat Tiongkok (RRT). Dalam kunjungan kerja ini, A.Teras Narang didampingi oleh Walikota Palangka Raya Riban Satia, Ketua DPRD Palangka Raya Sigit K. Yunianto, dan sejumlah SKPD terkait. Melalui kunjungan kerja singkat ini Teras telah menandatangani MoU dengan China Railway 18th Bureau Group Ltd dan Ever Rise International Investment Ltd, dengan Automotive GroupCo.Ltd,  serta menjajagi kemungkinan kerjasama dengan China National Tourism Administration (CNTA) di bidang. Pariwisata. Sedangkan dengan pihak Beijing Automotive (BAIC) Teras mengemukakan rencana pembangunan pabrik  mobil di Batanjung, Kabupaten Kapuas. Menjawab pertanyaan pihak BAIC, Teras  menyatakan bahwa masalah lahan akan difasilitasi oleh Pemda, sedangkan keringanan perpajakan, sesuai ketentuan yang berlaku akan segera dibicarakan dengan Menteri Keuangan RI (Harian Tabengan, Palangka Raya, 28 Februari 2011).

 

Ikut sertanya Riban Satia dan Sigit K. Yunianto, dalam kunjungan kerja penting ke negara penting,(kekuatan ekonomi kedua dunia yang berencana melampaui Amerika Serikat dalam dua-tiga dasawarsa lagi), dalam konteks politik Kalteng, barangkali bukan hal kebetulan. Di samping memang bagi Walikota dan Ketua DPRD Kota belajar dari Tiongkok, lepas dari suka atau tidak, setuju atau tidak dengan sistem masyarakat dan politik, dalam upaya membangun diakui oleh lawan dan kawan. Françis Fukuyama, teoritisi ‘’kemenangan kapitalisme’’ yang paling utama pun pada 19 tahun silam, kejujuran intelektualnya terpaksa mengakui kenyataan ini (Why China Does Capitalism Better than the U.S.Tony Karon Thursday,  Jan. 20, 2011).PBB sendiri secara terbuka menyatakan dalam salah satu kesimpulannya tahun lalu bahwa negara yang paling berhasil mengentas kemiskinan dalah RRT yang berpenduduk lebih dari satu miliar dengan wilayah seluas benua, dan baru berdiri pada 1 Oktober 1949. Pertanyaan yang diberikan oleh keberhasilan Tiongkok kepada dunia, niscayanya adalah mengapa dan bagaimana Tiongkok bisa berhasil demikian? Apa yang menjadi rahasia keberhasilan tersebut?  Sementara di Kalteng yang berpenduduk hanya 2,2 juta dengan ibukotanya Palangka Raya yang berpenduduk maksimal 600.000 jiwa (luas geografisnya tidak lebih besr dri Beijing atau Shanghai), kemiskinan itu sama hingar-bingarnya dengan deru sepeda motor para jagoan muda minim kesopanan dan tata-tertib yang berpacu di jalan-jalan kota yang belum mengenal kemacetan. Apakah benar, keberhasilan pembangunan dan kemajuan tekhnologi Tiongkok rahasia utamanya terletak pada investor yang berdatangan? Tapi kalau banyaknya investasi yang menjadi pendongkrak utamanya, mengapa pada masa kekuasaan Chiang Kai-shek kemiskinan merajalela? Musim dingin sama dengan musim kematian dan anjing-anjing pesta bangkai? Mengapa pada masa itu Orang Tionghoa dihina setara anjing? Yang dilarang masuk taman adalah ‘Orang Tionghoa dan Anjing’’. Apakah benar New Trade Zone dengan para investornya menjadi menjadi kunci kemajuan tekhnologi Tiongkok? Ignacy Sachs ekonom hijau (green economist) ketika Brasilia berada di bawah diktatur militer, mengaku ide New Trade Zone berasal dari dia. Kesimpulannya investor/kaum kapitalis tidak akan dengan sukarela melakukan alih tekhnologi. Karena di tekhnologi itulah terletak salah satu kekuatannya.Di New Trade Economic Zone, kita hanya jadi ‘’tukang tekan tombol’’. Untuk mengembangkan tekhnologi mandiri perlu menerapkan teori yang ia namakan teori kotak hitam (black box theory). Tiongkok justru menerapkan ‘’teori kotak hitam’’ ini sejak lama ditambah dengan mengirim pemuda—pemudi ke lur negeri sert membangun pusat pengkajian tekhologi mandirim.. Inti teori ini adalah memproduksi sesuatu misalnya transistor, meniru sepenuhnya produk tersebut. Baru kemudian mengembangkannya. Kalau investor adalah jalan ajaib (magic way) ke kesejahteraan, mengapa pedesaan Kalteng tetap miskin dan terbelakang serta penuh keresahan sosial (social unrest, rurale contestation)?.Boleh jadi Tiongkok mempunyai politik investasi yang tidak salah untuk dipelajari sehingga kita di Kalteng hanya menjadi pejual atau peminjam lahan serta mengobralkan  sumber daya alam tapi tidak menyejahterakan seperti yang terjadi dengan hadirnya perusahaan besar  swasta (PBS)sekarang. Agaknya nasehat tetua  agar ‘belajar sampai ke negeri Cina’’ hari ini masih relevan., termasuk dalam soal investasi dan politik investasi. Betapapun mereka memerlukan investasi, tapi bukan investor yang mendikte penyelenggara negara. Berdasarkan penelitiannya sebagai sinologi maka I.Wibowo menganjurkan agar kita belajar dari Cina (2003). Anjuran serupa juga dilontarkan oleh Dahlan Iskan berdasarkan pengalamannya (2008).

 

Ekonomi Indonesia disebut ‘’ekonomi mahal’’ sebenarnya pertama-tama bukan karena soal pajak tapi karena pemerasan berupa berbagai bentuk pungli para birokrat. Jangankan soal dengan investor, soal mengganti KTP saja sementara kelurahan memungli warga hingga Rp.200.000,-Kalau menurunkan pajak demi menarik investor, apa bedanya dengan mengobral SDM. Investor tidak keberatan membayar pajak rasional, tapi sebenarnya enggan dilahap pungli berbagai tingkat. Penjarahan tanah petani tidak lepas dari pungli berbagai tingkat yang dilakukan oleh para birokrat. Sehingga kalau mau jujur penjarah rakyat dan negara tidak lain dari perangkat negara itu sendiri. Mereka inilah yang menghambat laju pelaksanaan republik dan berkeindonesiaan. sebagai rangkaian nilai.atau cita-cita.Membersihkan birokrasi dalam kondisi sekarang seperti melakukan suatu misi yang tak mungkin (impossibile mission), tapi agaknya harus dilakukan. Dalam upaya ini, pengawasan sosial dari masyarakat yang tahu hak-wajib kewarganegaraannya menjadi menentukan.

 

Apabila pandangan sudah di arahkan ke Tiongkok, selain menggalang kerjasama G to G, P to P, secara kongkret yang saling menguntungkan, lebih utama lagi adalah belajar rahasia kemajuan mereka..

 

Menjadikan RRT sebagai mitra maju meraih tingkat daerah dan bangsa berharkat serta bermartabat  mempunyai keunikan-keunikan.Dari segi sejarah, hubungan antara Tiongkok dan Kalimantan (Orang Dayak) sudah terjalin sejak berabad-abad.Bahkan di pinggiran Kota Nanking terdapat makam seorang tokoh Dayak. Hubungan inipun dituturkan oleh sastra lisan Dayak. Hubungan sejarah ini bisa melandasi hubungan tanggap zaman saling menguntungkan hari ini di berbagai bidang , politik, ekonomi, sosial, budaya, pariwisata, keilmuan, dan lain-lain. Keunikan lain, Tiongkok tidak mempunyai daerah jajahan (malah dijajah Manchu untuk waktu lama, dijajah Barat dan Jepang), belum pernah mempunyai daerah jajahan, belum diketahui pernah mengorganisasi kudeta di negeri lain, pernah menyerang Viêt Nam untuk ‘’menghajar’’ negeri tersebut tapi tidak mendudukinya, menyerang India karena dipandang menduduki daerah Tiongkok. Kalau pengamatan dan kesimpulan pengalaman saya benar, Tiongkok setia pada sahabatnya sekali ia memandang orang itu bangsa itu sahabat. Kung Hu-cu-isme dan sekarang ditambah dengan Marxisme-Fikiran Mao Zedong melandasi solidaritas dan kesetiaan demikian. Sekalipun ada yang berpandangan bahwa Tiongkok tidak lain dari negeri kapitlis, tapi ia adalah ‘’Red Capitalism’’ jika menggunakan istilah Majalah Amerika The Times. Negeri ‘’Pra Sosialis’,jika menggunakan’ istilah Tiongkok sendiri, di mana Partai Komunis masih merupakan Partai berkuasa. Artinya kapitalisme yang ‘’Red’’ (Merah) warna komitmen merakyat. Tiongkok sekarang bukan Tiongkok 1949 atau 1966. Tiongkok sebuah negara besar dlm kemampuan, banyak membantu negeri-negeri Afrika, termasuk Indonesia Soekarno. Yang menjadi pertanyaan besar: Apakah dibukanya hubungan dengan RRT oleh Teras dimanfaatkan untuk membangun industri dasar  ataukah sebatas mengobral SDM Kalteng? Jika pilihan diletakkan pada yang terakhir, Kalteng akan kian jauh menjadi daerah koloni di wilayah Republik Indonesia. Kunjungan kerja Teras ke Tiongkok membuka jalan baru strategis. Bisakah jalan strategis ini ditepatgunakan dengan  memilih sektor-sektor strategis bagi Kalteng berharkat dan bermartabat? ***

 

KUSNI SULANG, Anggota Lembaga Kebudayaan Dayak Palangka Raya (LKD-PR).

Leave a comment