Halaman Budaya Sahewan Panarung | 28 April 2024 | Cerpen Swary Utami Dewi: SENGKARUT LÉWU

Radar Sampit, Minggu, 28 April 2024

Demonstrasi menuntut pembebasan Kades Kinipan Willem Hengky, Senin, 21/2/2022, di depan Pengadilan Tipikor Palangka Raya, Kalimantan Tengah. Foto: Andriani SJ Kusni

Pengadilan Tipikor Palangka Raya, Jl. Seth Adjie (Bundaran Tugu Juang ’45), Kota Palangka Raya, Kalimantan Tengah. Foto: Andriani SJ Kusni


“Jika saja mereka tidak datang, tidak akan ada persilangan kata di léwu ini. Ah, apakah nanti yang terjadi selanjutnya?”

Aku menghela nafas. Masih terbayang dibenakku hiruk-pikuk pertemuan di aula Huma Bétang Jumat kemarin. Ketika itu, suara yang tidak setuju beradu tinggi dengan yang setuju. Mantir Adat léwu, Bungan Juru, yang biasanya selalu didengar petuahnya, kali ini seolah tidak berdaya. Dia terlihat berkali-kali menghela nafas dan menggelengkan kepala. Pesona aura di sekitar tubuhnya seakan berhenti berpendar. Pudar meredup saat itu.

Umai menggawilku. Membuyarkan tatapan bingungku terhadap apa yang terjadi di pertemuan, yang berlangsung sejak pagi di Jumat itu.

“Siwa, segera ambil kopi untuk Bué’.” Perintah ibuku tegas, membuatku tidak jadi mengatakan ‘sebentar’.

Léha éwén tuh… bahali tutu ampi” (mengapa ya mereka… tampaknya sangat susah kali ini).

Perkataan singkat itu yang sempat kudengar, saat aku memberikan segelas kopi untuk Bué’-ku. Aku seolah merasakan resah gelisah degup jantung tetua adat kampung kami ini. Seolah aku merasakan riak tak beraturan dari syaraf-syaraf di kepala kakekku ini. Aku lalu beringsut menjauh. Duduk di pojok rumah adat luas itu.

Sabtu ini, buku sketsa kembali kubuka. Kulukis garis-garis gelisah di pertemuan kampung kemarin. Kugambar jerit protes Mina Lési yang menyatakan ketidaksetujuannya jika sebagian dari tanah adat peninggalan leluhur berpindah tangan. Telunjuk tanteku ini, yang mengarah ke Mang Punding, kulukis tegas. Kurangkai dalam goresan sketsa apa pun yang kusaksikan pada Jumat itu.

Semua berjejal padat di buku ini. Lembar demi lembar. Hampir penuh sesak hingga hanya menyisakan dua halaman di belakang. Entah sudah berapa kali pula kuraut pensil 2B ini, supaya sketsa yang kuhasilkan bisa terus terukir nyata.

Saat aku membalik dua halaman terakhir, Turiana tiba-tiba datang memberikan dua buku sketsa kosong.

“Capek, Kak. Sudah berkeliling lima toko, baru dapat.” Dia mengeluh. Mukanya terlihat merah. Bau keringat adikku yang lepas bermandi matahari itu sempat tercium. Aku bisa membayangkan usaha keras bocah kelas enam sekolah dasar ini menggenjot sepeda tua milik Bué’ untuk mencari buku sketsa sampai ke ibukota kabupaten, di saat hari sedang terik.

Aku bergegas ke dapur mencari apa yang ada di meja. Kénta… aha… Lantas kubawakan semangkuk kénta lezat dan menyodorinya ke Turiana, yang masih tampak ngos-ngosan.

Sedetik kemudian matanya berbinar. Dia berhenti mengeluh. Adikku melahap habis makanan dari beras ketan sangrai tersebut. Lalu dia mengambil kendi berisi air putih dari meja dan menuangkan air putih itu ke gelas, lagi dan lagi. Glek … glek … glek.

Aku lanjut mengukir sketsa di lembar belakang. Aku berniat meneruskannya di buku sketsa yang baru dibeli Turiana, jika dua lembar terakhir sudah terisi penuh.

Ya… Buku sketsa inilah yang sekarang sedang kupenuhi dengan resah gelisahku. Saat senja kemarin menghampiri, pakat léwu tak jua ada. Maka Bué’-ku, Sang Mantir Adat, Bungan Juru, menghentikan pertemuan dan memutuskan akan ada  pertemuan lanjutan dua hari kemudian, pada hari Minggu. Kulihat dia saat itu lagi-lagi tertegun. Bué’ menghabiskan malamnya tanpa banyak cakap. Malam yang muram. Langit yang tak berbintang seolah berempati pada kemuraman lelaki tua itu.

***

“Pagi besok Punding katanya akan datang lagi memperlihatkan usulan perjanjian yang sudah ditawarkan si bos sawit. Katanya, yang ditawarkan lebih banyak lagi. Bahkan mungkin, si bos akan datang langsung.” Mina Dadang berujar.

“Tak kan kubiarkan Punding memengaruhi seisi léwu ini.” Mina Dadang melanjutkan ucapannya. Kali ini lebih berapi-api. Semburan geramnya jelas terwujud dalam setiap kalimat.

Aku tidak jadi beranjak dari dapur. Rasa ingin tahuku menguat saat mereka berbicara tentang Mang Punding, salah satu sepupu laki-laki Umai. Mang Punding memang sosok yang menarik bagiku. Menarik karena dia punya rumah lain di luar kampung. Menarik karena selama beberapa tahun terakhir, dia berhasil bekerja di kota yang jaraknya harus ditempuh lima jam dari kampung. Dan makin membuatku ingin tahu karena minggu lalu saat dia datang lagi ke léwu, Mang Punding sudah mengendarai mobil kap terbuka bersama beberapa orang. Tentu saja uluh léwu ternganga melihat gaya tampilannya yang amat jauh berbeda.

Pertukaran kata Umai dengan Mina Dadang tentang sepupu laki-laki mereka ini tentu bisa memperkaya sketsaku. Mendadak pikiran isengku muncul. Cecak di atas tiba-tiba memukul ekornya— menimbulkan bunyi kecil yang membuatku mencari tahu dari mana tepatnya arah bunyi itu. Cecak ini paham maksudku ternyata. Aku tersenyum menyeringai dan menengadah melihat ke cecak nakal itu. Ia seakan membalas dengan kembali memukul ekornya beberapa kali.

“Dikiranya kita tidak paham bahwa Punding sudah dibayar besar untuk mau jadi cecuruk biadab bos sawit itu. Mau dari Jakarta, mau dari mana … aku tidak peduli. Aku tidak pernah mau menerima kubur moyangku dipindah. Haram bagiku membiarkan himba-ku dijarah. Pantang bagiku adat dipinggirkan demi uang dan fasilitas ini itu.”

Sepupu perempuan Umai-ku ini terus menerus menumpahkan amarahnya. Sementara Umai masih terus melanjutkan kegiatannya menggerus bawang merah, tomat dan cabai yang sebelumnya sudah ditumis dengan minyak kelapa. Aku tahu sambal tomat Umai pasti akan sedap luar biasa. Seperti sebelumnya dan sebelumnya.

“Hei… Kambang. Tidakkah kau ingin berkomentar? Sedikit saja …” Ucapan tinggi Mina Dadang tetap tidak membuat Umai berhenti mengolah sambal.

“Kurasa kau sudah tahu ketidaksetujuanku sejak awal. Sejak Punding mengajak kita berunding di rumah almarhum Tambi Buyut dua minggu lalu,” jawab Umai ringan, hampir tanpa ekspresi. Tangannya mengambil piring kecil sebagai wadah sambal lezat itu.

“Janji-janji yang dibawa oleh bos sawit melalui Punding memang bisa membuat geger lewu. Siapa yang tidak tergoda dengan janji adanya sekolah  di kampung, jalan beraspal, listrik ada kapan saja, sumur air. Apalagi itu … Pekerjaan tetap di perusahaan sawit.”

Satu persatu Mina Dadang menguak daya ingatnya tentang janji bos sawit yang dibacakan Mang Punding di pertemuan lewu kemarin.

Aku bergegas menuang semua ucapan Mina Dadang di sketsa. Tampak ada sekolah, tiang listrik, jalan, kampung, Huma Bétang, dan akhirnya hamparan luas: sawit … sawit … dan sawit …

Aku mendadak mengernyitkan dahi. Di mana himba? Di mana kebun tepaken dan kasturi? Di mana pohon-pohon besar tempat berulirnya rotan? Di mana pohon-pohon kapuk kokoh tempat bergantungnya sarang lebah liar? Di mana burung tingang akan bermukim? Di mana tempat suci himba? Bagaimana nasib sungai tempatku dan adikku bermain saat gosong datang? Aku makin nanar melihat sketsa masa depan léwu-ku.

Tepukan di pundak membuyarkanku. Aku gelagapan dan menoleh ke arah Umai yang tampak bingung melihatku. Turiana mendadak masuk bergelayut manja di lengan Umai, seraya meminta air peras tebu. Lalu dia duduk di dekatku.

“Itu apa, Kak?” Dia menoleh lekat-lekat ke sketsa di depanku.

“PR Kakak, ya? Kapan gambarnya harus dikumpul? Kakak dari kemarin gambarnya penuh. Apa semua akan dikumpul? Anak SMA banyak ya tugasnya?”

Turiana bertanya terus sambil meminum air tebu yang diberikan Umai.

Aku tetap diam. Beberapa saat kemudian aku membisikkan sesuatu di telinganya, yang membuat Turiana mengangguk cepat.

“Hei, mau ke mana kalian? Makan dulu!” Umai mendelik melihat aku dan adikku bangkit bersama dari tempat duduk.

“Aku mau beli gula yang tadi Umai pesan. Untuk pertemuan besokkan, Mai?”

Umai memberikan sejumlah uang seraya berpesan agar aku dan adikku cepat kembali untuk makan siang.

Sepeda kesayanganku yang setia menemaniku ke sekolah setiap hari kembali kugenjot. Hanya Jumat kemarin dia tidak kunaiki karena aku membantu pertemuan di Huma Bétang. Turiana terdengar menyanyi kecil di boncengan. Aku mempercepat laju sepeda ke warung terdekat membeli beberapa bungkus gula pasir sebelum kemudian aku sedikit berputar menuju tepi himba.

Sekitar setengah jam aku mengayuh sebelum kemudian tiba di pinggir himba itu. Dan betul… masih ada di sana. Dua mobil besar bercakar tunggal berwarna kuning masih di situ. Aku hendak mencari buah-buahan jatuh minggu kemarin, saat aku melihat ada dua mobil itu. Tinggi menjulang dengan cakar angkuh yang tampak siap menerjang apa pun yang ditujunya.

Aku sempat mencuri dengar percakapan Mang Punding dengan beberapa kawannya yang hadir di pertemuan léwu kemarin bahwa excavator itu akan langsung bekerja mencabut pohon, meratakan tanah dan membabat apa saja saat uluh lewu sudah sepakat. Dan Mang Punding meyakinkan mereka bahwa dia pasti berhasil.

Dan kini, aku dan adikku berdiri tepat di hadapan dua motor mesin ini. Mereka tampak begitu angkuh menjulang tinggi. Aku memandang keduanya lekat-lekat. Mereka-reka apa yang bisa dilakukan dua mesin ini terhadap kampung kami. Apa yang kemudian terjadi dengan himba, tepaken, burung tingang dan semua … dan semua.

Turiana terlihat masih ternganga. Entah bingung atau terpesona. Aku menjawilnya. Berdua kami berjalan mengelilingi dua alat besar ini. Dan ternyata di balik dua mesin angkuh itu ada mobil kap, yang minggu lalu dinaiki Mang Punding dan tiga kawannya.

Aku bergegas mendekati mobil kap itu karena melihat ad tong-tong besar di belakangnya. Bagian belakang mobil ternyata tidak lagi kosong. Setidaknya ada empat tong besar mengisi kap mobil hitam ini.

“Isinya apa ya, Kak?’ Turiana menaiki mobil itu dan sesaat menjerit. “Ini seperti bensin, Kak. Eh bukan…”

Aku ikut naik. Mmm… bisa jadi solar atau sejenisnya untuk bahan bakar mobil. Aku menciumnya lagi. Tapi, mobil manakah yang memerlukan bahan bakar begitu banyak?

Aku teringat sesuatu. Teringat cerita kawanku dari kampung sebelah. Aku berkata perlahan ke Turiana, hampir setengah berbisik. Dan kembali dia ternganga, lalu sesaat kemudian mengangguk.

***

Minggu … Pagi ini orang-orang kembali berkumpul. Sebenarnya bukan orang lain, karena rata-rata masih bersaudara dari satu keluarga besar. Aku hafal satu persatu namanya dan rumahnya karena kami biasa bertemu. Léwu kami memang tidak besar kecuali himba yang masih terbentang luas dan sungai jernih yang tergolong cukup lebar dan panjang.

Tampak Mang Punding dan ketiga kawannya sudah datang menunggu di bagian tengah Huma Betang. Tapi siapa lagi yang ditunggu, ya?

Tidak sampai setengah jam datanglah dua mobil. Bagus dan mengkilap. Beberapa uluh léwu segera melongok. Lalu turun beberapa orang dari mobil.

Aku ternganga memperhatikan mereka. Pakaiannya wah … Rapi. Gaya berjalannya berbeda. Dagu agak naik. Terutama yang berbaju biru. Gagah dan paling menjadi pusat perhatian.

Bué’ menghampiri menyambut tamu-tamu itu. Mang Punding juga turut menghampiri. Tampak pamanku ini menunjukkan rasa hormat berlebih terhadap bapak berbaju biru itu.

“Si bos besarnya datang.” Mina Lési berkata perlahan, namun tegas. Umai dan Mina Dadang yang duduk di dekatnya turut memperhatikan lekat-lekat.

Para tamu kemudian ikut duduk berkeliling di rumah besar, bersama para tetua, perempuan dan laki-laki. Aku harus beringsut ke pojok ruangan, sementara dua mina dan ibuku tetap ada di lingkaran. Tiga singa betina ini kupastikan kembali siap bertarung untuk mempertahankan léwu.

Bué’ memulai acara dengan melakukan tampung tawar kepada para tamu. Mulutnya berkomat-kamit membacakan doa. Aku yakin Bué’ sedang mendoakan yang baik-baik bagi seluruh kampung kami.

Acara baru dimulai dengan petatah-petitih dari para tetua dan tokoh kampung. Lalu kini giliran si bos besar berbaju biru berbicara. Bahasanya tertata. Tangannya ikut bergerak seirama ucapannya. Khas orang berpendidikan kota.

Saat dia masih berbicara tentang keuntungan sawit bagi léwu, tiba-tiba seseorang yang belum dikenal masuk menerobos naik ke Huma Bétang. Nampak terengah dan pucat, dia langsung mendekati Mang Punding dan berbisik. Tepat saat itu, sang bos selesai berbicara.

Mang Punding berbisik ke Bué’ dan dia kemudian berdiri dengan tampang geram.

“Siapa yang berani kurang ajar? Siapa??? Siapa yang berani mencampurkan gula dan butiran pasir ke solar excavator … Siapa yang berani melakukannya? Mesin rusak … rusak …”

Mang Punding terus menerus berteriak marah. Tiba-tiba tubuhnya bergetar hebat. Tak lama dia jatuh berkelonjot setengah kesurupan.

Muka bos sawit yang semula ramah menawan, mendadak pucat, lalu terbelalak. Bué’ ternganga. Yang lain melongo.

Turiana beringsut perlahan bersembunyi di belakang punggungku, lalu mengintip ke arah lingkaran duduk para tamu.

Sementara aku kembali meneruskan sketsaku, di bawah hujanan tatapan tajam dari ibuku dan Mina Dadang.***

Catatan: Versi berbeda dari cerpen ini telah dimuat di satu antologi yang dikurasi oleh Eka Budianta. Cerpen ini kembali dipertajam dan diedit.

Catatan Belakang:

Bue’ merupakan panggilan untuk kakek dalam bahasa Dayak Ngaju.

Gosong di Kalimantan Tengah, umumnya mengacu pada kumpulan pasir yang mengendap dan menjadi daratan sementara di sungai. Letaknya bisa di pinggir atau di tengah sungai. Umumnya, fenomena ini banyak terjadi pada musim kemarau.

Himba artinya hutan. Himba bagi suku Dayak memiliki makna sangat vital. Himba merupakan tempat mencari dan mengambil hasil hutan tertentu, misalnya rotan, madu dan buah-buahan (tepaken, kasturi, durian, lengkeng, langsat, manggis dan sebagainya). Himba juga tempat bercocok tanam dan berkebun, berburu serta tempat bermukimnya berbagai jenis satwa. Himba memiliki fungsi ekonomi, ekologi, spiritual dan sosial budaya bagi suku Dayak. Beberapa bagian himba terlarang untuk dimasuki atau ada ritual tertentu sebelum memasuki lokasi tersebut, karena dipercaya ada kekuatan spiritual yang harus dihormati di tempat itu.

Huma Betang adalah rumah besar adat khas Dayak, terutama di Kalimantan Tengah.

Kasturi merupakan buah endemik di Kalimantan Tengah dan sekitarnya. Bentuknya seperti mangga sebesar genggaman tangan anak kecil. Rasanya manis. Teksturnya berserat. Wanginya agak kuat menyengat.

Kenta adalah kudapan yang terbuat dari beras ketan yang disangrai. Sebelumnya beras ketan itu ditumbuk sampai gepeng di lesung. Lalu direndam sekitar satu jam, kemudian disangrai di atas api kayu bakar. Sesudah dirasa cukup matang, beras ketan gepeng itu dicampur parutan kelapa dan gula. Lalu siap untuk dimakan.

Lewu adalah kampung atau desa dalam bahasa Dayak Ngaju.

Mang adalah kependekan dari Amang. Artinya paman atau om. Terkadang paman juga disebut mamak dalam bahasa Dayak Ngaju.

Mantir adalah tetua adat kampung di desa-desa adat Dayak.

Mina adalah panggilan untuk tante atau bibi dalam bahasa Dayak Ngaju.

Tambi Buyut adalah nenek buyut. Ibu dari kakek atau nenek.

Tampung tawar adalah salah satu ritual adat Dayak Ngaju yang penting. Ritual ini bisa bermakna banyak tergantung konteksnya. Salah satunya untuk tujuan bersyukur, menolak bala atau mengharapkan keselamatan. Dalam penyambutan tamu juga kerap dilakukan tampung tawar. Untuk ritual ini disediakan bahan-bahan tertentu, yakni air yang dicampur wewangian, juga potongan pandan sebagai alat pemercik. Tampung tawar dilakukan dengan memercikkan air tersebut ke kepala, pundak, telapak tangan, lutut dan kaki, dengan menggunakan potongan pandan tersebut. Terkadang ritual ini juga disertai dengan meletakkan butiran beras di atas kepala yang bersangkutan. Beras tersebut sebelumnya diletakkan di suatu wadah. Dalam wadah tersebut, selain ada beras, juga diisi dengan telur ayam kampung mentah.

Tepaken adalah buah endemik di wilayah Kalimantan Tengah dan sekitarnya. Bentuknya serupa durian. Namun warna, rasa dan baunya jauh berbeda. Aroma tepaken tidak kuat menyengat seperti durian. Warna daging buah tepaken kuning keemasan. Rasanya manis.

Tingang adalah nama Dayak Ngaju untuk sejenis burung enggang yang endemik di Kalimantan.

Uluh lewu artinya orang desa atau orang kampung.

Umai adalah panggilan ibu dalam bahasa Dayak Ngaju.


Halaman Budaya Sahewan Panarung asuhan Kusni Sulang dan Andriani SJ Kusni. Radar Sampit, Minggu, 14 April 2024. Redaktur: Heru Prayitno, Penata Letak: Rafi

Leave a comment