PERTEMUAN TUMBANG ANOI 1894, TITIK HITAM DALAM SEJARAH DAYAK

Pertemuan Tumbang Anoi 1894“
Titik Hitam Dalam Sejarah Dayak
Oleh Kusni Sulang

Penilaian memuji setinggi langit tanpa kritik terhadap Pertemuan Tumbang Anoi 1894 kembali diteriakkan dalam Pumpung Haï dan Napak Tilas Rapat Damai Tumbang Anoi 2-5 Oktober 2014 lalu. Pertemuan Tumbang Anoi 1894 dinilai antara lain sebagai “fajar peradaban” (istilah ini pertama kali digunakan oleh seorang wartawan Belanda yang sangat tidak suka pada Dayak) bagi orang Dayak dan “Berakhirnya ‘Hukum Rimba’ di Kalimantan”. Alasan utama dari penilaian ini adalah karena Pertemuan Tumbang Anoi 1894 yang dihadiri oleh pemuka-pemuka adat dan masyarakat Dayak seluruh Pulau Borneo, telah berhasil “menghentikan kebiasaan perang antarsuku dan antardesa”, “menghentikan kebiasaan balas dendam antarkeluarga”, “menghentikan kebiasaan adat mengayau”. Kebiasaan-kebiasaan tersebut dipandang sebagai tindakan tidak beradab dan “hukum rimba”. Dengan kata lain kebiasaan-kebiasaan primitif. Penilaian tersebut, mengabaikan atau tidak menyorot poin pertama “Hasil Rapat Damai Tumbang Anoi 1894” yaitu “1. Menghentikan permusuhan dengan pihak Pemerintah Hindia Belanda”, padahal poin pertama ini merupakan Titik Kunci yang ingin dicapai oleh Belanda melalui Pertemuan Tumbang Anoi 1894 yang ia sokong kuat melalui tangan Damang Batu itu, dalam upaya mengembangkan dan memperkokoh cengkeramannya tehadap Pulau Borneo. Sedangkan poin-poin lain seperti “menghentikan kebiasaan adat mengayau”, juga menjadi tujuan Belanda karena seperti yang ditulis oleh Arham Said“Tradisi ini pula yang membuat Belanda tak bisas sepenuhnya menguasai Kalimantan” (Radar Sampit, 12 Oktober 2014). Dr. Anton W. Nieuwenhuis yang ditugaskan oleh pemerintah Belanda untuk melakukan misi penelitian tentang Dayak (lihat: Nieuwenhuis, “Di Pedalaman Borneo. Perjalanan dari Pontianak ke Samarinda 1894) seperti halnya misi yang diserahkan kepada Christian Snouck Hurgronje (1857-1936) oleh Jenderal JB van Heutz (1851-1924) di Aceh yang waktu itu melakukan perang perlawanan (1873-1904), terpaksa mengalami beberapa kali kegagalan menunaikan tugas kolonialnya. Paut dicatat bahwa sebelum Pertemuan Tumbang Anoi 1894, di berbagai tempat di Kalimantan berlangsung perang perlawanan yang sengit terhadap Belanda sepertk Perang Banjar (1859-1863), Perang Téwah (1885); Perang Hulu Katingan di bawah pimpinan Tamangung Singam (1893-1895); Perang Barito (1865-1905). (Lihat: Prof.Dr. Ahim S. Rusan, et.al, “Sejarah Kalimantan Tengah”, 2006: 43-50).
Dilihat dari latarbelakang dan hasil Pertemuan Tumbang Anoi 1894, pertemuan dan hasil Pertemuan tersebut, terutama dan pertama-tama adalah untuk kepentingan perluasan ekspansi dan pengokohan cengkeraman kolonial. Dengan menerima poin pertama (tentu bukan kebetulan poin ini dijadikan poin pertama) “Menghentikan permusuhan dengan pihak Pemerintah Hindia Belanda”, maka pemuka-pemuka Dayak seluruh Borneo waktu itu menerima kekuasaan kolonial Belanda dan kekuasaan Belanda sebagai “Negara”nya sendiri. Pemuka-pemuka Dayak mempunyai ilusi pada kekuasaan kolonial.
Ahim S. Rusan, et. Al. dalam buku “Sejarah Kalimantan Tengah” dengan mengutip pendapat Tjilik Riwut, antara lain menulis:
“Dengan usainya Rapat Damai Tumbang Anoi (Mei-Juli 1894) ternyata nasib Suku Dayak bukannya menjadi bertambah maju, malahan membuat mereka menjadi semakin terbelakang. Belanda telah dapat menancapkan cengkeraman penjajahannya di seluruh Kalimantan kaasan Hindia Belanda, sementara keadaan orang-orang Dayak tidak diperhatikan, semua keluh-kesah mereka sama sekali tidak diperhatikan. Hampir dalam semua hal mereka tidak mendapat /tidak diberikan hak-hak yang telah diakui oleh hukum Negara” (Ahim S. Rusan, et.al., 2006: 73).
Rapat Tumbang Anoi 1894 merupakan bentuk politik devide et impera (memecah-belah dan menguasai) yang diterapkan di Kalimantan dilakukan menjelang diresmikannya politik etis Belanda dan sesuai pula dengan nasihat Snouck Hurgronje: “Ketika seseorang ingin menguasai suatu Negara, untuk agar dihargai di Negara itu, maka orang harus membangun diri di negara itu”. Menurut pendekatan ini, penghargaan ini dapat diperoleh dengan memisahkan pejuang Aceh dari basis mereka di daerah pedesaan, dan dengan memperkuat kekuasaan para bangsawan Aceh” (Adrian Vickers, Edisi Indonesia, 2005: 19).
Dengan pendekatan demikian, maka Pertemuan Tumbang Anoi 1894 diselenggarakan dengan hasil sangat memuaskan untuk Belanda, sedangkan ilusi para pemuka Dayak menjadikan Pertemuan ini sebagai titik hitam dalam sejarah Dayak.Akibat dari penerimaan hasil Pertemuan Tumbang Anoi, Belanda leluasa melakukan politik kebudayaan desivilisasi yaitu politik “ragi usang” dampaknya berlangsung sampai sekarang.
Mungkinkah Pertemuan Tumbang Anoi 1894 berlangsung tanpa sokongan kuat dari Belanda? Pemuka-pemuka Dayak waktu itu mau aktif menjadi penyelenggara karena seperti diungkapkan oleh Tjilik Riwut di atas, mereka menaruh ilusi pada kolonial Belanda, tidak mengenal watak sesungguhnya kolonialisme, memandang pemerintahan (Negara) Belanda sebagai pemerintahan sendiri.
Jagau Yanedi dari Borneo Institut dalam pembicaraannya dengan saya mengatakan bahwa ia tidak setuju dengan pandangan orientalis (meminjam istilah Edward Said) yang memandang bahwa Pertemuan Tumbang Anoi sebagai “fajar peradaban”, tetapi juga tidak sepakat pada pandangan yang disebutnya ekstrim, menilai Pertemuan Tumbang Anoi sebagai “penaklukan”. “Sebab di pantai Dayak sudah kalah”, tapi Jagau tidak melihat di pedalaman luas berlangsung perang perlawanan yang sengit. Kalah di satu pertempuran tidak berarti kalah dalam peperangan. Tapi dengan Pertemuan -Tumbang Anoi 1894, Dayak bukan hanya kalah dalam pertempuran, tapi kalah dalam perang. Pertemuan Tumbang Anoi 1894, menurut Jagau merupakan pertemuan damai agar bias melakukan perdagangan. Barangkali lebih tepat jika melihat hasil yang dikemukakan oleh Tjilik Riwut dan Ahim S. Rusan, et.al, setelah Pertemuan adalah perampokan oleh kekuasaan pendudukan.
Membanggakan Pertemuan Tumbang Anoi 1894 sebagai “fajar peradaban” dan “Berakhirnya ‘Hukum Rimba’ di Kalimantan” tidak lain dari pandangan anakronis dalam sejarah. Masih membanggakan diri sebagai anak jajahan. Karena itu Pertemuan Tumbang Anoi 1894 tidak sepantasnya diperingati saban tahun. Yang merupakan awal kebangkitan Dayak dan sekaligus mengkoreksi kesalahan Pertemuan Tumbang Anoi 1894 adalah berdirinya Sarikat Dajak tahun 1919, berubah nama jadi Pakat Dajak pada 1926. Sarikat Dajak mempunyai visi-misi dan program pembangkitan serta pemberdayaan yang jelas. Sarikat Dajak dan Pakat Dajak ingin mengindonesiakan dan menginternasionalkan Dayak serta mendayakkan yang nasional dan internasional. Sedangkan Pertemuan Tumbang Anoi 1894 membanggakan diri sebagai anak jajahan.Atas dasar alasan-alasan demikian, maka lebih-lebih tidak dan bukan bahwa Napak Tilas Rapat Damai Tumbang Anoi 3-4 Oktober 2014 sebagai hari “Kebangkitan Dayak”. Lebih tidak rasuk lagi apabila “Kebangkitan Dayak” sekarang ditandingkan dengan kenyataan yang oleh Panitia Pakat Dayak Kalteng dan Napak Tilas Rapat Damai Tumbang Anoi “masih belum sepenuhnya berpihak kepada masyarakat lokal, khususnya kepada masyarakat Dayak. Masyarakat Dayak terutama di daerah pedesaan, cenderung hanya menjadi penonton dalam pemanfaatan Sumber Daya Alam di Kalimantan Tengah.”
Menjadi pertanyaan besar, mengapa terlalu sulit mengakui jasa Sarikat Dajak (1919) dan Pakat Dajak (1926) yang visi-misi dan program serta prakteknya jelas nasionalistik, anti penjajahan dan membebaskan manusia, cq manusia Dayak? Barangkali kesulitan ini merupakan bentuk dari sulitnya menjadi manusia merdeka dan bermartabat. Sebab lain, barangkali diterapkannya pendekatan etnosentrisme dan pandangan yang sesungguhnya bersifat rendah diri, tapi tidak disadari, karena berada di kawasan bawah sadar. Rendah diri adalah sisi lain dari satu mata uang kepongahan semu yang gemar pada pencitraan.
Pumpung Haï dan Napak Tilas Rapat Damai Tumbang Anoi 1894, 2-4 Oktober 2014 lalu meninggalkan banyak pertanyaan dan membuka polemiki secara konsepsional, sejarah, budaya dan teoritis. Debat ide atau debat akademi serta penelitian serius merupakan cara penanganan terbaik. Jika sungguh-sungguh ingin maju, kita perlu menggugat diri sendiri. Mengapa tidak?! []

2 thoughts on “PERTEMUAN TUMBANG ANOI 1894, TITIK HITAM DALAM SEJARAH DAYAK

  1. Halik Kubra January 12, 2015 / 9:48 am

    Setuju bahwa kita orang dayak masih tertinggal jauh, padahal kita punya potensi yg luar biasa

Leave a comment