QUO VADIS KEBUDAYAAN INDONESIA?

Jurnal Toddoppuli

Cerita Buat Amndriani S.Kusni Dan Anak-Anakku

QUO VADIS KEBUDAYAAN INDONESIA?

 

Panitia Kerja DPR RI yang bertugas mempersiapkan RUU Kebudayaan akan mengadakan kunjungan kerja dalam rangka jaring aspirasi masyarakat mulai Jumat (10 Juni 2011) hingga Minggu (12 Juni 2011) ke empat provinsi yakni Sumatra Barat, Papua, Yogyakarta dan Solo (Jawa Tengah).
Kabarnya, kunjungan tersebut untuk mencari masukan dari para pelaku kebudayaan dan akademisi sehingga pada persidangan ke empat nanti sudah akan terbentuk draf RUU Kebudayaan. Demikian Made Nurbawa dari Asosiasi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Bali menulis di adatlist@yahoogroups.com,milis organisasi Masyarkat Adat tersebut pada  13 Juni 2011

 

Rencana untuk membuat UU tentang Kebudayaan ini menarik perhatian saya , terutama oleh kekhaatiran mau dibawa ke mana kebudayaan Indonesia melalui UU itu nanti. Kekhawatiran ini muncul oleh minimnya kepercayaan kepada yang disebut wakil-wakil rakyat di berbagai untuk benar-benar berudaya mewakili aspirasi rakyat. Banyak kenyataan yang menunjukkan bahwa antara aspirasi dan kepentingan rakyat dengan aspirasi dan kepentingan anggota-anggota DPR tak obah dua tebing sungai yang sejajar tak pernah ketemu baik di muara mau pun dihulu. Kekhawatiran ini pulalah yang diidap oleh Made Nurbawa dari AMAN Bali ketika mempertanyakan:

1. Apakah yang akan diatur dalam RUU Kebudayaan itu?

2. Apakah nantinya RUU Kebudayaan akan mengatur dan mempersempit ruang gerak kreativitas kebudayaan seperti pengaturan dalam RUU Anti Pornografi?

3. Apakah UU ini akan mengatur hal-hal yang justru tidak perlu diatur seperti kreativitas dan kemajemukan di tengah masyarakat?

4. Apa agenda di balik niat meregulasi kebudayaan? Apa motif politik-ideologinya?

‘’Kita berhak tahu, kita berhak menyuarakan dan memperjuangkan masa depan kebudayaan kita.’’, tulis Made Nurbawa lebih lanjut.

Kekhawatiran inipun lahir dari kenyataan bahwa bahwa peraturan-peraturan dan undang-undang bukanya mendorong maju kebudayaan tapi justru membawa bangsa mundur ke belakang, sedangkan pelaku kebudayaan yang berkreasi tidak sesuai dengan UU itu lalu dikirim ke dalm penjara. Tidak menakutkan  bagi seniman-budayawan yang merasa bahwa kebudayaan yang merupakan wiyah berdaulat seniman- budayawan, dan bila perlu harus berhadapan dengan kekuasaan politik. Tidak menakutkan karena seniman-budayawan yang pada dasarnya pencari tak punya henti dalah pemberontak. ‘’Berontak terhadap ketidak adilan dan ketidakbenaran itu adil dan syah; Termasuk memberontaki UU demikian.Ia adalah resiko pilihan menjadi seniman-budayawan sebagaimana ditunjukkan oleh Cak Durasim yang tak gentar menghadapi ajal diujung bayonet serdadu pendudukan fasisme Jepang, seperti Pramoedya A.Toer yang tak ciut oleh penjara dan pulau pembuangan, seperti Chairil yang berani berkta ‘’aku ini binatng jalang’’ dihadaptentara Jepang. Seperti Galileo dan atau Socrates tegar mempertahankan pndangann mereka. Dan lain-lain.Sebab pembudakan tak sesuai dengan karakter seniman-budayawan atau cendikiawan.Hanya saja keadaan demikian sangat mengusik. Mengganggu. Gangguan yang sebenarnya  tak perlu ada. Bukan tidak mungkin bahwa UU itu kelak mengekang kebebasan mencipta. Kekhawatiran begini muncul karena perbedaan kepentingan melahirkan budaya  berbeda antara masyarakat luas, para seniman-budayawan dengan ‘’budaya’’ yang disebut wakil-wakil rakyat. Kekhawatiran demikian muncul karena dari bangsa yang sakit keras seperti bangsa ini, segala yang tak mungkin menjadi mungkin.

Apabila benar bahwa Panitia Kerja DPR RI yang bertugas mempersiapkan RUU Kebudayaan akan mengadakan kunjungan kerja dalam rangka menjaring aspirasi masyarakat mulai Jumat (10 Juni 2011) hingga Minggu (12 Juni 2011) ke empat provinsi yakni Sumatra Barat, Papua, Yogyakarta dan Solo (Jawa Tengah), tentu  langkah begini merupakan hal yang baik.Sehingga RUU yang disiapkan mempunyai dasar aspirasi riil dan bukan disusun berdasarkan selera-selera subyektif kepentingan. Yang menjadi  pertanyaan, apakah Panitia Kerja DPRRI yang bertugas mempersiapkan RUU Kebudayaan itu juga akan berkunjung dan menjaring aspirasi serta pandangan-pandangan di daerah-daerah lain di luar Sumatra Barat, Papua, Yogyakarta dan Solo (Jawa Tengah)? Apakah mereka hanya mendatangi provinsi-provinsi sampel dan mengbaikan provinsi-provinsi lain yang dipandang sebagai tidak atau kurang tipikal?

 

Pertanyaan lain yang muncul di benak saya ketika membaca berita ini ialah: Siapa-siapa dan orgng yang bagaimana yang dipercayakan masuk sebagai Panitia Kerja Penyiapan RUU Kebudayaan. Pertanyaan ini muncul karena mutu Panitia akan menentukan kualitas RUU, tanggap keadaan atau tidak, aspiratif atau tidak RUU itu nanti. Apakah orang-orang yang duduk di Panitia Persiapan merupakan orang yang tepat di tempat yang tepat?Kalau menggunakan Perancis sebagai acuan, di Negara ini, sebuah undang-undang disusun bermula dari pembentukan sebuah Tim Peneliti yang terdiri dari pakar-pakar dari berbagai disiplin ilmu. Atas dasar hasil penelitian, Tim ini menyusun draf RII yang diserahkan kepada Menteri. Sebelum diajukan ke Parlemen (l’Assemblée Nationale), RUU dilemparkan ke masyarakat untuk mendapatkan masukan-masukan. Setelah menyerap kritik,saran, dan masukan-masukan lain, RUU baru dibawa ke Parlemen untuk dibahas. Pada saat pembahasan di Parlemen inipun masukan-masukan dari wargnegara diminta. Proses lahirnya sebuah UU masih tidak berhenti di sini. Keabsahan dan kelayakannya masih diperiksa oleh Senat dan Mahkamah Konstitusi. Setelah semua proses ini berlangsung, baru sebuah UU menjadi sah., dan mengikat semua warganegara. Dlam kehidupan sehari-hari ketundukan warganegara pada hukum sangat nyata. Kalau mereka berkata ‘’C’est la loi’’ (Itu hukum), artinya mereka tidak bisa berkata apa-apa lagi. Siapapun tidak bisa mengelak dari hokum yang sudah disahkan. Apabila dalam proses pembuatannya terjadi tantangan besar, maka Presiden berhak mencabut pasal-pasal yang dipermasalahkan. Presiden pernah mecabut sebuah pasal yang mengatakan ‘’kolonialisme berjasa’’ yang diprotes oleh mayoritas warganegara, bahkan negeri-negeri Afrika,   dariberbuat demikian. Dari proses penyusunan UU demikian, nampak bahwa pembuatan ditngani secara sungguh-sungguh, bukan asal-asalan. Mulai dari riset mengumpulkan data sampai pada proses pengesahannya. Melalui proses demikiandiupayakan bahwa UU tersebut semaksimal mungkin melegakan semua pihak, tanggap keadaan dan aspiratif.

 

Berdasarkan acuan ini maka pertanyaan mengenai kualitas dan kompisis Pantia Perancang UUKebudayaan saya ketengahkan. Sebab sudah barangtentu, dengan kualitas  yang bagaimana pun UU Kebudayaan itu nanti akan mempengaruhi perkembngn kebudayaan di negeri ini. Quoi Vadis Kebudayaan Indonesia akhirnya menjadi  sebuah pertanyaan besar. Politik strategis kebudayaan yang bagaimana yang kelak akan dipilih oleh UU Kebudayaan pengembangan dan pembangunan budaya negeri ini? Masalah kebudayaan adalah masalah roh suku, jiwa bangsa majemuk ini. Majemuk artinya bukan hanya satu dua pulau, terutama bukan hanya Jawa. ***

 

KUSNI SULANG, Anggota Lembaga Kebudayaan Dayak Kalimntan Tengah, Palangka Raya.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Leave a comment