Evaluasi Hukum: Wajah Kelam Aksi Pemberantasan Korupsi

Saturday, 31 December 2011 15:08
E-mail Print PDF

Hingga akhir 2011, pemberantasan korupsi yang diharapkan oleh masyarakat Indonesia belum menunjukkan hasil yang maksimal. “Ya kalau berkaca dari hasil survey Indeks Persepsi Korupsi (IPK) yang dilansir oleh Transparency Internasional (TI), ternyata kita sadar bahwa upaya pemberantasan korupsi yang kita lakukan masih belum menunjukkan hasil maksimal,” kata Juru Bicara KPK Johan Budi.

Seperti diketahui, berdasarkan hasil CPI Tahun 2011 yang dilakukan oleh Transparency Internasional (TI) atau induk TII , dari 183 negara yang disurvei, Indonesia menduduki peringkat 100 dengan skor 3 bersama dengan Argentina, Benin, Burkina Faso, Madagaskar, Djibouti, Malawi, Meksiko, Sao Tome and Principe, Suriname, Tanzania.

Posisi Indonesia saat ini menunjukkan trend positif karena ada peningkatan dibanding tahun lalu yang berada di peringkat 100 dengan skor 2.8. Menurut perhitungan TI, negara dengan skor 0 dianggap sebagai yang terkorup, sedangkan angka 10 adalah yang paling bersih.

Dari sisi tindak pidana korupsinya, ternyata di Indonesia masih ada penyelenggara negara dan penegak hukum yang terlibat dalam kasus korupsi.  Bahkan, beberapa kali KPK pada tahun ini melakukan tangkap tangan kepada sejumlah penyelenggara negara dan penegak hukum yang diduga melakukan tindak pidana korupsi. “Ini artinya, pemberantasan korupsi serta hukuman yang diterima oleh para koruptor belum memberikan efek jera,” kata Johan.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan bahwa pemerintah Indonesia tidak memiliki keseriusan dalam hal pemberantasan korupsi. Pemerintah justru terkadang menghambat upaya pemberantasan korupsi itu sendiri.

Menurut Wakil Ketua KPK Haryono Umar, tidak hanya di Indonesia, di sejumlah negara manapun upaya pemberantasan korupsi banyak yang tidak mendukung. Sehingga, wajar saja jika di Indonesia, termasuk pemerintah , tidak serius dalam mendukung upaya pemberantasan korupsi. “Padahal kita ini butuh dukungan karena kita tidak bisa bekerja sendiri, tapi terkadang malah pemerintah yang tidak mendukung upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh KPK,” kata Haryono.

Haryono mencontohkan, dalam hal pemberantasan korupsi di bidang pencegahan, banyak instansi pemerintah yang tidak mendukung. Padahal, justru seharusnya mereka yang melaksanakan program-program pencegahan yang disusun oleh KPK.

“Ya memang tidak semuanya seperti itu. Tetap ada yang komitmen mendukung dan ada juga yang menentang. Tapi justru banyak yang menentang. Kalau sudah sepertinya itu, berarti political will pemerintah yang bermasalah,” katanya.

Saat ini, korupsi yang terjadi di Indonesia telah melekat ke dalam sendi-sendi kehidupan birokrasi di Indonesia. Bahkan, korupsi di birokrasi mirip budaya yang membuat setiap pegawai negeri sipil (PNS) muda berupaya untuk tidak kalah bertindak dalam merampok uang negara sebanyak-banyaknya seperti yang dilakukan para pejabat eselon I atau II.

“Indonesia terlalu rusak, sulit sudah memperbaikinya,” keluh Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD saat hadir di acara Ulang Tahun GATRA ke-17 di hotel Sahid bulan lalu. Menurut Mahfud, sekarang yang dibutuhkan itu adalah tindakan konkret, bukan lagi sekadar berteori dalam memberantas korupsi. Jika tidak tegas melawan korupsi, jangan berharap Indonesia bisa beranjak menjadi negara maju.

Ia mengaku kaget dengan semakin beraninya PNS muda golongan III atau IV yang memiliki rekening miliaran rupiah dari hasil transaksi mencurigakan. Hal itu menunjukkan ada yang salah dengan mental abdi yang berorientasi untuk menumpuk uang sebanyak-banyaknya, bukannya malah melayani masyarakat.

Semasa menjabat menteri Hukum dan HAM di era presiden Gus Dur, pihaknya pernah mengusulkan agar koruptor di masa lalu dilakukan pemaafan dan pemutihan, serta penghapusan data administrasi. Dengan begitu, negara menganggap tak ada lagi kasus korupsi yang harus ditangani pada masa lalu.

Kemudian, setelah dimaafkan, mulai saat itu jika ada orang korupsi maka hukumannya langsung ditembak mati, seperti di Cina. Hal itu untuk memberi efek jera dan takut agar orang tak berani berbuat korupsi. Sayangnya, usulan Mahfud waktu itu dibaikan dan tak ditanggapi semua pihak. “Kalau sudah seperti sekarang, sulit. Teori apapun tak bisa lagi memperbaiki birokrasi pemerintahan,” kata Mahfud. (HP, dari berbagai sumber)

Leave a comment